Anda di halaman 1dari 18

SOSIOLOGI AGAMA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Agama


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani.

DISUSUN OLEH :
1. Muhammad Aminullah ( 1220510006 )
2. Nablurrahman Annibras ( 1220510021 )
3. Mokhamad Sukron ( 1220510025 )

PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT


KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN AL-HADIS (SQH)
PROGRAM PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
2

A. Pendahuluan

Secara sederhana sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang
saling berhubungan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena dapat dianalisa dengan menghadirkan
faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan tersebut, mobilitas sosial serta keyakinan-
keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan epistemologinya, sosiologi
agama di dunia Barat merupakan cabang dari ilmu-ilmu sosial (sosiologi) yang lahir sesudah
perkembangan ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu, pada awal kemunculan sosiologi agama
karakteristiknya sebagai ilmu pengetahuan sosial sama dengan sosilogi. Kesamaan karakteristik
tersebut terletak pada pendekatan empirisme yang digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara agama dan masyarakat sebagai fakta sosial yang bersifat mekanistik (hukum kausalitas).
Di Dunia Islam, sosiologi agama sebagai suatu pendekatan ilmu pengetahuan Islam (dirâsah
Islâmiyah), sebenarnya sudah dirintis oleh Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya Muqadimah.
Ia telah menganalisis secara empiris sebab-sebab atau hukum-hukum sejarah sosial keruntuhan
sebuah peradaban yang dibangun masyarakat Islam di masa lampau, khususnya di Spanyol dan
Afrika utara. Begitu pula Ibnu Jarir al-Thabari dalam bukunya Tarikh al-Umam wa al-Muluk.1
Dalam beberapa dekade terakhir, studi Islam (Islamic studies) dan penelitian sosial
keagamaan pada umumnya, memasuki babak baru seiring dengan berkembangnya beragama
problem sosial kemasyarakatan. Kompleksitas persoalan tersebut mendorong hadirnya beragam
pendekatan bahkan tawaran paradigma. Hampir mustahil jika pemecahan terhadap kompleksitas
persoalan hanya mencukupkan dengan perspektif tunggal, misalnya dengan pendeklatan normatif
tekstual semata atau paradigma lama.
Dalam konteks kekinian, kajian Islam dengan pendekatan normatif-tekstual tidak lagi
memadai untuk memecahkan persoalan yang semakin kompleks. Beragam pendekatan pun
ditawarkan seperti pendekatan fenomenologis, feminis, antropologis dan sosiologis. Disinilah,
tampaknya kajian Islam dan sosial keagamaan yang kontekstual sosiologis merupakan suatu
keniscayaan dalam melengkapi pendekatan konvensional. Sehingga dengan pendekatan
sosiologis-kontekstual ini agama dituntut agar ikut terlibat secara aktif memecahkan berbagai

1 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2008), hlm. 4.
3

masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak lagi hanya sekadar menjadi lambang
kasalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Berkenaan dengan ini,
pemakalah akan berusaha menyajikan pembahasan mengenai sosiologi agama.

B. Sosiologi Agama; Pengertian Umum

Sebelum melangkah lebih jauh tentang metodologi penelititan agama melalui pendekatan
sosiologi, atau lebih dikenal dengan sebutan sosiologi agama, alangkah lebih baiknya kita
memulai terlebih dahulu tentang pengertian atau definisi dari sosiologi dan agama. Secara
terminologi, sosiologi berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu : socius
dan logos. Socius berarti kawan, berkawan, atau bermasyarakat. Sedangkan logos berarti ilmu,
atrau berbicara tentang sesuatu. Jadi, secara terminologi sosiologi adalah ilmu tentang
masyarakat atau kelompok sosial.2
Sosiologi yang secara terminologi merupakan ilmu tentang masyarakat, merupakan salah
satu dari perkembangan ilmu sosial yang ada. Istilah ini pertama kalinya diperkenalkan oleh
Auguste Comte – seorang filosof aliran positivisme – yang tertuang dalam karya-karyanya,
antara lain : Course de Philosophie Positive (1830-1842), Syteme de Politique Positive ou Traite
de Sociologie (1851-1854), dan Prospectus des Travaux Necessaire Pour Organiser la Societe
(1882). Bahkan dalam Course de Philosophie Positive, Comte menyebut sosiologi sebagai “
mahkota ilmu-ilmu3”. Comte berargumen bahwa sosiologi haruslah bebas dari pernyataan-
pernyataan nilai. Baginya, tujuan dari sosiologi sama dengan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan
alam, yaitu memformulasikan generalisasi yang merupakan rangkaian hukum sebab-akibat. 4
Pemikiran Comte tentang ilmu sosiologi rupanya turut berpengaruh pula terhadap dua sosok
yang dianggap sebagai pendiri sosiologi agama; Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Webber
(1864-1920).
Dalam perkembangannya, ketertarikan untuk mengkaji segala hal yang berasal dari
masyarakat rupanya menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda pula dari kalangan sosiolog
(orang yang menggeluti bidang sosiologi). Sudut pandang para peneliti yang berbeda-beda turut

