Anda di halaman 1dari 2

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, etnis, dan agama
dan golongan. Keanekaragaman ini di satukan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
berarti berbeda-beda. Semboyan ini dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah suatu bangsa
yang mencerminkan jati diri bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya budaya yang
berbeda-beda dari berbagai macam etnis suku, agama, ras dan golongan masyarakat namun
tetap bersatu dalam negara kesatuan Indonesia. Akan tetapi di satu sisi lain dari keberagaman
suku bangsa, agama, ras dan antar golongan ini sebenarnya menyimpan satu potensi konflik
yang dapat memcah belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Karena dari keberagaman ini
dapat memicu sutau konflik yang melibatkan perpecahan atau kerusuhan massal antar etnis
suku bangsa, antar agama, ras dan antar golongan SARA. Sesuai seperti apa yang dikatakan
oleh najwan (2009 : 196) dari keberagaman budaya, etnis, agama dan multi golongan ini dari
satu sisi secara teori multi budaya merupakan potensi budaya yang dapat mencerminkan jati
diri bangsa yang besar, akan tetapi dari sisi lain juga berpotensi menimbulkan konflik yang
dapat mengecam integrasi bangsa karena konflik antar budaya dapat menimbulkan pertikaian
antar etnis, antar agama, ras dan golongan SARA yang bersifat sensitif dan rapuh yang
menjurus kearah disintegrasi bangsa Indonesia.
Kondisi dan situasi seperti ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan ini di sadari
keberadaannya. Namun, ketika perbedaan ini di sadari keberadaannya dan dihayati perbedaan
tersebut mengemuka dan menjadi ancaman untuk kerukunan hidup. Perbedaan tersebut
menjadi masalah yang harus diselesaikan. Masyarakat Indonesia yang multikultur memiliki
potensi yang besar untuk terjadinya konflik sara antar kelompok, ras, agama, dan suku
bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan, profesi, dan organisasi lainnya.
Selain itu, muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.1 Salah satu koflik yang
bernuansa SARA di Indonesia terjadi di berbagai daerah, termasuk peristiwa penembakan
empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternayata berbuntut panjang dan menyulut
emosi warga. Akibatnya, keesokan hari jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di
beberapa titik, penjarahan dan pembakaran tidak bisa dihindarkan. Krisis moneter
berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan hebat pada penghujung rezim
Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indnesia dilandasi krisis ekonomi yang
sangat parah sehingga melumpuhkan seluruh persedian ekonomi dalam negeri. Kerusuhan
yang terjadi menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tioghoa. Saat itu, banyak aset
milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang kalap. Massa pribumi juga
melalukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita etnis Tionghoa.
Konflik antar etnis itu menjadi sejarah kelam di penghujung pemerintahan rezim Soeharto.
Konflik yang berbau agama paling tragis meledak pada tahun 1999 silam. Konflik dan
pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak januari 1999, telah berkembang
menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua
tatanan bermasyarakat. Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat
antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua
kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat itu, aparat penegak hukum dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa
situasi sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang
merusak tatanan kerukunan antar umat bergama di Ambon itu berlangsung lama sehingga
menjadi isu sensitif. Beberapa konflk terjadi di indonesia, baik yang berdasarkan suku, agama
maupun agama (SARA). Seperti konflik agama di Poso tahun 1998, konflik etnis madura di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, konflik di Maluku tahun 1999-2004 (Leatemia,
2011 : 45).
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh
Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil
mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI.
Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga
kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada
Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri
oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan
pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan
diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti
sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia
Ngainun Naim & Achmad Sauqi (2010:105) menjelaskan bahwa salah satu komponen
pendidikan adalah pembelajaran. Kegiatan pembelajaran biasanya dilakukan di sekolah.
Melalui penanaman pendidikan multikultural di sekolah diharapkan generasi penerus bangsa
dapat mengakui keragaman, bertoleransi dan saling menghargai serta menghormati
keragaman sehingga tidak terjadi lagi diskriminasi yang mengakibatkan penindasan, konflik
dan kekerasan. Pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk warga negara
Indonesia yang demokratis dan aman. Melalui pendidikan multikultural yang diterapkan
maka peserta didik yang merupakan bagian dari masyarakat akan memperoleh pendidikan
yang setara dan adil karena keragaman yang melekat pada masyarakat tersebut akan
dipandang setara dan adil. Selain yang telah disebutkan diatas, pendidikan multikultural juga
dapat berperan dalam menangani globalisasi yang dapat mengakibatkan lunturnya budaya
bangsa sendiri.
Kedekatan masyarakat terhadap alam pula yang menyebabkan berkembangnya pemikiran
mengenai fenomena kosmogoni dalam alam pemikiran masyarakat Jawa, yang kemudian
melahirkan beberapa tradisi atau ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam
tempat hidup mereka (Magnis-Suseno, 2001 : 85). Salah satu ciri lain masyarakat Jawa
adalah mereka percaya terhadap suatu kekuatan di luar alam yang mempengaruhi mereka,
mereka percaya pada suatu hal di balik penampakan fisik yang mereka lihat. Hal itulah sebab
mengapa masyarakat Jawa percaya adanya roh, dan hal-hal spiritual lainnya. Mereka kagum
terhadap kejadian-kejadian di sekitar mereka, terhadap fenomenafenomena alam sehari-hari
yang kadang sulit dipahami dengan rasio. Rasa kagum inilah yang melahirkan
bermacam-macam ritual tradisi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.

Anda mungkin juga menyukai