Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 2

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


Nama : Septi Susanti
Nim : 045350082
Program Studi : Ilmu Komunikasi (FHISIP)

Multikulturalisme Dalam Era Globalisasi


Fakultas Hukum, Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,Jurusan Ilmu Komunikasi, UPBJJ Jakarta

 Latar Belakang
Indonesia memiliki berbagai ragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Dengan beragam suku,
budaya, bahasa, dan agama tersebut menjadikan Indonesia Negara yang kaya dan Negara
Berbhineka Tunggal Ika. Adanya perbedaan antara satu sama lainnya, bahkan dengan keragaman
tersebut juga pemicu sering terjadi konflik dan sampai mengalami perpecahan yang
menyebabkan kerugian materi dan juga nyawa. Di samping Indonesia yang beragam, perubahan
teknologi informasi, perubahan globalisasi menyebabkan hubungan antar Negara seakan tanpa
batas, begitu dekat, cepat dan trasformasi informasi bahkan migrasi manusia sengat pesat saat
ini. Kemajuan dan perubahan globalissai tersebut tidak dapat dibendung atau dihalangi, mau tak
mau harus dilalui dan diikuti. Agar tidak diperoleh kerugian akibat globalisasi dan informasi
yang begitu cepat, perlu dipersiapkan individu terutama peserta didik agar tidak ketinggalan dan
tidak mengalami kesulitan dalam mengahadapi kemajuan teknologi. Persiapan tersebut di
antaranya perlu Pendidikan multikultural. Pendidikan multikultral sangat relevan dengan
pendidikan demokrasi di masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, memasuki era globalisasi
manakala batas-batas negara dan kelompok semakin cair maka persoalan pertemuan berbagai
kebudayaan yang berbeda, akan semakin sulit untuk dihindari. Seperti yang diungkapkan Samuel
Huntington bahwa dunia akan menghadapi perang peradaban. Menurutnya masa pasca perang
dingin, perbedaan yang paling penting antara ummat manusia bukan idiologi, politik atau
ekonomi melainkan perbedaan budaya. Hal ini juga membawa pengaruh pada bentuk – bentuk
konflik yang berbahaya, yang terjadi antar ummat manusia bukan antara kelas sosia, melainkan
antara kelompok-kelompok budaya. Kemajuan teknologi membuat semakin cairnya batas-batas
negara sehingga justru membuka ruang untuk pertemuan berbagai budaya. Masalahnya
pertemuan berbagai kebudayaan ini, tidak terlalu berjalan mulus, banyak perbedaan – perbedaan
yang muncul di permukaan yang belum tentu dapat diterima kelompok lain. Di samping itu,
demokratisasi yang mengusung nilai-nilai kebebasan berekspresi, justru menjadi ladang yang
subur untuk tumbuhnya kesadaran-kesadaran kelompok budaya, baik itu etnis, agama maupun
jenis kelamin.
 PEMBAHASAN
Keberagaman Dalam Kehidupan Masyarakat
Keberagaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat di mana terdapat perbedaan-perbedaan
dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa, ras agama, ideologim dan budaya. Keberagaman
dalam masyarakat adalah sebuah keadaan yang menunjukkan perbedaan yang cukup banyak
macam atau jenisnya dalam masyarakat. Furnival berpendapat bahwa masyarakat beragam
adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau kelompok-kelompok
yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang
berbeda-beda satu sama lain. Sedangkan Nasikun menyatakan bahwa keberagaman masyarakat
(masyarakat majemuk) merupakan suatu masyarakat yang menganut sistem nilai yang berbeda di
antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya sehingga para anggota masyarakat
tersebut kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki
homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk memahami satu sama
lain. Masyarakat Indonesia sangat beragam. Beberapa indak yang mendorong keberagaman
masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
Keadaan geografis Indonesia yang terpisah-pisah oleh lautan mengakibatkan penduduk yang
tersebar di pulau-pulau di Indonesia tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan suku bangsa yang
terisolasi dengan yang lain. Mereka kemudian mengembangkan pola perilaku, bahasa, dan
ikatan-ikatan kebudayaan lainnya yang berbeda satu sama lain.
Indonesia yang terletak pada posisi silang antara dua samudera dan dua benua merupakan daya
tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa asing untuk datang, singgah, dan menetap di Indonesia, ada
yang datang untuk berdagang, menyebarkan agama, dan sebagainya. Banyak bangsa asing yang
berinteraksi dengan penduduk lokal. Dari interaksi ini terjadi amalgamasi dan asimilasi
kebudayaan. Akibatnya terbentuklah ras, subras, agama, dan kepercayaan yang berbeda-beda di
Indonesia.
Iklim yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain di kawasan Indonesia
menimbulkan kondisi alam yang berbeda. Kondisi ini akhirnya membentuk pola-pola perilaku
dan sistem mata pencaharian yang berbeda-beda. Akibatnya terjadi keragaman regional antara
daerah-daerah di Indonesia
Pembangunan di berbagai sektor menyebabkan keragaman masyarakat Indonesia, khususnya
secara vertikal. Kemajuan dan industrialisasi yang terjadi menghasilkan kelas-kelas sosial yang
didasarkan pada aspek ekonomi.