2 Dr. H. Dadang Supardan, M. Pd. Pengantar Ilmu Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 69

3 Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 13

4 Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, hlm. 13-14


4

mempengaruhi perbedaan definisi bagi tiap-tiap peneliti. Berikut ini beberapa pandangan
ilmuwan tentang definisi dari sosiologi5 :

 Menurut Pitirim Sorokin, sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan dan
pengaruh timbale balik antara aneka macam gejala-gejala sosial yang ada, antara
lain : ekonomi-non ekonomi, agama, keluarga dengan moral, dan lain sebagainya.
 Menurut William Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, pengertian sosiologi adalah
penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi
sosial.
 Menurut Roucekj dan Warren, ilmu sosiologi adalah ilmu tentang hubungan
antara manusia dalam kelompok-kelompoknya.
 J. A. A. van Doom dan C. E. Lammers berpendapat, sosiologi adalah ilmu tentang
struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
 Meta Spencer dan Alex Inkeles berpendapat, sosiologi adalah ilmu tentang
kelompok hidup manusia.
 Menurut David Popenoe, sosiologi merupakan lmu tentang interaksi manusia
dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi : “Sosiologi adalah ilmu tentang
struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Dari beberapa pengertian di atas, jadi bisa disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu
disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat, termasuk didalamnya interaksi sosial, dan
gejala-gejala sosial yang bersifat stabil serta pengaruh-pengaruh yang timbul karenanya.
Sedangkan agama sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah sistem
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusian dan manusia serta lingkungannya. Emile Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik
yang berhubungan dengan yang suci6.
Dari pengertian diatas, maka bisalah kita simpulkan bahwa pengertian dari sosiologi
agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan atau relasi antara masyarakat beserta
segala aspek-aspek yang mengelilinginya dengan berbagai sistem keagamaan yang ada. Dalam

5 Dr. H. Dadang Supardan, M. Pd. Pengantar Ilmu Sosial, hlm. 69-70

6 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama diakses pada tanggal 22 Desember 2012, pukul 19.13 WIB


5

pengertian ini, kita diajak untuk meneliti lebih jauh tentang adanya pengaruh yang ditimbulkan
sebuah sistem keagamaan dengan masyarakat beserta aspek-aspek yang terdapat di dalamnya.

C. Ranah Kajian Sosiologi Agama

Dalam suatu komunitas masyarakat, sudah menjadi suatu kebutuhan akan pentingnya
kepercayaan terhadap Tuhan (baca: agama). Agama sejatinya memiliki kedudukan yang tinggi
dalam kehidupan sosial-masyarakat. Fenomena-fenomena yang terjadi rupanya tak luput dari
perhatian para peneliti, sehingga dewasa ini kajian tentang keagamaan tidak hanya
mengkhususkan diri pada ajaran-ajaran suatu agama, melainkan juga tentang gejala-gejala
tentang suatu agama yang timbul dari sudut pandang sosiologis. Dari sinilah bermula istilah
sosiologi agama.
Adalah Max Weber dan Emile Durkheim, dua sosok yang dianggap sebagai founder dari
keberadaan sosiologi agama. Dalam karya klasik Durkheim yang berjudul The Elementary
Forms of the Religius Life, ia menawarkan sebuah analisis yang mendalam tentang fungsi sosial
agama. Dalam penelitiannya terhadap praktik-praktik keagamaan masyarakat Aborigin –
penduduk asli Australi - Durkheim mengindentifikasi adanya suatu “prinsip totemik 7” dalam
sistem religius yang diyakini memiliki hubungan yang saling mempengaruhi antara keyakinan
dan watak kesukuan. Sebagai contoh, ketika masyarakat Aborigin memuja objek-objek totemik
tertentu, seperti ular dan matahari, yang melambangkan akan asal usul dan identitas masyarakat
tersebut, maka dengan sendirinya mereka sedang menegaskan akan eksistensi keberadaan
mereka dan secara tidak disadari itu semua merupakan “pengikat” antar individu diantara
mereka. Lebih lanjut, Durkheim mengatakan bahwa pembedaan ritual dan doktrinal antara yang
sacred dan profane, memainkan fungsi sosial yang vital dalam menyeimbangkan ketegangan
yang inheren dari setiap masyarakat. Di sinilah fungsi sosiologi agama dimainkan, yaitu agama
sebagai alat untuk menjembatani berbagai ketegangan yang ada dan menghasilkan pelbagai
solidaritas sosial demi menghadapi tantangan-tantangan yang ada.8
Karl Marx seperti juga Durkheim, menganggap agama sebagai produk sosial dan sebagai
agen keteraturan sosial dalam masyarakat pramodern. Menurutnya, fungsi utama agama dalam

