Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL TESIS

JARINGAN KEILMUAN MURSYID THARIQAH SYADZILIYAH


DI SOLO RAYA - JAWA TENGAH ABAD 19-20

Proposal Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Oleh:
Ahmad Iftah Sidik

PROGRAM PASCA SARJANA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA JAKARTA
PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM
KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA

A. Latar belakang masalah

Sejarah thariqah atau tarekat di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke
nusantara itu sendiri. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat
penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi
dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat
dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sehingga perubahan
besar itu pun berlangsung nyaris tanpa meneteskan darah sedikit pun. Ini berbeda dengan proses
Islamisasi di India yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan --bahkan
konon sedikit pemaksaan dengan senjata.oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud Ghazna,
Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India terlebih setelah
terbagi tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang muslim Islam tetap tidak berhasil secara
massif menggeser Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.1
Besarnya pengaruh tarekat dalam islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa
sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di jawa sejak abad 11 M2,
namun sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam saat ini
hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam komunitas-komunitas kecil di
beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran (Gresik), Indramayu dan Semarang. Sementara
penduduk asli diceritakan masih hidup dengan agama lamanya, bahkan digambarkan dengan pola
hidup yang kotor.3
Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal
abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan
munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu
Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang
memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka
oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang
kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf yang
1

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah
(Depok:Pustaka Ilman, 2012), h. 42-43
2
Meski tidak popular, ada juga dugaan masuknya Islam ke Jawa pada abad 2-3 Hijriyah (7-8 M). Pendapat ini
didasarkan pada artefak makam di Desa Sukawali, Pakuaji, Tangerang, Banten, yang terkenal dengan nama Keramat
Panjang, yang diduga makam Sayyid Abdullah bin Ali Al-Uraidhi. Sayyid Ali Al-Uraidhi adalah putra Imam Jafar
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang pemuka Ahlul
Bait yg menurunkan sebagian besar habaib di Nusantara.
3
Agus Sunyoto, Atlas., h. 42-43

dipimpin oleh para sufi terkemuka yang belakangan dikenal sebagai tarekat atau thariqah
shufiyyah seperti Qadiriyyah, Kubrawiyyah, Syadziliyyah, Rifaiyyah, Naqsyabandiyyah,
Syathariyyah.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara
yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India
yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah
beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam
sebelum abad 17 cukup sulit dilacak.4 Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keratonkeraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja
muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante,
sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu
disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci
dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua
tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah
Kubrawiyyah, Syadziliyyah, dan Naqsyabandiyah.5 Meski jika mengacu pada data kronologi
sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh
Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang
wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.6
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam
Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang
membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.
Selain Sunan Gunung Jati, anggota walisongo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel
dan Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Ampel
disebut-sebut mengajarkan suluk tarekat Naqsyabandiyyah. Sementara Sunan Bonang, diceritakan
oleh Carita Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah di Kediri, karena
menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, lalu pindah Demak dan menjadi Imam
4

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning.., h. 188


Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 224. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 159-160
6
Meski begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik dengan guru yang masih
hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang sudah wafat. Proses ijazah
thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar
dan Musyawarah Besar Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mutabarah An-Nahdliyyah tahun 1957-2005 (Surabaya:
Khalista, 2006), h. 162-163
5

Masjid Agung Demak. Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah
dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itulah Raden Makhdum Ibrahim yang
kemudian bergelar Sunan Bonang itu melanjutkan dakwahnya. Pendekatan baru ini terbukti
dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik
bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat.7
Thariqah lain yang tercatat masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah,
Syaththariyyah dan Rifaiyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan
17 secara susul menyusul.
Thariqah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi kontroversial
dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke
negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada
khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang
belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya
diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.8
Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni
mengajarkan paham wahdatul wujud, yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang
menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha kelompok Ar-Raniri
dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab
pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk
menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya.
Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh.
Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa
Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf
Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan
Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut
Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf
diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar.
Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi
salah satu mufti kerajaan.

7
8

Agus Sunyoto, Atlas, h. 162 dan 103


Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 94 dan 192-195

Syaikh Abdul Rauf Singkil memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan agama
Islam dan Thariqah Syathariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Syaikh
Burhanudin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat di Pariaman Sumatera
Barat. Melalui ulama sufi yang juga pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi di
Makkah, Thariqah Syathariyyah kemudian menyebar di Sumatera Barat.9
Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru
kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf
Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus,
Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah
Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Baalawiyyah dan Khalwatiyyah.10
Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan
beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah
Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat
bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan
Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah
Khalwatiyyahnya.
Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf membangun
basis pertahanan di sekitar Tangerang. Namun raja Banten berikutnya cenderung membela
penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga akhirnya tertangkap pada tahun
1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12
September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia
dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih
menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka.
Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran
thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim
dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama.
Apalagi dengan ditemukannya mesin uap yang belakangan diikuti dengan pembuatan perahu uap,
jumlah jamaah haji dan mukimin nusantara di Tanah Suci meningkat pesat. Bahkan saat itu,
jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-negeri
muslim lain.
9

Van Bruinessen, Kitab Kuning., h., 92-93, id.wikipedia.org/wiki/Burhanudin_Ulakan dan


pariamannews.wordpress.com
10
Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 94 dan 192-195

Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri
lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior
lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah
mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para
pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu
tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani pada abad 17, pada abad 18 tokoh ulama sufi yang
menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim AsSammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan
mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan
Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan
mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah
Sammaniyyah.11
Karena kehebatan karamahnya pula, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera
tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh
Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang
beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu. Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu
diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan,
beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah
Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.
Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak
heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumatera Selatan,
bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat
ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih
dan witir di bulan Ramadhan.12
Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran
melawan penjajah pada tahun 1819. Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya
hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang
melawan penjajah eropa yang datang silih berganti.
11

Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 56-59


Di kampung penulis, Dusun Lamaran, Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah,
hingga saat ini ada tradisi melantunkan doa syair yang secara eksplisit menyebut nama Syaikh Muhammad Samman
setiap kali usai shalat tarawih dan witir.
12

Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad
delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan
thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki
tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifaiyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang
tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten,
Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian
itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin
mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang
murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan
media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat
baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib AsSambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa
menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon
dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).13
Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan
Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang
memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di nusantara,
khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim
wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah
di bawah kepemimpinan para khalifah generasi sesudahnya: Kyai Tholhah Kalisapu Cirebon,
Abah Falak Pagentongan, Cirebon dan Kyai Hasbullah Madura.
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah
yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya
yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat.
Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran
Makkah.14
Meski proses kelahirannya sempat dianggap kontroversial dan ditentang oleh ulama thariqah lain,
dan baru reda setelah disepakati keabsahannya dalam bahtsul masail di muktamar NU ke-3 di
13
14

