Anda di halaman 1dari 9

ILMU SOSIAL (SOSIOLOGI ANTROPOLOGI)

Atil Taulan Nuari


Hartati
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN) Kerinci
atiltaulannuari@gmail.com

Abstract

Tujuan makalah ini adalah untuk mendiskusikan wawasan islam dan sains tentang ilmu
sosial. Wawasan islam adalah pemahaman dan pengetahuan serta mendalam tentang
ajaran-ajaran Islam, sedangkan Sains (ilmu umum) adalah ilmu yang berbasiskan
penalaran manusia berdasarkan data yang empiris melalui penelitian. Ilmu sosial adalah
salah satu cabang ilmu pengetahuan yang dikhususkan untuk mempelajari masyarakat dan
hubungan antar individu dalam masyarakat tersebut. Keduanya memilikih wilayah masing-
masng, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode
penelitian, kriteria kebenaran dan juga peran yang dimainkan. Itulah pola pikir “Dikhotomi
ilmu” yang masih pola pikir kebanyakan umat Islam dewasa ini. Masih banyak umat Islam
yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya masing-masing, karena
bidang sains mengandalkan data secara empiris, sementara agama mengandalkan dogma
yang bersifat gaib dan tidak perlu didasarkan pada data empiris, melainkan didasarkan
kepada “iman” atau kepercayaan.
Keywords: ilmu sosial, sosiologi, antropologi.

PENDAHULUAN

Masa modern menghendaki adanya penyatuan berbagai macam keilmuan yang mempunyai
dimensi yang berbeda. Ilmu agama yang merupakan ilmu-ilmu berdimensi ketuhanan diharapkan
dapat berintegrasi dengan ilmu-ilmu ekstata maupun sosial humaniora yang berdimensi
kemanusiaan. Dimensi ketuhanan secara ontologis bersifat abstrak, yang kemudian
dimanifestasikan dalam wujud teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Masih akrab di telinga kita istilah
dikotomi ilmu agama dan sains (ilmu umum). ilmu Islam adalah ilmu yang berbasiskan wahyu,
hadist nabi, dan ijtihad para ulama. Sedangkan sains (ilmu umum) adalah ilmu yang berbasiskan
penalaran manusia berdasarkan data empiris melalui penelitian, seperti matematika, astronomi,
biologi, kimia, kedokteran, antropologi, ekonomi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.
Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi
objek formal-material, metode penelitian, kriterisa kebenaran, dan juga peran yang dimainkan.

Paradigma yang menyatukan dua jalur keilmuan yang memiliki dimensi berbeda ini tidak
berakibat mengecilkan peran tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teralineasi
dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Berpijak pada cara
berfikir di atas tulisan ini hendak mendiskusikan islam dan ilmu sosial. Dalam konteks ini ilmu
sosial akan dibahas lebih mendalam tentang sosilogi antropologi yang didudukkan sebagai objek
formalnya, dan wawasan islam hanya sebagai objek materialnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ilmu sosial dan ruang lingkupnya

Secara kebahasaan ilmu sosial terdiri atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam
bahasa inggris diredaksikan dengan science yang berasal dari bahasa latin scientia mempunyai arti
pengetahuan. The Liang Gie meyebutkan bahwa ilmu dipandang sebagai kumpulan pengetahuan
sistematis, metode penelitian, dan aktifitas penelitian. Sementara itu sosial yang dalam bahasa
inggris dikatakan dengan social memiliki banyak arti. Soekanto menuturkan bahwa istilah sosial
dalam ilmu sosial sendiri merujuk pada objeknya, yaitu masyarakat. Dengan demikian dari
pemaknaan secara leksikal tersebut, bisa disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu
pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat. Secara lebih jauh, Ralf Dahrendorf berpendapat
bahwa ilmu sosial merupakan suatu konsep yang ambsius untuk mendefinisikan seperangkat
disiplun akademik yang memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia.
Baginya, bentuk tunggal ilmu sosial menunjukkan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini
hanya diklaim oleh beberapa orang saja, dan ini kurang tepat. Namun bentuk pluralnya, yaitu ilmu-
ilmu sosial merupakan bentuk yang lebih tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup Sosiologi, Antropoligi,
Psikologi, Ilmu Ekonomi, Geografi, Ilmu Politik, bahkan Ilmu Sejarah, walaupun di satu sisi ia
termasuk ilmu humaniora.