7 Totemik adalah sebuah pemujaan terhadap benda atau hewan dalam sebuah paham religius yang bernama
totemisme.

8 Lihat Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 274-275.
6

menghasilkan keteraturan bukanlah salah satu pencipta komitmen terhadap suatu proyek sosial
bersama, melainkan lebih merupakan pembenaran atas aturan ketidakadilan dan kekerasan yang
sangat jahat dari kaum feudal terhadap kaum petani. Pandangan Marxis dalam studi agama tak
lepas dari perspektifnya terhadap sejarah kontemporer gerakan teologi pembebasan di Amerika
Latin9.
Dalam buku Metodologi Penelitian Sosiologi Agama karya Mohammad Soehadha,
menurut Robert N. Bellah, ranah kajian sosiologi agama secara umum mencakup tiga aspek10:
Pertama, pengkajian sebagai persoalan teoritis dalam studi sosiologi agama. Maksudnya,
perlu adanya pemahaman dari sebuah tindakan sosial-individu dan masyarakat dalam beragama.
Tindakan sosial ini nantinya dapat memicu adanya pengembangan teoritis dari motif-motif yang
ada, sehingga ilmu sosiologi akan selalu berkembang, baik dari segi teori maupun metodologi.
Kedua, pengkajian lebih dalam tentang adanya hubungan antara agama dengan berbagai
aspek dalam kehidupan masyarakat, seperti hubungan antara agama dengan kehidupan politik
dan lain sebagainya.
Ketiga, pengkajian akan peran organisasi-organisasi keagamaan dalam tatanan
bermasyarakat. Di sini para peneliti bisa melihat lebih jauh, seberapa banyak organisasi
keagamaan – baik berafiliasi politik, maupun masyarakat – terhadap kehidupan sosial, apakah itu
membangun, atau justru malah menghancurkan. Keberadaan organisasi keagamaan yang
memiliki dasar idelogi yang berbeda merupakan “sebuah peluang” menarik bagi para peneliti
dalam proses penelitiannya terhadap suatu kelompok masyarakat. Berbagai kajian bisa
dilakukan, baik itu fundamentalisme, radikalisme, konflik antar kelompok dan lain sebagainya
yang memiliki peranan dalam sejarah suatu tatanan kehidupan sosial.

Menilik pada konteks Indonesia, keberagaman yang menjadi ciri khas negara ini menjadi
sebuah problematika tersendiri dalam ranah kajian sosiologi agama secara umum. Dalam
bukunya Mohammad Soehadha berusaha merumuskan lebih lanjut akan ranah kajian dari
sosiologi agama. Menurutnya, terdapat empat aspek11 sebagai ranah kajian ilmu ini, yaitu :
pertama, kajian mengenai pandangan dunia keagamaan (landasan beragama) yang
mempengaruhi segala tindakan kelompok-kelompok keagamaan yang mengatasnamakan agama,

9 Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 278.

10 Lihat Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 8-10.

11Lihat Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 10-11.
7

seperti gerakan-gerakan liberal, radikal, militan, moderat dan lain sebagainya. Kedua, kajian
mengenai interaksi agama dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti ekonomi,
politik, budaya dan problem-problem sosial lainnya. Ketiga, kajian terhadap konflik dan integrasi
antar kelompok keagamaan baik internal maupun eksternal, seperti konflik antara Gereja Katolik
dengan Gereja Protestan, atau integrasi santri dan abangan, dan lain-lain. Keempat, kajian yang
berkaitan dengan gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi keagamaan yang cukup marak
dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini.

