Anda di halaman 1dari 24

PERISTIWA MEI 1998: STUDI KERUSUHAN PASAR GLODOK

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi yang
diampu oleh:

Drs. Andi Suwirta, M.Hum.

Erik Kamsori, S.Pd.

Iing Yulianti, S.Pd, M.Pd.

Oleh Kelompok 6:

Aufa Nuri Dzulfiqar (1206046)

Ayu Sofiana Anindhita (1606496)

Bounauli Elilaura A. (1605202)

Fikri Asmara (1504892)

Rini Sri Lestari (1603483)

Santi Sartika (1607786)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang mana telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul: “Kerusuhan Pasar Glodok” ini dengan baik dan dapat selesai
pada waktunya, meskipun masih ada kekurangan dalam penyusunannya. Namun tidak
menutup kemungkinan kami akan memperbaiki kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini pada waktu yang akan datang.
Makalah ini membahas mengenai latarbelakang adanya kerusuhan Pasar
Glodok pada tahun 1998, bagaimana kronologi kejadiannya, dampak yang
ditimbulkan dari peristiwa tersebut serta upaya pemerintah dalam menangani
kerusuhan Pasar Glodok tersebut.
Kami juga mengucapkan terimakasih terhadap pihak terkait yang telah
membantu dalam proses pengerjaan makalah ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah kami terlebih pada analisisnya masih sangat jauh dari kata sempurna.

Bandung, 15 November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

D. Manfaat Penulisan .............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Latar Belakang Kerusuhan Pasar Glodok .......................................... 3

B. Kronologi Terjadinya Kerusuhan Pasar Glodok ................................ 7

C. Dampak Kerusuhan Pasar Glodok ................................................... 11


D. Upaya Pemerintah dalam Menangani Kerusuhan Pasar Glodok ..... 14

BAB III PENUTUP .................................................................................... 17

A. Simpulan .......................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan


masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin
Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam
melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde
Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya,
pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai
Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat
merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan
legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu
melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya
gerakan reformasi. Awal 1998 saat pemerintahan Orba berlangsung terjadi krisis.
Krisis yang tidak mampu diatasi oleh pemerintah saat itu membuat rakyat
melakukan tindakan kejahatan di mana-mana. Aksi masyarakat yang dipelopori
oleh mahasiswa mulai terjadi di berbagai daerah. Aksi dilakukan untuk menuntut
mundur Soeharto karena dinilai telah gagal dalam mengatasi masalah krisis
Indonesia. Soeharto memerintahkan militer untuk menghalang aksi demonstrasi
yang dilakukan oleh masyarakat. Bahkan militer tidak segan-segan melakukan
tindakan represif yang berujung pada kematian di kalangan demonstran. Situasi
ini membuat Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden saat itu. Salah satu
dari deretan kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 adalah kerusuhan yang
terjadi pada bulan Mei 1998. Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang
teramat menyakitkan bagi etnis Tionghoa Indonesia yang terjadi pada 13-15 Mei
1998. Berbagai bentuk penindasan ditujukan kepada mereka baik itu penjarahan,

1
penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan,
pelecehan dan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut dalam makalah ini mengenai peristiwa Mei 1998 khususnya
kerusuhan terhadap etnis Tionghoa yang lebih dikenal dengan kerusuhan pasar
glodok.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengusulkan beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana latarbelakang kerusuhan Pasar Glodok ?
2. Bagaimana kronologi terjadinya kerusuhan Pasar Glodok ?
3. Bagaimana dampak kerusuhan Pasar Glodok?
4. Bagaimana upaya pemerintah dalam menangani kerusuhan Pasar Glodok?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini diantaranya:
1. Untuk mengetahui latarbelakang kerusuhan Pasar Glodok?
2. Untuk mengetahui kronologi terjadinya kerusuhan Pasar Glodok?
3. Untuk mengetahui dampak kerusuhan Pasar Glodok?
4. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menangani kerusuhan Pasar
Glodok?

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah adalah:
1. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
dan memperkaya pengetahuan mengenai kerusuhan yang terjadi di Pasar
Glodok pada tahun 1998.
2. Sebagai suatu karya ilmiah, yang selanjutnya dapat menjadi informasi dan
sumber rujukan bagi para penulis di kemudian hari.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan Pasar Glodok
Terjadinya peristiwa kerusuhan di Pasar Glodok disebabkan karena faktor
nasional. Secara ekonomi, terjadi krisis moneter di Indonesia (Titulanita, dkk,
2015, hlm. 13; Kartasasmita, 2011, hlm 27).
Banyak yang menduga akhir Soeharto sebagian besar disebabkan oleh krisis
ekonomi yang melanda Indonesia, Thailand dan Korea. Pada bulan Mei 1997,
nilai tukar baht Thailand telah diserang. Sebagai hasil devaluasi, Indonesia
menderita krisis ekonomi besar. Pada 21 Juli, nilai tukar rupiah terhadap dolar
jatuh dari Rp2.450 menjadi Rp2.700 menyebabkan terburu-buru membeli dolar
di bank, meskipun ada dukungan keuangan sebesar US $ 6,499 miliar. IMF
memberikan sebesar US $ 1,2 miliar dan sisanya sebanyak US $ 5,299 miliar
dari Consultative Group on Indonesia (CGI). Pada 14 Agustus, keputusan oleh
Bank Indonesia (BI), bank sentral, untuk menghentikan intervensi dan karena itu
mengabaikan kontrolnya nilai tukar telah menyebabkan penurunan lebih lanjut
dari Rp2.600 ke Rp2.795. Namun, kepanikan di pasar belum mengambil
korbannya hingga nilai rupiah mencapai Rp3.845 terhadap dolar pada Oktober
(Dijk, 2001, hlm. 27). Keadaan tersebut diperparah dengan kepanikan para
investor secara mendadak, mereka melakukan penjualan saham di Bursa Efek
Jakarta untuk menghindari kerugian (Suhandinata, 2009, hlm. 2).
Segera setelah Soeharto merilis Anggaran Negara pada 6 Januari 1998, nilai
tukar rupiah menurun menjadi Rp10000 / $. Pada awal Januari 1998, desas-desus
tentang kelangkaan pasokan makanan telah tercipta panik di pasar. Pembeli
berkumpul di toko kelontong untuk menimbun makanan sebelumnya harga naik
lagi. Pemerintah menghimbau agar tenang, tetapi kerusuhan pangan meletus
dalam tuan rumah kota-kota di seluruh Jawa. Dengan harga pangan yang tak
terelakkan melambung menyusul devaluasi, massa menuduh pemilik toko etnis
Cina karena harga mencongklang (Dijk, 2001).