Karakteristik yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu kealaman, terlebih
lagi kaidah-kaidah dasarnya. Bagi Soekanto, ilmu-ilmu sosial belumlah memiliki kaidah-kaidah
dan dalil-dalil yang diterima oleh kebanyakan masyarakat, sebab ilmu ini sendiri relatif belum lama
berkembang, sedangkan yang menjadi objeknya adalah masyarakat yang senantiasa berubah-ubah.
Oleh karena itu, hingga saat ini belum dapat diselidiki dan dianalisis secara tuntas hubungan antara
unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat secara lebih mendalam. Kenyataan ini bertolak
belakang dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama mengalami perkembangan, sehingga
mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, yang juga
disebabkan oleh objeknya bukan manusia.

Ilmu-ilmu sosial tidak pernah mengenal kebenaran pasti. Hal ini juga yang membedakannya
dengan ilmu-ilmu alam (natural Sciences). Ilmu-ilmu alam menuntut ukuran matematis yang pasti
untuk menghasilkan sebuah pengetahuan objektif sebagai kebenaran tunggal. Ilmu-ilmu alam lebih
melihat dunia berdasarkan kacamata oposisi biner: hitam-putih, atau benar-salah. Namun, ilmu-
ilmu sosial tidak pernah mengenal kebenaran tunggal. Ia melihat dunia dengan kacamata yang
berwarna-warni: merah, putih, hitam, hijau, kuning, biru, dan berbagai warna lainnya. Sebuah
contoh sederhana yang ada dimasyarakat terasa sangat membantu dalam memahami perspektif
kedua jenis ilmu ini, jika ilmu-ilmu alam diberikan soal: satu ditambah satu, maka jawabannya
pasti dua, tetapi ilmu-ilmu sosial menjawabnya dengan jawaban yang tidak pasti (relatif), bisa satu,
dua, empat, dan lain sebagainya.

Ruang lingkup yang dimiliki ilmu-ilmu sosial sangat luas dan sampai saat ini para ahli
berbeda-beda pendapat atasnya. Tidak ada kesepakatan bulat mengenai batas-batas ilmu-ilmu
sosial. Misalnya Wallerstein dan Brown yang berbeda satu dengan yang lain. Wallerstein
mengelompokkan ilmu-ilmu yang masuk ruang lingkup ilmu-ilmu sosial adalah Sosiologi,
Antropologi, Geografi, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sejarah, Psikologi, Hukum dan Ilmu Politik. Namun,
Brown memandang bahwa paket ilmu sosial meliputi Sosiologi, Antropologi, Ilmu Ekonomi,
Sejarah, Demografi,Ilmu Politik, dan Psikologi.
Supardan mencantumkan beberapa cabang ilmu yang masuk dalam bidang ilmu-ilmu sosial
yakni Soiologi, Antropologi, Ilmu Geografi, Ilmu Sejarah, Ilmu Ekonomi, Psikologi, dan Ilmu
Politik. Sosiologi secara mudahnya dapat dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang
masyarakat. Ia merupakan displin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala
sosial, organisasi sosial, proses sosial, dan juga perubahan sosial. Saudara dekat Sosiologi, yaitu
Antropoligi dapat disebutkan sebagai ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ia berusaha mencapai
pengertian atau pemahaman tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik,
masyarakat, dan kebudayaannya. Adapun ilmu Geografi mempelajari tentang bumi yang meliputi
segala gejala dan prosesnya, baik itu gejala dan proses alamnya maupun gejala dan kehidupannya,
dan tidak hanya berkaitan dengan fisik alamiah bumi semata. Ilmu Sejarah mendiskusikan
mengenai penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, dan cerita yang benar-benar terjadi
pada masa lampau. Ilmu Ekonomi merupakan suatu disiplin tentang aspek-aspek ekonomi dan
tingkah laku manusia. Sementara itu, Psikologi merupakan studi ilmiah mengenai proses perilaku
dan proses-proses mental. Terakhir, Ilmu Politik adalah displin akademis yang dikhususkan pada
diskusi mengenai politik dan kekuasaan (Afwadzi, 2016, hal: 103-105).

