Anda di halaman 1dari 31

Latar Belakang Konflik Poso

Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun
sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik
terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan
agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang
mewarnai konflik tersebut.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso
tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun
banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.

Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang
Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat
atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah
Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sadan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah,
sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Baree dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun
untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.

Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum
pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo
Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama
yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso.
Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti
yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan
dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.

Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang
melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas
dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya agama dijadikantedeng aling-aling pada setiap konflik yang
terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang
ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara
keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-
masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.

Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso
pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan
1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi
yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam
bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan
madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat
perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa
Mandale. Kerusuhan-kerusuhan kecil tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak
sampai melebar apalagi berlarut-larut.

Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan
runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran aparat keamanan yang sedang digugat disemua lini
melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif.
Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan
keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya
keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai
lima.[2]

Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan
ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat
beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya
bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota
keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti
dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso.
Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana,
kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus,
mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan
pertama dan kedua.

Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang,
parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena
sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan
bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.

Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan
perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama.
Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.

Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut tawuran, [3] sebab konflik
hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian
kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan
kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang
berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.

Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan
ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas
pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan.
Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas,
sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ).
Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak
konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik
keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis pascakonflik.

Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut,
ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok
memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu
tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui
instrumen isu pendatang vspenduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-
kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan,
sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen
bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya
menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut
sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan
finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi
lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.

Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam dalam konstelasi politik
Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen.
Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen
Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso
mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah
sisanya Budha dan Hindu. [5]

Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga komposisi
penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh
oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli.
Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan
structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat
Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke
wilayah basis Kristen.

Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai
punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal.
Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas
keagamaan.

Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan
digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan
berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain
pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru
kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan.
Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan
masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya
berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati
konflik Poso.

Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat kompleks melibatkan elemen-
elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan
pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan,
birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

1. Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998


pkl. 02.00 Wita : Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama Ridwan
Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan
oleh Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl.
Tabatoki sayo.
Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di
RSU Poso.
Pkl. 02.30 . Timbul reaksi dari pemuda/ pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan beredar isu isu
sbb.
- Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan
Samratulangi.
- Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah melontarkan kata-kata Umat Islam
kalau buka puasa pake RW saja
- Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.
Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya berjumlah 50 orang mengendarai truk
turun di muka RSU Poso ,menengok Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan
Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.

Pkl.14.45 Wita .Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal penduduk milik tersangka (ROY
BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo.
Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu,kayu, dan senjata tajam.

Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda /remaja berjumlah sekitar 300 orang merusak penginapan dan diskotik
DOLIDI NDAWA diJln.P.Nias Kel.Kayamanya ,menggunakan batu dan kayu.

Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa
dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang
melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo,hingga bangunan rumah dan
diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.

Pkl. 19.00 Wita. Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan penyembrangan kuala Poso yang bermaksud
untuk bergabung dengan massa remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan
antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun massa dapat
dikendalikan .

Pkl. 20.20 Wita. Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks pertokoan dan tempat-
tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa
melakukan pengrusakan dengan cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan
besi dan senjata tajam /parang:
1. Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
2. Toko Hero diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
3. Pabrik Minuman Keras merek SAR di Kel.Kayamanya dilempar mengenai atap Seng.
4. Toko Asia diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
5. Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar diJalan Raya.
6. Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis dan ruang penerima tamu
hotel.
7. Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel pecah.
8. Rumah makan Arisa diJln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan
diJalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.

Sedangkan massa berjumlah 500 orang dari masyarakat Kel.Bonesompe dan Lawanga juga melakukan
pengrusakan Hotel NELCON CYTY HOTEL dan Toko TIGA DARAH.

Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan


Sabtu, 26 Desember 1998.
Pkl. 07.00 Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang Rejo, Kayamanya, Moenko bergerak mencari Toko dan
Gudang yang diduga ada Miras . Demikian -bleep- massa dan Risma dari Arah kelurahan Lawanga , Bonemsompe
dan Sayo masing-masing bergerak mencari miras yang ada diToko dan Gudang.Kemudian semua miras dikumpul
pada tempat parkir lapangn MAROSO, sampai pada pukul 15.30 Wita miras yang terkumpul dari berbagai jenis
sejumlah 15 truk yang diperkirakan puluhan ribu botol yang besar maupun kecil.

16.00 bupati bersama Kapolda Sul-teng Muspida Tingkat II Poso bersama tokoh Agama dan masyarakat
menyaksikan pemberantasan miras dengan menggunakan alat berat sten wals maka lembah got lapangan Maroso
mengalirlah cairan miras laksana bah air hujan dengan bau yang menusuk hidung sementara umat Islam sedang
berpuasa. Demikianlah selanjutnya miras senentiasa terkumpul lalu dimusnakan. Kemudian sore itu juga Kapolda
Sul-teng kempali kepalu.

17.00 Massa dari arah lawangga Bonesompe dan Gebangrejo bergerak menuju kel. Untuk menuntaskan miras yang
ada di Toko lima yang diduga masih ada sekitar ribuan botol yang terdapat diruang bawah tanah. Pada waktu
massa ingin mengambil miras tersebut maka toko Lima telah dibendung oleh massa pemuda Kristen dan
masyarakatnya. Tidak diizinkan untuk diganggu termaksuk mengamankan kel. Lombogu dari. Demikianlah keadaan
berlangsung sampai malam hari kerusuhan demi kerusuhan terjadi.
19.00 Massa dan Risma kembali berjalan ditambah lagi massa dari desa Tokorondo Kec. Poso Pesisir sehingga
masssa besar ini terpaksa berhadapan dengan pasukan PPH dijembatan besar sungai Poso di tengah kota dengan
massa yang diduga dipimpin Herman Parimo + 20 truk.

19.30 Rapat dan musyawarah Tokoh Agama Kristen dan Islam serta tokoh pemudanya yang dipimpin oleh bupati
bersama Muspida dan ketua DPR Tingkat II Poso. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa semuanya
sepakat dan menyatakan perdamaian. Keadaan itu di sosialisasikan dan dinyatakan aman. Namun suara massa
sudah ribut dan hiruk pikuk karena sudah terjadi bentrok tawuran.

20.00 Toko agama ulama dan pendeta serta toko pemuda Islam dan Kristen dipimpin oleh Muspida Tingkat II Poso
bergerak menuju tempat kerusuhan untuk mengendalikan massa yang sudah terjadi bentrok tawuran, dalam
keadaan hujan batu tersebut massa tidak bisa diterobos terpaksa pasukan PPH Brimob dan Polisi melepaskan
tembakan peluru hampa dan peluru karet kemudian massa kembali lalu tokoh memberi nasehat dan berdoa
bersama kemudian bubar, namun dilain pihak massa masih terjadi tauran diarah kelurahan Lawanga dengan
Lombogia masih terjadi tauran sporadis sampai pagi hari.

Minggu, 27 desember 1998

08.00 bupati bersama muspida dan tokoh agama dan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar
sentral untuk mensosialisasikan kesepakan damai dan dinyatakan aman.demikianlah tiem bergerak dari pasar
kemasing-masing kelurahan sampai tuntas kelurahan dan dinyatakan aman dan damai .

18.30 malam hari sesudah buka puasa bupati bergerak bersama tiemnya menuju desa Tagolu untuk
mensosialisasikan perdamaian dengan massa yang dipimpin oleh Herman parimo (tokoh GPST semasa perang
dengan PERMESTA). Massa tersebut diperkirakan dari 12 desa dari kecamatan Pamona utara dan lage + 40 truk,
namun herman ternyata acuh karena sementara Bupati berpidato herman meninggalkan tempat sehingga bupati
bersama tim pulang kekota Poso.

22.00 Pasukan herman parimo bergerak menuju kota Poso dan melakukan demonstrasi kekuatan sambil melempar
rumah-rumah dan toko-toko disekitar Jl. P. Kalimantan dan Sumatra sehingga masyarakat gebangrejo kaget karena
sudah damai dan aman mengapa masih ada kerusuhan dengan serangan tiba-tiba sementara masyarakat sudah
tenang istirahat setelah sholat tarawih.

22.30 Pasukan PPH mengundurkan pasukan massa Herman Parimo dan diundurkan dari arah pasar sentral. Kantor
Polres hingga jembatan sampai dibundaran ujung utara jembatan poso. Massa Gebangrejo yang minus
mengadakan perlawanan hanya puluhan orang hingga pagi hari.

