Anda di halaman 1dari 8

Ilmu Keislaman dan Sosial Humaniora

kelompok 1 :

Aliefa Dzinuha Syamila (20107010093)


Naela Fatannabilah (20107010095)
Achdan Dhiyaulhaq (20107010105)

Program Studi Psikologi


Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tahun 2021
I. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu aspek kebudayaan manusia, merupakan
hasil kreasi daya penalaran rasional dan empiririk yang melingkupi semua obyek dan
fenomena di seluruh alam semesta. Keluasan ruang lingkupnya pun membuat ilmu
pengetahuan terbagi menjadi beberapa bidang dan cabang dengan wilayah yang terkadang
tidak tegas perbatasannya yang kemudian berkembang menjadi bagian-bagian ilmu
tertentu yang muncul sehingga setiap ilmu memiliki perbedaan dalam perkembangannya.
Masa modern yang terus berkembang sampai saat ini menghendaki adanya penyatuan
berbagai macam keilmuan yang memiliki dimensi yang berbeda. Ilmu agama yang
dianggap mengarah pada ilmu-ilmu ketuhanan diharapkan dapat berintegrasi dengan
ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu sosial-humaniora yang berdimensi pada kemanusiaan.
Dimensi ketuhanan secara yang secara ontologies bersifat abstrak, kemudian
dimanifestasikan dalam wujud teks al-Qur’an dan hadis Nabi. Dua sumber utama ajaran
islam tersebut diiterprestasikan dengan berbagai cara dan metode oleh para ulama
sehingga terkonstruk ilmu-ilmu agama yang dikenal sekarang ini, seperti Ilmu Tafsir,
Hadis, Fikih, Kalam, dan Tasawuf. Sementara itu, dimensi kemanusian bersifat konkret
dan dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Baik ilmu eksakta maupun sosial-humaniora
yang ada selama ini secara esensial muncul dan mengalami pasang surut dalam ruang
lingkup pemikiran manusiasebagai makhluk yang kasat mata.
Paradigma yang menyatukan dua bidang keilmuan yang memiliki dimensi yang
berbeda ini tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan
manusia sehigga teralineasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan
hidup sekitarnya. Dalam konsep integratif ini, Tuhan tetap mempunyai kekuatan, tetapi ia
tetap harus berdialektika dengan hasil pemikiran manusia. Begitu pula sebaliknya,
manusia memang mempunyai peran besar dalam menentukan hasil, tetapi harus juga
dikaitkan dengan dimensi nilai-nilai ketuhanan dan keislaman. Pada posisi ini, para
pengkaji keislaman mempelajari doktrin dan nilai-nilai Islam terlebih dahulu sebelum
memahami berbagai dinamika kebudayaan manusia, realitas-realitas peradabannya harus
menjadi sesuatu yang terintegrasi dan tidak terpisahkan.

