Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Teologi Islam &

Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

Hand-Out 07
SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA DI INDONESIA

A. Prawacana
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa
Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur
utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan,
Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab
Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh
Wali Sanga. Dari murid-murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun-temurun
menghasilkan Ulama-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil
Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf
Sulawesi, dan lain-lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari
kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu
yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh
suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu
untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus
mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan
fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks
zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah
memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi),
kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah
dan beraktivitas (hurriyah al-harokah). Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga
sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang
mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?

B. Masuknya Islam ke Indonesia


Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di
Indonesia adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah
Pijnapel dari Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah
Gujarat dan Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i
yang menetap di India yang membawa Islam ke Indonesia.
Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam
berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak
diantara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur
Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar
Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari
mereka adalah keturunan Nabi Muhammad. Karena manggunakan gelar sayyid atau
syarif, yang menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada

137
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

sekitar abad ke-12. Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang
dengan kapal dari Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa
setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang
wafat pada 698/1297. seabad kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh
Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara
mengambil gelar Mohammad Syah.
Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam
tersebut melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan
keluarga muslim ini, maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada
waktunya nanti mempunyai andil yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara.
Selanjutnya para pedagang ini melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal
sehingga mereka atau keturunanya memperoleh kekuasaan di dunia politik, untuk
penyebaran agama Islam.
Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka
pertumbuhan komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau
lainya. Kerajaan Islam pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya
kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari
sana Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam
sudah hampir merata di Nusantara.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para
Ulama’. Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke
daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga
pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau.
Kemudian mereka juga membuat karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai
tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia masa itu.
Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat,
metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di
zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi
kebudayaan Islam sedang berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu
telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran
pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia
bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam
tersebut sebelumnya.

C. Menelusuri Jejak Ahlusunnah Wal-Jama’ah di Indonesia121


Perkembangan Aswaja di Indonesia memiliki sejarah panjang yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri. Karena dalam catatan sejarah khususnya
sejarah Islam Indonesia, ajaran Islam hadir di Indonesia ini bukan hanya paham Sunni
yang sebagian besar pengikut Aswaja, tetapi juga sejarah Islam juga mencatat
kehadirnya faham Syiah. Dijelaskan bahwa faham syiah di Indonesia dibawa oleh
penganut Syiah Islamiah yang bersumber dari persiah dan tersebar di pedalaman India
sampai perbatasan Bukhara dan Afghanistan. Bukti riil kehadiran Syiah karena
pengaruhnya di Indonesia munculnya dalam mitos akan datangnya Imam Mahdi dari
keturunan Ali Bin Ali Thalib. Di Pariaman Sumatera Barat dikenal istilah “tabut” yang
dibuat dari tandu. Pada setiap 10 Asyura, diusung beramai-ramai sambil menyebut

121
Aceng Abdul Aziz Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejahtera,
Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, 2006.

138
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

“oyak osen” (Hasan-Husen) yaitu dua nama cucu Rasulullah dan garis keturunan Ali
dan Fatimah.
Namun, paham Syiah tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia,
masyarakat lebih tertarik dan lebih memilih paham sunni. Itulah kemudian menjadi
salah sebab paham sunni dengan aspek sufistiknya sangat cepat menyebar dan menjadi
dominan di Indonesia. Tidak jauh beda dengan tingkat penerimaan masyarakat
terhadap mashab syafii yang sekarang ini menjadi salah satu mashab yang paling kuat
mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia.
Keberhasilan paham Sunni menyebar dengan cepat di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari peran besar yang dimainkan oleh Wali Sanga. Peran penting Wali
Songo telah mengubah dan membangun akidah masyarakat melalui gerakan
kulturalnya sehingga Islam diterima dengan penuh kedamaian. Gerakan Wali Songo
kemudian menjadi kiblat banyak organisasi keagamaan, diantaranya yang paling
konsisten adalah Nahdlatul Ulama, suatu organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Sampai kini konsistensinya pada gerakan kultural tetap menjadi warna istimewa NU
dalam memantapkan misi sosial dan keagamaannya.
Dalam pengertian yang sangat sederhana, paling tidak terdapat dua
pemahaman yang bisa menjelaskan soal Aswaja. Pertama, dalam kaca mata sejarah
Islam, istilah ini muncul karena counter-discours membaiknya paham mu’tazilah,
terutama masa Abbasiyah. Kemudian melahirkan dua tokoh yang sangat menonjol
Abu Hasan Al- Asy’ari (260 H-330 H) di Bashrah dan Abu Mansur Al Maturidi di
Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu kedua tokoh ini seringkali berbeda
pendapat, namun mereka bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya
hegemoni paham Mu’tazilah, kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang
pemikiran keagamaan yang sering di ahl-Al-Sunnah wa al-Jama’ah dan popular dengan
sebutan Aswaja.
Kedua, istilah Aswaja Populer di kalangan umat Islam, terutama di dasarkan
pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibn Majah dari
Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 72
golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan
tersebut masuk dalam neraka, kecuali satu golongan yaitu orang-orang yang mengikuti
Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam pandangan As-Syihab Al-khafaji dalam Nasam
ar-Riyadh, bahwa golongan yang dimaksudkan adalah Al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Melalui pesantren-pesantren yang menyebar di berbagai daerah, paham
Aswaja tetap menjadi kuat. Bahkan dalam catatan sejarah islam Indonesia, dari
pesantrenlah sesungguhnya Wali Songo lahir dan kemudian menyebarkan islam
dengan gaya khas santri. Kalau dilihat dari awal hadirnya pesantren di tanah air, dalam
sejarah di catat bahwa pada akhir abad ke-18 telah lahir pesntren dengan tokoh
sentralnya yang sangat berwibawa Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Awalnya tidak
hanya menjadi media pengajaran tekstual yang mewujudkan diri sebagai sebagai
lembaga pendidikan, tetapi pesantren sejak awal menjadi tempat penyelesaian
problem masyarakat
Selanjutnya, dari Gerakan Wali Sanga ini kemudian lahir organisasi Islam
terbesar di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Nahdltul Ulama (NU) yang
didirikan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Spesifikasi kaum Nahdliyyin yang sangat
menonjol adalah sikap kebersamaan yang tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya.
Kaum Nahdlyyin merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat. Mulai dari