Senin, 26 Desember 1998

05 45 Massa yang dipimpin oleh Herman Parimo yang berkumpul disekitar perempatan terminal Tentena
(Lombagia) sampai desa Tagolu Kec. Lage bergerak menyatu kekota Poso dan mulai menyerang ke kelurahan
lawangga kampong arah serta melempari dengan batu. Demikian -bleep- kelurahan Bonosompe telebih lagi
kelurahan Gebangrejo massa tersebut yang berjumlah + 5000 personil karena di kelurahan Lawanga sudah mulai
tejadi maka tokoh masyarakat Islam Yahya Magun diundang oleh Tokoh Masyarakat Lombogia untuk
menenangkan keadaan namun Tokoh tersebut pada waktu tiba hanya mendapat serangan dan hampir kena bacok
parang lalu menghindar dari kerusuhan tak bisa terelakan.

06.00 Massa herman Parimo yang seluruhnya beragama kristiani + 5000 personil itu mulai menyerang melempar
dan membakar rumah penduduk Islam Jl. P. Kalimantan kemudian massa Islam datang satu demi satu mengadakan
perlawanan dari anak-anak sampai orang tua pria dan wanita dan komando jihad fi sabilillah mulai
dikumandangkan dikumandangkan dengan pekik Allahu akbar. Oleh tokoh masyarakat Islam yang punya karismatik
maka terjadilah bentrokan dengan menggunakan lemparan batu. Tombak, parang, senapan angin dan lain-lain
termasuk bom Molotov (rakitan dengan mengunakan botol) dari kedua bela pihak dan massa muslim bergerak dari
arah gebangrejo, kayamanya, moengko,lawangga, dan bonosompe + 1000 personil melawan 5000 personil massa
Kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo. Demikanlah bentrokan terjadi tanpa seorang pun aparat keamanan
yang mampu mengendalikan bentrokan berlangsung pada pukul 06.00 pagi sampai dengan jam 12 siang dan massa
kristiani yang dipimpin Herman Parimo mengundurkan diri serta lari kearah gunung bukit pancaran TVRI yang
lainnya menyerah minta ampun dan minta perlindungan dari massa umat Islam mereka pun semuanya dilindungi
dan diamankan dalam ruang gereja tanpa ada ganguan sedikitpun.

12.00 Massa Islam bersama Risma menguasai kota secara keseluruhan. Kemudian massa dari desa Tokorondo
kecamatan Poso pesisir, parigi dan ampana seluruhnya + 500 orang personil datang membantu mengamankan
kota karma diperkirakan pasukan Herman parimo akan datang menyerang kembali namun pada sampai tanggal 29
Desember 1998 tidak ada penyerangan dan Herman Parimo malah dikejar dan melarikan diri ke selawesi selatan
daerah palopo.

15.30 Massa Islam mengamankan kota dan membuat pos-pos jaga (posko) dimasing-masing kelurahan, lingkungan
RT, RW massa dari parigi jaga diposko ujung jembatan baru. Massa Ampana menjaga diposko perempatan terminal
tentena, massa Islam dalam kota menjaga masing-masing lingkungan dengan dikoordinir masing-masing Risma
setempat.

Selasa , 29 desember 1998

09.00 kunjungan gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Tengah memimpin rapat yang dihadiri MUSPIDA Tingkat I, Tokoh
masyarakat,Tokoh Agama Tingkat I MUI, Pendeta Sinode, Bupati KDH Tingkat II dan muspida serta tokoh-tokoh
Agama dan masyarakat di kota poso bersama kelompok yang menamakan diri Mujahid Fisabilillah melalui
coordinator selaku juru bicara ,membicarakan keamanan Kota Poso setelah dikuasai oleh Anggota Mujahid
Fisabilillah Umat Islam ( disingkat Mujahid ) Kota Poso .karena aparat keamanan tidak berfungsi secara maksimal
selama kerusuhan berkecamuk.
13.00 Tercapai kesepakatan bahwa :
1. Keamanan kota Poso berangsur ditangani oleh aparat keamanan, yang pelaksanaannya secara bersama
masyarakat kota Poso dan mujahid.
2. Menagani menurut hukum yang berlaku, oknum-oknum yang diduga sebagai provokator.

16.00 Pertemuan Pemda Tingat I dengan semua Tokoh agama serta koordinatir coordinator mujahid fisabilillah,
membahas keadaan yang porakporanda akibat kerusuhan. Serta keberadaan Herman Parimo (oknum yang diduga
salah satu provokator). Upaya mengembalikan penduduk yang mengungsi pemulihan kecamatan serta
menormalkan kembali fungsi pasar.

17.00 Aparat keamanan bersama masyarakat kota Poso dan mujahid. Dalam pengamanan kota Poso dengan
system ronda/ jaga malam.

Rabu, 30 Desmber 1998

06.00 Para pesuru yang mengunsi berdatangan menyerahkan diri kepada petugas dan penduduk yang mengawasi
mulai berdatangan kembali dalam keadaan lemah :
1. Ditampung dan dilayani (makan) diposko penampungan yang dipusatkan do GOR Poso.
2. Yang Luka-luka diawali dirumah sakit.

08.00 Pasar sentral sebagai pusat perekonimian masyarakat kota Poso mulai pulih kembali. Para penjual dan
pembeli sudah berdatangan sehingga kegiatan sudah kembali seperti biasa.

09.00 Keadaan kota Poso sudah pulih dan netral.

Jumat 8 Januari 1999

Pertemuan tokoh Agama. Ulama, pendeta dan tokoh agama Islam, tokoh pemuda Kristen dihadapan bupati kepala
daerah tingkat II Poso dan Muspida Tingkat II Poso serta Tim Komnas HAM pusat menghasilkan kesepakatan perlu
membentuk Forum Komunikasi antar umat beragama Kabupaten Poso.

Selasa 12 Januari 1999

Terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama Kabupaten Poso yang denganterbitnya Surat Keputusan BKDH
Nomor 454.5/0207/ SOSIAL tentang pembentukan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) di
Kabupaten Dati II Poso.

Selasa, 26 Januari 1999

FKAUB Mengadakan Rapat dan menghasilkan


1. Tata kerja FKAUB
2. Program Kerja FKAUB
3. Pembentukan pos Komunikasi FKAUB.

BAB I
PENDAHULUAN
1. latar belakang
Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan politik yang tidak
menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara struktural maupun horizontal. semenjak
runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata
sisitem politik yang demokrasi berkeadilan.
Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di berbagai daerah,
salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA.
Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian
antardua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi
implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik
horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban
menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut larut yang memakan korban jiwa dan harta.
Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir 1998, kerusuhan
pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti oleh komitmen kedua belah pihak
yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16
april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang
peristiwa ini yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah termasuk
elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader kader dari pihak umat kristiani yang bermunculan
sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin
Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial
sehingga sewaktu waktu dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung
pada kerusuha. Oleh karena itu, potensi potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari
elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.
BAB I
PEMBAHASAN
1. Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso
Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya rasa ketidak adilan.
awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun
pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa sebelumnya melalui muspida setempat selalu
diusahakan adanya keseimbangan. contohnya, jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan
dicarikan dari Islam. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan demokrasi tiba-
tiba the winner take all," kata Wapres. Karena pemenang mengambil alih semua kekuasaan, tambah Wapres maka
pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidak adilan.
Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam
masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari
masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai
dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :
a) Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan
ramadhan.
b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku suku pendatang seperti bugis, jawa, dan gorontalo, serta kaili
pada kerusuhan ke III.
c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah
tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini
merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol simbol perjuangan ke agamaan kristiani pada
kerusuhan ke III.
e) Pembakaran rumah rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada kerusuhan ke I
dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.
f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah
penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.
h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan III.
Terlepas dari setuju tidak terhadap pendapat mengenai akar amsalah dari konflik poso, secara sibernetik hal ini
dapat di jelaskan sebagai berikut : bahwa pada intinya budaya pada masyarakat poso mempunyai fungsi untuk
mempertahan kan pola atas nilai nilai sintuvu maroso yang selama ini menjadi anutan masyrakat poso itu sendiri.
adanya Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan
ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai nilai yang selama ini manjadi landasan hidup bersama.
Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan kemudian
menimbulkan reaksi balik untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap pelaku pelanggaran nilai nilai
tersebut. Disisi lain bagi masyarakat kristiani hal ini menimbulakn masalah baru mengingat aksi masa tidak di
tujukan terhadap pelaju melainkan pada pengrusakan hotel dan satrana maksiat serta operasi miras, yang di
anggap telah menggangu kehidmatan masyrakat kristiani merayakan natal, karena harapan mereka operasi
opresi tersebut di laksanakan setelah hari natal.
Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di poso adalah dalam hal ini adanya perkelahian
antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak di terapkan hukum secara adil maka ada kelompok
yang merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di poso terletak pada masalah politik.
Bermula dari suksesi bupati, jabatan sekretaris wilayah daerah kabupaten dan terutama menyangkut soal
keseimbangan jabatan jabatan dalam pemerintahan.
Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan poso adalah justru terletak karena adanya
kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan kaum pendatang seperti bugis,
jawa, gorontalo, dan kaili. Kecemburuan sosial penduduk asli cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai
masyarakat asli malah tertinggal dari kaum pendatang.
2. Dampak dari konflik sosial yang terjadi di poso
kerusuhan yang terjadi di poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di
akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis bendampak besar bagi
mereka yang mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari
keseluruhan, kerusuhan poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan
sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap
penduduk muslim kota poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten poso yang tidak mengerti
sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota poso.
Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :
1. Budaya dampak sosial yang terjadi adalah :
di anut kembali budaya pengayau dari masyarakat pedalaman (suku pamona dan suku mori).
Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
Runtuhnya nilai nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial
masyarakat poso yang pluralis.
2. Hukum dampak sosial yang terjadi adalah :
Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok
putih.
Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap manusia seperti
pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat kabupaten poso.
Muculnya perasaan dendam dari korban korban kerusuhan terhadap pelaku.

