Hand-Out 07
SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA DI INDONESIA
A. Prawacana
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa
Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur
utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan,
Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab
Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh
Wali Sanga. Dari murid-murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun-temurun
menghasilkan Ulama-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil
Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf
Sulawesi, dan lain-lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari
kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu
yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh
suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu
untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus
mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan
fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks
zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah
memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi),
kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah
dan beraktivitas (hurriyah al-harokah). Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga
sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang
mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?
137
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
sekitar abad ke-12. Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang
dengan kapal dari Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa
setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang
wafat pada 698/1297. seabad kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh
Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara
mengambil gelar Mohammad Syah.
Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam
tersebut melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan
keluarga muslim ini, maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada
waktunya nanti mempunyai andil yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara.
Selanjutnya para pedagang ini melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal
sehingga mereka atau keturunanya memperoleh kekuasaan di dunia politik, untuk
penyebaran agama Islam.
Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka
pertumbuhan komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau
lainya. Kerajaan Islam pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya
kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari
sana Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam
sudah hampir merata di Nusantara.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para
Ulama’. Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke
daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga
pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau.
Kemudian mereka juga membuat karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai
tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia masa itu.
Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat,
metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di
zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi
kebudayaan Islam sedang berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu
telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran
pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia
bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam
tersebut sebelumnya.
121
Aceng Abdul Aziz Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejahtera,
Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, 2006.
138
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
“oyak osen” (Hasan-Husen) yaitu dua nama cucu Rasulullah dan garis keturunan Ali
dan Fatimah.
Namun, paham Syiah tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia,
masyarakat lebih tertarik dan lebih memilih paham sunni. Itulah kemudian menjadi
salah sebab paham sunni dengan aspek sufistiknya sangat cepat menyebar dan menjadi
dominan di Indonesia. Tidak jauh beda dengan tingkat penerimaan masyarakat
terhadap mashab syafii yang sekarang ini menjadi salah satu mashab yang paling kuat
mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia.
Keberhasilan paham Sunni menyebar dengan cepat di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari peran besar yang dimainkan oleh Wali Sanga. Peran penting Wali
Songo telah mengubah dan membangun akidah masyarakat melalui gerakan
kulturalnya sehingga Islam diterima dengan penuh kedamaian. Gerakan Wali Songo
kemudian menjadi kiblat banyak organisasi keagamaan, diantaranya yang paling
konsisten adalah Nahdlatul Ulama, suatu organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Sampai kini konsistensinya pada gerakan kultural tetap menjadi warna istimewa NU
dalam memantapkan misi sosial dan keagamaannya.
Dalam pengertian yang sangat sederhana, paling tidak terdapat dua
pemahaman yang bisa menjelaskan soal Aswaja. Pertama, dalam kaca mata sejarah
Islam, istilah ini muncul karena counter-discours membaiknya paham mu’tazilah,
terutama masa Abbasiyah. Kemudian melahirkan dua tokoh yang sangat menonjol
Abu Hasan Al- Asy’ari (260 H-330 H) di Bashrah dan Abu Mansur Al Maturidi di
Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu kedua tokoh ini seringkali berbeda
pendapat, namun mereka bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya
hegemoni paham Mu’tazilah, kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang
pemikiran keagamaan yang sering di ahl-Al-Sunnah wa al-Jama’ah dan popular dengan
sebutan Aswaja.
Kedua, istilah Aswaja Populer di kalangan umat Islam, terutama di dasarkan
pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibn Majah dari
Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 72
golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan
tersebut masuk dalam neraka, kecuali satu golongan yaitu orang-orang yang mengikuti
Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam pandangan As-Syihab Al-khafaji dalam Nasam
ar-Riyadh, bahwa golongan yang dimaksudkan adalah Al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Melalui pesantren-pesantren yang menyebar di berbagai daerah, paham
Aswaja tetap menjadi kuat. Bahkan dalam catatan sejarah islam Indonesia, dari
pesantrenlah sesungguhnya Wali Songo lahir dan kemudian menyebarkan islam
dengan gaya khas santri. Kalau dilihat dari awal hadirnya pesantren di tanah air, dalam
sejarah di catat bahwa pada akhir abad ke-18 telah lahir pesntren dengan tokoh
sentralnya yang sangat berwibawa Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Awalnya tidak
hanya menjadi media pengajaran tekstual yang mewujudkan diri sebagai sebagai
lembaga pendidikan, tetapi pesantren sejak awal menjadi tempat penyelesaian
problem masyarakat
Selanjutnya, dari Gerakan Wali Sanga ini kemudian lahir organisasi Islam
terbesar di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Nahdltul Ulama (NU) yang
didirikan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Spesifikasi kaum Nahdliyyin yang sangat
menonjol adalah sikap kebersamaan yang tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya.
Kaum Nahdlyyin merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat. Mulai dari
139
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
struktur yang paling kecil sampai yang terbesar. Ukhuwa Nahdlyiah merupakan
formulasi atas tiga konsepsi pesaudaraan dalam skala terbatas yang merupakan
penjabaran dari konsepsi Ukhuwah Islamiyah dalam skala yang lebih besar.
Penulis buku ini sangat fasih sekali menjelaskan dan menceritakan bagaimana
gerakan Aswaja di Indonesia membangun nilai-nilai kebersamaan dan moderat
terhadap setiap perbedaan yang ada. Lebih khusus lagi bagaimana penulis buku ini
sangat cermat mengulas lahirnya NU dan kemudian menggambarkan peran besar yang
dimainkan oleh NU sampai sekarang. Hal terpenting buku lebih mengingatkan kita
pada peran besar yang pernah dilaksanakan oleh NU, termasuk agenda strategis NU
untuk bangsa dan agama masa depan. Dalam hal ini konsistensinya pada agama, dan
tentu tidak melupakan agenda kebangsaan sebagaimana konsistensi NU pada NKRI.
Bahkan NU sejak awal sudah menegaskan sikapnya, bahwa NKRI sudah final bagi
Indonesia.
E. Sejarah Perkembangan
1. NU dan ASWAJA
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para
ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal
Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai
hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam ‘iyyah
merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah
pokok Nahdlatul ‘Ulama.
Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang
pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama,
sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi.
Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya
mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang cukup banyak.”.
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai”
yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh
gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :
Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
140
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
141
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
142
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
F. Kongklusi
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara
etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi
sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab
secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi
bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada
tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah
Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya
setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber
hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap
ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga,
merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain
pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini
dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang
bersamaan, yakni; Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur
Al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far Al-Thahawi (331 H/944
M) di Mesir. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan Al-Asy’ari meresmikan sebagai
aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi
teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari
sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya
pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan
selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain
dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru
(blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.[]
143