3
Bisnis yang menyangkut konstruksi, sektor manufaktur, dan perbankan
terpukul keras oleh krisis. Memaksa mereka menutup bisnis mereka dan karena
itu menambah tingkat pengangguran hingga sekitar 20 persen dari angkatan kerja
atau sekitar 20 juta orang. Dengan mayoritas PHK dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan telah
meningkat secara signifikan hingga hampir 50 persen dari total populasi. Dari
1996-1998, Indonesia per kapita mengalami penurunan dari US $ 1.155 menjadi
US $ 610 (Zon, 2004).
DKI Jakarta terkena dampak paling besar, dengan ditutupnya sejumlah
perusahaan seperti industri sepatu Sport yang dimiliki oleh Korea berniat
memindahkan basis produksinya ke Thailand, sedangkan perusahaan modal
asing Jepang yang meliputi Sony, Sanyo, Toshiba, dan Sharp sudah
menghentikan operasinya, begitu juga dengan perusahaan-perusahaan asing yang
lainnya. Penghentian operasi tersebut berkembang menjadi permanen dengan
penarikan modal yang sudah ditanam di Jakarta. Situasi tersebut berpengaruh
pada pengurangan tenaga kerja atau PHK (Pemutusan Hak Kerja) dan
pengangguran di Jakarta semakin meningkat. Bukan hanya itu, kenaikan BBM
juga memperparah keadaan, naiknya sembilan bahan pokok (sembako) dipasaran
menambah beban masyarakat (Suhandinata, 2009, hlm. 3).
Di Glodok sendiri, pada tanggal 5 Mei 1998, muncul isu rupiah akan naik
mencapai Rp 12.000,00 per dolar AS. Mendengar isu tersebut masyarakat mulai
panik, aksi borong barang-barang seperti sembako pada pusat-pusat perbelanjaan
mulai terjadi. Mayoritas yang melakukan adalah orang-orang yang memiliki
modal besar (pedagang), sedangkan masyarakat miskin hanya bisa membeli
sesuai dengan keperluannya. Dampak aksi borong tersebut menyebabkan bahan-
bahan sembako semakin langka dipasaran. Beberapa pedagang memanfaatkan
keadaan tersebut dengan menimbun sembako dan menjualnya pada saat harga-
harga mulai bertambah naik guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Menanggapi keadaan tersebut, muncul prasangka-prasangka dari kalangan
masyarakat pribumi kepada orang Tionghoa yang sebagian besar bekerja sebagai

4
pedagang. Orang Tionghoa dituduh sebagai “tukang timbun”, hanya cari untung,
dan tidak memperdulikan keadaan masyarakat miskin”. Prasangka ini kemudian
berkembang menjadi ketidaksukaan golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa
yang posisinya mayoritas sebagai pedagang (Titulanita, dkk, 2015, hlm. 13).
Politik nasional juga menjadi faktor pendukung terjadinya kerusuhan di pasar
Glodok, Jakarta Barat. Ketegangan antara berbagai kelompok menciptakan
gejolak politik. Mulai dari serangan PDI pada bulan Juli 1996 hingga akhir era
Soeharto tahun 1998. Pemilu 1996 tiba, banyak kasus yang melibatkan
intimidasi penyuapan, dan penipuan ditemukan. Dituduh melanggar aturan
pemilihan, PPP mendesak dewan pemilihan tidak mengakui hasil pemilihan.
Sementara itu, pemimpin PDI curiga ada ketidakberesan tentang hasilnya. Pesta
dan cabangnya menuntut pemilihan dan penghitungan baru di Sumatera Barat
dan Bengkulu Utara. Sementara itu, protes keras oleh pendukung atas hasil
pemilu menghasut serangkaian kerusuhan di beberapa daerah seperti Jawa Timur
dan Madura. Rumah-rumah doa terbakar selama kerusuhan. Bahkan di
Bangkalan, massa yang marah menyerang gedung-gedung pemerintah, sebuah
gereja dan sebuah kuil Buddha (Kartasasmita, 2011, hlm. 45).
Pada tanggal 13 Mei 1998 setelah pemakaman empat mahasiswa Trisakti,
mahasiswa dari berbagai kampus bergabung melakukan aksi mimbar besar
dihalaman kampus Trisakti sedangkan di luar kampus terlihat massa masyarakat
dari berbagai sudut seperti LSM, Ormas, dan Buruh serempak mulai berdatangan
dan berkumpul tanpa direncanakan oleh mahasiswa. Pada pukul 13.00 WIB,
massa mulai melakukan pengrusakan sejumlah fasilitas umum seperti lampu
merah, tiang lampu, dan sebagainya. Kemudian tindakan massa mulai brutal
dengan membuat keributan seperti membakar truk sampah yang berdekatan
dengan pos Polisi Grogol dan SPBU sehingga menimbulkan kebakaran. Pada
pukul 16.00 WIB, keributan tersebut berubah menjadi gerakan anti Tionghoa
dengan merusak, menjarah, dan membakar disepanjang jalan komplek pertokoan
di sekitar Trisakti sehingga mengakibatkan banyaknya korban jiwa (Jusuf, 2007,
hlm.123-124). Keesokan hari pada tanggal 14 Mei 1998 aksi kerusuhan massa