D. Teori-teori Sosiologi Agama

Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga teori utama sosiologi yang seringkali
digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: teori
fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing teori memiliki
karakteristiknya sendiri, teori fungsionalisme dan konflik memfokuskan perhatiannya pada
struktur social, sedangkan teori interaksionalisme lebih memfokuskan perhatiannya pada
karakteristik personal dan interaksi yang terjalin antar individu. 12 Pembahsan berikut ini akan
memaparkan bagaimana ketiga teori tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di
masyarakat.

1. Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang


bekerjasama secara terorganisasi dan bekerja dalam suatu cara yang teratur menurut seperangkat
peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Dalam artian agama
sebagai pranata sosial membentuk perilaku individu yang menghasilkan nilai-nilai dan norma
dalam masyarakat, kemudian disepakati, dijalani dan menjadi patokan bersama yang
menghasilkan keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut. Teori ini lebih melihat
masyarakat dalam kondisi statis dan keseimbangan, yaitu setiap elemen memberi dukungan
terhadap stabilitas sosial.13
Dalam pengertian ini, agama hanya merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang
dilembagakan yang berada diantara lembaga-lembaga sosial lainnya. Sedangkan fungsionalisme
12 Mochamad Sodik, Pendekatan Sosiologi, dalam M.Amin Abdullah, dkk, Metodologi Penelitian Agama
Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 78

13 Mochamad Sodik, Pendekatan Sosiologi, hlm. 78


8

memandang agama sebagai salah satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk
menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat, yaitu kebutuhan manusia yang tidak dapat
dipenuhi atau dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi yang serba sementara ini, tetapi hanya
dengan sesuatu yang di luar dunia empiris. Namun sosiologi fungsionalisme tidak mau mengutik
hakekat dari apa yang di luar itu, tetapi hanya melihat pengaruhnya yang nyata, dalam arti sejauh
mana hakekat itu telah mengambil bentuk yang konkret sebagai salah satu lembaga sosial.14

Lingkup Iman dan Agama


Dalam pengkajian fenomena agama harus dibedakan antara pengertian iman dan
pengertian agama. Iman adalah kekuatan batin dengan mana manusia menanggapi sesuatu yang
bermakna baik kekuatan gaib ataupun kekuatan Roh tertinggi (Tuhan). Kekuatan-kekuatan itu
dianggap sebagai sesuatu yang suci, angker atau sakral, yang memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi dan dapat memberikan pengaruh yang baik kepada manusia. Oleh karena itu, manusia
mengadakan hubungan yang baik itu dengan cara menyerahkan diri secara menyeluruh kepada
sesuatu yang gaib itu. Iman sedalam itu hanya ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa
yang gaib itu adalah suatu pribadi yang tinggi, yakni Tuhan semesta alam dan manusia hanya
untuk mengabdi kepada-Nya. Sedangkan Agama lebih dipandang sebagai wadah lahiriah atau
sebagai instansi yang mengatur pernyataan iman itu di forumterbuka (masyarakat) dan
manifestasinya melalui kaidah-kaidah, ritus dan kultus, doa-doa dan lain sebagainya.15
Untuk mempermudah pendekatan terhadap masalah, maka berdasarkan pengamatan atas
kawasan agama sebagai obyek sosiologi kita membedakan dalam tiga kawasan agama: kawasan
putih, kawasan hijau dan kawasan hitam. Yang dimaksud kawasan putih adalah suatu kawasan
di mana kebutuhan manusiawi yang hendak dicapainya dengan kekuatan manusia sendiri. Di
mana dengan akal budinya dibantu oleh teknologinya maka usaha manusia dapat berhasil.
Kawasan hijau meliputi daerah usaha di mana manusia merasa aman dalam artian
akhalak (moral). Dalam kawasan ini manusia tindak langkah manusia dengan sesamanya diatur
oleh norma-norma rasional yang mendapat legitimasi oleh agama. Misalnya dalam hal yang
berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, warisan pertukaran baran-barang, diatur oleh
peraturan-peraturan manusia yang dibenarkan oleh agama yang dipeluknya. Dengan adanya