II. Definisi Islam dan Ilmu Sosial Humaniora


Islam sendiri terbagi menjadi tiga istilah,yakni: (1) Islam, (2) syari’ah, dan (3) wahyu.
Kata Islam berasal dari kata salima, berarti selamat, tunduk, berserah. Kata Islam juga
kata jadi (masdar) dari aslama, yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Maka
kalau disebut aslam amrahu ila allah berarti menyerahkan urusannya kepada Allah.
Adapun kata syari’at yang dari sisi bahasa berarti sumber air yang dituju. Syari;at
dapat pula diartikan membuat peraturan. Dapat pula berarti pergi ke, masuk dalam,
memulai atau mengatur. Syari’at dari segi istilah menurut Mustafa Ahmad ahZarqa yaitu
kumpulan perintah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan kepercayaan (iman dan
ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (mu’amalah) yang diwajibkan oleh islam untuk
diaplikasikan dalam kehidupan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.
Sedangkan wahyu berasal dari kata <waha, tuakyun, al-isyaratu, memberi isyarat
atau petunjuk. Maka arti kata awha allahu ilaihi berarti Allah mewahyukan kepadanya
atau Allah memberikan petunjuk kepadanya. Sementara wahyu dalam segi istilah sebagai
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat.
Wahyu ini sendiri muncul dalam dua bentuk, yakni: al-Qur’an dan Hadis. Dengan
demikian, islam sebagai agama (aldin) sama dengan syari’at dan wahyu, yaitu wahyu
yang diterima Nabi Muhammad SAW, yang mencakup semua aspek ajaran Islam seperti
ibadah dan mu’amalah atau iman, islam dan ihsan.
Ilmu islam memiliki empat sumber yang jika digali secara ilmiah, semuanya akan
melahirkan ilmu Islam, yaitu:
1. Al-Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber ilmu-ilmu Islam yang di dalamnya
ditemukan unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk membentuk keberagamaan,
konsep, bahkan teori yang dapat difungsikan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang dihadapi umat. Sebagai sumber, al-Qur’an dan sunnah berisi
konsep dasar yang melalui suatu proses sangat potensial bagi pengembangan dan
pemberdayaan ilmu-ilmu Islam.
2. Alam Semesta (afaq)
Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit,
bumi, lautan dan sebagainya, agar manusia mendapat manfaat ganda, yakni:
menyadari kebesaran keagungan Tuhan serta dapat memanfaatkan segala sesuatu
untuk membangun dan memakmurkan bumi dimana dia hidup. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan indra dan akalnya sehingga dapat memperhatikan
fenomena alam yang dapat diteliti dan memperoleh informasi ilmu. Di dalam Al-
Qur’an sendiri telah diisyaratkan ilmu-ilmu kealaman yang telah bermunculan dan
berkembang.
3. Diri Manusia (anfus)
Manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan
pengetahuan. Dalam Islam, akal merupakan kunci manusia sebagai khalifah di muka
bumi, tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan hukum-hukum syari’at. Dari
diri manusia akan dilahirkan berbagai ilmu sosial maupun humaniora setelah
dilakukan penelitian, observasi dan eksperimen baik dari aspek fisik, psikis, maupun
sosiologis, seperti ilmu kedokteran, kesehatan, ekonomi, psikologi, sosiologi, sejarah,
dan lainnya.
4. Sejarah (Qashash)
Sejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa
silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi pada suatu negara, bangsa,
benua, atau dunia. Peristiwa atau kejadiam masa silam tersebut merupakan catatan
yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas. Dalam
sisi luarnya, sejarah tidak lebih dari rekaman kejadian masa lampau. Sedangkan dari
sisi dalamnya, sejarah merupakan suatu penalaran kritis untuk mencari kebenaran
dengan penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu.
Suatu pengetahuan yang sangat mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa
sejarah tersebut bisa terjadi.
Secara kebahasaan ilmu sosial terdiri atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial.Ilmu
dalam bahasa Inggris diredaksikan dengan science yang berasal dari bahasa Latin scientia
mempunyai arti pengetahuan. The Liang Gie menyebutkan bahwa ilmu dipandang
sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktifitas penelitian.
Sementara itu sosial yang dalam bahasa Inggris dikatakan dengan social memiliki banyak
arti. Soekanto menuturkan bahwa istilah sosial dalam ilmu sosial merujuk pada objeknya
yaitu masyarakat. Dengan demikian bisa disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan
sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat.
Karakteristik yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu
kealaman, ilmu sosial belumlah memiliki kaidah atau dalil yang diterima oleh
kebanyakan masyarakat, sebab ilmu ini sendiri belum lama berkembang, sedangkan yang
menjadi objeknya adalah masyarakat yan senantiasa berubah-ubah. Ilmu sosial tidak
memilki kebenaran yang pasti. Hal ini membedakannya dengan ilmu-ilmu alam (natural
sciences) yang menuntut ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah
pengetahuan objektif sebagai kebenaran tunggal. Berbeda dengan ilmu sosial yang tidak
pernah mengenal kebenaran tunggal. Sebuah contoh sederhana yang ada di masyarakat
terasa sangat membantu dalam memahami perspektif kedua jenis ilmu ini; jika ilmu-ilmu
alam diberikan soal: satu ditambah satu, maka jawabannya pasti dua, tetapi ilmu-ilmu
sosial menjawabnya dengan jawaban yang tidak pasti (relatif), bisa satu, dua, empat, dan
lain sebagainya.
Humaniora sebagai rumpun ilmu yang mempelajari munculnya berbagai tafsir atas
perilaku individu dan pengaruhnya terhadap gejala (interkasi-relasi) sosial umum yang
ada. Karena itulah menyebut humaniora sebagai rumpun ilmu sesungguhnya memberikan
kesempatan bagi masuknya segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia beserta
perilakunya ke dalam subject matter-nya Pengertian humaniora sendiri berasal dari
bahasa latin humanus, kemudian diserap ke bahasa inggris dengan kata the humanities
yang berarti manusiawi, berbudaya halus dan telah menunjukkan gejala persoalan yang
berhubungan dengan manusia. Disisi lain Encyclopedia of Britannica mengartikan the
humanities sebagai sejenis pengetahuan yang berkenaan dengan nilai kemanusiaan dan ekspresi
dari jiwa manusia.