3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :


Terhentinya roda pemerintahan.
Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
Hilanggnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing masing kelompok
kepentingan.
Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
4. Ekonomi dampak sosial yang terjadi adalah :
Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin
gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
Eksodus besar besaran penduduk muslim poso.
Terhentinya roda perekonomian.
Rawan pangan.
Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

3. Solusi dari konflik di poso


Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani
konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus
pada masalah politik. Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan,
anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja
sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu. Mereka
harus bersanding, bukannya bertanding,.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah
menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari.
kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia
mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat
perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.
Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi juga tak masuk di akal sehat. Sebab,
semua orang tahu bahwa soal penggunaan senjata bagi warga sipil bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak
sembarang orang bisa membawa atau memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya, kenapa justru warga
sipil khususnya di Poso begitu bebas memiliki senjata
Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso sebenarnya tidaklah terlalu
sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-
potong yang menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan sedini
mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya
kewaspadaan terhadap gerak-gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam.
Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan. Harapan kita masyarakat Poso akan
kembali dapat hidup dengan tenang dan damai.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pembahasan sebelumnya maka dengan ini saya menarik suatu kesimpulan mengenai
konflik sosial yang terjadi di poso adalah berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis
tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada
subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Blum lagi kurang adanya keadilan dimana ada
sebagian masyarakat yang merasa di diskriminasi, ada juga masalah politik dimana penguasaan struktur
pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada keseimbangan jabatan dalam pemerintahan. Serta masalah
tentang karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan kaum
pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili.
Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat poso itu sendiri,
Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga
bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu.
Cara yang mesti kita lakukan adalah melakukan kerja sama mulai dari kalangan pengusaha hingga tingkat
mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar
masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. Jangan hanya bergantung pada aparat
keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun
secara paralel.
2. Saran/kritik
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik sosial yang
terjadi di poso, Yang merupakan salah salah satu tragedi nasional.
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini
di masa akan datang.
Penulis juga berharap agar dalam penyelesaian masalah konflik sosial di poso ada kerja sama dari semua pihak
tanpa ada rasa memihak satu kelompok.
Diposkan oleh fadly_pinokiodi 22.14

Kerusuhan Ambon dan Poso (1999)

Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali dengan terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda
Kristen asal Ambon yang bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dengan seorang pemuda Islam
asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan dan sering melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" )
khususnya terhadap setiap sopir angkot yang melewati jalur Pasar Mardika Batu Merah.

Saat itu tanggal 19 Januari 1999, masih dalam hari raya Idul Fitri (hari kedua), pemuda Bugis NS bersama temannya
seorang pemuda Bugis lain bernama T, melakukan pemalakan di Batu Merah terhadap pemuda Kristen J.L selama
beberapa kali ketika J.L mengendari angkotnya dari jurusan Mardika Batu Merah. Namun permintaan kedua
pemuda Bugis tersebut tidak dilayaninya, karena J.L belum mempunyai uang, mengingat belum ada penumpang
yang dapat diangkutnya, karena hari itu hari raya Idul Fitri.

Permintaan dengan desakan yang sama dilakukan oleh pemuda NS hingga kali yang ketiga saat pemuda Ambon J.L
berada di terminal Batu Merah, malah pemuda Bugis NS tidak segan-segan mengeluarkan badiknya untuk
menikam pemuda Ambon J.L. Untunglah J.L sempat menangkisnya dengan mendorong pintu mobilnya.

Merasa dirinya terancam, pemuda J.L langsung pulang ke rumahnya mengambil parang (golok) dan kembali ke
terminal Batu Merah. Disana ia masih menemukan pemuda Bugis NS bersama temannya T. Ia kemudian
memburunya, dan NS kemudian berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah.

NS kemudian ditahan oleh warga Batu Merah, dan ketika ia ditanya apa permaslahannya, maka ia (NS) menjawab
bahwa, "ia akan dibunuh oleh orang Kristen".

Beberapa saat berselang atau sekitar 5 menit setelah peristiwa saling kejar-mengejar antara pemuda Muslim asal
Bugis, NS dengan pemuda Kristen asal Ambon J.L, seperti ada komando, kerusuhan akhirnya pecah dimana-mana
dalam kota Ambon.

Kira-kira jam 15.00 WIT ratusan masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah (lokasi dimana pemuda Bugis NS
dikejar dan berteriak akan dibunuh oleh oleh orang Kristen) bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika
(tetangga desa Batu merah) dengan menggunakan berbagai alat tajam (parang, panah, tombak dan lain-lain)
dengan seragam dan berikat kepala putih. Mereka sempat melukai, merusak dan mebakar rumah-rumah warga
Kristen Mardika. Demikian juga pada waktu yang bersamaan, beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti
Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale dan Waihaong ikut diserang oleh kelompok penyerang Muslim.
Beberapa orang warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja yang terletak di kawasan Silale
dirusak dan akhirnya dibakar oleh masa.

Dari lokasi-lokasi ini, kerusuhan berlanjut terus dan hanya berbeda waktu beberapa menit dari lokasi ke lokasi yang
lain.
Warga Kristen yang mendiami lokasi Batu Gantung , Kudamati dan sekitarnya setelah mendengar penyerangan
yang dilakukan oleh masa Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Kampung Ohiu, Waihaong dan
Silale serta mendengar isu gereja Silale telah terbakar, bangkit amarahnya dan memberikan serangan balasan
terhadap warga Muslim melalui pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah di kawasan Batu Gantung dan
Kompleks Pohon Beringin, serta melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap berbagai kendaraan seperti
becak, sepeda motor dan mobil.

Beberapa lokasi di dalam wilayah kota Ambon terus berkecamuk. Di lokasi Pohon Puleh, Tugu Trikora dan Anthony
Rhebok hingga tengah malam tanggal 19 januari 1999, terlihat masa diantara kedua kubu saling berhadap-hadapan
dan mencoba untuk saling melakukan penyerangan dengan pelemparan batu yang diteruskan dengan pengrusakan
dan pembakaran sejumlah rumah diantara kedua belah pihak, pembakaran kendaraan (becak, sepeda motor dan
mobil) dan pembakaran sebuah sekolah Al Hilal di Jl. Anthony Rhebok. Sementara itu di kawasan Batu Merah
Tanjung yang dihuni oleh mayoritas warga Muslim, terjadi pengrusakan, pembakaran terhadap rumah-rumah dan
pembantaian terhadap beberapa warga Kristen. Di lokasi inipun sebuah gereja sempat dirusak kemudian dibakar
oleh masa Muslim. Sedangkan di lokasi Puleh (Karang Panjang) warga Kristen sempat merusak dan membakar
rumah-rumah warga Muslim, demikian juga sebuah mesjid yang terletak di lokasi ini.

Menjelang pagi hari tanggal 20 Januari 1999, terjadi penyerangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh warga
Kristen terhadap kompleks Pasar Gambus, kompleks Pasar Mardika dan kompleks Pasar Pelita yang berada di
tengah-tengah jantung kota. Penyerangan ini dimulai dengan kosentrasi masa Muslim disekitar Jl. A. J. Patty
menuju ke lapangan Merdeka Ambon yang diduga akan melakukan penyerangan ke gereja Maranatha (gereja
Pusat Ambon).