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning., h.196


Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 20-21

Surabaya tahun 1928 dan Muktamar ke-6 di Cirebon tahun 1931,15 Tijaniyyah tumbuh subur di
Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak
kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke
nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah
Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh
Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip
Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk
kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19.
Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNKpun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.16
Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin
Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan,
yang ajaran thariqahnya mereka anggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh
Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang
Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol.17
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah
haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi
Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga
khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan
Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh
Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu
oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus, K.H.
Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. 18

15

K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 tahun 1926 s/d ke-29 Tahun
1994 (Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, 1997), h. 38 dan h. 82-83
16
Martin Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1997), h. 1-100
17
Hafiz Zakariya dan Mohd Afandi Salleh, From Makkah to Bukit Kamang?: The Moderate versus Radical Reforms in
West Sumatra (ca. 1784-1819), International Journal of Humanities and Social Science , Vol. 1 No. 14; October 2011,
sumber online (http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_1_No_14_October_2011/27.pdf)
18
Tim Penyusun, Mengenal Thariqah.., h. 34.

Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto.
Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib
Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk
diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin
K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.19
Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan
ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah
Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jamiyyah Ahlith Thariqah AlMutabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara
tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh beberapa
ulama terkenal seperti K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan; Kyai Abdurrahman
(Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Dari para guru ini
kemudian Thariqah Syadziliyyah menyebar ke berbagai daerah di Jawa.
Saat ini pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah di Jawa antara lain terdapat di : Kanzus Shalawat,
Pekalongan dengan mursyidnya Habib Luthfi bin Ali bin Yahya; Pesulukan Tarekat Agung
(PETA) Tulungagung dengan mursyid K.H. Shalahudin (Gus Saladin), Pesantren Sumolangu
Kebumen dengan mursyid K.H. Musyaffa Ali, dan beberapa tempat lain.
Dari uraian di atas diketahui bahwa membicarakan sejarah perkembangan Islam di nusantara tak
bias dilepaskan dari sejara perkembangan tarekat. Setiap daerah memiliki sejarah tarekatnya
sendiri, bersama jatuh bangunnya proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sayangnya

karena

beberapa

faktor

tidak

semua

sejarah

perkembangan

thariqah

terdokumentasikan dengan baik, atau belakangantergali oleh para peneliti. Thariqah


Syadziliyyah, misalnya, yang menyebar di Jawa Timur (tertua), Jawa Tengah (terbanyak) dan
Banten (termuda), belum banyak tulisan yang mengangkat sejarah dan perkembangan thariqah ini
di ranah ilmiah. Apalagi yang terkait penyebaran dan perkembangannya di Jawa Tengah dan Jawa
Barat (termasuk Banten).
Kebanyakan tulisan tentang Thariqah Syadziliyyah memusatkan kajiannya di Jawa Timur,
khususnya di Tulungagung. Padahal sejarah tarekat ini di Jawa Tengah juga tidak kalah menarik.
Apalagi jika dikhususkan di wilayah Solo Raya yang meliputi Kota Surakarta, Kab. Sukoharjo,
19

Muhdhor Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah (Solo:
Pelita Hati, 2008), h. 80-100

Kab. Klaten, Kab. Boyolali, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Karanganyar, di mana
perkembangan Islamnya sangat dinamis. Ada beberapa fakta awal terkait perkembangan Thariqah
Syadziliyyah di Solo Raya yang menjadi landasan ketertarikan penulis untuk mengangkatnya
dalam tesis ini, di antaranya:
Pertama, silsilah dari Solo Raya ini termasuk salah satu mata rantai tertua yang masih
berkembang hingga saat ini yang tercatat dalam beberapa literatur. Bahkan silsilah Tulungagung
yang popular itu jika dirunut ke atas juga berasal dari Solo.20
Kedua, tokoh-tokoh penyebar dan pengajar (mursyid)-nya di Solor Raya, adalah tokoh-tokoh
besar dan terkenal pada zamannya. Sebab selain merupakan ulama keraton, baik Kasunanan
Surakarta maupun Mangkunegaran, para mursyid itu juga dikenal sekaligus tokoh pejuangpejuang anti penjajahan yang tangguh. Tiga tokoh utama mursyid Thariqah Syadziliyyah di Solo,
misalnya, adalah keturunan Kyai Imam Rozi Singomanjat, salah seorang senopati dalam barisan
pasukan Diponegoro. Dalam perjalanan waktu silsilah kemursyidan Solo Raya ini justru tidak
berkembang lagi karena tidak ada yang melanjutkan. Meski begitu, seperti lazimnya tradisi tarekat,
spiritnya pasti tidak akan pernah hilang sama sekali. Ini terbukti pada fakta pada landasan ketiga
di bawah ini.
Ketiga, Solo sempat dikenal sebagai basis umat Islam puritan, suatu aliran dalam Islam yang
sering kali menentang keras keberadaan tarekat sufi. Namun uniknya kota itu kemudian
dideklarasikan oleh walikotanya --yang notabene non muslim-- sebagai Kota Shalawat21, karena
pengaruh menguatnya tradisi pembacaan maulid Nabi Muhammad melalui organisasi JamuroJamuri22 yang menjamur hingga pelosok kota, serta fenomena Habib Syech bin Abdul Qadir
Assegaf, ulama asal Pasar Kliwon Solo yang lantunan qasidah dan shalawatnya sangat digemari
umat Islam, tak hanya di Solo Raya, bahkan hingga seluruh pelosok Pulau Jawa. Citra baru yang
dianggap strategis untuk Kota Solo dan sekitarnya ini sangat menarik sebab:

20

Muhammad Zaini, Tarekat Syadziliyyah: Perkembangan dan Ajaran-ajarannya, Disertasi Doktoral (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), h. 50
21
http://www.surakarta.go.id/konten/solo-kota-shalawat; Lihat juga di: http://krjogja.com/read/175574/solo-jadikota-sholawat.kr; http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/06/06/159854; dan
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,45341-lang,id-c,daeraht,Solo+Jadi+Kota+Shalawat+Pertama+di+Indonesia-.phpx
22
Jamuro adalah singkatan dari Jamaah Muji Rosul, sebuah majelis taklim keliling setiap malam di Kota Solo dan
sekitarnya yang khusus diselenggarakan setiap bulan Rabiul Awwal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Acara
inti pengajian Jamuro dan Jamuri (Jamaah Muji Rosul untuk Putri) adalah pembacaan maulid Barzanji dan kajian
kitab syarah (penjelasan)-nya. Lihat : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,49304-lang,idc,daerah-t,JAMURO+Tumbuhkan+Semangat+Bershalawat+di+Solo-.phpx

a. Sebelumnya Solo sempat sebagai dengan basis Muhammadiyyah yang mana tergolong
dalam organisasu Islam puritan yang sangat jauh dari tradisi shalawatan atau maulidan
yang lekat dengan warga Nahdlatul Ulama, yang justru minoritas di kota ini. Bahkan
pada dua dasa warsa terakhir citra sebagai basis Islam puritan diperkuat dengan
pemberitaan tentang Pesantren Ngruki, Sukoharjo, yang beberapa alumninya terlibat
dalam kasus terorisme dan radikalisme, dan menguatnya organisasi keagamaan Majelis
Tafsir Al-Quran (MTA) yang vis a vis dengan warga NU dalam perdebatan klasik
tentang amaliyah yang dianggap bidah.
b. Meski gagasan pencanangan Kota Shalawat tersebut terkesan politis, yakni menepis
citra Solo sebagai basis Islam Radikal, namun fenomena yang melatarbelakanginya,
yakni Jamuro-Jamuri dan Habib Syech, secara kultural juga bisa dilihat sebagai
kebangkitan kembali kekuatan Islam Tradisional setelah sekian lama terpinggirkan.
Penulis menduga, tentu ada sebuah kekuatan (spirit) yang menjaga nyala api kultural itu
tetap terjaga.

B. Permasalahan
a.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di muka, maka penulis bermaksud
mengangkat kajian seputar peran dan pengaruh Jaringan Keilmuan Thariqah Syadziliyyah di
masa silam dan kebangkitan Islam tradisional Islam masa kini di Solo Raya ini sebagai lokus
penelitian tesis ini.

b.

Pembatasan Masalah
Karena begitu luasnya obyek kajian, maka penulis merasa perlu membatasinya ke dalam
bebearapa variabel agar lebih fokus. Beberapa pembatas kajian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Obyek Kajian. Dari sekian banyak obyek kajian ketarekatan di Thariqah Syadziliyyah
yang sangat luas, penulis membatasi kajian tesis ini hanya pada jaringan keilmuan para
guru (mursyidnya) dan peranannya dalam menjaga keberagamaan masyarakatnya. Tentu
dengan tidak mengabaikan penjelasan tentang Thariqah Syadziliyyah secara umum
sebagai latar belakangnya.

2. Wilayah. Karena jaringan Thariqah Syadziliyyah ini tersebar di seluruh dunia, maka
kajian tesis ini hanya difokuskan pada wilayah Kota Solo pada khususnyadan Solo
Raya yang meliputi Kota Surakarta, Kab. Sukoharjo, Kab. Klaten, Kab. Boyolali, Kab.
Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Karanganyar, semuanya berada di wilayah Provinsi
Jawa Tengah.
3. Waktu. Thariqah Syadziliyyah sudah lahir sejak abad 12 M, dan diperkirakan mencapai
Nusantara untuk pertama kali pada masa Sunan Gunung Jati (abad 15M). Karena
luasnya rentang waktu kajian, maka penulis mempermudahnya dengan hanya
memfokuskan kajian pada rentang pertengahan menjelang, awal dan pertengahan abad
20.
c.

Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pengembangan penelitian, penulis membagi masalah ke dalam dua
bagian pertanyaan : Pertanyaan Umum (Major Research Question) dan Pertanyaan Turunan
(Minor Research Question). Adapun Pertanyaan Mayornya adalah:
Bagaimana jaringan keilmuan (silsilah sanad) di Solo Raya terbentuk, berkembang dan
memneri pengaruh kepada masyarakat muslim tradisional di Solo Raya pada abad 19-20?
Sedangkan Pertanyaan Minor-nya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Thariqah Syadziliyyah masuk ke Solo Raya? Siapa pembawanya? Dan di mana
saja pusat-pusat pengajarannya? Apa kesamaan dan perbedaan metode pengajaran dan
suluk di antara para pusat pengajaran tersebut?
2. Siapa saja mursyid thariqah Syadziliyyah yang hidup di Solo Raya pada abad 19-20?
Mengapa para mursyid tersebut tidak membuat perkembangan tarekat itu menonjol.
3. Bagaimana pola jaringan dan relasi keilmuannya? Apa saja pengaruh relasi antar mursyid
tersebut terhadap pertahanan budaya masyarakat muslim tradisional di Solo Raya?
4. Bagaimana perkembangan Thariqah Syadziliyyah dari silsilah Solo Raya saat ini?

C. Penelitian terdahulu
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian latar belakang masalah, penelitian setingkat tesis atau
disertasi tentang Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya belum pernah penulis temukan. Di
Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, misalnya, dari 50anTesis dan Disertasi yang
terkait dengan kata kunci Tarekat, hanya ada satu hasil penelitian yang mengangkat topic
Thariqah Syadziliyyah, yakni disertasi Muhammad Zaini, M.A. yang berjudul Tarekat Syadziliyah,

perkembangan dan ajaran-ajarannya : studi pada Pondok Peta di Tulungagung (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2003). Disertasi ini lebih menyoroti tentang Ajaran dan Perkembangan Thariqah
Syadziliyah di PETA Tulung Agung, dengan poin utama pada perkembangan thariqah tersebut di
Pesantren PETA, Ajaran-ajaran Syadziliyyah dan ritualnya yang diamalkan oleh Jamaah thariqah
tersebut, dan kontekstualisasi ajaran thariqah dalam kehidupan kekinian.
Sementara di Perpustakaan IAIN Surakarta, terdapat satu disertasi yang ditulis oleh H.M. Syakirin
Al-Ghozali, M.A. untuk gelar doktoralnya di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, yang berjudul
Tarekat Shadhiliyah di Bandar Pekalongan, Jawa Tengah: Kajian Terhadap Aktiviti dan Penghayatan
Tasawuf Dalam Kalangan Pengamalnya. (Kuala Lumpur: Univ. Malaya, 2012). Disertasi ini lebih
banyak mengulas tentang peri kehidupan pengikut Thariqah Syadziliyyah di Pekalongan yang
diasuh oleh guru mursyidnya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya pada tahun 2011-2012.
Aspek yang diteliti dalam disertasi ini difokuskan pada bagaimana para pengikut Thariqah
Syadziliyyah di Pekalongan menghayati ajaran-ajara tasawuf, menginterpretasikannya dalam
kehidupan sehari-hari dalam ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Sementara buku-buku lain yang berkaitan dengan Thariqah Syadziliyah, lebih banyak mengkaji
tarekat secara umum. Buku Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia yang ditulis Dr. Sri Mulyati,
M.A., dan kawan-kawan, misalnya, hanya sedikit mengulas tentang Thariqah Syadziliyyah, yakni
sekitar 32 halaman. Bagian yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Moh. Ardani, itu hanya terfokus pada
sejarah, perkembangan pada generasi awal yang melahirkan cabang-cabang, dan hizib-hizib yang
menjadi doa khas Thariqah ini. Sementara silsilah sanad yang dicantumkan hanya melalu satu
jalur, yakni jalur Syaikh Abdul Jalil Mustaqim Tulungagung.23
Buku lain yang sedikit banyak mengulas tentang Thariqah Syadziliyyah adalah Ensiklopedi Tematis
Spiritualisme Islam, terjemahan dari Islamic Spirituality: Manifestation yang ditulis oleh Seyyed Hossein
Nasr dan kawan-kawan. Pada buku ini ada satu bab yang ditulis oleh Victor Danner, yang
memaparkan tentang kehidupan pendiri Thariqah Syadziliyyah, yakni Syaikh Abul Hasan AsySyadzili dan pewarisnya, Syaikh Abul Abbas Al-Mursi, dan jaringan murid-muridnya.24 Namun
sayangnya buku ini hanya bercerita tentang jaringan tarekat Syadziliyyah di Timur Tengah dan
Timur Dekat. Yang menarik dari bab tersebut diangkat cerita tentang gaya hidup para sufi
Syadziliyyah yang humul, berbaur dengan masyarakat dan giat bekerja. Yang menurut Danner