Sumber Sains Islam

Ilmu islam adalah bangunan keilmuan biasa, karena ia disusun dan dirumuskan oleh ilmuan
agama, ulama, fuqaha, mutakallimin, mitasawwifin, mufassirin, muhadditsin, dan cerdik pandai
pada era yang lalu untuk menjawab tantanngan kemanusiaan dan keagamaan saat itu, seperti halnya
ilmu-ilmu lain. Ilmu islam memiliki empat sumber yang jika digali secara ilmiah, semuanya akan
melahirkan ilmu islam (Mufid, 2013, hal: 57-62), yaitu:

1. Al-Qur’an dan Sunnah

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ilmu-ilmu Islam yang di dalamnya ditemukan
unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk membentuk keberagaman, konsep, bahkan teori yang
dapat difungsikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat. Mengingat
sifatnya sebagai unsur esensial, maka di dalam Al-Qur’an dan Sunnah beberapa ilmu sosial
maupun ilmu alam hanya ditemukan unsur-unsur dasar baik dalam bentuk konsep besar atau teori
besar (grand concept or grand theory).

Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan


sebagai cara berfikir atau metode memperoleh ilmu yang dinamakan paradigm Al-Qur’an.
Paradigma Al-Qur’an untuk perumusan teori adalah pandangan untun menjadikan postulat normatif
agama (Al-Qur’an dan Sunnah) menjadi teori untuk mendapatkan ilmu. Ilmu didapatkan melalui
konstruksi pengalaman sehari-hari secara terorganisir dan sistematik. Oleh karena itu, norma
agama sebagai pengalaman manusia juga logis dapat dikontruksikan menjadi metode memperoleh
ilmu. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasar pada paradigma Al-
Qur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kegiatan itu mungkin
akan menjadi tambahan baru lagi munculnya ilmu-ilmu alternatif.

2. Alam Semesta (Afaq)

Al-Qur’an menganjurkan untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, lautan, dan
sebagainya, agar manusia mendapat manfaat ganda, yakni menyadari kebesaran dan keagungan
Allah dengan ini manusia akan lebih beriman dan mempunyai pedoman hidup dalam menjalankan
segala aktifitasnya, serta memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi
dimana dia hidup. Tuhan telah memilih manusia sebagai khalifah di bumi dengann dibekali indra,
akal, hati, dan pedoman wahyu (Al-Qur’an) dan penjelasannya (As-Sunnah). Al-Qur’an
menginsyaratkan ilmu-ilmu kealaman yang kini telah bermunculan dan berkembang, antara lain,
Kosmologi, Astronomi, Fisika, Matematikan, Geografi, dan Zoologi.

3. Diri manusia (Anfus)

Manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai
perangkat kasar dan perangkat lunak Allah siapkan untuk tujuan itu. Dalam islam, akal merupakan
kunci penugasan manusia sebagai khalifah di muka bumi, tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani
dengan hukum-hukum syariat. Dari diri manusia (Anfus) sebagai alat mikro, akan melahirkan
berbagai ilmu sosial maupun humaniora setelah dilakukan penelitian, observasi, dan eksperimen
baik dari aspek fisik, psikis maupun sosiologis. Al-Qur’an telah menginformasikan bahwa, di
antara tanda-tanda kebesaran Allah Swt. yang akan ditampakkan kepada manusia adalah konstruksi
adlam semesta (Afaq) dan diri manusia itu sendiri (Anfus).

4. Sejarah (Qashash)

Peristiwa atau kejadian masa silam tersebut merupakan catatan yang diabadikan dalam
laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas. Sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari
rekaman peristiwa atau kejadian masa lampau pada riil invividu dan masyarakat, baik dalam aspek
politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi dalamnya, sejarah
merupakan suatu penalaran kritis dan cermat untuk mencari kebenaran dengan suatu penjelasan
yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Ada dua unsur pokok yang
dihasilkan oleh analisis sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi. Kedua, Rekontruksi
proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikian, manusia dapat dipahami
secara kesejerahan. Melalui analisis sejarah pula diketahui bahwa seorang tokoh dalam berbuat
atau berfikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan dan tekanan-tekanan yang bukan muncul dari
dirinya sendiri. Kita dapat melihat bagaimana tindakan-tindakannya dipengatuhi, tidak cuma oleh
dorongan internak yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam
dirinya, tetapi juga dalam keadaan eksternal.