14 Drs. D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), hlm. 27.

15 Drs. D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama, hlm. 27


9

legitimasi agama maka manusia merasa aman dan terjauhkan dari rasa bimbang dan keragu-
raguan.16
Selanjutnya, kawasan gelap meliputi daerah usaha di mana manusia secara radikal dan
total mengalami kegagalan yang disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia sendiri. Satu-
satunya jalan keluar dari kesulitan adalah mengadakan komunikasi dengan kekuatan yang ada di
luar yang mengatasi segala kekuatan alam. Kenapa kawasan ini disebut kawasan gelap? Karena
rasio manusia tidak dapat meraba hakekat (substansi) kekuatan luar. Dari jalan itu, yang
merupakan bagian terpenting dari agaman, manusia menyakinkan dirinya sanggup mengatasi
problem manusiawi yang paling mendasar yaitu ketidakpastian, ketidakmampuan dan
kelangkaan. Hasil yang diperoleh dan dialami manusia dalam pertemuannua dengan sesuatu
yang tinggi adalah rasa aman sentosa.17 Jadi pertanyaan yang muncul ketika melakukan
penelitian dengan menggunakan teori ini adalah sejauh mana nilai-nilai agama menjadi pegangan
bersama dalam sebuah komunitas?
Dari teori fungsionalisme tersebut, sejalan dengan beberapa teori yang lebih spesifik
mengkaji agama dalam ranah sosial, diantaranya:
a. Agama sebagai perekat sosial
Menurut Durkheim bahwa agama memiliki fungsi social, yaitu agama merupakan
seperangkat keyakinan dan peraktek-peraktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang
menciptakan ikatan sosial antar individu.18 Oleh karena itu agama sebenarnya tidak berisi
kepercayaan pada roh-roh atau dewa-dewa, akan tetapi agama didirikan di atas perbedaan
kategoris antara dunia sacral yang berhadapan dengan dunia profane dalam dunia social. Ini
artinya setiap agama akan selalu ditandai oleh dikotomi antara yang sacral (suci) dan yang
profane (duniawi). Untuk itu keyakinan dan ritus-ritus religius merupakan “fakta-fakta social”,
sebab keberadaan keyakinan dan ritus-ritus tersebut benar-benar bersifat individual, bersifat
eksternal bagi individu dan mempengaruhi cara berfikir dan berprilaku individu dalam
mengintegrasikan diri dalam dunia sosial.19 Dengan demikian agama merupakan sumber
keteraturan social dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu proyeksi social bersama,

16 Drs. D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama, hlm. 37

17 Drs. D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama, hlm. 37

18 Bryan S. Tuner, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, Ter. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2012), hlm. 22
10

sekumpulan nilai dan tujuan bersama yang bersifat sakral dan mengikat, sehingga membentuk
solidaritas sosial.
Dalam konteks solidaritas sosial tersebut, bagi Durkheim agama berperan menjembatani
ketegangan, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang
mengancam kelangsungan hidupnya baik yang datang dari kelompok lain, orang-orang yang
menyimpang dari kelompok sendiri, maupu dari bencana alam. 20 Disini peran penting agama
adalah sebagai perekat sosial dalam menyatukan anggota masyarakat mengenai kedudukan
mereka dalam keteraturan dari segala aspek.
b. Agama sebagai motif dalam tindakan sosial
Max Weber telah mengambil kesimpulan antara agama sebagai doktrin memiliki korelasi
positif dengan tindakan sosial individu dalam masyarakat. Ini artinya agama diekspresikan dalam
interaksi sosial, eksperesi tersebutlah yang kemudian menjadi motif sosial individu. Jadi
sejauhmana kondisi dunia batin dan pikiran individu yang dipengaruhi oleh agama itu ketika
secara lahiriah diekspresikan dalam menggerakkan tindakan sosial dalam menghadapi dunia
sosial.21
Dalam hal ini, pada riset studi kasusnya di Gereja Calvin dalam hubungannya dengan
kapitalisme, Weber melihat secara teoritis bahwa sumber keshalehan yang lahir dari kegelisahan
terhadap doktrin takdir ganda dalam Gereja Calvin di kalangan orang-orang Protestan
mendorong etos duniawi yang kuat. Karena itu orang dapat memperoleh keselamatan atau celaka
dari Tuhan tergantung dari kasih Tuhan yang diwujudkan tidak dalam bentuk do’a atau sakramen
Gereja, melainkan kerja individu itu sendiri di dunia yang “seolah-olah” ia memperoleh
keselamatan dengan penguatan karakter moral yang ditunjukkan dari aktivitas keduniaan ini.22
Jadi keshalehan individu inilah yang mendorong tindakan sosialnya (kerja keras) untuk
memperoleh kasih sayang Tuhan (keselamatan) di dunia dan di akhirat, sehingga menghasilkan
dampak kapitalisme.23
c. Agama sebagai kontruksi sosial
19 Bryan S. Tuner, Agama dan Teori Sosial, Terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 83,
dikutip oleh Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif) , (Yogyakarta: Bidang Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 13