23

Dr. Sri Mulyati, MA (et.al), Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 57-88
Seyyed Hossein Nasr (et.al.) Ensiklopedi Tematis Spiritualisme Islam, terj, Islamic Spirituality: Manifestation
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 34-63
24

seperti mengembalikan sufisme ke zaman Rasulullah di mana tiada pembeda antara sufi dan non
sufi dalam amaliah duniawi.
Selain dua buku itu ada beberapa buku kecil yang secara singkat bercerita tentang Tarekat
Syadziliyyah secara umum, yang hanya mengulas ajaran dan ritual. Misalnya Mengenal

Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah.25 Kalau pun ada silsilah sanad tarekat
yang disampaikan, biasanya hanya mengambil dari salah satu jalur sebagai contoh.
Sementara itu Martin Van Bruinessen di bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia yang dinilai banyak ilmuwan memberikan informasi yang
cukup banyak tentang tarekat di Nusantara juga tidak banyak mengulas Thariqah Syadziliyyah.
Tarekat ini hanya disebut sesekali untuk melangkapi uraian tentang seorang tokoh.26
Hasil penelitian lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan Thariqah Syadziliyah di Solo
adalah buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII yang
merupakan disertasi Prof. Dr. Azyumardi Azra. Dalam buku tersebut Azra menjelaskan sejarah
kedatangan Islam di Indonesia, kemudian dilanjutkan pada proses perubahan ajaran dan praktik
keislaman oleh warga Melayu Nusantara seiring banyaknya ulama asal Melayu Nusantara yang
belajar di pusat keilmuan Islam khususnya Haramayn. Dan juga datangnya para ulama luar yang
masuk ke wilayah Melayu Nusantara.
Pelacakan guru-guru dari ulama Melayu Nusantara di Haramayn menghasilkan jaringan ulama
Timur Tengah dengan ulama Melayu Nusantara. Tak berhenti sampai pelacakan guru para ulama
Dr. Azyumardi Azra juga melacak karya-karya mereka, ajaran yang didakwahkan mereka. Hingga
Azyumardi Azra bisa menyimpulkan bahwa pembaharuan yang dilakukan ulama Melayu
Nusantara adalah penyebaran neo sufisme di Nusantara.

D. Kerangka teoritik
Untuk mengkerangkakan pemikiran penelitian ini, Penulis perlu secara khusus menjelaskan
beberapa istilah yang menjadi kata kunci kajian, yaitu :
a. Tarekat atau Thariqah

25
26

Tim Penyusun, Mengenal Thariqah. , h. 34


Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning., h. 224

Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syariat, sebab tarekat adalah
pengejawantahan dari syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim dikatakan orang, Syariat
tanpa tarekat adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong. Terkait hal
ini Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas
menyatakan, Tarekat merupakan bahagian terpenting daripada pelaksanaan tasawwuf.
Mempelajari tasawwuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu
usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawwuf diterangkan, bahwa syari'at itu hanya peraturan
belaka, tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syari'at itu, apabila
syari'at dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada
perbaikan keadaan atau ahwal, sedang tujuan yang terakhir ialah ma'rifat yaitu mengenai
dan mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya.27
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Pemimpin Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mutabarah AnNahdliyyah, membagi tarekat menjadi dua: Thariqah Syariah dan Thariqah Wushul. Thariqah
Syariah adalah seperangkat aturan-aturan fiqh yang disebutkan dalam berbagai kitab-kitab
para fuqaha yang mutabar, para muhaditsin, mutakallimin dan mufassirin yang mutabar.
Sedang thariqah wushul adalah upaya mematik natijah (hasil) dari pelaksanaan thariqah syariah
dengan mengikuti bimbingan seorang syaikh dengan penuh khidmah (pengabdian), muwafaqah
(menganggap benar) dan menghindari buruk sangka, serta berupaya membersihkan hatinya
dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat mulia, dan memperbanyak dzikir,
menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati dari berbagai hal negatif tersebut hukumnya
wajib, maka wajib pula hukum memasuki thariqah.28
Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai
bagian dari pelaksanaan syariat, tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah, dilanjutkan pada
masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat para
tokoh seperti Hasan-Al-Bashri, Sufyan Al-Tsauri, Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi, Abu Yazid
Al-Busthami, dan sebagainya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan
para ulama eksoterisahli fiqih, hadis, dan sebagainya.
Betapapun juga praktik-praktik tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai
disiplin ini, dimulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni Kota Makkah dan
Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili tokoh-tokoh perintis kehidupan tasawuf
27