Sosiologi dan Antropologi

Pengertian Sosiologi dan Antropologi

Istilah sosiologi menurut Auguste Comte berasal dari bahasa Yunani (latin). Sosiologi berasal
dari kata Socius yang artinya teman atau sesama dan logos berarti cerita. Jadi menurut arti katanya
sosiologi berarti cerita tentang teman atau kawan (masyarakat). Sebagai ilmu, sosiologi merupakan
sebuah pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol
secara kritis oleh orang lain. Sosiologi lahir sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat,
muncul pada abad ke 19, yang dipopulerkan oleh seorang filosof Prancis yang bernama Auguste
Comte (1798-1857). Di dalam bukunya Course De Philosophie Positive, ia menjelaskan bahwa
untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu, yang kemudian akan sampai
pada tahap akhir yaitu tahap Ilmiah. Dengan demikian, Comte merintis upaya penelitian terhadap
masyarakat yang selama berabad-abad sebelumnya dianggap mustahil. Atas jasanya
memperkenalkan istilah sosiologi maka Comte disebut sebagai Bapak sosiologi. Ia mengkaji
sosiologi secara sistematis, sehingga sosiologi terlepas dari ilmu filsafat dan berdiri sendiri sejak
pertengahan abad ke 19 (Puspitasari, 2018, hal: 1).

Dalam kata pengantar buku Encyclopedia Of Anthropology, Galdikas (2005) menyatakan bahwa
“Anthropology is the scientific study of human kind’s origin, biology, and culture”. Artinya secara
bebas yaitu, Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal usul, biologis, dan kebudayaan
manusia. Bidang ilmu ini sangat luas terutama disebabkan adanya jarak (gap) yang luas antara para
ilmuan yang memperdalam kebudayaan dengan asal mula manusia. Defenisi berbeda disampaikan
oleh Birx (2005) dalam buku yang sama. Ia mengatakan “Anthropology is the study of humankind
in terms of scientific inquiry dan logical presentation” diterjemahkan dengan bebas Antropologi
adalah ilmu tentang manusia yang disajikan dengan metode ilmiah dan pemikiran yang logis.
Seorang ahli antropologi memandang makhluk hidup merupakan produk yang dinamis dan
kompleks, sebagai hasil dari informasi genetic bawaan dan perilaku sosial yang dialami. Dengan
demikian, antropologi merupakan “jembatan” antara ilmu pengetahuan alam dengan sosial yang
berhubungan dengan manusia (Heryana, 2018, hal: 2-3).

Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: Anthropos artinya “orang” atau “manusia”, dan
Logos artinya “ilmu/nalar”. Antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam
refleksi yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat
manusia secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan hidup yang
lebih bermartabat. Antropologi modern meneruskan apa yang telah dimulai oleh strategi tradisional
dari usaha antropologi pada masa-masa lampau. Yang terasa sepanjang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya, ilmu antropologi berupaya untuk membangun sebagai kajian ilmiah
tentang manusia dalam bingkai kehidupan sosial dengan membuat perbandingan antra sosialitas
yang satu dengan yang lain. (Edhie Rachmad et al., 2022, hal: 1).

Ciri-Ciri Dan Perbedaan Sosiologi Antropologi

sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M.
Johnson yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, mempunyai ciri-ciri (Puspitasari, 2018, hal: 2),
sebagai berikut:

1. Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat
spekulasi (menduga-duga).
2. Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret
dilapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun
secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
3. Komulatif, yaitu tersusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki,
diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
4. Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah
tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.

Objek kajian sosiologi adalah masyarakat, masyarakat selalu berkebudayaan. Masyarakat dan
kebudayaan tidak sama, tetapi berhubungan sangat erat. Masyarakat menjadi kajian pokok
sosiologi dan kebudayaan menjadi pokok antropologi. Jika diibaratkan sosiologi merupakan tanah
untuk tumbuhnya kebudayaan., kebudayaan selalu bercorak sesuai dengan masyarakat. Masyarakat
berhubungan dengan susunan serta proses hubungan antara manusia dan golongan. Adapun
kebudayaan berhubungan dengan isi/corak dari hubungan antara manusia dan golongan
(Puspitasari, 2018, hal: 2). Dari segi perkembangannya sosiologi bersumber dari filsafat sedangkan
antropologi bersumber dari entografi tempo dulu yang ditulis oleh musafir dari eropa, misionaris,
serta pegawai pemerintah jajahan. Metode penelitiannya pun berbeda sosiologi cenderung
menggunakan metode kuantitatif dengan instrument utamanya survei dan statistic, antropologi
menggunakan metode kualitatif dengan instrument wawancara, pengamatan, dan deskripsi. Obyek
telaah sosiologi cenderung pada masyarakat industry dan modern, meskipun ada juga sosiologi
pedesaan, sedangkan antropologi cenderung pada masyarakat petani dan tradisional, meskipun ada
juga antropologi perkotaan (Fernandez, 2021, hal: 4).

