Anda di halaman 1dari 2

Makna Kemajemukan Agama

Kemajemukan agama (baca: pluralisme agama) merupakan salah satu isu sentral di tengah diskursus pemikiran Islam (Islamic thought). Isu ini semakin dirasakan mendesak setelah umat beragama mendapati bahwa dunia telah berubah menjadi sebuah desa global (global village). Kesan setiap penganut agama terisolasi dari penganut agama lain tergeser menjadi anggota masyarakat majemuk yang berdampingan dan saling berinteraksi. Karena itu, kehadiran umat lain (al-akhar) harus dianggap sebuah potensi ketimbang ancaman yang dapat merusak masyarakat. Belajar dari perputaran roda sejarah masa lalu dimana umat beragama saling membunuh dan saling curiga, kini umat beragama diarahkan bagaimana ia memandang positif eksistensi umat beragama lain dan mengikis benih-benih kecurigaan itu. Pertumpahan darah atas nama Tuhan yang pernah terjadi dialihkan kepada persaudaraan kemanusiaan dalam kasih sayang-Nya. Kemajemukan agama tidak hanya sebatas pengakuan akan adanya kehadiran umat beragama lain, tapi juga kesediaan untuk menjalin kerjasama sosial demi tertatanya sebuah masyarakat yang harmonis dan religius. Signifikansi kemajemukan agama ini mendapati batu sandungan dari pihak-pihak tertentu yang secara keliru memahaminya. Tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa kemajemukan agama berarti menyamakan semua agama, atau menyatukan semua agama dalam sebuah ikatan keyakinan baru (sinkretisme agama). Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, kemajemukan memiliki makna yang amat luas termasuk di dalamnya kerjasama umat beragama dan saling belajar akan kelebihan masing-masing. Pentingnya Kemajemukan Agama John Hick, seorang ahli perbandingan agama, dalam bukunyaGod and the Universe of Faiths (1993), menulis bahwa sedikitnya terdapat tiga karakteristik seseorang dalam menganut sebuah agama; pertama,eksklusif. Sikap ini menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran. Tidak demikian halnya dengan agama-agama lain; kedua, inklusif. Sikap ini menyatakan bahwa kebenaran tertinggi ada di dalam agamanya. Namun demikian di dalam agama-agama lain juga terdapat kebenaran; ketiga, pluralis/ paralel. Sikap ini menyatakan bahwa dalam setiap agama terdapat kebenaran yang juga diajarkan oleh agama yang dianutnya. Kecuali sikap kedua dan ketiga,sikap pertama menunjukkan ketidaksiapan seseorang melihat realita yang sesungguhnya. Selain menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran tunggal, ia juga menegasikan munculnya kebenaran dari sumber-sumber lain. Sikap demikian tidak saja berbahaya, tapi juga melahirkan kesan seolah-olah dunia hanya terdiri dari satu warna. Misi utama orang dengan sikap seperti ini adalah bagaimana menyeragamkan agama sesuai dengan keyakinannya, misi yang menurut saya amat ahistoris dan rabun sosial. Ekspresi keberagamaan yang lebih lunak ditunjukkan pada sikap yang kedua dan ketiga. Kesan yang ditawarkan kedua sikap ini menunjukkan bahwa pluralitas keyakinan adalah sebuah kenyataan sosiologis yang tak mungkin dihindari. Karena itu, tujuan utama seorang penganut agama bukan untuk melakukan uniformisasi atas kenyataan yang terbentang di depan mata, melainkan apa nilai tambah yang dapat digali dari keragaman keyakinan dan tradisi keagamaan itu. Darah hitam sejarah sebagai konsekuensi dari uniformisasi adalah cermin kelabu bagi kita agar tidak terjadi kembali. Secara gamblang Karen Armstrong dalam bukunya, The Battle for God; A History of Fundamentalism(2001), menulis bahwa tidak

sedikit umat beragama saling membunuh satu sama lainnya karena semua merasa sebagai satusatunya pemilik sah kebenaran Tuhan dan berkewajiban menyelamatkan seluruh manusia. Alihalih selamat, yang terjadi justru sebaliknya atas nama Tuhan darah anak Adam terbuang percuma. Rekaman hitam sejarah masa lalu seperti yang dikemukakan Armstrong ini adalah pelajaran berharga bagi kita untuk melakukan rekonstruksi atas sikap keberagamaan yang selama ini kita anut. Sikap inklusif maupun pluralis yang dikemukakan Hick tadi bukan untuk memperlemah keimanan yang kita miliki, sebaliknya ia akan menjadi salah satu elemen penguat keimanan kita. Bukti kuatnya keimanan seseorang tidak ditunjukkan dengan klaim kebenaran (truth claim) yang dimilikinya dan tuduhan kesesatan atas keyakinan orang lain, melainkan sejauhmana kehadirannya dapat mengatasi nestapa semua mahluk Tuhan, baik mahluk bernyawa ataupun benda mati. Kemajemukan agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama sama, untuk selanjutnya setiap orang dapat berpindah agama ketika bosan dengan agama terdahulu. Anggapan ini keliru, sebab kemajemukan agama tidak membenarkan adanya pencampuradukan agama atau mengizinkan pindah-pindah agama. Kemajemukan agama yang saya pahami juga tidak hendak menegaskan bahwa semua penganut agama (apapun bentuknya) dapat dibenarkan. Untuk itu, kemajemukan agama dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, bukan hanya pengakuan akan adanya umat lain (the other) tapi juga keterpanggilan jiwa untuk menjalin kerjasama antar sesama pemeluk agama, bahkan ateis sekalipun. Kedua, bukan kosmopolitanismedimana agama hidup secara berdampingan tapi tidak saling belajar apalagi bekerjasama. Ketiga, bukan relativisme yang mana semua agama dianggap benar karena penghargaan kepada penganutnya.Keempat, bukan sinkretisme dimana semua agama yang ada disatukan untuk kemudian melahirkan agama baru. Dengan substansi uraian tersebut, jelaslah bahwa kerjasama sosial antar penganut agama juga disebut pluralisme agama, istilah yang lebih populer untuk kemajemukan agama. Selain itu, batasan ini juga berfungsi untuk membantah berbagai pihak yang begitu emosional menolak istilah pluralisme agama sebelum mendudukkannya secara tepat. Dengan demikian kemajemukan agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Hal itu justru hanya akan menggambarkan fragmentasi, bukan kemajemukan. Kemajemukan agama juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif(negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Kemajemukan agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan kemajemukan agama adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Hal itu bahkan mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti; to be religious is to be interreligious (beragama berarti membangun hubungan dengan penganut agama lain).

Anda mungkin juga menyukai