Masa Kristen yang berada di sekitar kompleks gereja Maranatha merasa terancam, akhirnya melakukan
penyerangan ke lokasi tersebut yang merupakan daerah yang mayoritas dihuni oleh warga muslim dengan jalan
membakar habis kompleks tersebut. Diperkirakan banyak korban yang meninggal, karena terjebak kebakaran yang
hingga saat ini sulit teridentifikasi.

Pecahnya kerusuhan Ambon tanggal 19 Januari 1999 akhirnya melebar keluar kota Ambon. Pada tanggal 20 Januari
1999, kira-kira jam 09.00 WIT, warga Muslim jazirah Leihitu yang terletak bagian barat dan utara Pulau Ambon
mulai bergerak dengan sasaran menuju kota Ambon. Menurut data yang ditemukan di lapangan , tujuan mereka
bergerak menuju kota Ambon karena adanya isu bahwa mesjid Al-Fatah di kota Ambon telah dibakar oleh orang-
orang Kristen. Selain itu juga ada data yang mengungkapkan bahwa tujuan mereka ke Ambon adalah dalam rangka
silahturahmi berkenan dengan hari raya idul fitri.

Ketika mereka mulai bergerak pada tanggal 20 Januari 1999, sedikitnya ada 3 pasukan penyerang. Pasukan
pertama terdiri dari warga Muslim desa Hitu, Mamala, Morela dan sebagian lagi warga Desa Wakal yang
melakukan penghancuran terhadap warga Desa/Dusun Kristen Telaga Kodok, Benteng Karang, Hunuth/Durian
Patah, Waiheru, Nania dan Negeri Lama.

Spoiler for warning dp pict


Menurut data yang peroleh di lapangan beberapa saat setelah terjadi penyerangan dan pembantaian pasukan
pertama dan pasukan kedua di lokasi-lokasi yang disebut di atas, warga Desa Hila Islam menyerang dan membumi
hanguskan Dusun Hila Kristen yang sebenarnya dari segi adat istiadat dan budaya masih mempunyai hubungan
keluarga. Penyerangan ini mengakibatkan seluruh rumah-rumah warga Kristen di Dusun ini terbakar termasuk 1
(satu) buah Gereja tua yang mempunyai nilai sejarah, 1 (satu) orang dibunuh dan dibakar serta 2 (dua) orang
lainnya mengalami luku-luka. Warga Kristen Dusun ini terpaksa harus mengungsi dengan berjalan kaki melewati
gunung (ada yang sampai dua hari perjalanan untuk tiba ditempat pengungsian yaitu Desa Hative Besar).v Dalam
perjalanan pengungsian ini mereka juga ditolong saudara-saudaranya dari Desa Kaitetu yang beragama Muslim.
Kerusuhan demi kerusuhan di Pulau Ambon pada akhirnya bersangkut paut dengan sikap toleransi warga yang
berdomesili di Pulau Ambon. Sementara isu pertikaian yang bernuasa SARA semakin dipertajam sehingga
menimbulkan panatisme antara masing-masing umat beragama. Berkenaan dengan itu maka pada tanggal 21
Januari 1999 warga Kristen yang berdomisili di Batu Gajah Dalam mendengar terbunuhnya 2 (dua) orang pendeta
dan pembakaraan beberapa buah gereja dalam penyerangan yang dilakukan oleh warga Muslim dari jasirah Leihitu
kemudian bangkit menyerang warga Muslim Dusun Batu Bulan dan membantai sejumlah warganya.

Dari data di lapangan terungkap 150 buah rumah dibakar/dirusak, 5 (lima) orang dibunuh dan 1 (satu) buah Mesjid
terbakar. Demikian juga pada tanggal yang sama warga Kristen yang berdomesili di Batu Gantung Dalam (Kampung
Ganemo), Mangga Dua, Kudamati ikut melakukan penyerangan terhadap warga Muslim yang berada di sekitarnya.
Dalam penyerangan ini 8 (delapan) orang meninggal dunia.. 5 (lima) orang warga Muslim diantaranya dibantai
kemudian dibakar bersama mobil truk yang mengangkutnya di kawasan Mangga Dua karena diduga sebagai
propokator dan membawa bahan peledak.

Sementara itu di kawasan Desa Hative Besar Kotamadya Ambon terjadi penyerangan dari warga Muslim asal
Buton, Bugis dan Makasar dari Dusun Wailete yang berada di bawah wilayah Desa Hative Besar yang
mengakibatkan puluhan rumah warga Kristen Desa Hative Besar terbakar. Peristiwa ini selain dipicu oleh dampak
kerusuhan Ambon tanggal 19 Januari 1999, juga diakibatkan oleh dendam lama yaitu peristiwa kerusuhan yang
terjadi pada bulan Nopermber 1998. Tindakan penyerangan warga Dusun Wailete tersebut dibalas oleh warga
Kristen Desa Hative Besar yang membakar habis lokasi pemukiman mereka. Akibat Peristiwa ini ratusan rumah
terbakar dan 4 (empat) orang Warga Muslim Meninggal, 1 buah Mesjid dan 1 buah Mushola terbakar.
Analisa

Fakta-fakta di lapangan seperti mudahnya konsentrasi massa terjadi dalam jumlah yang masive di berbagai tempat
dalam waktu yang bersamaan, rangkaian peristiwa yang begitu cepat dari satu tempat ke tempat-tampat lain
dengan isue-isue yang provokatif, bahkan peritiwa tangggal 19 Januari yang mengawali kerusuhan lanjutan pada
keesokan harinya terjadi di tempat yang berbeda dalam tempo yang hampir bersamaan, membuat kita jadi patut
bertanya apakah peristiwa-peristiwa tersebut merupakan rangkaian kejadian terencana ?

Peristiwa Ambon sebagai suatu rangkaian peristiwa dapat dilihat dari tiga tahapan sebagai berikut :

I. Prakondisi

Pertentangan antar kelompok yang melibatkan sentimen agama sebagai isu berakibat pada meletusnya
kerusushan pada tanggal 19 hingga 23 Januari 1999.

Sebagai suatu kondisi psikologis maupun yang pernah mengemuka menjadi konflik terbuka antar kelompok agama
memang realitas yamg rupanya telah lama terdapat di dalam masyarakat. Bukti-bukti untuk hal ini adalah kejadian-
kejadian yang sebelum peristiwa kerusuhan bulan Januari ini terjadi. Yakni misalnya pertikaian yang terjadi pada
tanggal 3 Maret 1995 antar warga desa Kelang Asaude dan warga desa Tumalehu, peristiwa serupa terjadi juga
pada tanggal 21 Februari 1996.

Fakta-fakta tersebut di atas menujukan bahwa dari kondisi obyektif menunjukan adanya konflik yang bersifat lokal
dan sesekali menjadi suatu pertentangan terbuka. Situasi inilah yang juga mulai nampak dimainkan dan
mengemuka pada masa mendekati waktu kerusuhan terjadi dalam aktivitas-aktivitas sebagai berikut :

1. Pada tanggal 15 Januari di kecamatan Dobo telah terjadi perkelahian antar kelompok yang mengatasnamakan
agama. Hal serupa terjadi juga di wilayah Wailete dan Bak Air.
2. pada pertengahan bulan Januari telah berkembang isu konflik antar agama dan bahaya saling
menyerang.penyebaran isu melalui beredarnya selebaran di kalangan kelompok-kelompok yang bertikai.selebaran
berisi berbagai informasi yang mempertajam sentimen agama.
3. adanya mobilisasi kelompok-kelompok massa tertentu dari luar daerah Ambon menjelang dan ketika kerusuhan.

II. Peristiwa Kerusuhan Tanggal 19-23 Januari

Kerusuhan dicetus (trigering factor) ditiga wilayah sekaligus : Simpang Tiga antara Batu Merah-Amantelu dan
Galunggung, Jalan depan Gereja Silo dandaerah Rajali.

Peristiwa perkelahian antara seorang sopir dan preman di Simpang Tiga antara Batu Merah, Amantelu dan
Galunggung justru adalah sebuah peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang secara sangat
cepat berubah menjadi pertikaian antar kelompok agama. Pada saat yang sama ditempat yang berbeda-beda,
ternyata konsentrasi massa terjadi pula dengan isu pertikaian agama, dan dugaan akan terjadinya penyerangan
oleh kelompok lain, seperti dikalangan Kristen beredar isu bahwa ada sebuah gereja dibakar, sementara
dikalangan Islam juga telah beredar bahwa masjid Al-Fatah juga telah dibakar. Padahal, pada saat itu apa yang
diberitakan tersebut tidak terjadi kebakaran pada obyek yang disebutkan.