Ruang Lingkup Atau Objek Kajian Sosiologi Antropologi


Objek kajian sosiologi sebagaimana kedudukannya sebagai ilmu sosial adalah masyarakat
dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia tersebut
dalam masyarakat. Dengan demikian, sosiologi pada dasarnya mempelajari masyarakat dan
perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Dengan kata lain yang
menjadi kajian sosiologi adalah (Buddyarti, 2003, hal: 8), sebagai berikut:

1. Hubungan timbal balik antara manusia dengan manusai lainnya.


2. Hubungan antara individu dengan kelompok.
3. Hubungan antara kelompok satu dengan kelompok lain.
4. Sifat-sifat dari kelompok-kelompok sosial bermacam-macam coraknya.

Meyer F.Nimkoff menyebutkan bahwa studi sosiologi ada tujuh objek besar, yaitu sebagai
berikut:

1. Faktor-faktor dalam kehidupan manusia.


2. Kebudayaan.
3. Human Nature (sifat hakiki manusia).
4. Perilaku kolektif.
5. Persekutuan hidup.
6. Lembaga-lembaga sosial (lembaga perkawinan, pemerintah, keagamaan, dan lainnya).
7. Social Change (perubahan sosial).

Ruang lingkup sosiologi mencakup pengetahuan dasar pengkajian kemasyarakatan (Buddyarti,


2003, hal 9), yang meliputi:

1. Kedudukan dan peran sosial individu dalam keluarga, kelompok sosial, dan masyarakat.
2. Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang mendasari atau mempengaruhi sikap dan perilaku
anggota masyarakat dalam melakukan hubungan sosial.
3. Masyarakat dan kebudayaan daerah sebagai submasyarakat serta kebudayaan nasional
Indonesia.
4. Perubahan sosial budaya yang terus-menerus berlangsung yang disebabkan oleh faktor-
faktor internal maupun eksternal.
5. Masalah-masalah sosial budaya yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Objek kajian Antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan, dan
perilakunya. Ilmu ini bertujuan untuk mempelajari manusia dalam masyarakat suku bangsa,
berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri (Abidin, 2017, hal: 13):

1. Antropologi Fisik

Pertanyaan yang mengusik kita semua terutama para ilmuan sosial dan para antropolog adalah
bagaimana asal usul munculnya manusia dan perkembangannya kemudian, dan apa sebabnya, serta
bagaimana manusia masa sekarang memiliki perbedaan ciri-ciri fisik yang meliputi perbedaan
struktur tubuh (tinggi pendek), warna kulit (hitam, putih, kuning dan coklat) serta bentuk dan
warna rambut (kejur dan keriting, hitam dan coklat kemerah-merahan). Manusia secara fisik atau
ditinjau dari aspek biologisnya meliputi asal usulnya, perkembangan evolusi organic, dan struktur
tubuh yang dinamakan ras. Antropologi fisik memfokuskan perhatian pada manusia dalam bidang
perkembangan secara biologi.

Antopologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang melacak


perkembangan manusia menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai
jenis (Species). Keistimewaan apapun yang dianggap melekat ada pada dirinya yang dimiliki
manusia, mereka digolongkan dalam “binatang menyusui” khusunya Primata. Dengan demikian
para antropolog umumnya mempunyai anggapan bahwa nenek moyang manusia itu pada dasarnya
adalah sama dengan primata lainnya, khususnya kera dan monyet. Melalui aktivitas analisinya yang
mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatannya pada primata-primata yang hidup, para ahli
antropologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana,
kapan, dan mengapa kita menjadi makhluk seperti sekarang ini (Abidin, 2017, hal: 6).

a. Kajian untuk menjelaskan manusia awal yang kini sudah punah dan hubungan manusia
dengan makhluk lain dalam variasi keturunannya (Paleontologi Primat).
b. Proses perubahan manusia dari tipe lain yang berkembang menjadi jenis manusia
(Evolusi manusia).
c. Mengkaji tentang teknik-teknik pengukuran tubuh manusia untuk membedakan
struktur anatomi antara satu ras manusia dengan ras manusia lainnya (Antropomentri).
d. Studi tentang Verietes (ragam) manusia yang masih hidup dan tentang perbedaan seks
dan variasi individu (Samatologi).
e. Kajian tentang penggolongan manusia dalam kelompok ras, sejarah ras dan
pencampuran ras (Antropologi Rasial).