III. Objek Studi Ilmu Keislaman dan Ilmu Sosial Humaniora


Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa yang menjadi objek kajian (studi) islam
atau cakupannya adalah semua hal yang membicarakan dan berhubungan dengan islam,
mulai dari tingkat wahyu berupa nash, hasil pemikiran ulama-ulama, kemudian sampai
pada level praktek yang dilakukan masyarakat muslim, seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid,
ilmu tasawuf, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah peradaban islam dan lain sebagainya.
Pendekatan dan metode yang digunakan sendiri tergantung pada level kajiannya. Untuk
tujuan ini perlu sedikit dituliskan sejarah perkembangan metode dan model kajian
keislaman.
Dapat disebut bahwa ada tiga model berfikir yang berkembang dalam khazanah
pemikiran umat manusia, dan sekaligus menjadi tolak ukur benar atau tidaknya sesuatu,
yakni:
1. Model > berfikir rasional
2. Model > befikir empirical
3. Model > berfikir intuitif (iirasional)

Model berfikir rasional berpendapat untuk menemukan dan menjadi tolak ukur
kebenaran menggunakan akal secara logis. Maka benar atau tidaknya sesuatu diukur
dengan rasionalitas akal. Adapun model berfikit emprikal berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah pengamatan dan pengalaman inderawi manusia. Sementara itu model
berfikir intuitif (irrasional) berpandangan bahwa kebenaran dapat digapai lewat
pertimbangan-pertimbangan emosional (mukashafah).

Disisi lain mengenai objek studi atau ruang lingkup yang dimiliki ilmu-ilmu sosial
sangatlah luas dan sampai saat ini para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Tidak
ada kesepakatan bulat mengenai batas-batas ilmu-ilmu sosial, Misalnya Wallerstein dan
Brown yang berbeda satu dengan yang lain. Wallersteinmengelompokkan ilmu-ilmu yang
masuk ruang lingkup ilmuilmu sosial adalah Sosiologi, Antropologi, Geografi, Ilmu
Ekonomi, Ilmu Sejarah, Psikologi, Hukum, dan Ilmu Politik. Namun,Brown memandang
bahwa paket ilmu sosial meliputi Sosiologi, Antropologi, Ilmu Ekonomi, Sejarah,
Demografi, Ilmu Politik, dan Psikologi.

Pengelompokan masing-masing disiplin ilmu di atas bukanlah harga mati. Artinya,


ilmu-ilmu di atas seringkali dikategorisasikan secara tumpang tindih antarsatu bidang
keilmuan dengan bidang keilmuan lainnya, misalnya saja dalam sejarah dan antropologis
budaya sebagai ilmu humaniora (humanity) dan ilmu sosial (social science). Belum lagi
pada hakikatnya antara satu ilmu dengan ilmu lainnya saling terkait dan tidak bisa berdiri
secara dikotomis.
Ruang lingkup dari kajian humaniora sendiri terdapat dalam pemaparan dimensi tiga
wujud oleh Koentjaraningrat, yaitu (1) wujud ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan
peraturan (sistem budaya); (2) wujud aktivitas berpola manusia dalam masyarakat (sistem
sosial); dan (3) wujud benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik). Artinya baik
humaniora ataupun ilmu sosial (dan budaya) sama-sama menjadikan manusia beserta
praktik kebudayaannya yang menghasilkan dinamika gejala sosial sebagai subject matter-
nya Karena kemiripan ini, humaniora dan ilmu sosial kerap disandingkan secara
bersamaan menjadi ilmu sosial kemanusiaan. Dalam khazanah intelektual Islam, ilmu
sosial kemanusiaan seperti itu seringkali diterjemahkan dengan istilah ilmu adab. Kata
‘adab’ menunjukkan makna “peradaban atau kebudayaan”, di mana fenomena insani
menjadi titik tolak setiap kajiannya.