Kerusuhan tanggal 19 Januari terjadi begitu cepat dan menyebar dalam konsentrasi massa dalam jumlah yang
cukup besar di beberapa tempat antara pukul 15.30-16.45 WITA.

Konsentrasi massa dalam jumlah besar berada di Silo dengan lima sampai enam ribu orang, akibat isu akan
memperoleh serangan dan telah terhadi pembakaran gereja, sehingga harus merespon dan mempertahankan diri.
Dalam jumlah yang cukup besar terjadi pula di daerah Mahardika, Rijali, Waringin, Kudamati, AR .Sarobar, Way
Haung dan beberapa tempat lain. Massa juga berkonsentrasi untuk mengajukan konvirmasi isu
penyerangantempat beribadah tersebut. Konsentrasi itu, berubah secara mendadak menjadi kerusuhan, berupa
perusakan dan penyerangan antar kelompok terjadi dengan lokasi di berbagai tempat di hampir seluruh kota
Ambon. Perusakan atau pembakaran mengarah pada tempat-tempat ibadah baik masjid maupun gereja, rumah-
rumah penduduk dan pertokoan serta pasar.

Tanggal 20 Januari, berkembang isu masjid AL-Fatah terbakar. Hal itu berakibat reaksi massa dari Hila secara
serentak berjalan menuju kota Ambon dan terseret ke dalam kerusuhan dan penyerangan. Beberapa laporan
menunjukan adanya kelompok asing mempengaruhi akselerasi massa dengan bantuan alat komunikasi berupa HT
dan handphone serta membawa senjata api. Aparat melakukan reaksi yang sama terjadi sebagaimana pada
sebelumnya.

Perusakan dilakukan secara bergelombang oleh kelompok-kelompok massa dengan para pemimpinnya yang
mengorganisasi gerak massa maupun memprovokasinya dengan memanfaatkan sentimen agama dan suku. Yang
aneh dalam provokasi tersebut terdapat kata-kata dan istilah yang tidak lazim digunakan di Ambon, seperti
sebutan nasrani dan bukan nasrani, atau bahkan selebaran dengan bahasa Arab yang ditulis dengan tidak benar,
grafiti yang ditinggalkan dalam aksi perusakan yang tidak lazim atau janggal untuk masyarakat Ambon, dan lain-
lain.

III. Kejanggalan-kejanggalan dalam Kerusuhan Ambon


Kerusakan total hampir terjadi di setiap sudut kota Ambon. Namun dari sinipun terlihat beberapa hal yang janggal :
yakni, rupanya pada saat kerusuhan terjadi telah dilakukan pemilihan sasran perusakan maupun pembakaran. Hal
ini terbukti dari adanya beberapa bangunan seperti Swalayan Matahari yang utuh tak tersentuh perusuh,
sementara hampirseluruh bangunan disekelilingnya rusak total. Hal sejenis terjadi di pertokoan-pertokoan
tertentu lainnya.

1. Slebaran-slebaran dan adu domba.


Pada tanggal 2 Februari ini slebaran yang menyatakan adanya isu pertentangan kembali muncul. Di kalangan Islam
beredar isu akan adanya Kristenisasi, sedangkan dikalangan Kristen beredar isu akan adanya serangan balasan.
Ditengah situasi demikian, lima orang menteri termasuk Menhankam/Pangab Jendral Wiranto melakukan
kunjungan ke Ambon dan mengajak pada semua pihak untuk menyelesaikan masalah. Namun demikiaan upaya
pengungkapan kasus dan penangan terhadap paska kerusuhan ini pun masih terasa lamban. Ditambah pernyataan
dari pihak keamanan yang tidak secara transparan memberikan klarifikasi sehingga kini masih menyisakan banyak
pertanyaan mengenai peristiwa berdarah tersebut.

2. Pemindahan dan penarikan pos penjagaan Kariu oleh pihak keamanan yang dilanjutkan dengan pembakaran.
Tanggal 13 Januari 1999 terjadi peristiwa yang bermula dari suatu kejanggalan dengan dicabutnya sebuah pos
penjagaan di desa Kariu oleh seorang Komandan Regu Kostrad bernama S. Dan dipindahkan ke dusun Nanaca.
Sebelumnya, telah pula terjadi beberapa keanehan dengan dilarangnya warga Kariu masuk ke daerah Kailolo, dan
ini diketahui oleh aparat keamanan.
Tanggal 14 Februari , sekitar pukul 03.00 WITA listrik di desa Kariu padam dan sekitar pukul 03.00 WITA ada rumah
masyarakat Kariu dibakar. Posisi rumah yang pertama di bakar itu ada di Pilou dan Kariu.
Sekitar pukul 06.00 WITA desa Kariu diserang oleh kelompok Islam dari desa Kariu, Ori, dan delapan desa Islam di
sekitarnya. Pada saat penyerangan, pihak aparat yang dipimpin oleh Danru S ikut serta dengan mencopot seragam
dan menggantikannya dengan pakaian sipil dengan sorban putih. Pada senjata mereka pun diikat dengan kain
putih.
Sekitar jam 08.00 tanggal 14 Februari, masyarakat Hulaliu melihat adanya asap kebakaran di desa Kariu dan
mereka bermaksud datang untukmenolong. Namun diperbatasan desa Ori mereka dihadang oleh pasukan dari
Kostrad yang telah membentuk formasi untuk mengepung dan mengembalikan mereka ke Halaliu.
Hasil dari peristiwa ini, pukul 15.00 WITA gereja GPM dibakar massa, padahal gereja ini mereka titipkan kepada
aparat keamanan dalam keadaan masih utuh. Di desa Kariu 2 gereja juga habis terbakar.

3. Fakta korban
Laporan yang diterima juga menyiratkan gambaran yang aneh mengenai korban kerusuhan, seperti yang terjadi
dalam peristiwa Waruku didesa Hulaliu, dari 12 korban yang meninggal 10 diantaranya diakibatkan oleh luka
tembak termasuk sejumlah permpuan, 1 orang luka panah dan satu orang terbakar. Begitupun jenis luka, dari 34
korban luka, 24 diantaranya adalah luka tembak, 3 luka akibat bom, 4 akibat panah dan akibat potong.

1. Peristiwa kerusuhan Ambon adalah hasil proses akumulasi konflik antar kelompok yang pada mulanya bersifat
lokal, namun oleh karena keterlibatan peran-peran tertemtu dari sejumlah provokator serta kurangnya perhatian
dan penanganan aparat keamanan beruban menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yag luas dan fatal.

2. Fakta lapangan pasca kerusuhan, memperlihatkan adanya aktivitas-aktivitas berbagai kepentingan politik non
lokal, berupa peredaran slebaran dan dokumen-dokumen dengan isu-isu tertentu yang bisa memanasi keadaan.

4. Dari sudut tanggungjawab pengamanan, dari meletusnya kerusuhan Ambon, adanya kejanggalan dalam peran
aparat keamanan dan militer. Ini terlihat dari beberapa fakta berikut :
* Disebagian wilayah lain ,terlihat tidak seragamnya sikap aparat keamanan disebagian lokasi ada anggota aparat
keamanan " membiarkan" laju gerak massa ke arah kota Ambon, namun di lain tempat aparat yang lain justru
menahan laju pergerakan massa.
* Dilokasi tertentu fakta lapangan menunjukan adanya semacam pengorganisasian yang cukup rapi dalam
peristiwa tersebut, mulai dari penciptaan prakondisi, pemanfaatan potensi konflik lokal, terlihatnya para
provokator dan penggerak massa yang dilengkapi dengang sarana komunikasi yang canggih dan senjata api,
pembagian senjata tajam oleh anggota aparat keamanan kepada beberapa kelompok massa yang saling bertikai.

Ini menimbulkan tanda tanya kuat apakah ada kemungkinan bahwa paling tidak sebagian dari aparat keamanan
dan militer telah memberikan kemudahan bagi terjadinya kerusuhan
MAKALAH KONFLIK POSO

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Konflik Poso"yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada
pembaca khususnya para Mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.