20 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 13

21 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 17

22 Peter Connoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 277-278

23 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 18


11

Dalam melihat fakta sosial agama, Peter L. Berger telah mengambil kesimpulan bahwa
agama berperan dalam mengkonstruksi dunia social. Ini artinya agama tidak semata-mata
berfungsi sebagai pemelihara dunia, akan tetapi yang lebih penting adalah sebagai pembangun
dunia. Dalam anilisis teoritisnya, Beger melihat agama yang datang dari langit suci (wahyu)
ketika berada dalam dunia social menjadi sekumpulan makna, nilai-nilai dan pandangan dunia
transeden yang berproses (berubah) dan dimiliki oleh individu ketika berinteraksi social dengan
dunia yang sekuler. Jadi dunia sosial itu dibangun dari proses internalisasi dimana individu
menerima dan menghayati nilai-nilai dan makna suci dari wahyu (agama) yang kemudian
dieksternalisasikan (ditransformasikan) nilai-nilai dan makna itu kedaalam kesadarn dunia
ssosial. Bentuk interaksi sosial indvidu semacam ini kemudian menghasilkan proses
obyektivikasi (makna universal) yang terus menerus oleh karena adanya kesadaran proses
internalisasi dan eksternalisasi yang terobyektivikasikan tersebut bergerak mengikuti hukum-
hukum dunia sosial.24 Oleh karena itu agama adalah usaha manusia dalam memaknai nilai-nilai
dan makna suci dalam agama tersebut yang kemudian ditransformasikan dalam dunia sosial dan
menjadi makna universal dan dengannya manusia membangun dunia sosial.

2. Teori Konflik

Teori konflik melihat masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Perspektif konflik dalam kajian
sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Marx seputar masalah perjuangan
kelas. Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendrof dan Lewis Coser. Teori ini merupakan
pengembangan dan modifikasi dari teori Karl Marx, asumsi-asumsi yang dikemukakan :
pertama, masyarakat berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus
menerus diantara unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen memberikan sumbangan terhadap
disintegrasi sosial. Ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanya disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.25
Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat
sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa
masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan

24 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 20

25 Mochamad Sodik, Pendekatan Sosiologi,hlm. 80


12

kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian
kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang
dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang
akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Secara umum masing-masing agama memiliki dua sifat sekaligus yang saling
bertentangan, yaitu (1) ajaran tentang hidup damai dan (2) pembagian diri ke dalam kelompok
yang dapat mengakibatkan konflik. Konflik sosial dalam banyak kasus telah menjadi sisi lain
dari kohesi sosial keagamaan. Perbedaan iman dan ritus dalam suatu kelompok agama tertentu
sering menjadi alasan persaingan, perdebatan,konflik politis, perselisihan keluarga, bahkan
kekerasan fisik. Pada suatu kondisi tertentu, suatu gerakan keagamaan sering dijadikan alat bagi
legitimasi kekuasaan politis, penguasaan ekonomi dan dominasi etnis tertentu terhadap etnis
yang lain.26
Menurut Kamal Abulmagd, konflik sosial keagamaan antara lain dipengaruhi
fundamentalisme keagamaan. Fundamentalisme dalam hal ini dapat diberi pengertian sebagai
gerakan keagamaan yang bersifat “dangkal”, dengan ciri sebagai berikut:27
a. Memiliki pandangan sempit, pengetahuan harfiah kitab suci yang lebih dominan,
namun kurang adanya pendekatan fungsional menyentuh aspek sosiologis.
b. Pendekatan statis pada masyarakat dan kebutuhan pada hukum dasar perubahan
sosial.
c. Tempramen anti sosial yang didasarkan pada suatu sikap permusuhan pada pihak
lain, baik yang seagama maupun mereka yang memiliki pemikiran yang berbeda.
d. Sikap fanatisme yang hanya mengagungkan pada kebesaran masa lalu dan
penolakan segala yang tidak dapat dijadikan teladan dalam sejarah agamanya.
Ketika merujuk kepada al-Qur'an, kita akan melihat banyak indikasi yang menjelaskan
adanya faktor konflik di masyarakat adalah dari manusia itu sendiri. Misalnya dalam QS. Yusuf:
5.

