Anda di halaman 1dari 16

KONFLIK POSO

Mata Pelajaran: Sosiologi

Nama :
NISN :
Guru Mata Pelajaran
Nok Hidayaturohmah,Spd
SMA FLORA BEKASI
KOTA BEKASI
2020

Kata Pengantar
Selamat pagi.

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT, atas
segalalimpahan rahmat dan karunianya lah sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang masih jauh dari kesempurnaan ini yang berjudul “KONFLIK
POSO di (SulawesiTengah).Makalah ini di buat agar pembaca dapat memperluas
ilmu pengetahuan tentang Sejarah Ocenia dan Australia. isi dari makalah ini kami
dapat dari berbagai sumber, Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
sebagai sumbangsih pemikiran khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa saya
mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah in iterdapat kesalahan baik dalam
kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini. Saya sebagai penulis sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritikdan saran
yang sifatnya membangun sangat Saya harapkan demi perbaikan dan bahan acuan
bagi Saya untuk menulis makalah Saya yang selanjutnya.

Bekasi, 30 Januari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomidan politik
yang tidak menentu, telah mengiring Indonesia menuju konflik nasional, baiksecara struktural
maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang digantikan oleh oleh B.H
habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yangdemokrasi berkeadilan.Pada waktu itu
Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolakkonflik di berbagai daerah, salah
satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan adalah konflik bernuansa
SARA. Adalah pertikaian suku dan pemelukagama Islam dan Kristen. Peristiwa kerusuhan diawali
dengan pertikaian antar dua pemudayang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan
terjadinya kerusuhan. Impliksasi.
1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan bagaimana demografi Poso?


2. Jelaskan bagaimana latar belakang konflik Poso?
3. Jelaskan penyebab konflik Poso?
4. Jelaskan bagaimana kronologi. Poso?
5. Jelaskan bagaimana dampak yang diakibatkan oleh kerusuhan Poso?
1.3 Tujuan
1. U ntuk mengetahui demografi Poso.
2. Untuk mengetahui latar belakang konflik Poso.
3. Untuk mengetahui penyebab konflik Poso.
4. Untuk mengetahui kronologi Poso.
5. Untuk mengetahui dampak yang diakibatkan oleh kerusuhan Poso.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki
luaswilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-
122,09 BT. Diwilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang
membawahi 211 desadan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus
penduduk 2000) dengan pluralitasmasyarakat yang hidup dari beragam komunitas
etnis dan agama. Di samping tanah pertanianyang subur, sebagian besar wilayah
kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis,
ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secaraendemik (anoa,
babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyaktersebar di
sekitar kawasan pegunungan.
Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup
majemuk,selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun
banyak berdomisilidi Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya; Morowali dan
TojoUna Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga
kelompok besartoraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering
disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-
Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan.
Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok
ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua
adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak
mempunyaikesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki
latar belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan
kebudayaan Megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa
Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan
Sintuwu Maroso (persatuanyang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan
mereka apabila masyarakat di Poso bisa berseteru sengit (Canolly, 2009:2003).