5
semakin meluas di seluruh DKI Jakarta khususnya pusat-pusat perekonomian
(Suhandinata, 2009, hlm.55).
Disamping itu, mulai muncul isu bahwa akan terjadi kerusuhan, target utama
adalah pasar Glodok dan Orion Plaza. Isu tersebut menyebar dengan cepat di
kalangan masyarakat seperti buruh, supir angkot, tukang parkir dan sebagainya,
sedangkan kalangan etnis Tionghoa sebagian besar tidak mendengar isu tersebut
(isu kerusuhan), sedangkan kalangan masyarakat pribumi cenderung tidak
memberi tahu. Terlihat bahwa antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi
tidak terjalin komunikasi sosial dengan baik, selain itu prilaku orang Tionghoa
yang selalu mementingkan keuntungan ekonomi menambah kebencian orang
pribumi, sehingga pada saat terjadi gejolak politik, sosial, dan ekonomi, mereka
dijadikan objek sasaran tindakan kekerasan dari kelompok pribumi untuk
meluapkan rasa ketidakpuasan baik terhadap pemerintah atau lingkungannya
(Titulanita, dkk, 2015, hlm. 13-14). Sejak awal, perlakuan Soeharto terhadap
etnis Tionghoa secara sistematis memang diskriminatif. Mely Tan berpendapat
bahwa proses berkelanjutan sebuah pelabelan untuk mengubah rujukan etnis
Tionghoa dari Tionghoa ke Cina membantu untuk membenarkan jenis kebijakan
yang diterapkan pada mereka (Suryadinata, 2004).
Dalam hal etnis Cina, merupakan jenis pelabelan individu menjadi stigma
yang berarti 'berbeda' dibanding biasanya dalam konteks konflik. Kekerasan
anti-Tionghoa dalam kerusuhan Mei menunjukkan bagaimana kemarahan
diarahkan kepada mereka hanya karena mereka dilihat sebagai 'berbeda'.
Berbeda dengan cara eksklusif di mana etnis Cina lebih suka bersosialisasi dalam
diri mereka sendiri sehingga menciptakan jarak antara mereka dan pribumi
(Kartasasmita, 2011, hlm. 91). Selanjutnya pelabelan pengusaha besar
menggunakan istilah konglomerat menyoroti hubungan dekat dari etnis
Tionghoa kaya dengan Cendana keluarga. Istilah ini dipopulerkan oleh media
pada pertengahan 1980-an yang ada di banyak cara memperkuat stereotip bahwa
semua etnis Cina kaya (Tan, 2008, hlm. 245). Pandangan Indonesia umum, etnis
Tionghoa tidak hanya dipertanyakan secara moral, tetapi juga secara ideologis

6
mengancam dan secara budaya tidak menarik. Menurut Heriyanto (1999,
hlm.161) dalam bukunya:
“Orang Tionghoa secara tidak pandang bulu dianggap kaya dan
terkenal rajin, tetapi juga licik dan kikir. Dalam stereotip umum, mereka
memiliki selera terburuk dalam budaya dan estetika. Secara sosial mereka
mungkin memiliki perasaan dalam kelompok yang kuat, tetapi secara
politik tampaknya tidak memiliki patriotisme”.

B. Kronologi Kerusuhan Pasar Glodok


Dengan keadaan nilai tukar rupiah yang semakin merosot dan menciptakan
kenaikan harga dan kelangkaan sembako, muncul demonstrasi yang memprotes
keadaan tersebut. Pada tanggal 12 Mei 1998 masa yang terdiri dari Dosen,
alumni, dan mahasiswa melakukan protes damai di halaman parkir kampus
Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Aksi dimulai pada pukul 11.00 WIB yang
kemudian berlanjut dengan aksi Long March ke Gedung MPR/DPR di Senayan.
Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada
aparat kepolisian yang mengadang ribuan peserta demonstrasi. Setelah
bernegosiasi dan disepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan
Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.
Berdasarkan kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar
mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR. Aksi
berjalan hingga pukul 17.00 WIB. Akan tetapi, justru saat sebagian besar
mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus, terdengar letusan senjata dari arah
aparat keamanan dan berujung bentrok antara mahasiswa dan aparat yang
mengakibatkan tewasnya empat orang mahasiswa Triskati (Galih, 2015).
Pada tanggal 13 Mei 1998 setelah pemakaman empat mahasiswa Trisakti,
mahasiswa dari berbagai kampus bergabung melakukan aksi mimbar besar
dihalaman kampus Trisakti sedangkan di luar kampus terlihat massa masyarakat
dari berbagai sudut seperti LSM, Ormas, dan Buruh serempak mulai berdatangan
dan berkumpul tanpa direncanakan oleh mahasiswa (Titulanita, dkk, hlm. 13).
Bersamaan dengan berlangsungnya aksi mimbar yang dilakukan mahasiswa pada
pukul 12.00 WIB terlihat truk sampah yang dibakar di sekitaran perempatan