26 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 14

27 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 16


13

Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-
saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan mu). Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pada diri manusia ada kekuatan yang selalu berusaha
menariknya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma Ilahi. Begitu pula disebutkan dalam
QS. Al-Rum: 41 yang bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik adalah manusia.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Oleh karena itu, dalam pembicaraan di sini akan melihat dari segi penganut agamanya
bukan pada agamanya, sebagai upaya mengidentifikasi timbulnya konflik. Sebab manusia adalah
bagian dari masyarakat dan tentu saja menjadi lahan konflik sebagaimana yang dikemukakan
teori konflik di atas.
Manusia yang menyakini suatu agama dan ajarannya, maka ia akan mempunyai keyakinan
bahwa di sana ada perbuatan baik dan buruk. Kemudian pada setiap diri manusia akan ada kadar
interpretasi yang beragam dari ajaran agamanya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Implikasi dari keragaman pemahaman tersebut saja benih konflik tidak bisa dihindarkan. Hal ini
masih dalam ruang lingkup intra-agama atau konflik antar madzhab. Kemudian, dalam setiap
agama ada istilah dakwah atau misionaris yang merupakan upaya mensosialisasikan ajaran
agama. Dan tidak jarang, masing-masing misionaris agama selalu menjustifikasi bahwa
agamanya-lah yang paling benar, maka dari sini timbul-lah konflik antar agama.
Untuk menghindarkan atau setidaknya meminimalisir hal tersebut perlu adanya
terosbosan baru demi terciptanya iklim kehidupan beragama yang lebih harmonis dan penuh
toleransi (tasamuh).

3. Teori Interaksionisme Simbolik

Teori ini banyak memperlihatkan proses interaksi yang dilakukan oleh individu-individu
serta implikasinya terhadap kehidupan masyarakat. Dalam wacana sosiologi kontenporer, teori
14

interaksionisme simbolik dikembangkan oleh George Herbert dan Herbert Blumer melalui tiga
prinsip dasar dalam membaca fenomena sosial :28
a. Individu menyikapi sesuatu yang ada dilingkungannya berdasarkan makna
sesuatu tersebut bagi dirinya.
b. Makna tersebut diberikan berdasar interaksi sosial yang dijalin dengan
individu lain.
c. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses
interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.

Dengan mendasarkan pada ketiga prinsip diatas, teori interaksionisme simbolik melihat
pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-
hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan
dengan perkembangan identitas sosial. Dengan menjadi anggota dari suatu agama, seseorang
lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa saya?”. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
identitas keagamaan, dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan
agama merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat
agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan
penempatan individu dalam masyarakat. 29

Dari teori-teori dalam sosiologi diatas, setidaknya kita sudah bisa melihat apa sebenarnya
yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji permasalahan keagamaan yang
terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari
kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka
kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan
kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai
perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada.
Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang
berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda
agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena itu, sebelum kita
berupaya mengaplikasikan berbagai teori sosiologis untuk mengungkapkan fenomena
28 Moh Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), hlm. 81

29 Mudzhar, M. Atho’, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin Abdullah dkkk., Mencari
Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 98
15

keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara sepintas kita perlu untuk melihat kembali
bagaiamana para sosiolog menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita
akan mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian ritual
dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis.30

E. Sikap Pluralitas dan Moderat dalam Interaksi Keagamaan

Melihat konteks keberagaman agama di Indonesia sangatlah menarik sekali jika dikaji
dan diteliti menggunakan pendekatan sosioligis, di mana agama menjadi pemicu adanya konflik
antar golongan. Sebagai contoh masalah Poso yang hingga sekarang belum kunjung usai atau
masalah Syi'ah di Madura. Jika kita telusuri sejarah berdirinya negara Indonesia, kita akan temui
faktor utama bangkitnya masyarakat Indonesia melawan penjajahan dan mendapatkan
kemerdekaan adalah agama. Di mana kaum santri yang dipelopori oleh pemimpin pondok (kyai)
melakukan perlawanan terhadap penjajahan pada waktu itu. Begitu juga halnya pemeluk agama
lain yang ikut tergugah melawan penjajahan dengan bergabung dalam perlawanan-perlawanan
terhadap penjajah. Maka, dengan melihat sekilas sejarah perjuangan kemerdekaan masyarakat
Indonesia kita akan mengelus dada betapa menyedihkan perjalanan negara kita yang sekarang
sedang menuju kehancuran. Lalu bagaimana Indonesia di masa dahulu bisa bersatu padu
melawan penjajahan? Sedangkan sekarang lebih terlihat bercerai-berai demi terwujudnya satu
ideologi tertentu ataupun kekuasaan tunggal baik itu atas nama agama maupun golongan.
Dalam penelitian agama dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka di sini akan
lebih tepatnya menggunakan teori konflik dan teori fungsiolanis. Karena dalam teori konflik
menganggap agama adalah mempunyai wajah ganda, di mana agama dalam satu sisi
mengajarkan dan mengajak pada perdamaian, menuju jalan keselamatan, persatuan dan kesatuan,
namun di satu sisi lain agama juga dianggap menyebarkan konflik bahkan sampai terjadinya
peperangan antar agama atau lebih ironinya lagi terjadi peperangan antar madzhab dalam satu
agama tertentu.31 Begitu juga dalam teori fungsionalis menyebutkan bahwa agama sebagai
pranata sosial membentuk perilaku individu yang menghasilkan nilai-nilai dan norma dalam
masyarakat, kemudian disepakati, dijalani dan menjadi patokan bersama yang menghasilkan