Makassar, Desember 2013

JUKRIADI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................... 1

B. Maksud Dan Tujuan............................................................ 2

C. Permasalahan..................................................................... 2

D. Metode Pendekatan............................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Demografi poso........................................................................ 5

2. Kronologi konflik poso............................................................ 6

3. Tahap-tahap kerusuhan

- Kerusuhan Tahap I ........................................................... 7

- Kerusuhan tahap II ........................................................... 9

- Kerusuhan tahap III........................................................... 10


BAB III ANALISIS KONFLIK POSO.................................................. 15

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 22

B. Saran..................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketika menyebut Poso, hal yang terlintas dalam pikiran kita pertama kali adalah memori konflik antar komunitas
yang berkepanjangan. Kekerasan, pembantaian dan peristiwa berdarah yang begitu mencekam seakan sudah
melekat dalam persepsi orang mengenai Poso. Sungguh menyedihkan identitas yang disandang Poso. Padahal,
panorama alam di Poso sangatlah indah seperti Danau Poso, Tentena. Namun, kini sudah ternodai oleh hawa nafsu
manusia yang haus akan darah, sehingga mereka tega menjadikan saudara sendiri sebagai mangsa.

Sebenarnya konflik komunal sudah sejak lama terjadi di negeri tercinta ini baik pada masa pra kemerdekaan,
maupun pasca kemerdekaan RI. Hal itu terjadi karena Indonesia merupakan masyarakat heterogen yang terdiri
dari berbagai suku-bangsa, ras, bahasa, kebudayaan, dan agama. Jauh sebelum konflik Poso bergulir, terjadi konflik
antar suku di Kalimantan Barat sejak tahun 1950-an. Kemudian di masa Orde Baru terjadi Tragedi Sampit di
Kalimantan Tengah. Selain itu, konflik pun merambah di daerah Jawa seperti, di Situbondo, Tasikmalaya,
Pekalongan, dan Madura.

Kerusuhan Poso terjadi pada tahun 1998 mengguncang bangsa Indonesia. Banyak pertanyaan yang menggelitik
muncul mengenai latar belakang kasus tersebut. Apakah kerusuhan Poso dipicu oleh sentimen keagamaan sebagai
satu-satunya faktor seperti diklaim berbagai kalangan ataukah terdapat faktor lain yang melanggengkan
konflik di wilayah tersebut?

B. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud dan tujuan penulis mengambil tema Konflik Poso pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi tugas kelompok Religious Studies II, di bawah bimbingan Bapak Gustiana Isya Marjani,
Ph. D.

2. Mencoba menganalisa konflik Poso yang sudah dilupakan oleh pemerintah. Padahal, kasus tersebut
melibatkan banyak pihak yang harus bertanggungjawab.

3. Mencoba mengkaji gejala yang muncul dalam masyarakat beragama, yakni kasus Poso, dengan berbagai
pendekatan.

C. PERMASALAHAN

a. Ada berbagai permasalahan yang dapat dirumuskan dari konflik Poso yakni sebagai berikut:
b. Apakah konflik Poso dilatarbelakangi oleh kecemburuan dan kesenjangan sosial penduduk asli terhadap
penduduk pendatang atau lebih tepatnya disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi?

c. Apakah konflik tersebut lebih disebabkan oleh faktor politik, baik politik daerah maupun pusat?

d. Apakah isu sentimen agama sengaja dihembuskan oleh oknum-oknum yang berkonflik dan pihak-pihak
yang memiliki kepentingan dari kasus tersebut?

D. METODE DAN PENDEKATAN

Adapun metode yang digunakan dalam kajian dari kelompok kami mengenai Konflik Poso adalah Metode
Deskriptif-Analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh pemakalah dalam mengkaji gejala yang terjadi
pada umat beragama pada konflik Poso, yaitu:

1. Pendekatan Sosiologis

Fokus perhatian pendekatan sosiologis terletak pada interaksi agama dan masyarakat. Tujuan para sosiolog
mengkaji gejala yang terjadi pada umat beragama adalah untuk membuktikan hubungannya dengan institusi,
struktur, ideologi, kelas, dan perbedaan kelompok yang dengannya masyarakat terbentuk.

Adapun Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologis, meliputi:

Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.

Kategori biososial, seperti seks, jender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.

Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.

Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.

2. Pendekatan Fenomenologis

Menurut Kristensen, tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang
karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan
elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat niscaya bagi tugas filosofis dalam
menentukan esensi agama.

3. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis mengambil inspirasi teoritisnya dari pengalaman personal, penelitian klinis, dan tidak jarang
tulisan-tulisan filosofis. Teori-teorinya diuji dalam konteks psikoterapi, bengkel perkembangan individual,
eksperimentasi individual dengan menginduksikan keadaan kesadaran yang berubah.

4. Pendekatan Teologis

Tujuan dari pendekatan teologis adalah memahamai agama, memahami sistem-sistem konseptual agama, di
dalam dan antara agama. Jika tujuan ini tercapai dan terjadi pemahaman yang lebih mendalam terhadap agama,
sebagaimana terlihat melalui mode teologis yang memiliki cakupan luas.
BAB II

PEMBAHASAN

Konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama semakin meningkat pada era reformasi pada tahun 1998. Hal itu
dalam tinjauan psikologis merupakan hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari ketidakadilan dalam proses
politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak daerah yang tidak menikmati hasil pembangunan
rakyat karena sistem yang sentralistik yang terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta.

Hal itulah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dihembuskan oleh oknum-
oknum yang memiliki kepentingan dari keberlangsungan konflik. Terlebih lagi isu-isu yang bergulir sengaja
bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar. Isu tersebut dijadikan senjata untuk menyulut konflik karena
ampuh menyentuh lubuk sanubari masyarakat menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang,
dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena kawasan
Indonesia Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat sebanyak 109 suku.

1. Demografi Poso

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan
letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13
kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000)
dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian
yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis,
ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo)
serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.

Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar belakang sejarah dan peradaban
yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang
menggunakan bahasa Baree dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso
(persatuan yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa
berseteru sengit.
2. Kronologi Konflik Poso

Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda mabuk, sosial, ekonomi, hingga
politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama menjadi salah satu pendorong munculnya
tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih
yang merupakan representasi dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale,
Parigi, dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage,
Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.

Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1998.
Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin memanas.
Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan
Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum
ada kesiapan sosial dari daerah-daerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit,
Maluku, termasuk di Poso.

Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan
antar kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh.
Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso.
Akan tetapi, bila diperhatikan secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan politik
pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.

Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Hal ini
berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeresan
lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso.
Kedua hal tersebut memiliki relasi karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan akan
berimplikasi pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang
menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.

3. Tahap-Tahap Kerusuhan

Kerusuhan Tahap I

Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam kandidat bupati. Mereka
menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan
selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama
yakni, Islam dan Kristen.

Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jumat, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda
yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena
itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan
area masjid.

Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang mengingatkan mereka tadi,
bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang
membangunkan sahur para warga Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke
sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan
lari dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso bergerak untuk
menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada aparat
yang berwajib.
Kembali ditinjau dari psikologis massa, permasalahan semakin rumit karena pemerintah daerah tidak menanggapi
secara serius. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan sendiri sehingga situasi semakin menegang. Hal itu
dikarenakan massa mulai melakukan tindakan destruktif.

Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak menyerbu rumah dinas bupati.
Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal, konflik yang
sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak
terhindarkan. Opini yang beredar selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama.

Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan sentimen agama. Tidak hanya
orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim di luar daerah mereka. Setelah didengungkannya konflik atas
nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak
tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya. Entah, apakah itu benar-benar
motif sesungguhnya dari kerusuhan tahap pertama ini?

Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa begitu mudah menuai konflik. Padahal, sebelumnya
mereka hidup berdampingan penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya tragedi tersebut, rasa saling percaya
yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan karena kecurigaan Muslim terhadap umat Kristiani,
mereka menggunakan kata-kata sandi yakni, Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso yang berarti akan ada
penyerangan kaum Nasrani ke Poso, Dalam kajian sosiologis, kondisi demikian sebetulnya mencerminkan adanya
sebuah realitas dari psikologi sosial yang tegang.

Kerusuhan Tahap II

Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid kedua berkobar tak terelakkan lagi.
Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama memanggul senjata. Peristiwa itu
terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih
tradisional seperti, panah, parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan
semangat yang membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan
tak dapat melerai perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.

Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut sengaja diperpanjang karena demi membela
kesucian agama? Ataukah karena dendam yang dipupuk, hingga mereka tak kuasa memuntahkannya dalam bentuk
konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan
dari luar Poso, baik berupa makanan, obat-obatan, bahkan senjata.

Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya. Tepatnya pada tanggal 22 Mei 200,
sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama
pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal
dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen.
Walaupun sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso.
Namun, mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa musuhnya.

Kerusuhan Tahap III

Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan pengorganisasian yang intensif. Hal itu
terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama dan kedua. Upaya tersebut
dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim. Strategi dari mereka adalah melakukan
penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim
dari lima penjuru kota Poso.

Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin terdesak. Akan tetapi
kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu dikarenakan jembatan yang dirusak dan
jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan
orang itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya
dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso Kota,
kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.

Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu dijatuhkan vonis mati. Mereka dituduh
melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan, Tibo menyampaikan surat yang
ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai
logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu
menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat
sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso
Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan
sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai
pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada kemauan pemerintah.
Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan.
Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata.
Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh
di mana pemerintah menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting
dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya konflik Poso.

Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan
perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang
menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya
Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001.

Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka
sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan
dan perwakilan kedua kelompok menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi
dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi
kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :

1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum
bagi siapa saja yang melanggar.

3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.

4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta
campur tangan pihak asing.

5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap
saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.

6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak
untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.

7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana
adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.


9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.

10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan
menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah dan ketentuan lainnya.

Tapi, deklarasi itu tampaknya memang bukanlah lampu aladin yang sanggup menyulap Poso dalam damai. Poso
yang lepas dari teror dan kekerasan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, deklarasi itu seperti mengalami proses
deregulasi. Dihancurkan sendi-sendinya dan konflik kembali mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan pada
Jumat, 10 Maret 2006 pukul 07.45 Wita ledakan bom terjadi lagi, kini di kompleks Pura Agung Jagadnata,
Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi tengah. Komando Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso
yang sudah beberapa waktu lalu dibentuk tak bisa melakukan antisipasi dini sehingga bom tetap meletus.

Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan
tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan
Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan
para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Dari sinilah terlihat adanya pergeseran isu
konflik, dari agama menuju konflik antara aparat dengan warga.

AB III

ANALISIS KONFLIK POSO

ANALISA

Situasi yang tergambar dari konflik Poso sungguh mengerikan. Banyak rumah-rumah yang terbakar karena terjadi
pembumihangusan. Selain itu, mayat-mayat bergelimangan darah menjadi pemandangan yang biasa. Ditambah
lagi, setiap detik warga saling bertikai. Aksi teror bom memburu waktu dan senjata otomatis menjamur di kalangan
sipil. Tapi, di lain sisi terdapat banyak warga yang mengungsi tak mendapat akses bantuan. Pertanyaannya, apakah
persoalan di Poso begitu misterius sehingga kekerasan demi kekerasan tidak teratasi?

Bila dikaji lewat pendekatan sosiologis dan fenomenologis, konflik yang terjadi di Poso berhembus seiring
merebaknya ketidakadilan lokal. Hal tersebut berpangkal pada kebijakan pemerintahan pusat yang sentralistik dan
diskriminatif. Ketidakadilan yang sudah mendarah daging diamini oleh masyarakat lokal yang menyusupkannya
pada isu SARA (suku, ras, agama, dan antar kelompok). Pada akhirnya, rasa ketidakadilan yang terus dipupuk oleh
warga tumbuh dengan subur. Sehingga, motif etnis dan agama menjadi lahan empuk terciptanya konflik yang
bermuara pada konflik agama.

Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem antarkomunitas, sesungguhnya keliru. Hal itu dikarenakan
tragedi tersebut merupakan akumulasi kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, birokrasi sipil,
politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari kemarahan korban, eksploitasi terhadap doktrin agama,
hingga eksploitasi atas hal itu untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang terjadi.

Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana konflik di Poso dapat diilustrasikan dengan mengentalnya identitas
sosial dengan fenomena in-group dan out-group. Kedua fenomena tersebut berkenaan dengan persepsi mereka
terhadap kelompok lain, serta eksistensi dan teritori. Atas dasar itu, muncullah oknum-oknum yang berencana
menciptakan kerusuhan dengan membentuk sentimen yang ada di masyarakat.
Ditambah lagi sempat adanya ulur waktu yang dilakukan oleh aparat pemerintahan terhadap penyelesaian konflik
Poso. Aparat fokus mengejar teroris dan koruptor. Namun, untuk teroris, yang dikejar adalah masyarakat Muslim
seperti kami. Selama ini kami merasa ada upaya sengaja memelihara konflik. Masyarakat serta tokoh Muslim dan
Kristen sebenarnya sudah membentuk forum bersama, tetapi setelah itu masih saja ada teror muncul, ujar Adnan
Arsal.

Setelah Deklarasi Malino, banyak pihak yang berpikir keras untuk mengupayakan penyelesaian konflik Poso. Akan
tetapi, perlu diperhatikan masalah krusial yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu, apabila perdamaian hanya
pada tataran konsep. Pertama, banyak bermunculan komplain dari warga karena adanya diskriminasi penanganan
konflik Poso. Ketidakpuasan masyarakat terhadap proses hukum di negeri ini berpotensi menyulut konflik lagi.

Kedua, dalam upaya penyelesaian konflik, pemerintah mengabaikan aspek sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka
yang tinggal di pengungsian kehilangan rasa aman. Ditambah lagi hak milik para pengungsi yang jatuh kepada
pihak lain. Selain itu dalam wilayah ekonomi, mereka bisa tersulut emosinya karena alokasi dana telah dikorupsi
oleh aparat birokrat. Sementara itu, mekanisme jual beli maupun pemanfaatan hasil pertanian tidak dinikmati
sepenuhnya oleh mereka. Konflik juga menyebabkan perekonomian lumpuh sehingga pengangguran merajalela.
Aspek sosial dan ekonomi perlu dieprhatikan secara serius oleh pemerintah karena sama pentingnya dengan aspek
keamanan.

Ketiga, penyelesaian masalah korupsi yang tak kunjung usai. Walaupun Inpres No. 14/2005 sudah mengungkap
korupsi yang dilakukan oleh dua mantan pejabat Sulawesi Tengah. Akan tetapi, korupsi dana bantuan pengungsi
merajalela tanpa tersentuh hukum. Hal itu dikarenakan korupsi melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para
pejabat. Bahkan teror disinyalir sebagai upaya melanggengkan praktik korupsi. Selain itu, sebagai pertimbangan
untuk mencegah konflik Poso adalah dengan menerapkan prinsip persatuan geneologis yang masih kuat dan
persatuan atas dasar kepentingan.

Abd Moqsith Ghazali menyatakan dalam artikel Poso bahwa sejumlah analisa beredar di lingkungan masyarakat.
Salah satunya, tentang adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memelihara kekerasan di sana. Jika itu motifnya,
maka alangkah jahatnya pihak yang telah menjadikan saudaranya sebagai tumbal untuk kepentingan mereka
sendiri. Mereka lebih mementingkan kekuasaan politik dan ekonomi ekonomi-finansial di atas timbunan darah
orang-orang yang tak berdosa.

David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan penelitian atas berbagai konflik horizontal yang terjadi di Negara-
negara Dunia Ketiga. Menurutnya, ada dua elemen kuat yang menjadi pemicu terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertama adalah elemen identitas, yaitu mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang
didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa, dan lainnya. Kedua adalah elemen distribusi, yakni cara untuk membagi
sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat.

Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada konflik Poso. Konflik yang terjadi Poso berakar dari distribusi
baik ekonomi, social dan politik yang tidak adil berkenaan dengan perbedaan identitas. Maka ketika terjadi
gesekan-gesekan sosial sudah representatif untuk menyulut konflik yang massif dan berkepanjangan. Konflik Poso
sangat dipengaruhi oleh isu indetitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Adanya perbuatan dari kelompok
etnis/agama tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas lainnya. Selain itu,
penguasaan lapangan kerja yang berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya konflik.

Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan
ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Hal tersebut menciptakan kesempatan bagi para oportunis
untuk memperpanjang konflik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi dan belum terbiasa dengan keterbukaan.
Sehingga hal tersebut menjadi faktor penunggu yang potensial terhadap munculnya konflik.

Selain pada tataran horizontal, terdapat juga konflik pada level vertikal. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yakni pihak eksekutif, legislatif, judikatif dan Hankam terlambat dalam koordinasi dan penghimpunan berbagai
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencegah konflik semakin meluas. Langkah aparat yang melakukan
kekerasan justru semakin memperkeruh suasana sehingga konflik makin berkepanjangan.

Bila dilihat dari sisi politis, terlihat adanya unsur kesengajaan untuk memperpanjang konflik dari berbagai pihak
yang tidak setuju dengan reformasi. Mereka menyebarkan informasi untuk mempengaruhi opini publik. Isu yang
dihembuskan adalah Orde Baru merupakan era yang lebih baik daripada Reformasi. Sebagai bukti yang mereka
tunjukkan, ketika Orde Baru, Indonesia begitu tentram dan berdaulat. Namun, ketika kekuasaan Status Quo
runtuh, negeri ini bergejolak. Mereka sengaja menciptakan konflik dimana-mana dengan memprovokasi rakyat,
termasuk konflik di Poso. Masyarakat dibenturkan dengan isu etnis dan agama yang sangat sensitif sehingga
mudah menyulut konflik. Oleh karena itu, tesis mereka bahwa pemerintahan Orde Baru lebih baik daripada Era
Reformasi yang kacau balau, diamini oleh rakyat Indonesia.