7
jalan layang. Massa yang berkumpul disekitaran kampus Universitas Trisakti
mulai tersulut ketika melihat kepulan asap dari truk sampah yang dibakar. Massa
kemudian melempari barisan aparat yang memblokir jalan di depan Gedung Mal
Ciputra dengan batu, botol dan benda lainnya. Mereka juga mencabuti dan
merusak rambu-rambu lalu lintas maupun pagar pembatas jalan. Aparat
kemudian mengeluarkan rentetan tembakan peringatan dan gas air mata, yang
membuat massa berlarian (Kompas, 14 Mei 1998).
Di Jl Daan Mogot, massa mengamuk dengan membakar dan merusak gedung
maupun mobil. Situasi memprihatinkan terlihat di parkiran mobil yang terletak di
belakang gedung Mal Ciputra. Area ini biasa digunakan sebagai tempat parkir
mahasiswa Trisakti maupun Tarumanegara. Sekitar 15 mobil hangus terbakar
dan sembilan lainnya hancur total. Isi mobil telah dijarah terlebih dahulu oleh
massa sebelum dihancurkan. Massa juga membakar sebuah bus yang berada di
area parkir. Buku-buku kuliah, diktat, tanda identitas mahasiswa tampak
berserakan di antara bangkai mobil. Di lintasan kiri maupun kanan Daan Mogot,
kaca-kaca gedung hancur berantakan. Tiga kios yang berada di pompa bensin
hangus terbakar. Di area parkir PT Putra Surya Multidana, enam mobil dibakar
dan satu dirusak. Hotel Daan Jaya hangus terbakar dan kobaran apinya mulai
menyentuh ke gedung di belakangnya, yaitu sebuah diskotek. Gedung BCA,
rumah bilyar, dan sejumlah gedung yang berada di jajarannya ikut jadi korban
amukan massa.
Sekitar pukul 15.30 WIB tiga helikopter terbang rendah dan berputar-putar
meminta agar massa yang berada di kawasan Daan Mogot tidak berkerumun dan
pulang ke rumah. Di Jl Kyai Tapa, massa melempari petugas keamanan dengan
batu maupun botol. Aparat yang mengintai di Pos Polisi Grogol membalasnya
dengan tembakan dan gas airmata serta semburan water canon. Sebuah kios oli
di pompa bensin Jl Kyai Tapa terbakar habis. Sebuah truk besar B-9856-HB
yang dinaiki banyak massa dengan kibaran bendera Merah Putih sengaja
didorong ke arah petugas. Dengan menggunakan ganjal, truk dijalankan tanpa
sopir dan diarahkan ke pos polisi. Namun luput, truk terus meluncur ke arah

8
kerumunan massa yang dijaga ketat aparat keamanan dari Korps Marinir. Massa
yang melihat tak menduga truk itu tak ada sopirnya. Baru setelah makin dekat,
massa sadar dan sambil berteriak-teriak berusaha menghindar. Dua warga
tertabrak dan langsung tewas. Mayatnya dilarikan ke RS Sumber Waras. Truk
baru berhenti setelah menabrak trotoar. Massa kemudian membakar truk itu.
Nama kedua korban tidak diketahui, karena tidak ada identitas apa pun di
kantung masing-masing (Kompas, 14 Mei 1998). Massa juga menyerang pos
polisi Grogol dengan lemparan batu. Untuk membubarkan massa yang terus
menyerang, sesekali aparat keamanan yang berjaga di depan pos polisi
menembakkan senjata ke udara dan gas air mata. Namun, setelah tembakan
selesai, massa kembali mendekati pos dan melemparinya.
Pada pukul 16.00 WIB, keributan tersebut berubah menjadi gerakan anti
Tionghoa dengan merusak, menjarah, dan membakar disepanjang jalan komplek
pertokoan di sekitar Trisakti. Di Jl S Parman, khususnya di depan Mal Ciputra,
Pasukan Huru-hara (PHH) berseragam hitam menutup hampir semua badan
jalan. Kekuatan aparat yang semula sekitar 200 orang terus bertambah
lapisannya. Bentrokan antara aparat dan massa berlangsung mulai siang hingga
sore hari yang menyisakan batu-batu dan pecahan beling/botol di seluruh badan
jalan. Menjelang maghrib, massa masih terus bergerombol di pinggiran jalan
layang Grogol dan di depan Ukrida.
Selepas pukul 18.00 WIB keberingasan massa mulai muncul di berbagai
kawasan, terutama di Jakarta Barat. Di Jl Bandengan Selatan, Tubagus Angke,
dan Jembatan Dua, massa mulai menjarah rumah-rumah warga. Beberapa toko
bahkan dibakar. Di Bojong, sebuah pasar swalayan mini dibakar massa. Di Jl
Lingkar Luar Barat, massa menghadang dan menjarah setiap kendaraan yang
melintas. Massa juga menghancurkan Mal Puri Indah dan Green Garden. Hingga
larut malam, pembakaran gedung, mobil dan penjarahan toko masih
berlangsung, terutama di sekitar kawasan Angke, Jakarta Utara. Suasana
mencekam masih ditambah padamnya lampu penerangan jalan dan gedung-
gedung. Kerumunan massa tampak di sepanjang Jl Daan Mogot ke arah