30 Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan
Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 87

31 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet.IV, 2009), hlm. 147.
16

keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut. Teori ini lebih melihat masyarakat
dalam kondisi statis dan keseimbangan, yaitu setiap elemen memberi dukungan terhadap
stabilitas sosial.32
Dengan dua teori pendekatan sosiologis tersebut, diharapkan permasalahan yang ada di
negara kita ini seyogyanya bisa diminimalisir dan dihindarkan terjadinya perpecahan atau
bahkan disintegrasi bangsa. Pertama, dengan teori konflik kita bisa mengambil jalan tengah
diantara konflik tersebut dengan mem-pluralis-kan perbedaan-perbedaan yang ada. Karena,
menurut Johan Efendi dalam bukunya Dialog Antar Umat Beragama menyatakan bahwa
masyarakat adalah dalam suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara perselisihan,
ketegangan, dan perubahan.33 Sehingga dari konflik yang ada di Indonesia diharapkan adanya
paradigma baru yaitu paradigma pluralis, sehingga ke depan bisa terwujud suatu sistem
masyarakat yang lebih moderat dan toleransi tinggi. Kemudian dengan teori fungsionalis,
masyarakat Indonesia memakai nilai-nilai baru untuk lebih menjadikan ketenangan dan rasa
aman diantara umat beragama dan antara madzhad dalam satu agama.
Penulis di sini bukan bermaksud ingin mencampur adukan ajaran-ajaran yang ada pada
setiap agama yang ada di indonesia. Namun lebih menitik beratkan pada keselaransan dalam
bermasyarakat yang notabene berbeda agama dan bersuku-suku. Sehingga pada prakteknya
nanti, di sana ada norma-norma dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi norma-norma yang berasal dari
agama atau madzhab masing-masing dan norma-norma yang baru dari proses pluralis dan
moderat tersebut. Coba bayangkan, jika di Indonesia ada kesadaran pluralis dan moderat di
setiap lini masyarakat tentu kasus Poso dan Madura tidak perlu terjadi.

F. Penutup

Dari beberapa point yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya yang
dimaksud dengan sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini,
khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian
umum, rasional, empiris serta bersifat umum. Dalam hubungannya dengan agama sebagai gejala
sosial, pada dasarnya sosiologi bertumpu pada konsep sosiologi agama yang dirumuskan secara

32 Mochamad Sodik, Pendekatan Sosiologi, hlm. 78

33 Mochamad Sodik, Pendekatan Sosiologi, hlm. 78


17

luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk
interaksi yang terjadi antar mereka.
Kajian agama dengan pendekatan sosiolgis bertugas menyelidiki bagaimana tata cara
masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, fungsi-fungsi ibadat untuk
masyarakat, tipologi dari lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata
duniawi, interaksi langsung dan tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan
sebagainya.
Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan baik dalam referensi maupun penulisannya. Maka dari itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembuatan makalah berikutnya. Wallahu
musta’an.
18

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin dkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000

Abdullah, M.Amin dkk, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta:


Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006)

Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Ali, Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama:
Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982

Connolly, Peter (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2009)

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet.IV, 2009)

O.C, Drs. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983)

Soehadha, Moh, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif) (Yogyakarta: Bidang


Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008)

Supardan, M. Pd, Dr. H. Dadang, Pengantar Ilmu Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

Tuner, Bryan S, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, Ter. Inyiak Ridwan Muzir,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama diakses pada tanggal 22 Desember 2012, pukul 19.13 WIB

Anda mungkin juga menyukai