IV. Paradigma Keislaman dan Ilmu Sosial Humaniora


A. Paradigma Keislaman
Perbincangan tentang paradigma selalu memunculkan definisi yang beragam.
Menurut Guba, Paradigma merupakan serangkaian keyakinan dasar yang
membimbing tindakan. Paradigma berurusan dengan prinsip-prinsip pertama, atau
prinsip dasar. Paradigma adalah konstruksi manusia, yang menentukan pandangan
dunia. Keyakinan-keyakinan ini tidak dapat ditetapkan dari sudut nilai kebenarannya
yang tertinggi.
Kemunculuan kajian-kajian ilmu pengetahuan dalam agama telah tercatat oleh
sejarahh, yang mengungkapkan fakta tentang kehidupan dan alam semesta. Desain
kajian Agama lebih jauh dan abstrak serta memberikan ketenangan hidup setelah
mati, sedang ilmu pengetahuan dan teknologi desainnya lebih pendek dan konkrit
untuk menghadapi kehidupan di dunia ini. Ilmu pengetahuan memperbincangkan
tentang pengetahuan, sedangkan Agama lebih kepada sebuah kepercayaan,
Pengetahuan dan kepercayaan adalah dua sikap yang berbeda dari keinsyafan
manusia, pelita ilmu terletak di otak manusia, sedang pelita Agama terletak di hati.
Dalam kehidupan masyaratkat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan
dari nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan, manusia
hanya sebagai penemu sumber itu kemudian merekayasakannya untuk dijadikan
sebagai instrument petunjuk dalam kehidupannya.
Cikal bakal konsep ilmu pengetahuan Islam adalah konsepkonsep kunci dalam
wahyu yang ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya
berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Imam Ghazali mengatakan bahwa
seluruh ilmu yang pernah, akan dan yang sedang ada kesemuanya terdapat dalam Al
Qur‟an, karena Al Qur‟an adalah firman-firman Allah Yang Maha Mengetahui.
Beliau mempersamakan antara Al Qur’an dengan sifat ilmu Tuhan yang mencakup
segala sesuatu.

B. Paradigma Ilmu Sosial dan Humaniora


Diskursus paradigma ilmu pengetahuan dan epistemology dalam sosiologi
menyajikan dua gagasan berbeda tentang posisi pengetahuan dan keteraturan sosial.
Pertama, pengetauan dideterminasi secara sosial. Pikiran ini bersumber dari Marx dan
Engels bahwa pikiran dan kesadaran adalah sebuah produk sosial (all human
knowledges are determined by the productive activities of society). Kedua,
pengetahuan membentuk keteraturan sosial. Aliran ini menjelaskan bahwa
pengetahuan bukan sekedar hasil akhir dari keteraturan sosial namun merupakan
kunci dalam mencipta dan berkomunikasi dalam keteraturan sosial.
Teori konstruksi sosial atas kenyataan (The Social Construction of Reality) Berger
merupakan perbincangan mengenai bagaimana masyarakat membangun pengetahuan
dan bagaimana mengkomunikasikan dengan sesama sehinga terjadi keteratutan sosial.
Poloma dalam bukunya Contemporary Sociology Theory menjelaskan bahwa
sosiologi Berger sangat menekankan pada kebebasan dan kreativitas individu dalam
memaknai kehidupan di dunia ini.
Dalam ilmu sosial atau sosiologi, paling tidak terdapat tiga paradigma besar yaitu,
paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma prilaku sosial. Masing-masing
paradigma tersebut mempunyai ke keunikan, berikut ini penjelasan singkat mengenai
tiga paradigma tersebut:
1. Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial adalah sesuatu yang berada di luar individu dan bersifat memaksa
terhadapnya. Fakta sosial dibedakan atas dua hal yakni kesatuan yang bersifat
material (material entity) yaitu barang sesuatu yang nyata ada, sedangkan
kesatuan yang bersifat non-material (non-material entity) yakni barang sesuatu
yang dianggap ada. Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni: struktur sosial dan
pranata sosial, yang termasuk dalam paradigma ini adalah teori fungsionalisme-
struktural dan teori konflik. Menurut teori fungsionalisme structural masyarakat
dilihat sebagai hubungan yang seimbang. Sedangkan itu menurut teori konflik,
masyarakat berada dalam tingkatan yang berbeda-beda dan dalam kondisi konflik
satu sama lain.
2. Definisi Sosial
Paradigma definisi sosial memahami manusia sebagai orang yang aktif
menciptakan kehidupan sosialnya sendiri. Penganut paradigma definisi sosial
mengarahkan perhatian kepada bagaimana caranya manusia mengartikan
kehidupan sosialnya atau bagaimana caranya mereka membentuk kehidupan sosial
yang nyata. Dalam penelitiannya pengikut paradigma ini banyak tertarik kepada
proses sosial yang mengalir dari pendefinisian sosial oleh individu. Terdapat tiga
teori utama dalam paradigm definisi sosial, yaitu teori aksi sosial, teori
interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Persoalan ilmu sosial dalam paradigm ini adalah perilaku dan perulangannya
(contingencies of reinforcement). Paradigma ini memusatkan perhatian kepada
tingkahlaku individu yang berlangsung dalam lingkungan yang menimbulkan
akibat atau perubahan terhadap tingkahlaku selanjutnya. Paradigma perilaku sosial
memahami tingkahlaku manusia sebagai sesuatu yang sangat penting. Konsep
seperti pemikiran, struktur sosial dan pranata sosial menurut paradigma ini dapat
mengalihkan perhatian kita dari tingkahlaku manusia itu.