Di sisi lain, nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bagian dari skenario konspirasi besar
pihak asing untuk menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan
pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat dari yel-yel yang dieluk-elukkan tidak hanya di Poso, akan
tetapi di wilayah konflik seperti Ambon dan Ternate. Mereka meneriakkan Hidup Amerika! Hidup Australia! Hidup
Belanda!

Ada beberapa hal berkenaan dengan faktor-faktor yang melanggengkan Kerusuhan Poso. Pertama, berkaitan
dengan peran aparat Negara, Polri, dan TNI. Terdapat dua kubu penafsiran. Kubu pertama mengatakan militer,
setidaknya ikut bermain dalam konflik berdarah di Poso dan juga di tempat konflik lainnya. Menurut Dedy Askary,
dari Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu, keterlibatan aparat keamanan
disebabkan tiga hal yakni, mental aparat, rantai komando, dan konflik internal di kalangan mereka. Kubu kedua
berpendapat bahwa aparat keamanan gagal karena keterbatasan personel dan sumber daya. Pendapat ini paling
sering dikemukakan perwira militer dan polisi. Tapi kedua kubu minimal mengakui ketidakmampuan aparat
membuat segala upaya perdamaian berujung kegagalan.

Polri dan TNI berkepentingan dengan konflik ini dengan beberapa argumen. Pertama, akibat konflik dan
kerusuhan, masyarakat menjadi trauma dan ketakutan. Pada saat itu masyarakat akan membutuhkan kehadiran
aparat Negara. Dalam soal ini, konflik yang terjadi cenderung diawetkan untuk dapat memulihkan citra baik kepada
Polri dan TNI. Kedua, konflik yang menahun telah mendatangkan biaya pengamanan tersendiri. Pengerahan
pasukan memerlukan biaya. Dengan demikian konflik memiliki benefit impact tertentu.

Selain aparat Negara, polri, dan TNI yang berperan dalam melanggengkan konflik Poso, ada juga elit lokal. Dapat
diidentifikasikan bahwa adanya peran terselubung dari elit lokal di daerah itu demi kepentingan kekuasaan yang
didominasi kepentingan golongan suku dan agama. Keterlibatan aparat lainnya terbaca dengan mencuatnya
beberapa kasus KKN yang diduga melibatkan birokrasi dan elit politik lokal. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
LSM bahwa konflik Poso jelas terkait dengan korupsi dana kemanusiaan. Dari inidikasi itu, aliansi Ornop menilai
ada korelasi positif antara kekerasan di Poso yang bermuara pada peledakan bom di Pasar Tentena dengan korupsi
sistematik yang dilakukan elit. Korupsi itu dilakukan oleh sejumlah pejabat dan berjalan secara akumulatif selama
empat tahun.

Konflik tersebut semakin complicated karena masih ada lagi yang berperan dalam konflik Poso yakni, kehadiran
pasukan terlatih. Banyaknya solidaritas dari luar Poso disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah daerah
dan keamanan dalam melindungi warga. Diantaranya adalah kehadiran laskar Jihad yang disinyalir mengirim 3.000
pasukan jihad ke Poso. Alasan utama mereka ialah untuk memberikan bantuan medis, pendidikan, dan
pemberantasan tempat-tempat maksiat. Tidak hanya kelompok Muslim, akan tetapi kubu Kristen juga
mendapatkan bantuan dari Laskar Manguni, Laskar Kristus, dan Front Kedaulatan Maluku. Dari hal tersebut
mengindikasikan bahwa fenomena yang merebak di masyarakat bahwa Konflik Poso adalah perang agama.

Isu yang sengaja dihembuskan oleh BIN (Badan Intelijen Nasional) bekerja sama dengan Amerika yakni, Poso
merupakan markas latihan anggota gerakan Al-Qaeda. Tudingan dari Kepala BIN, Hendropriyono menuai kritik
keras karena tanpa bukti dan dasar yang kuat. Hal itu dinyatakan oleh Zainal Abidin Ishak selaku Kepala Kepolisian
Sulawesi Tengah. Desa Kapompa yang disebut Kepala BIN sebagai markas teroris sangat paradoks. Hal itu
dikarenakan desa Kapompa mayoritas penduduknya beragama Kristen. Poso memang sudah menjadi wilayah
perang jadi, wajar saja bila banyak kamp-kamp militer. Hal itu dikarenakan karena kedua kelompok mengadakan
latihan perang. Tapi, wilayahnya di Poso Kota, di pegunungan sekitar Pamona Utara dan Lage. Selain itu juga
terdapat pasukan terlatih yang berasal dari pasukan-pasukan organic Polri dan TNI yang mengamankan Poso.

Konflik Poso menyisakan luka yang mendalam karena kedamaian telah direnggut oleh hawa nafsu manusia yang
haus darah. Tentunya konflik tersebut berbuah dendam yang membara dan sewaktu-waktu bisa meledak apabila
disulut kembali oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan sudah menjadi hal yang lumrah di tanah
Poso yang menjadi mata rantai tak terputuskan. Tapi, kita harus optimis bahwa Poso tidak akan lagi berdarah.
Masih ada hati dalam sanubari manusia sebagai makhluk Tuhan. Perbedaan agama bukanlah penghalang
menciptakan kerukunan. Hal itu dikarenakan rakyat Poso mempunyai semboyan pengikat persatuan yakni, sintuwu
maroso (bersatu kita kuat).

Selain itu, kebijakan otonomi daerah dewasa ini diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi setiap daerah. Jadi,
diharapkan tidak ada lagi kesenjangan sosial akibat sistem yang sentralistik. Janganlah menyusupkan kepentingan
pribadi di daerah ini sehingga menghalalkan darah saudaranya sendiri. Ciptakanlah kedamaian di negeri tercinta
yang pluralistik. Ditambah lagi pendidikan berbasis budaya yang digali dari kearifan lokal. Semua itu demi
memperkuat nilai-nilai universal dan semangat kebangsaan. Sehingga tidak ada konflik lagi yang berhembus di
negeri ini.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik yang terjadi di poso pada tahun 1998 merupakan konflik yang sangat besar yang menewaskan 2 kubu yakni
kelompok islam dan Kristen. Konflik ini disebabkan oleh politik yang memanas yang mengatasnamakan agama
untuk kepentingan individual atau kelompok tertentu agar menjadi pemenang dalam politik tersebut.hal ini sangat
disayangkan sekali mengingat politik esensinya tidak boleh mengumbar atau mengatasnamakan agama untuk jalan
pemenangan karena hal tersebut tentu saja bisa menimbulkan hal-hal yang membuat perpecahan. Akibat dari
konflik tersebut poso sebagai kota imagenya menjadi kurang baik karena adanya konflik tersebut sehingga kota
tersebut tidak lagi menjadi prioritas kunjungan wisatawan local maupun mancanegara.

B. Saran

Konflik poso memang sudah terjadi dan menjadi sejarah kelam bangsa ini, sekaligus mencoreng solidaritas Negara
dan mencoreng toleransi antar agama di Indonesia. Maka dengan ini kelompok I sebagai pemakalah menyarankan
agar kiranya rasa solidaritas dan toleransi tetap dijunjung tinggi. Serta pengusutan oleh pihak yang berwenang
terus mempelajari kasus ini agar dikemudian hari tidak terjadi lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Basoeki Soeropranoto. H. Rachmat. Jangan Lupakan Poso. Mantan Napol Kasus Peledakan BCA 1984.
Conolly (ed.), Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS. 2009. hal. 283.

DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat. Kompas, 14-3-2006.

Ghazali, Abd Moqsith. Poso.

Manullang, A. C. Terorisme dan Perang Intelijen: Behauptung Ohne Bewes (Dugaan Tanpa Bukti). Jakarta: Manna
Zaitun.

Sangaji, Arianto. Masa Depan Poso Pasca-Koopskam, Kompas 17-7-2006.

Sangaji, Arianto. Mengapa Poso Kembali Memanas? Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Kompas, 9-
10-2006.

Sianturi S.Si, Eddy MT. Konflik Poso dan Resolusinya. Puslitbang Strahan Balitbang Dephan.

Anda mungkin juga menyukai