Prof. DR. Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik (Solo: Ramadhani,. ), hlm.
Tim Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah (Semarang: Sekretariat Jenderal
Jatman dan Aneka Ilmu, 2005), h. 12
28

yang namanya kita sebutkan di atas. Pandangan yang menyatakan bahwa tasawuf merupakan
imbas kebudayaan Persia kiranya juga terbantah oleh kenyataan ini. Selain jumlah yang sedikit,
di kalangan penganut tasawuf-awal para sufi asal Persia baru dikenal belakangan.
Secara umum periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam ke dalam
beberapa tahap29 :
Pertama, tahap zuhud (asketisme). Tahap awal perkembangan tasawuf ini merentang
mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhudyakni, promosi
gaya hidup sederhana dan serba kekurangan untuk melatih jiwa agar tak terlalu terikat
dengan kehidupan duniaini pertama kali muncul di Madinah, Kufah, dan Bashrah, sebelum
kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Sufisme lahir sebagai respons atau antitesa atas
gaya hidup para pembesar pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M) yang sangat bermewahmewah (hedonis) akibat melimpahnya perolehan kekayaan negara setelah Islam mengalami
perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.30
Tokoh-tokoh tahap zuhud ini --menurut tempat-perkembangannya--, antara lain para zahid
yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah Al-Jarrah (w. 18 H), Abu
Dzar Al-Ghiffari (w. 22 H), Salman Al-Farisi (w. 32 H), Abdullah ibn Masud (w. 33 H).
Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (Tabin) termasuk di antaranya
adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H). Sementara tokohtokoh zuhud di Bashrah adalah Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Malik ibn Dinar (w. 131 H),
Fadhl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w. 149 H), Shalih Al-Murri dan Abul
Wahid ibn Zaid (w. 171 H) dari Abadan. Adapun tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi
ibn Khasim (w. 67 H), Said ibn Jubair (w. 96 H), Thawus ibn Kisan (w. 106 H), Sufyan AlTsauri (w. 161 H), Al-Laits ibn Said (w. 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198), dan lain-lain.
Sedangkan tokoh-tokohnya di Mesir, antara lain, adalah Salim ibn Attar Al-Tajibi (w. 75 H),
Abdurrahman Al-Hujairah (w. 83 H), Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 117 H),
dan lain-lain.
Pada masa-masa terakhir tahap ini mulai muncul tokoh-tokoh yang belakangan telah dikenal
sebagai para sufi sejati, termasuk di antaranya Ibrahim ibn Adham (w. 161 H), Fudhail ibn
Iyadh (w. 187 H), Dawud Al-Thai (w. 165 H), dan Rabiah Al-Adawiyyah.
29

Haidar Bagir, Sejarah Tasawuf dan Aliran-alirannya, http://islamindonesia.co.id/index.php/tasawwuf/681sejarah-tasawuf-dan-aliran-alirannya


30
Masudul Hasan, History of Islam (India : Adam Publisher and Distributor, 1995), vol.I, p. 185

Kedua, tahap tasawuf (Abad III dan IV H). Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana
tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada
promosi gaya hidup zuhud belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai memperkenalkan disiplin
dan metode tasawuf, termasuk konsep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak
dikenal: maqm, hl, marifah, tauhd (dalam maknanya yang khas tasawuf), fan, hull, dan lainlain. Tokoh-tokohnya termasuk Maruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w.
254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi.
Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini,
termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w.
279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H).
Dua peridoe awal ini seringkali disebut fase tasawuf amali. Pada masa ini juga mulai muncul
para sufi yang belakangan dikenal mempromosikan tasawuf yang berorientasi kemabukan
(sukr) antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah
lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar
keyakinan umum kaum Muslim (syathaht atau syathhiyt), semisal Akulah Sang Kebenaran
(An Al-Haqq) atau Tak ada apa pun dalam jubahyang dipakai oleh Busthamiselain
Allah (m fil-jubbah ill Allh), dan sebagainya.
Ketiga, Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H). Dilihat dari sebutannya, tasawuf falsafi
merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasionalfilosofis. Ibn Arab adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya.
Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam
kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfn (Gnostisisme) karena orientasinya
pada pengetahuan (marifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Beberapa karya sufistik Ibnu Arabi yang bercorak falsafi antara lain Fushush al-Hikam, Futuhat
al-Makkiyyah dan Tarjuman al-Asywaq.
Keempat, Tahap Moderasi Tasawuf (Akhlaqi), Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh
sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim AlJunaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad
Nuri (w. 295 H), baru pada abad 6 Hijriahlah tarekat berkembang dengan pesat. Hal ini
dimulai sejak Al-Ghazali sukses dengan merumuskan konsep tasawuf moderatnya yang
dianggap selaras dengan syariat.

Setelah itu berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran
tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M),
yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra
(wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali AsySyadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad ArRifai (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifaiyyah. Selain itu, awal abad keempat belas
juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh
Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang
didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.31
b. Thariqah Syadziliyyah
Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di
wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197
M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M). 32 Beliau adalah seorang sufi
pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap
waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga
mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di
hadapan Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya Ulumuddin
dan kitab Qutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara 33
yang pokok, yaitu:
a. Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
b. Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan.
c. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada di depan atau di
belakang mereka.
d. Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak.
e. Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka.

31

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
Bandung, 1999) cet. Ke-3, h. 188
32
Muhammad Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili, Kepribadian dan Pandangan
(Brebes: Penerbit Al-Anwar, 2012) h. 21
33
Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah. h. 23

Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya dengan dzikirdzikir dan doa doa sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Albarr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair,
Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di
Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu,
sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di
Pulau Jawa saat initentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin
Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jamiyyah Ahlith
Thariqah Al-Mutabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah mutabarah yang
bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.
Selain melaui jalur Purwokerto, tarekat ini juga masuk ke pulau Jawa melalui Solo, Kebumen
dan Magelang. Tiga garis itu keilmuan itu mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru
Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, seorang ulama asal Banyumas yang bermukim dan
mengajar di Makkah, atau dari gurunya Syaikh Muhammad Shalih, seorang Mufti madzhab
Hanafi.34
Relasi antara mursyid Thariqah Syadziliyyah di Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan ulama
tarekat di Makkah, ini meneguhkan hasil analisis penelitian Dr. Azyumardi Azra terhadap
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. yang
disimpulkan sebagai berikut:
1.

Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan
Islam diantara kaum Muslim Melayu Indonesia. Kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan,
dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan
dan intelektual diantara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga
perkembangan Islam semasa di dunia Melayu Indonesia. Kehidupan dan pengalaman
mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual
keagamaan yang terdapat diantara mereka dengan ulama Timur Tengah.

2.

Sifat dan karakteristik dari jaringan ulama tersebut mencakup hubungan-hubungan yang
rumit antara para ulama dari berbagai dunia Islam. Ulama Melayu Nusantara sendiri tidak
sedikit yang mula-mula ke Haramayn untuk menunaikan ibadah haji kemudian menetap

34

Berbagai catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh tersebut, seperti :
www.thohiriyyah.com (website Pesantren Ath-Thohiriyyah); http://www.sufinews.com/index.php/TokohSufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan sumber-sumber lain.

untuk belajar di Haramayn. Dari situlah kemudian mereka menyebarkan pembaruan Islam
di Nusantara yang membawa ciri penyebaran neo sufime. Adapun karakteristik penting
lainnya dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat. Ajaranajaran tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuahan kepada guru memberikan
kekuatan tambahan kepada jaringan ulama
3.