9
Cengkareng. Di Taman Harapan Permai, sebuah pertokoan dan rumah duka
dibakar massa. Sementara itu, nyala api terlihat di beberapa tempat di Jakarta
Utara, seperti Gedongpanjang, Angke, dan Jembatan Tiga. Rabu malam sekitar
pukul 20.00 WIB sudah sangat lengang. Hanya satu dua kendaraan yang
melintas. Di atas jalan tol depan Taman Harapan Permai, beberapa pengendara
mobil dan motor memarkir kendaraannya. Di samping pengemudinya hendak
melihat peristiwa, banyak di antara mereka adalah warga sekitar yang takut
kembali pulang ke rumah. Masih di Jl Daan Mogot, menjelang pukul 22.00 WIB
kerusuhan sudah memasuki wilayah Kodya Tangerang, yaitu di wilayah
Batuceper. Kerusuhan juga terjadi di Taman Semanan dan Kosambi, Jakbar
(Kompas, 15 Mei 1998).
Keesokan hari pada tanggal 14 Mei 1998 aksi kerusuhan massa semakin
meluas di seluruh DKI Jakarta khususnya pusa-pusat perekonomian
(Suhandinata, 2009, hlm. 55). Kerumunan orang mengamuk dan kali ini
masyarakat etnis Tionghoa menjadi sasaran. Di Cileduk, Tangerang. Massa yang
marah menjarah toko-toko dan toko-toko elektronik milik etnis Tionghoa.
Barang-barang elektronik dibawa keluar dari toko-toko untuk dibakar dan
dibuang ke jalan. Tempat tinggal yang mahal di Modernland, Tangerang hancur.
Sebelum terjadi kerusuhan di pasar Glodok, pihak PD. Pasar Jaya tidak
mengkhawatirkan kawasan pasar Glodok dan Orion Plaza akan di serbu massa
karena tempat tersebut jauh dari pusat kerusuhan (seputaran kampus Trisakti),
sehingga tempat tersebut tetap melakukan kegiatan perekonomiannya seperti
biasa meskipun di wilayah sekitar Trisakti terjadi kerusuhan. Sekitar pukul 10.00
WIB, dari Jalan Beos (sekitar Stasiun Kota) massa berkerumun dari berbagai
arah. Kemudian massa merusak fasilitas umum seperti pot-pot, pagar di
sepanjang jalan, dan lampu merah, kemudian mereka melakukan pelemparan
batu ke arah pertokoan disepanjang jalan raya. Pengelola pasar elektronik (pasar
Glodok dan Orion Plasa Glodok) merasa khawatir melihat keadaan tersebut
sehingga memerintahkan penjaga keamanan (satpam) agar para pedagang segera
menutup semua toko dan pergi menyelamatkan diri melewati parkiran mobil

10
yang letaknya berada di lantai tujuh dekat dengan kantor pasar Glodok,
sedangkan di luar Glodok toko-toko lain bergegas menutup tempat dagangannya
dan pedagang kaki lima mengemasi barang dagangan kemudian segera pergi
meninggalkan lapak yang ditempatinya, ada juga yang melihat-lihat suasana
keramaian. Serempak massa menyerang pasar Glodok dan Orian Plaza dengan
lemparan batu dan mencoba masuk ke dalam toko. Mereka menjarah sejumlah
alat-alat elektronik yang ada di dalam toko. Tiba-tiba Orion Plaza terbakar dan
menghanguskan gedung yang terbagi menjadi dua (pasar Glodok dan Orion
Plaza Glodok). Melihat hal tersebut, aparat keamanan (polisi) mulai
membubarkan kerumunan perusuh dengan mengeluarkan beberapa tembakan
dan mengejar para penjarah, akan tetapi dengan banyaknya jumlah penjarah
polisi merasa kewalahan untuk menghentikannya. Kerusuhan di Glodok seperti
perang, dimana penembakan selalu terdengar. Bukan hanya pasar Glodok dan
Orion Plaza yang menjadi sasaran kerusuhan massa, akan tetapi toko-toko yang
berada di pinggir jalan raya milik masyarakat etnis Tionghoa juga menjadi
sasaran penjarahan (Kartasasmitra, 2011, hlm. 70)
C. Dampak Kerusuhan Pasar Glodok
Para pedagang yang mayoritas etnis Tionghoa mengalami trauma yang
mendalam akibat peristiwa tersebut. sedangkan yang nampak adalah kerugian
material berupa bangunan, seperti toko, Swalayan, dan rumah yang dirusak
termasuk harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang dagangan dan lainnya
yang dijarah atau dibakar massa. Di pasar Glodok menampung banyak para
pedagang etnis Tionghoa sebanyak 600 kios. Sekitar 297 kios di pasar Glodok
rusak dan barang dagangan dijarah oleh massa (Titulanita, 2015, hlm. 14).
Peristiwa ini adalah peristiwa yang tak akan pernah terlupakan oleh
pengusaha etnis Tionghoa di Pasar Glodok, toko yang sekaligus menjadi tempat
tinggal mereka hancur di rusak massa, barang dagangan dan perabot rumah
tangga ikut di rusak dan pengusaha etnis Tionghoa merugi dan harus bekerja
keras untuk membangun kembali usahanya tersebut, mereka membutuhkan
waktu yang berbeda-beda untuk membangun kembali usahanya, tergantung

11
keuangan dan kerusakan dari toko yang dimiliki masing- masing pengusaha.
Pengusaha Tionghoa membutuhkan waktu 3 hari sampai dengan 1 bulan untuk
membuka toko miliknya tersebut, selain pertimbangan keuangan juga ada
pertimbangan keamanan, karena situasi dan kondisi yang belum sepenuhnya
aman dan bisa saja terjadi kerusuhan lanjutan (Hutahaean, 2014, hlm 32).
Pasca kerusuhan Mei 1998 perilaku sosial masyarakat Tionghoa tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya, menurut Hutahaean (2014, hlm. 32) menyatakan
bahwa para etnis Tionghoa yang telah membuka kembali usahanya, toko di buka
mulai pagi hari sekitar jam 07.00 pagi, hanya saja mereka lebih waspada dan
hati-hati dalam melayani pembeli yang belum di kenal. Namun selalu ada
pergolakan dalam batin ketika melayani pembeli yang telah dikenal yaitu
masyarakat sekitar, pertanyaan yang selalu muncul, apakah pembeli tersebut ikut
dalam melakukan aksi kerusuhan dan penjarahan tokonya, namun tidak ada
satupun dari mereka yang berani menanyakan hal tersebut. Para pengusaha
Tionghoa juga mempekerjakan orang pribumi dalam bisnis yang dijalaninya,
hampir semua pengusaha Tionghoa yang mempekerjakan pribumi beranggapan,
dengan mempekerjakan warga pribumi dapat memberikan keamanan dalam
menjalankan usahanya dan dapat menambah interaksi sosial terhadap warga
sekitar. Langkah yang dilakukan oleh para pengusaha Tionghoa dalam memulai
kembali usaha dagangnya dari bawah adalah dengan menggunakan uang hasil
pinjaman maupun tabungan selama berdagang.
Dari hal tersebut peristiwa kerusuhan Mei 1998 berdampak besar bagi
pedagang etnis Tionghoa yang mengalami kerugian sangat banyak, usaha yang
telah mereka bangun dengan kerja keras bertahun-tahun hancur dalam satu hari,
yaitu pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Banyak dari pengusaha Tionghoa
yang tidak memiliki pekerjaan tetap lainnya sehingga berdagang adalah
pekerjaan utamanya, maka mau tidak mau mereka harus kembali meniti
usahanya dari awal untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Terbukti tidak
lama setelah peristiwa Mei 1998 para pengusaha Tionghoa kembali membuka
usahanya masing-masing. Bermacam-macam cara mereka lakukan untuk