2. Antropologi Budaya

Antropologi budaya mengkaji manusia dan hasil kerja struktur organ tubuhnya baik yang
bersifat materil maupun yang bersifat non materil. Yang bersifat materil berupa benda karya
ciptaannya, sedangkan non materil berupa gagasan, ide pemikiran, dan relasi sosial yang ditumbuh
kembangkannya. Optimalisasi kerja tubuh manusia dalam bidang kebudayaan menghasilkan
sekurang-kurangnya tiga bidang, yaitu bidang penyebaran bahasa, bidang penyebaran kebudayaan,
dan bidang kebudayaan etnik/local.

Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan menusia ataupun cara


hidupnya dalam masyarakat. Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik
sosial, bentuk-bentuk eksresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan dan diuji
sebelum digunakan oleh masyarakat manusia. Biasanya istilah Antropologi budaya dikaitkan
dengan tradisi riset dan penulisan Antropologi di Amerika. Pada awal abad ke 20, Franz Boas
(1940) mengajukan tindakan kritisnya terhadap asumsi-asumsi Antropologi Evolusioner serta
implikasinya yang cenderung bersifat rasial(Ras). Dalam hal itu, Boas menyoroti keberpihakan
komparasi dan generalisasi Antropologi tradisional yang dinilainya kurang tepat, selanjutnya ia
mengembangkan aliran baru yang sering disebut “Antropologi Boas”. Dalam hal ini Boas
merumuskan konsep kebudayaan yang bersifat “Relatif, Plural, Holistik” (Abidin, 2017, hal: 7).

Saat ini kajian Antropologi budaya lebih menekankan pada empat aspek yang terususun, yakni:
pertama, pertimbangan politik, di mana para Antropolog budaya sering terjebak oleh kepentingan-
kepentingan politik dan membiarkan dalam penulisannya masih terpaku oleh metode-metode lama
yang sudah terbukti kurang layak untuk menyusun sebuah karya ilmiah. Kedua, menyangkut
hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Di mana jika pada awalnya bertumpu pada asumsi-
asumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing anggota masyarakat terhadap kebudayaannya,
sedangkan pada masa kini dengan munculnya karya Bourdieu (1977) dan Foucault (1977-1978)
kian menekankan penggunaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan tertentu di
masyarakat. Ketiga,menyangkut bahasa dalam Antropologi budaya, di mana terjadi pergeseran
makna kebudayaan dari Homogenitas ke Heterogenitas yang menekankan peran bahasa sebagai
sistem formal abstraksi-abstraksi kategori budaya. Keempat, preferensi dan pemikiran individual di
mana terjadi hubungan antara jati diri dan emosi, sebab antara kepribadian dan kebudayaan
memiliki keterkaitan yang erat (Abidin, 2017, hal: 8).
Seperti yang telah dikemukakan di atas cabang Antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi
menjadi tiga bagian (Abidin, 2017, hal: 10-12), yakni:

a. Arkeologi, adalah cabang Antropologi Kebudayaan yang mempelajari benda-benda


peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan serta menerangkan perilaku
manusia, karena dalam peninggalan-peninggalan lama itulah terpantul ekspresi
kebudayaannya. Namun demikian, terdapat pula para ahli Antropologi yang
memusatkan perhatiannya kepada benda-benda peninggalan dalam hubungannya
dengan masa kini. Salah satu contoh yang menarik adalah penelitian David H. Thomas
(1979: 416-4621) yang terkenal dengan Garbage Project atau “Proyek Sampah” dari
Universitas Arizona. Thomas, meneliti sampah-sampah rumah tangga yang dibuang di
sekitar kota Tucson, dan ternyata dari sampah-sampah tersebut menghasilkan banyak
informasi tentang aktivitas sosial masyarakatnya. Informasi yang paling menarik dalam
proyek ini adalah ketika harga daging mencapai tingkat tertinggi tahun 1973, ironisnya
kuantitas sampah daging, juga ikut naik. Kemudian ketika harga gula mencapai tingkat
kenaikan tertinggi tahun 1975, sampah dari gula juga melambung naik. Jelas hal ini
bertentangan dengan akal sehat (common sense) maupun teori ekonomi yang sering
hanya menggunakan survey dengan teknik wawancara dapat meleset jauh.
b. Antropologi Linguistik, seperti yang dikatakan Ernest Cassirer (1951:32) bahwa
manusia adalah makhluk yang paling mahir dalam menggunakan simbol-simbol,
sehingga manusia dapat disebut “Homo Symbolicum”. Karena itulah manusia dapat
berbahasa, berbicara, melakukan gerakan-gerakan lainnya yang banyak dilakukan oleh
makhluk-makhluk lain yang serupa dengan manusia. Akan tetapi, hanya manusia yang
dapat mengembangkan sistem komunikasi lambang/symbol yang begitu kompleks
karena manusia memang memiliki kemampuan bernalar. Di sinilah Antropologi
Linguistik berperan. Ia merupakan deskripsi sesuatu bahasa (cara membentuk kalimat
atau mengubah kata kerja) maupun sejarah bahasa yang digunakan (perkembangan
bahasa dan saling mempengaruhi sepanjang waktu). Dari kedua pendekatan ini
menghasilkan informasi yang berharga, tidak hanya mengenai cara orang
berkomunikasi, akan tetapi juga tentang bagaimana memahami dunia luar. Bahasa
sunda misalnya mengenal bentuk jamak seperti kata “damang” karena jamak menjadi
“daramang”, kata “sae” menjadi “sarae”, kata “angkat” menjadi “arangkat”, dan
sebagainya.
c. Etnologi, pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya pada
kebudayaan-kebudayaan zaman sekarang. Dan telaahannya pun terpusat pada perilaku
manusianya, sebagaimana yang dapat disaksikan langsung, dialami, serta didiskusikan
dengan pendukung kebudayaannya. Dengan demikian etnologi ini mirip dengan
Arkheologi, bedanya dalam etnologi tentang kekinian yang dialami dalam kehidupan
sekarang, sedangkan erkeologi tentang kelampauan yang sangat klasik. Seorang ahli
enologi maupun etnografi mesti terjun ke lapangan serta hidup ditengah-tengah mereka
untuk mengamati kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dari penggunaan bahasa
mereka dan tradisinya, seorang penulis etnografi berusaha menjadi “pengamat tang
terlibat” jauh lebih baik dari pada ahli “antropologi di belakang meja” atau Armchair
Antropologist.

SIMPULAN DAN SARAN

dua ilmu yang berbeda pada dasarnya tidak untuk dipisahkan satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, K. (2017). Pengantar Sosiologi & Antropologi. In S. Nur (Ed.), Badan Penerbit Universita
Negeri Makssar (Cetakan Pe). Badan Penerbit Universita Negeri Makssar.

Afwadzi, B. (2016). MEMBANGUN INTEGRASI ILMU-ILMU. Living Hadis, 1(1), 102–128.

Buddyarti, G. (2003). Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi. In Sumartono (Ed.),


https://www.academia.edu/16974813/Pengertian_dan_Ruang_Lingkup_Sosiologi (pp. 1–22).
https://www.academia.edu/16974813/Pengertian_dan_Ruang_Lingkup_Sosiologi

Edhie Rachmad, Y., Mellina Tobing, S., Johannes Johny Koynja, M., Rianto, M., Nina Yuliana,
M., & Juliana Mangngi, Sp. (2022). Pengantar Antropologi (S. S. Atmodjo (ed.); 1st ed., pp.
1–197). Eureka Media aksara.

Fernandez, D. (2021). Sosiologi & Antropologi. Genetika, 1–199.

Heryana, A. (2018). Antropologi dan Sosiologi : Ruang Lingkup dan Sudut Pandang. 1–9.

Mufid, F. (2013). INTEGRASI ILMU-ILMU ISLAM. Equilibrium, 1(1), 55–71.

Puspitasari, R. (2018). Materi sosiologi antropologi konsep dasar sosiologi antropologi. Journal of
Chemical Information and Modeling, 1–8. https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/
Pertemuan_2CG0180951.pdf&ved=2ahUKEwjNibXPt8brAhUA73MBHZ_zCXIQFjABegQI
BBAB&usg=AOvVaw12ARxbgNvRna3nOU5CWBtx

Anda mungkin juga menyukai