Peran ulama Melayu Nusantara dalam jaringan adalah sebagai transmitter utama tradisi
intelektual keagamaan, tradisi Islam dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke
Nusantara.

4.

Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara adalah
adanya semangat pembaharuan dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara terutama
abad XVII dan XVIII.

c. Jaringan Keilmuan
Jaringan keilmuan yang dimaksud dalam penilitian ini adalah kombinasi antara silsilah sanad,
yakni ikatan mata rantai guru dan murid dalam Thariqah Syadziliyyah, yang merupakan media
transmisi berbagai cabang keilmuan tarekat seperti aqidah, akhlak, fiqih dan terutama
tasawuf. Ikatan mata rantai beserta berbagai cabang pengetahuan yang menyertainya inilah
yang menurut hipotesa penulis memberikan warna dan pengaruh kepada para aktornya, yakni
para guru mursyid, dan kemudian kepada para muridnya. Dan pada gilirannya seluruh unsur
tersebut akan membentuk sebuah tradisi intelektual dan kultural yang unik di masyarakt yang
terus bertahan hingga saat ini.
Untuk menganalisis jaringan keilmuan tersebut, penulis menggunakan teori dan metodologi
Genealogi Pengetahuan dan relasinya dengan kekuasaan ala Foucault.
Genealogi, menurut Michel Foucault35, adalah sejarah yang ditulis untuk kepentingankepentingan masa kini yaitu hubungannya dengan komitmen terhadap masalah-masalah
kontemporer. Sejarah perlu memasuki peristwa-peristiwa masa kini. Dengan demikian,
geneologi adalah sejarah efektif (effective history) yang ditulis sebagai keterlibatan kontemporer.
Terinspirasi oleh Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault menyebutkan bahwa sejarah
selalu merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan

35

Michel Foucault (1926-1984) adalah seorang sejarawan dan filsuf Perancis, terkait dengan gerakan strukturalis
dan post-strukturalis. Dia memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya (atau bahkan terutama) dalam filsafat tetapi juga
dalam berbagai disiplin ilmu humanistik dan sosial. Lihat : Ensiklopedi filsafat Stanford,
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

dan model pemahamannya pun selalu berubah36. Epsitemologi adalah yang mempelajari
perubahan-perubahan ini sebagai the grammar of knowledge production dan diungkap melalui
kerja sains, filsafat, seni dan literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan
peristiwa-peristiwa material dengan fikiran atau ide.
Kunci pemikiran Foucault tentang sejarah adalah dalam istilah yang ia sebut sebagai
epistemee (sistem wacana). Foucault dengan kritis melihat bagaimana ilmu-ilmu
berkembang dalam sejarah secara sistemik (keseluruhan sistem berfikir) dalam suatu periode,
kemudian berubah secara menyeluruh dalam tahapan periode yang lain, kadang-kadang secara
cepat37.
Ilmu pengetahuan ternyata berkembang dan established tidak bertumpu pada tokoh-tokoh
pemikir yang gagasan-gagasannya diikuti banyak orang. Setiap pengetahuan kita berkembang
merupakan jalinan yang luas dan rumit antara berbagai kepentingan dan kepekaan mereka
mengenai tatanan rasional. Tidak ada suatu ide/gagasan yang dicetuskan oleh seseorang atau
sekelompok ilmuwan kemudian menjadi mapan di masyarakat tanpa adanya saling keterkaitan
yang menyuluruh dengan aspek-aspek lain dalam sebuah sistem sosial. Sistem keseluruhan
berfikir manusia itulah yang disebut Foucault sebagai episteme.
Dalam setiap persoalan yang ia amati dalam sejarah selalu dilihat dalam kontek hubunganhubungan yang rumit yang terjalin dengan unsur-unsur lain. Misalnya tentang konsep
kebenaran. Untuk sampai pada sebuah kebenaran yang mapan yang dipegang oleh
masyarakat dalam periode tertentu, selalu terlibat berbagai unsur yang meneguhkan kebenaran
itu: politik, kekuasaan, kepentingan, gender, pemikiran, ideologi dan sebagainya. Episteme ini
berpengaruh terhadap apa disebut dengan kebenaran melalui bahasa. Discours,
penalaran atau uraian adalah bahasa yang sering diarahkan pada kebenaran.
Discours ini terutama adalah penalaran ilmiah, tetapi bahasa sehari-hari seperti rapat-tapat,
pidato politik dan diskusi-diskusi juga merupakan discours. Bagi Foucault, masa silam terdiri
dari discourse-discours ini yaitu lautan artikulasi, pembicaraan dan penalaran manusia,
samudera kata, kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan
kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari38. Dalam sejarah penalaran

36

John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers. From structuralism to posmodernity, (London: Allen&Uniwim,
1994), h. 112
37
Karlina Leksono, Berakhirnya Manusia dan Bangkrutnya Ilmu-ilmu, dalam Majalah Basis, No. 01-02, Tahun ke51, Januari-Februari 2002, h. 22-31
38
F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Filsafat Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 309

sehari-hari yang melimpah itu, dalam keseluruhan berfikir manusia itu, Foucault melihat ada
sebuah kekuatan yang mengatur yang disebut episteme.
Seperti diuraikan Ankersmit39, ada tiga karatkteristik episteme-nya Foucault:
Pertama, Episteme menentukan bagaimana cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Cara
kita mengalami kenyataan menentukan bagaimana kita melihat kenyataan. Kenyataan itu
subyektif dan sering tidak disadari. Dengan demikian, kenyataan itu tidak sederhana dan tidak
begitu pasti seperti yang kita duga. Ini berarti, episteme tidak disadari oleh orang yang
mengalaminya. Ketika episteme disadari, yaitu kita sadar melihat realitas dengan perspektif
tertentu, maka akan terbukalah untuk melihat kenyataan dengan sudut pandang yang lain.
Kalau ini terjadi maka menjadi dibuat-buat, kita melihat realitas pun dibuat-buat bukan oleh
kesadaran asli sesungguhnya yang dimiliki seseorang.
Kedua, karakter episteme yang lain adalah adanya larangan-larangan, penyangkalan,
pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan
manusia melalui tiga macam pengecualian: tabu, kegilaan dan ketidakbenaran. Identitas
episteme itu berada dalam hal-hal yang tidak disadari seperti dalam larangan. Dari sinilah
episteme mengungkapan identitasnya yang asli. Karena itulah Foucault tertarik pada fenomena
kegilaan (madness), kejahatan dan perilaku seksual yang aneh. Setiap zaman terdapat epistemenya tersendiri tetapi tidak bisa dilacak karena tidak disadari itu. Tetapi walaupun tidak bisa
dilacak (untracable) tetapi bisa disusun kembali dengan cara bertindak dari luar ke dalam: dari
larangan ke yang benar, dari tabu ke kebolehan, dari kegilaan ke normalitas.
Ketiga, dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dengan realitas. Umumnya, bahasa
dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi dari kenyataan. Bagi
Foucault tidak begitu. Bahasa selalu ditentukan oleh episteme yaitu bentuk-bentuk
penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. Sama seperti episteme
mengatur dan menyaring pengetahuan kita mengenai kenyataan, demikian juga bahasa. Bahasa
bukanlah medium yang transparan, bukanlah pencerminan dari kenyataan. Bahasa adalah alat
yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan, sesuai dengan tabiat
episteme itu sendiri40 Dengan demikian, Foucault melihat jelas bahwa bahasa dan episteme
tidak pasif melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk merubah kenyataan bahkan menguasai
kenyataan.