2.2 Latar Belakang Konflik Poso


Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum
terpecahkansampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun
itu belum bisamenjamin keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus
bermunculan di Poso. Meskipunsecara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso
adalah berlatar belakang agama, namunkalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita
akan menemukan berbagai kepentingan golonganyang mewarnai konflik tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama
besar, Islamdan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam,
namun setelahmengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka
yang mendominasiadalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai
penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah
pedalaman. Islam dalam hal ini masuk keSulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih
dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk kePoso.
Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi
berbagaikerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang
sosial-budaya,ataupun kerusuhan yang berlatar belakang agama, seperti yang
diklaim saat kerusuhan Posotahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-
olah menjadi kendaraan dan alasantendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada
sintimenkeagamaan yang melatar belakangi pemilihan tersebut. Dengan
menangnya pasangan Piet Idan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas
agama dan suku (Sangaji, 2006: 9-10).Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng
aling-aling pada setiap konflik yang terjadi diPoso. Perseturuan kecil, semacam
perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicukerusuhan yang ada di sana.
Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama Islam dan yang
satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalamikekalahan,
maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau
bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan
timbullahkerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa
konfliklanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar
komunitaskeagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun
1992 terjadi akibatRusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak
bupati Poso, Soewandi yang jugamantan Muslim) dianggap menghujat Islam,
dengan menyebut Muhammad nabinya orangIslam bukanlah Nabi apalagi Rasul.
Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan
madrasah di desa Tegal Rejo oleh sekelompok pemuda Kristen asaldesa Mandale.
Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejodan
Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-
kerusuhan”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru,
sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara
wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya
peran ”aparatkeamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu,
kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih
akif. Awal kerusuhan terjadiDesember 1998, konflik kedua terjadi April 2000,
tidak lama setelah kerusuhan tahap duaterjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-
Juni 2000. konflik masih terus berlanjut denganterjadinya kerusuhan keempat pada
Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa- peristiwa tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain,
sehinggakerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima
(Basueki,194:123).
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar
urutan itu,mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar
tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola
kerusuhan yang dapat dilihat padakerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso
biasanya bermula terjadi di Poso kota danselanjutnya merembet ke daerah-daerah
sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaankomposisi agama relative berimbang
dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kotadiikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasaldari luar
kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa
memasukikota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage,
Pamona, dan bahkandari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun
meletus, mobilisasi masssa bahkansemakin membludak, dan jauh lebih besar dari
massa yang datang pada kerusuhan pertamadan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam,
baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat
banyakmengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan
pedang/parang, benturan dengan benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti
yang mengatakan bahwa pada kerusuhanapril 2000 diinformasikan 6 korban tewas
disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalah pahaman informasi dari kedua belah pihak. Pada
kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan
Kristen, yang kemudiandi blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik
kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi
mengatakan bahwa kerusuhan itu adalahkerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat
disebut”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar
kampong, intensitas danwilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil
kecamatan kota. Solidaritas kelompokmemang ada, tapi belum mengarah pada
keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan,setelah tahu bahwa penyebab
bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat
sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember
2001konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah
mengarah pada upayamenghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas
pembunuhan terhadap siapa pun,termasuk perempuan dan anak-anak, yang
dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangunsolidaritas kelompok secara tegas
melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama danetnisitas, sehingga konflik
menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban) danekstensif (wilayah dan
pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yangumumnya
menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000
merekatelah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik
keempat dan kelima,serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma
psikologisyang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-
persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang
muncul dalam kerusuhan itu,namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja,
yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang
akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melaluiinstrumen isu pendatang
vspenduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa
kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan
konflikdiradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso
yang semulahanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar
komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat
kekinian,namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat
historis. Dalam politikkeagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era
kolonial Belanda yang dalamkonteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam
bentuk dukungan finansial.Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya
bukan dilandaskan pada semangatkeagamaan, tetapi lebih pada kepentingan
politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir
Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image
utamadalam dalam konstelasi politik Poso, yakni: Poso identik dengan komunitas
Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di
era kemerdekaan faktakeagamaan itu terjadi proses pembalikan. Jika tahun 1938
jumlah umat Kristen Posomencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an
persen. Data tahun 1997 bahwaMuslim Poso mencapai angka 62,33 persen,
sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen danKatolik hanya 0,51 persen, ditambah
sisanya Budha dan Hindu (Sangaji, 2006:11-13).
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadtan, melainkan akibat migrasi
kewilayahan,sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks
Poso, konstelasi sosioekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas
perubahan komposisi komunitas ini,terutama beruapa proses pemiskinan di
kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur
kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural),seperti
lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo
kePalu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses
migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membanguntempat
ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran
komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula padakonstelasi
politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaumterdidik dari
kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalamlapangan birokrasi. Di
sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam duniakepegawaian, antara lain: (1).
Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan
strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiahterjadi peralihan tangan. Dalam situasi
inilah politik agama dalam konteks birokrasikepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan
masyarakat Poso. Perspektif komunitaskeagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi,
lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi
wacana penting dalam mencermatikonflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangatkompleks
melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompokkultur keagamaan,
yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Posodengan segala
kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat
yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.
2.3 Penyebab Konflik Poso
Konflik sosial yang terjadi di Poso adalah akibat dari keberagaman masyarakat Indonesiayang
saling berbenturan kepentingan antara individu satu dengan individu lainnya yangseharusnya tidak
perlu terjadi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa akar dari masalah yang bertumpu pada
masalah budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Argumenyang mengemukan
bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial ituadalah sesuai dengan fakta
yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso pertama berawal dari :
Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa Lembah didalam masjid pesantrenDarusalam
pada bulan ramadhan.
Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa, danGorontalo,
Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupatenterutama
di daerah Tentena dusun III, Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yangmemperkuat dugaan
bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yangmengindikasikan
keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan symbol-simbol perjuangan
keagamaanKristiani pada kerusuhan ke III.
Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III.
Padakerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara pihak Kristen danIslam.
Terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan Kasintuvu.
Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan Manado.
Adanya pelatihan militer Kristen di desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.
Sesungguhnya budaya yang beragam pada masyarakat Poso mempunyai fungsi untuk
mempertahankan kerukunan antara masyarakat asli Poso dan pendatang. AdanyaPembacokan
Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa lembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan
ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai yang selama ini manjadi landasan
hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannyadalam menjalankan ibadah di bulan
ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untukmelakukan tindakan pembalasan terhadap
pelaku pelanggaran nilai-nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat Kristiani hal ini menimbulkann
masalah baru mengingat aksi masa tidak ditujukan terhadap pelaku melainkan pada perusakan hotel
dan sarana maksiat serta operasimiras, yang di anggap telah menggangu kehidmatan masyrakat
Kristiani merayakan natal,karena harapan mereka operasi – operasi tersebut di laksanakan setelah
hari Natal.
Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di Poso adalah adanya
perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak diterapkan hukumsecara
adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanyaketerpihakan,
menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di Poso terletak pada
masalah politik. Bermula dari suksesi Bupati, jabatan Sekretaris wilayah daerahKabupaten dan
terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan-jabatan dalam pemerintahan.Pendapat keempat
mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan Poso adalah justruterletak karena adanya
kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asliPoso dan kaum pendatang
seperti Bugis, Jawa, Gorontalo, dan Kaili. Kecemburuan sosial penduduk asli cukup beralasan
dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malahtertinggal dari kaum pendatang.
Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang
berasaldari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Para pendatangyang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim.
Pendatang umumnya lebihkuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu
bertahan di daerah baru. Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan
terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya ataskepemilikan penduduk asli,
kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang.Proses peralihan
kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuktransmigrasi
maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk inisemakin
banyak ketika program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur
prasaranaangkutan darat sekitar tahun 80-an. Dikembangkannya tanaman bernilai
ekonomi tinggiseperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang
tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau
penduduk asli mengikuti pola tanam yangsama dengan pendatang, akan tetapi
penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli
merasa dirugikan dengan keadaan tersebut karena beberapa alasanantara lain lahan
pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang, hasildan
keuntungan yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para
pendatang.
Ada pendapat lain juga yang menyatakan bahwa konflik Poso yang terjadi tahun
1998dan 2001 lebih didorong oleh isu belaka, baik melalui penyebaran informasi
lewat jalur yangsudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang
sebelumnya tidakmemiliki ikatan sosial. Ikatan yang kemudian muncul antar