12
kembali membangun usahanya, ada yang menggunakan uang tabungan untuk
merenovasi bangunan dan membeli barang dagang untuk kemudian dijual
kembali, dan ada pula yang meminjam ke bank dengan jaminan surat
kepemilikan bangunan mereka, bahkan ada juga yang merenovasi bangunanya
secara bertahap dengan waktu yang cukup lama karena harus mengumpulkan
dana dengan hasil berdagang. Ini menunjukan pengusaha etnis Tionghoa
memiliki semangat juang yang tinggi dan optimisme yang kuat dalam
menjalankan usaha dan berdagang
Adapun beberapa dampak bagi pedagang masyarakat setempat yang
mengalami kerusakan dan kerugian dengan adanya peristiwa kerusuhan Mei
1998, seperti pada tingkat pendidikan, mata pencaharian, tingkat pendapatan, dan
tingkat kebutuhan pokok. Menurut Wianingsih (2013, hlm 7) menjelaskan dalam
jurnalnya bahwa sebagai berikut:
1. Tingkat Pendidikan
Kerusuhan tahun 1998 berdampak pada perekonomian sebagian masyarakat,
sehingga tidak bisa menyekolahkan anaknya kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi seperti SD ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke Universitas dikarenakan
minimnya perekonomian rumah tangga. Masyarakat pedagang yang mempunyai
usaha atau pekerjaan selain pedagang, dengan adanya kerusuhan tahun 1998
tidak begitu dirasakan karena mereka masih mempunyai sandaran untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga masalah pendidikan mereka mampu
menyekolahkan anaknya kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, bagi
masyarakat yang mempunya mata pencaharian sampingan tidak mengalami
masalah dalam biaya pendidikan anak.
Pada umumnya faktor yang menyebabkan anak tidak bisa melanjutkan
pendidikannya adalah karena biaya pendidikan yang tinggi dan minimnya
perekonomian orang tua pasca kerusuhan 15 Mei 1998, adapun orang tua yang
berprofesi sebagai pedagang yang menjadi korban kerusuhan 15 Mei 1998. Pada
kerusuhan yang terjadi tidak menjalar ke sekolah-sekolah yang ada, namun

13
dampak dari kerusuhan ini membawa dampak pada tingkat pendidikan yang
mana dipengaruhi oleh faktor minimnya perekonomian dalam keluarga.
2. Mata Pencaharian
Dalam mata pencaharian setelah kerusuhan tahun 1998 yang bermata
pencaharian pedagang kini sebagian mencari pekerjaan dengan mengandalkan
keahlian yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebagian
ada yang memang sudah mempunyai pekerjaan sampingan selain berdagang.
Adapun yang beralih mata pencaharian dengan bekerja sebagai sopir sesuai
dengan keahlian yang dimiliki, dan ada pun yang hanya bermodalkan motor
bekerja sebagai ojek yang bisa di andalkan untuk mencari nafkah, dan ada yang
lainnya bekerja menjadi buruh pabrik, penjual mainan anak, dan tukang becak,
dengan adanya kerusuhan dikarenakan mencari kesempatan bekerja untuk lebih
aman dan kondisinya lebih terjaga. Dengan adanya fenomena kerusuhan itulah
yang menyebabkan mereka tidak tenang untuk berdagang lagi.
3. Tingkat Pendapatan
Sebelum peristiwa kerusuhan mereka berpenghasilan Rp. 300.000-Rp.
500.000 perbulan. Kemudian setelah pasca kerusuhan beralih profesi menjadi
sebagai pedagang sopir, ojek dan buruh pabrik berpenghasilan Rp.70.000-
Rp.30.000. Pendapatan yang tidak stabil, rata-rata pendapatan menurun 70%,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup serba pas-pasan.
Melihat keadaan yang demikian maka di dalam suatu keluarga diperlukan
adanya kegiatan pengawasan (controlling) terhadap setiap pendapatan yang
diterima serta dalam penggunaanya untuk konsumsi maupun kemasyarakatan.
Sering kali setiap keluarga menghiraukan hal yang demikian, sehingga keluarga
tersebut tidak mengetahui seberapa besar pengeluaran yang telah dilakukan,
akibatnya dari setiap bulan tidak ada saldo yang masuk sebagai tabungan, serta
menambah beban hutang. Untuk itu maka pendapatan ini sangat baik dan penting
di dalam memanajemen suatu kegiatan perekonomian di dalam rumah tangga.
4. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pokok