39

F.R. Ankersmit, Refleksi., h. 310-312


F.R. Ankersmit, Refleksi., h. 312

40

Melalui teori genealogi pengetahuan Foucault ini penulis bermaksud melihat aspek-aspek
(episteme) yang membentuk jaringan keilmuan para guru mursyid Tarekat Syadziliyyah di Solo
Raya, bagaimana relasi jaringan keilmuan tersebut dengan kekuasaan (baik keraton maupun
NKRI), dan apa pengaruh relasi tersebut pada ketahanan budaya islam tradisional di Solo
Raya.
Sedangkan melalui teori Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII- XVIII-nya Azyumardi Azra, penulis akan membuktikan bahwa ada relasi yang kuat
antara ulama tarekat Solo dengan ulama tarekat di Haramain yang menjadi media transimis
penyebaran neo sufisme, yang menjadi spirit ketahan budaya Islam Tradisional di Solo Raya
menghadapi gerusan puritanisme di satu sisi dan islam abangan di sisi lain.
Disebut neo sufisme karena ajaran-ajaran yang diberikan oleh para ulama itu adalah mengajak
umat Islam untuk mentaati Allah swt secara totalitas, dengan praktek-praktek ibadah yang taat
tetapi tidak meninggalkan urusan dunia. Menjadikan seluruh amal muslim adalah Ibadah.
Sehingga tidak ada istilah tekun ibadah ritual kemudian meninggalkan urusan dunia (uzlah).
Inilah yang kemudian oleh Azumardy Azra disebut sebagai neo sufime.41
Konsepsi Neo-Sufisme ala Azra inilah yang menurut penulis sangat bernuansa Syadziliyyah,
sebagaimana ditegaskan oleh Victor Danner dalam Islamic Spirituality: Manifestation. Gaya hidup
para sufi Syadziliyyah yang humul, berbaur dengan masyarakat dan giat bekerja, sebagaimana
dengan jelas diteladankan oleh pendirinya, Syaikh Abu al-Hasan Ali Asy-Syadzili, digambarkan
Danner, seperti mengembalikan sufisme ke zaman Rasulullah di mana tiada pembeda antara
sufi dan non sufi dalam amaliah duniawi.42 Corak itu pula yang selama ini terkesan dari muslim
tradisional di Solo, yang membedakan mereka dari muslim tradisional di Pantura yang sangat
semarak atau di Jawa Timur yang sangat kental.

E. Tujuan penelitian
1. Tujuan Akademis
Penelitian ini secara akademis memiliki dua tujuan:

41

Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak
Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, cet. Ii 1995), h. 1- 339
42
Seyyed Hossein Nasr (et.al.) Ensiklopedi., h. 63

a. Memperkuat hasil Penelitian Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, dalam konteks ulama tarekat pada abad 19
dan paruh pertama abad 20.
b. Mengungkap proses pembentukan jaringan keilmuan di antara para guru mursyid
Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya dan pengaruh jaringan keilmuan tersebut
terhadap perkembangan sosial keagamaan masyarakat di Solo Raya hingga saat ini.
2. Tujuan Praktis
Sedangkan tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk melengkapi khazanah pengetahuan
tentang penyebaran dan perkembangan tarekat di Nusantara, khususnya di Jawa Tengah,
dan tentang akar dari ketahanan budaya Islam tradisional di Kota Solo saat ini.

F. Manfaat dan Signifikansi Penelitian


Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan bagi beberapa hal berikut:
Pertama, memperluas cakupan kajian sejarah tarekat di Indonesia, yang selama ini belum banyak
mengkaji secara mendalam dan mengungkap sejarah dan perkembangan Thariqah Syadziliyah.
Kedua, penelitian ini akan menjadi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu tasawuf dan sejarah,
khususnya kajian sejarah perkembangan tarekat, lebih khusus lagi kajian tarekat di Solo yang
belakang sempat lekat dengan citra radikalisme.
Ketiga memberikan sumbangan pengetahuan bagi para pembaca yang memiliki ketertarikan pada
bidang sejarah perkembangan tasawuf di Nusantara, perkembangan sosial religi masyarakat Jawa,
atau pergulatan keagamaan di Solo.
Dan Keempat, kajian ini dapat memberikan arah bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih
intensif di belakang hari. Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain,
selain dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa menjadi koreksi
bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru sebagai antisipasi atas persoalanpersoalan yang dihadapi zamannya.

G. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam rangka tesis ini, jika dilihat dari jenis sumber datanya, merupakan metode
gabungan antara penelitian lapangan (field research) dan penelitian pustaka (library research).
Sedangkan jika ditinjau dari sifat-sifat datanya maka termasuk dalam penelitian kualitatif
(qualitative research).
2. Sumber Data Penelitian
Memperhatikan jenis penelitian tersebut, maka sumber data primer dalam penelitian ini adalah
dua :
a. Cerita ahli waris, murid, dan orang-orang yang mengenal para mursyid tarekat
Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya atau mempunyai kaitan pengetahuan dan
pengalaman terkait sejarah dan perkembangan Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya.
b. Catatan, dokumentasi atau buku yang secara langsung menceritakan kehidupan para
mursyid Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya.
Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal ilmiah, dan
hasil penelitian yang mengulas tentang Thariqah Syadziliyyah, baik yang berbahasa Arab,
Inggris maupun Bahasa Indonesia, cetak maupun online. Yang tak kalah penting juga adalah
sumber data tersier yang berupa catatan, artikel atau pemberitaan media, baik cetak maupun
online yang banyak menyinggung tentang Thariqah Syadziliyyah.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Sesuai dengan metode penelitian kualitatif dan jenis sumber datanya, maka pengumpulan data
untuk tesis ini akan dilakukan dengan teknik:
a. Wawancara. Penulis akan melacak dan memawancarai orang-orang yang diasumsikan
mempunyai pengetahuan atau pengalaman terkait sejarah dan perkembangan jaringan
keilmuan Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya, baik ahli waris langsung, murid, ahli waris
murid, jaringan ulama dan pesantren, maupun para peneliti sejarah dan pemerhati tarekat
di Solo Raya.
b. Kajian

Dokumentasi.