139
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

struktur yang paling kecil sampai yang terbesar. Ukhuwa Nahdlyiah merupakan
formulasi atas tiga konsepsi pesaudaraan dalam skala terbatas yang merupakan
penjabaran dari konsepsi Ukhuwah Islamiyah dalam skala yang lebih besar.
Penulis buku ini sangat fasih sekali menjelaskan dan menceritakan bagaimana
gerakan Aswaja di Indonesia membangun nilai-nilai kebersamaan dan moderat
terhadap setiap perbedaan yang ada. Lebih khusus lagi bagaimana penulis buku ini
sangat cermat mengulas lahirnya NU dan kemudian menggambarkan peran besar yang
dimainkan oleh NU sampai sekarang. Hal terpenting buku lebih mengingatkan kita
pada peran besar yang pernah dilaksanakan oleh NU, termasuk agenda strategis NU
untuk bangsa dan agama masa depan. Dalam hal ini konsistensinya pada agama, dan
tentu tidak melupakan agenda kebangsaan sebagaimana konsistensi NU pada NKRI.
Bahkan NU sejak awal sudah menegaskan sikapnya, bahwa NKRI sudah final bagi
Indonesia.

D. Gerakan Modern Islam


Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang
ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran
progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke
17, melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab Imperium. Yag terpenting
diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah).
Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang
bernuansa intelektual. Katalisator terkenal dari gerakan pembaharuan ini adalah
Jamaludin Al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan
terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali ke Islam dalam suasana yang secara
ilmiah di modernsasi.

E. Sejarah Perkembangan
1. NU dan ASWAJA
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para
ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal
Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai
hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam ‘iyyah
merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah
pokok Nahdlatul ‘Ulama.
Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang
pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama,
sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi.
Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya
mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang cukup banyak.”.
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai”
yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh
gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :
 Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan
kepada Allah SWT.

140
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

 Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah


SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan
moralnya.
 Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti :
tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan
kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.

2. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU : Pejuang Syariah


Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-
temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai
Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal
dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri
Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11
bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar
lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15
tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri
di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan
menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan
Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia,
dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari
memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan,
tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin,
menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum,
berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional,
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan
ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai
Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama
teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian
menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari
sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang
bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-
tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan
republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan
konsepnya.”

141
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia,


termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah
(Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua
Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat
Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang
kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres
Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada
Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh
Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk
mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan
proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta
pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi
Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di
Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU),
Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26
Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali
umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk
mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat
Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut
persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat
Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan
persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite
Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat
itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak
terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti
Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah
Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan
Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak
pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi
sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya
formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan
cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU
senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ
yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian
meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih
(mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada
perjuangan formalisasi Islam.

142
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah

F. Kongklusi
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara
etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi
sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab
secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi
bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada
tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah
Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya
setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber
hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap
ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga,
merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain
pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini
dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang
bersamaan, yakni; Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur
Al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far Al-Thahawi (331 H/944
M) di Mesir. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan Al-Asy’ari meresmikan sebagai
aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi
teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari
sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya
pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan
selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain
dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru
(blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.[]

143

Anda mungkin juga menyukai