14
Adapun ketersediaan barang dan jasa baik sekaligus maupun bertahap atau
beransur-ansur oleh setiap penduduk juga tidak mengalami kenaikan, penurunan
ataupun perubahan. Konsumsi kebutuhan primer seperti beras, umbi-umbian,
tahu, tempe, ikan, telor, daging, sayuran, gula dan kopi dan lain-lain tidak
sedikitpun mengalami perubahan. Hanya saja barang tersebut yang mengalami
nilai jual yang tinggi. Semua itu bergantung dengan pendapatan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
D. Upaya Pemerintah dalam Menangani Kerusuhan Pasar Glodok
Pada saat lengsernya Soekarno yang menjadi presiden yaitu B.J Habibie dan
disini pun pengangkatan B.J Habibie masih menjadi pro dan kontra pada masa
itu. Yang dilakukan oleh B.J Habibie saat itu mengembalikan aktivitas
perekonomian seperti semula dengan melakukan perbaikan pasar, pertokoan dan
sebagainya. Ada beberapa kebijakan yang dilakukan B.J Habibie atas etnis
tionghoa. Menurut Titulanita dkk, (2015: 15) mengatakan bahwa pertama “disini
pemerintah akan segera melakukan perbaikan pasar Glodok dan Orion Plaza agar
pedagang yang menjadi korban kerusuhan massa dapat segera melakukan
kegiatan perniagaan, dan pembentukan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF)
untuk menemukan, mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa
kerusuhan Mei 1998”. Jadi dalam hal ini pemerintah melakukan pembangunan
pada pasar glodok dengan pertama melakukan perobohan terhadap Gedung-
gedung yang rusak dan terbakar lalu tahap kedua yaitu melakukan rehabilitasi
dan juga renovasi Gedung sehingga pada akhir bulan September 1999 Pasar
Glodok dapat ditempati kembali. Lalu mengenai kebijakan kedua yaitu yang
berlandaskan akibat banyak korban yang berjatuhan atas kerusuhan ini sehingga
pihak komnas perempuan, komnas HAM, LSM, tim relawan dan organisasi lain
mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti kerusuhan Mei 1998. Waktupun
berlalu keadaan indoneisa Nampak nya belum stabil dan disini B.J Habibie
mengundurkan diri.
Presiden pun berganti BJ. Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid,
dalam hal ini presiden Abdurrahman Wahid menaruh simpati kepada etnis

15
tionghoa yang mana mereka selalu mejadi korban aksi kerusuhan. Sehingga
disini menurut Wibowo (2010, hlm. 33 dan 170) “Presiden Abdurrahman Wahid
dengan membatalkan keputusan mantan Presiden Soeharto Nomor
127/U/Kep/12/1966 tentang prosedur ganti nama bagi Warga Negara Indonesia
yang memakai nama Tionghoa, Nomor 49/U/8/1967 pendayagunaan media
massa berbahasa Cina, dan Nomor 14 Tahun 1967 larangan agama, kepercayaan,
pendidikan, dan adat-istiadat Tionghoa hadir di Indonesia dengan mengeluarkan
Kepres Abdurrahman Wahid Nomor 6/2000 yang memperbolehkan orang
Tionghoa menjalankan segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa, agama,
mempelajari bahasa Mandarin beserta aksaranya, dan terakhir perayaan Imlek
dinyatakan sebagai hari libur nasional” jadi presiden disini menerapkan konsep
bangsa Indonesia yang pluralis sehingga negara indoneisa bisa dibangun dengan
keberagaman penduduk. Setelah kebijakan ini di tetapkan etnis tionghoa mulai
terbuka dalam melakukan kegiatan seperti perayaan imlek, kebudayaan tiongkok
yang dikenalkan kepada masyarakat umum dan lain-lain.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerusuhan pasar Glodok disebabkan oleh dua faktor nasional yaitu Krisis
Moneter tahun 1998 di Indonesia, yang mengakibatkan harga sembilan bahan
pokok semakin naik dan menjadi langka dipasaran. Keadaan tersebut membuat
panik masyarakat Jakarta, kesenjangan sosial ekonomi antara kaya dan miskin
semakin terasa dikalangan masyarakat, sehingga muncul berbagai prasangka
buruk sejumlah masyarakat pribumi terhadap warga Tionghoa yang mayoritas
sebagai pedagang. Faktor politik nasional juga sebagai pendukung terjadinya
kerusuhan di pasar Glodok, dimana pada tanggal 13 Mei 1998 aksi demostrasi
mahasiswa Trisakti menuntut perbaikan perekonomian Indonesia dan Soeharto
turun menjadi presiden sehingga memancing massa lain ikut turun kejalan dan
melakukan keributan. Peristiwa tersebut kemudian berubah menjadi gerakan anti
Tionghoa dengan melakukan pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran
pertokoan, kendaraan, dan bangunan lain yang mayoritas milik etnis Tionghoa.
Pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan massa semakin meluas di DKI Jakarta.
Para preman memanfaatkan keadaan tersebut hingga menyebabkan pasar
Glodok dan Orion Plaza menjadi sasaran pengrusak, penjarah, dan dibakar oleh
massa. Meskipun tidak diketemukan korban meninggal di pasar Glodok dan
Orion Plaza, namun, dalam beberapa sumber ditemukan korban yang meninggal
dan luka-luka akan tetapi pedagang Glodok mengalami trauma yang sangat
mendalam, hal itu dikarenakan kerusuhan massa di pasar Glodok digambarkan
seperti perang. Namun dampak yang terlihat adalah kerugian material mayoritas
diderita oleh pedagang etnis Tionghoa yang kehilangan harta benda dan tempat
berdagang, sedangkan korban kehilangan pekerjaan kebanyakan diderita oleh
orang pribumi yang tempat kerjanya rusak dan dibakar oleh massa sehingga
mereka mencari tempat atau pekerjaan lain.
Penyelesaian terhadap kerusuhan pasar Glodok menjelang pergantian presiden
mengalami perbedaan. Pada masa pemerintahan B.J Habibie tanggal 21 Mei