Penulis

akan

mengumpulkan,

membaca,

menandai,

membandingkan dan menyimpulkan dokumen-dokumen atau bacaan-bacaan yang terkait

langsung dengan fokus kajian, seperti catatan tangan para mursyid, buku-buku hasil karya
para mursyid, foto, surat dan sebagainya.
Selanjutnya data tersebut akan diproses dengan beberapa tahapan berikut. Pertama,
penandaan data berdasarkan asal dan jenis sumbernya. Kedua, data akan dikategorisasi dalam
satuan yang lebih besar, berdasarkan variable kajian yakni : data terkait Thariqah Syadziliyyah,
Jaringan Keilmuan para Mursyidnya, dan Perkembangannya di Solo Raya pada Abad 19-20.
Dengan demikian akan dihasilkan informasi awal tentang Jaringan Keilmuan Para Mursyid
Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya pada abad 19-20. Kemudian informasi itu akan dianalisis
dengan cara mengkonfirmasikannya dengan berbagai sumber data pustaka terkait, seperti
buku hasil penelitian atau laporan di jurnal ilmiah yang terkait dengan topic kajian.
Dari hasil analisis tersebut diharapkan akan muncul teori kedatangan dan perkembangan
Thariqah Syadziliyyah serta pembentukan Jaringan Keilmuannya di Solo Raya pada abad 1920.

H. Sistematika pembahasan
Untuk memudahkan proses pengkajian dan pembahasan, penulisan tesis ini akan disusun dalam
sistematika sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan. Pada bab ini akan dipaparkan latar belakang masalah atau alasan
pemilihan topik; identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah yang akan menjadi panduan
penelitian; ulasan tentang penelitian terdahulu serta kerangka teoritik yang terbangun sebagai
hipotesa; tujuan, manfaat dan signifikansi penelitian; metode penelitian yang akan dilakukan serta
sistematika pembahasannya dalam laporan.
Bab II. Situasi Keislaman di Solo Raya Pada Abad 19-20. Pada bab ini akan diulas segala hal
tentang Solo Raya yang menjadi latar belakang penelitian. Seperti tinjauan kesejarahan, budayabudaya yang mempengaruhi masyarakatnya: Budaya Mataraman dan Kolonial Belanda, serta
perkembangan Islam di sana dengan fokus pada tiga obyek: Islam di sekitar Keraton, Islam di
pinggiran Solo dan Pesantren dan Tasawuf di Solo. Pada Bab ini juga akan diulas tentang situasi
sosial politik umat Islam pada abad 19-20 yang diasumsikan member pengaruh pada
perkembangan Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya, seperti pada masa pergerakan, masa revolusi
fisik di mana beberapa mursyidnya terlibat langsung dalam perang kemerdekaan, dan pasca
revolusi fisik

Bab III. Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya. Pada bab ini akan dibahas tentang sejarah dan
perkembangan Thariqah Syadziliyyah, khususnya di Solo Raya. Dimulai dengan paparan tentang
sejarah kelahiran Thariqah Syadziliyyah yang meliputi pendirinya, silsilah sanadnya, dan pokokpokok ajarannya. Kemudian dilanjutkan dengan sejarah masuknya Thariqah Syadziliyyah di
daerah Solo Raya, yang pada abad 19 masuk dalam wilayah Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, mencakup tokoh pembawanya, dan silsilah sanad masing-masing pembawa.
Setelah itu dilanjutkan pemetaan pusat-pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah pada abad 19 dan
20. Bab ini diakhiri dengan ulasan tentang kekhasan ajaran masing-masing pusat pengajaran yang
mencakup system kemursyidannya, metode perekrutan anggotanya (baiat), dan ritual khasnya
(suluk).
Bab IV. Jaringan Keilmuan Mursyid Thariqah Syadziliyyah di Jawa Tengah. Pada bab ini
akan dipaparkan profil guru-guru mursyid Thariqah Syadziliyyah di Solo Raya, bagaimana relasi
antar para guru mursyid tersebut dalam ranah keilmuan (metode pengajaran, kitab rujukan dan
ikatan guru-murid), kekerabatan atau persaudaraan biologis, dan spiritual yang mencakup maqam
kesufian. Pada bab ini juga akan dikaji pengaruh relasi para guru mursyid tersebut terhadap
pertahanan budaya masyakat (kantong-kantong murid) yang meliputi keterjagaan paham dan
tradisi Aswaja, tradisi keislaman lokal, dan struktur sosial masyarakat Jawa.
BAB V. Penutup. Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi
dari penelitian.
Tesis ini akan disertai juga dengan lampiran di belakang Bab V yang berisi daftar pustaka, riwayat
hidup Penulis, dan hal-hal lain yang relevan.

Daftar kepustakaan
Primer:
-

Imam Al-Qusyairy, Risalah Al-Qusyairiyyah

Abu Thalib Al-Makki, Qut Al-Qulub

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan,
1999)

DR. Sri Mulyati, Tarekat Mutabarah di Indonesia

Muhdhor Assegaf, Syaikh Abu al-Hasan Syadzili

Tim Penulis LTN JATMAN, Mengenal Thariqah Untuk Pemula

Dr. Saifuddin Zuhri, M. Ag, Tarekat Syadziliyah, Dalam Perilaku Perubahan Sosial
(Teras&Elsaq, 2011)

Abu Bakar Aceh, Prof., Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Mistik (Jakarta,
F.A.H.M. TAWI dan SON BAG, 1996)

Sekunder :
1. Biografi Abuya Dimyathi, Cidahu, Pendeglang (Penulis ); Abuya Dimyathi
adalah salah seorang Mursyid Thariqah Syadziliyyah
2. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah (Gus Dur); pada cerita tentang Gus Miek,
Syadziliyyah di Jawa Timur.
3. Berangkat Dari Pesantren, Otobiografi K.H. Saifudin Zuhri; ada bagian yang
bercerita tentang tokoh K.H. Dalhar Watucongol
4. Hizbullah Surakarta; dalam buku itu diceritakan tentang tokoh Kyai Idris Jamsaren
dan Kyai Maruf Mangunwiyoto, dua orang mursyid Thariqah Syadziliyyah di Solo
5. dll
A. Jadwal Penelitian

Anda mungkin juga menyukai