komunitas ini membuat konflikPoso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda
mabuk menjadi konflik antar agama yangmendapat perhatian internasional
(Basueki, 199:125).
2.4 Kronologi Konflik Poso
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye
enamkandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan.Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik
politik yang bertopengkepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang
berbeda agama yakni, Islam danKristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan
Ramadhann1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman
keras) membuatkeributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu,
pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen
tersebut pergi meninggalkan area masjid.
Pukul. 02.00 Wita Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo
terhadap Korbanyang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam,
suku Bugis palopo, pekerjaanmahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh
Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun,agama Kristen protestan, suku pamona,
pekerjaan, tidak ada, alamat jalan tabatoki – sayo.Akibat penganiayaan korban
mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan sikukanan,selanjutnya dirawat di
RSU Poso.
Pukul 02.30. Timbul reaksi dari pemuda/ pemuda Remaja mesjid terhadap kasus
yangdimaksud dan beredar isu – isu sebagai berikut: Pelaku penganiayaan (Roy
Bisalemba)terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan
Samratulangi, anakkandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di
isukan telah melontarkan kata-kata“Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja,
Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah
Sakit.
Pukul 14.30 Wita Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya
berjumlah50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok Korban
Lk. LUKMANRAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan
Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.
Pukul 14.45 Wita. Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal
pendudukmilik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel.
Kasintuwu dan beberaparumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo.
Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu,kayu, dan
senjata tajam.
Pukul 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/ remaja berjumlah sekitar 300 orang
merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di jalan .P.Nias Kel.
Kayamanya, menggunakan batu dan kayu.
Pukul 18.45. Wita. Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard
dijalanP.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya
bergabung denganmassa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang
melakukan pengrusakanlosmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang
Rejo,hingga bangunan rumah dandiskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol
minuman keras dihancurkan.
Pukul 19.00 Wita. Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan
penyembrangankuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja
Islam Masjid kel. BoneSompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara
aparat dengan massa yang tetapmemaksakan kehendaknya menembus barisan
PHH, namun massa dapat dikendalikan .
Pukul. 20.20 Wita. Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali
menujukompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan
tempat menjualmiras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan
pengrusakan dengan caramelempar dengan batu dan merusak dengan pentungan
kayu, pentungan besi dan senjatatajam /parang:
1.Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
2.Toko Hero diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
3.Pabrik Minuman Keras merek SAR di Kel.Kayamanya dilempar mengenai
atap Seng
.4.Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
5.Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar diJalan Raya.
6.Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang
Resepsionis danruang penerima tamu hotel.
7.Penginapan Wati Lembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan
tempat/hotel pecah.
2.5 Dampak Yang Diakibatkan Oleh Kerusuhan Poso
Kerusuhan yang terjadi di Poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar
jika di liatdari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan
nyawa dan harta benda,secara psikologis juga berdampak besar bagi mereka yang
mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu
singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhanPoso bukan suatu kerusuhan biasa,
melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil.
Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompokmerah, terhadap
penduduk muslim kota Poso dan minoritas penduduk muslim di
pedalamankabupaten Poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan
yang muncul di kotaPoso
.Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :
1. Bidang Budaya
Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam
mencapai tujuan politiknya.
Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi
bingkai dalamhubungan sosial masyarakat Poso.2. Bidang Hukum
Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu
kelompokmerah dan kelompok putih.
Tidak dapat dipertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan
terhadap manusiaseperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap
anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di
masyarakatKabupaten Poso.
Munculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku
kerusuhan.3. Bidang Politik
Terhentinya roda pemerintahan.
Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah di mata masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Poso menyebar
13kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891
jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari
beragam komunitas etnis danagama. Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-
kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup
secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo)serta tambang mineral yang
cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
2.Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama
besar, Islam danKristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam.
Baru kemudian disusulKristen masuk ke Poso. Keberagaman inilah yang menjadi
salah satu pemantik seringnyaterjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik
itu kerusuhan yang berlatar belakangsosial-budaya, ataupun kerusuhan yang
berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saatkerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadikendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing
SARAN:
Agar setiap umat beragama bisa hidup rukun dan damai ,
sehingga dapat menjunjung tinggi sikap Toleransi antar umat
beragama dan tidak ada lagi perang agama yang terjadi di POSO
yang menyebabkan kerugian yang besar dan juga menimbulkan
perpecahan , jadi saran saya agar tidak gampang terpengaruh oleh
oknum-oknum pemecah belah bangsa yang tidak bertanggung
jawab

DAFTAR PUSTAKA
Basueki, Soepranata.1984.Jangan Lupakan Poso.Jakarta:Kompas.
Canolly, Peter.2003.Aneka Pendekatan Study Agama.Yogyakarta:Ksi.
Dwa,Espul.2006.TgmatisasiTenirisolehAparat.Bandung:Kompas.
http://hery15061993.blogspot.co.id/2012/01/penyebab-konflik-poso.html

Anda mungkin juga menyukai