17
1998 melakukan kebijakan dengan perbaikan pasar Glodok dan Orion Plaza.
Menyangkut tuntutan Komnas HAM mengenai penyelesaian kerusuhan Mei
1998, Presiden Habibie membentuk TGPF untuk menemukan, mengungkap
fakta, pelaku, dan latar belakang peristiwa kerusuhan Mei 1998, sedangkan masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid tanggal 20 Oktober 1999 menerapkan
konsep bangsa yang pluralis. Konsep tersebut diperlihatkan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid dengan menaruh simpati terhadap masyarakt Tionghoa di
Indonesia yang selalu didiskriminasi dan menjadi korban kerusuhan.
Menanggapi hal tersebut Presiden Abdurrahman Wahid segera merespon dengan
membatalkan keputusan mantan presiden Soeharto Nomor 127/U/Kep/12/1966
prosedur ganti nama bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama
Tionghoa, Nomor 49/U/8/1967 pendayagunaan media massa berbahasa Cina,
dan Nomor 14 Tahun 1967 larangan agama, kepercayaan, pendidikan, dan adat-
istiadat Tionghoa hadir di Indonesia dengan mengeluarkan Kepres Abdurrahman
Wahid Nomor 6/2000 yang memperbolehkan orang Tionghoa menjalankan
segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa, agama, mempelajari bahasa
Mandarin beserta aksaranya, dan terakhir perayaan Imlek dinyatakan sebagai
hari libur nasional.
Berkaitan dengan pasar Glodok, kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid
muncul media baru khususnya tabloid Glodok Standart berbahasa Mandarin
yang berpangaruh terhadap perkembangan pasar Glodok. Namun kebijakan
diatas tidak begitu saja dapat menyelesaikan kerusuhan Mei 1998. Berdasarkan
uraian-uraian peristiwa yang telah dijelaskan pada bab-bab selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa: Lambannya penanganan dari aparat keamanan menangani
dan menaggapi rangkayan peristiwa kerusuhan Mei 1998, mengakibatkan
kerusuhan massa meluas.
Pemerintah bertanggung jawab untuk menuntaskan segala bentuk
premanisme yang berkembang disemua lingkungan masyarakat. Orang Tionghoa
kurang menjalin komunikasi budaya dan membaur dengan masyarakat pribumi
sehingga prasangkaprasangka etnis terus berkembang kemudian dapat

18
membahayakan keselamatan etnis Tionghoa. Sikap pemerintah yang memberi
kemudahan orang Tionghoa berkembang di bidang perekonomian, seperti di
Kelurahan Glodok mayoritas pedagang Tionghoa menempati tempat strategis
dan layak untuk berdagang, sebagai contoh Pasar Glodok dan Orion Plaza adalah
tempat perniaagaan mayoritas dikuasai oleh pedagang Tionghoa. Sikap tersebut
mengakibatkan kecemburuan sosial masyarakat pribumi. Pemerintah harus
memberikan rehabilitasi, kopensasi, dan membantu pembangunan kembali
pertokoan milik korban kerusuhan. Pemerintah perlu memudahkan korban untuk
mengurus surat-surat berharga milik korban kerusuhan.
B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan lebih kuat menganalisis dalam menjelaskan topik
pembahasan ditambah dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya
dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu maka peneliti menerima dengan baik
kritik atau saran terhadap penulisan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bian Poen dkk. (2004) Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan
Mei 1998. Jakarta : Publikasi Komnas Perempuan.

Dijk, K. V. (2001). A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Jakarta:
KITLV Press.

Heryanto, A. (1999). The Years of Living Luxuriously: Identity Politics of Indonesia’s


New Rich (In Michael Pinches: Culture and Priveledge in Capitalist Asia).
London and New York: Routledge.

Justin Suhandinata. (2009) WNI Keturunan Tionghoa, Dalam Stabilitas Ekonomi dan
Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Jusuf, E. I. (2007). Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data, dan Analisa. Jakarta:
Solidaritas Nusa Bangsa dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia.

Kartasasmita, G. (2011). Peristiwa Mei 1998: A Study Of Anti-Chinese Violence In


Glodok District, West Jakarta. Disertasi: Diterbitkan. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta.

Suhandinata, J. (2009). WNI Keturunan Tionghoa, Dalam Stabilitas Ekonomi dan


Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Tan, M. G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

Wibowo dan Thung Ju Lan. (2010). Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa
paca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Zon, F. (2004). The Politics of May 1998 Riots. Jakarta: Solstice Publishing.

20
Desertasi

Kartasasmitra, Gian (2011). PERISTIWA MEI 1998: A STUDY OF ANTI-CHINESE


VIOLENCE IN GLODOK DISTRICT, WEST JAKARTA. FIB UI: Tidak
diterbitkan

Internet

Galih, Bayu, (2015) 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998
Itu?. Tersedia [Daring] pada
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/12/10504581/20-tahun-tragedi-
trisakti-apa-yang-terjadi-pada-12-mei-1998-itu.

Hutahaean, Juliandry. (2014), Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Pengusaha


Etnis Tionghoa Di Pertukangan Jakarta Tahun 1998-2003. Jurnal Of
Indonesia History. Vol 3 (1) Hlm 27-33. [Daring] diakses di
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/3880/3535.
Siegel. J. T (1998) Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in
Jakarta. Jurnal Southeast Asia Program Publications at Cornell University
Nomor 66, Oktober 1998.

Titulanita, F. (2015). KERUSUHAN PASAR GLODOK: (STUDI KASUS ETNIS


TIONGHOA DI KELURAHAN GLODOK KECAMATAN TAMAN SARI
JAKARTA BARAT). Jurnal: Publika Budaya, 1(3), hlm. 10-19. [Daring].
Diakses dari https://jurnal.unej.ac.id/index.php/PB/article/view/1533.

Wianingsih, dkk. (2013). Dampak Kerusuhan 15 Mei 1998 Terhadap Kehidupan


Masyarakat Di Desa Karang Asih Kecamatan Ckarang Utara Kabupaten
Bekasi. FKIP Universitas Lampung. Hlm 1-12. [Daring] diakses di
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/1144.

21

Anda mungkin juga menyukai