Humaniora bertujuan untuk memajukan manusia sehingga mencapai kemanusiaan


yang sesungguhnya. Pandangan humanitas mengajarkan bahwa ada suatu "kesatuan
dan kesamaan" di antara manusia. Perbedaan-perbedaan antara ras ataupun bangsa
tidak berarti dan akan lenyap tenggelam dalam suatu masyarakat dunia yang tidak
mengenal perang, kekerasan, serta kekejaman. Semua manusia adalah sama, tiap jiwa
adalah bagian dari api ketuhanan. Tidak ada perbedaan antara majikan dan buruh,
kaya dan miskin, laki-Iaki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara, karena
mereka harus saling cinta-mencintai.

Humaniora menyiapkan manusia berpikir luwes, lincah dengan segala visi dan
persepsi untuk perkembangan dan penyesuaian. Pemikirannya adalah pemikiran
dengan cara bahasa yang berkembang dari dalam dan tahu beradaptasi dengan
lingkungan dan tuntutan zaman.
V. Kesimpulan
Pada masa modern yang menghendaki adanya penyatuan berbagai macam
keilmuawan yang memilki dimensi yang berbeda. Ilmu keislaman yang berdimensi
ketuhanan diharapkan dapat berintegrasi dengan ilmu-ilmu eksakta maupun sosial-
humaniora yang berdimensi kemanusiaan. Sikap ideal terhadap keduanya dengan
mendialogkan, mempertemukan, mensintesiskan agar ditemukan pemikiran-pemikiran
baru solutif atas beragam permasalahan. Diharapkan integrasi dari ilmu-ilmu sosial yang
mencakupi berbagai macam ilmu yang ada seperti Sosiologi, Antropologi, Geografi, Ilmu
sejarah, Ekonomi, Psikologi, maupun Ilmu Politik dengan ilmu-ilmu keislaman yang
mencakupi semua hal yang membicarakan tentang islam, seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid,
ilmu tasawuf, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah peradaban islam, dan lainnya dapat
melahirkan makna-makna kontekstual yang siap diterapkan dalam berbagai masa dan
tempat dimanapun umat islam berada.
Cikal bakal konsep ilmu pengetahuan Islam adalah konsepkonsep kunci dalam wahyu
yang ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam
bentuk peradaban yang kokoh. Desain agama lebih jauh dan abstrak serta memberikan
ketenangan hidup setelah mati, sedang ilmu dan teknologi desainnya lebih pendek dan
konkrit untuk menghadapi kehidupan di dunia ini.
Dalam ilmu sosial atau sosiologi, paling tidak terdapat tiga paradigma besar yaitu,
paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma prilaku sosial. Selanjutnya,
humaniora bertujuan untuk memajukan manusia sehingga mencapai kemanusiaan yang
sesungguhnya, menyiapkan manusia berpikir luwes, lincah dengan segala visi dan
persepsi untuk perkembangan dan penyesuaian.

Daftar Pustaka

Afwadzi, B. (2016). Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi. Jurnal
Living Hadis, 1(1), 101. https://doi.org/10.14421/livinghadis.2016.1070
Fathul Mufid. (2013). Integrasi Ilmu-Ilmu Islam. Equilibrium, 1(1), 55–71.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/200
Humaedi, M. A. (2012). Pemikiran Islam Dalam Jejak Kajian Humaniora. Al-Tahrir,
12(2), 397–415.
http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/download/65/66
Majduddin, M. (2018). PARADIGMA AGAMA, SOSIAL DAN HUMANIORA. Jurnal
Studi Islam, 01(01), 121.
Nasution, K. (2007). Pengantar Studi Islam (A. Aini (ed.)). AC AdeMIA+TAZZAFA
Menden.
Thohir, A. (2014). Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-
Humaniora. Penerbit Marja.

Anda mungkin juga menyukai