Yang menjadi sebuah pertanyaan besar adalah dampak dari keberagaman budaya bagi integrasi
bangsa. Di dalam potensi keberagaman budaya tersebut sebenarnya terkandung potensi
disintegrasi, konflik, dan separatisme sebagai dampak dari negara kesatuan yang bersifat
multietnik dan struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. Menurut David
Lockwood konsensus dan konflik merupakan dua sisi mata uang karena konsensus dan konflik
adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat..
Karena struktur sosial budayanya yang sangat kompleks, Indonesia selalu berpotensi
menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulitnya terjadi integrasi
nasional secara permanen. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan budaya yang
mengakibatkan perbedaan dalam cara pandang terhadap kehidupan politik, sosial, dan ekonomi
masyarakat. Pola kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama,
diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom differentiation) karena adanya
perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh
perbedaan struktural (structural differentiation) yang disebabkan oleh adanya perbedaan
kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik antaretnik yang menyebabkan
kesenjangan sosial antaretnik. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua
kecenderungan atau dampak akibat keberagaman budaya tersebut, antara lain sebagai berikut:
Berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik
Pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang mengintegrasikan masyarakat.
Namun, kemajemukan masyarakat tidak selalu menunjukkan sisi negatif saja. Pada satu sisi
kemajemukan budaya masyarakat menyimpan kekayaaan budaya dan khazanah tentang
kehidupan bersama yang harmonis apabila integrasi masyarakat berjalan dengan baik. Pada sisi
lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya potensi konflik antaretnik
yang bersifat laten (tidak disadari) maupun manifes (nyata) yang disebabkan oleh adanya sikap
etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial.
Masyarakat multicultural dan multikulturalisme

Masyarakat muktikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan
sistem norma dan kebudayaan yang berbeda-beda. Mereka hidup bersama dalam suatu wilayah
lokal dan nasional. Bahkan mereka juga berhubungan dengan masyarakat internasional, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Multikulturalisme tidak hanya bermakna keanekaragaman (kemajemukan), tetapi juga bermakna
kesederajatan antarperbedaan yang ada. Maksudnya dalam multikulturalisme terkandung
pengertian bahwa tidak ada sistem norma dan budaya yang lebih tinggi daripada budaya lain.
Kesederajatan perbedaan merupakan jantung dari multikulturalisme. Dengan demikian, secara
konsep, masyarakat multikultural tidak sama dengan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk
lebih menitikberatkan pada keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya. Sementara itu,
masyarakat multikultural merujuk pada kesetaraan atau kesederajatan kebidayaan yang ada
dalam sebuah masyarakat.
Di dalam masyarakat multikultural, perbedaan kelompok sosial, kebudayaan, dan suku bangsa
dijunjung tinggi. Namun hal itu tidak berarti bahwa ada kesenjangan atau perbedaan hak dan
kewajiban di antara kelompok sosial, kebudayaan, dan suku bangsa yang berbeda tersebut.
Masyarakt multikultural tidak mengenal perbedaan hak dan kewajiban antara kelompok
minoritas maupun mayoritas, baik secara hukum maupun sosial. Multikulturalisme menuntut
masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antarbudaya dan antarbangsa dalam
membina suatu dunia baru.
Prinsip kesetaraan dalam kehidupan masyarakat yang beragam

Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki tingkat atau
kedudukan yang sama. Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas
yang disandang. Kesetaraan merupakan sesuatu yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis, bangunan interaksi dan relasi antarmanusia
Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan berperilaku
bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural
dan multikultural itu. Identitas kesetaraan ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan
masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap
kelompok lain. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, prinsip kesetaraan perlu diterapkan
dengan baik. Jika prinsip kesetaraan tersebut tidak diterapkan maka masyarakat Indonesia sangat
rentan dengan adanaya konflik dan kekerasan. Salah satu bentuk tidak diterapkannya prinsip
kesetaraan ialah adanaya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Di Indonesia masih banyak dijumpai berbagai konflik antar suku bangsa, antar penganut
keyakinan keagamaan, ataupun antar kelompok. Konflik yang terjadi banayak menjatuhkan
korban baik jiwa dan raga serta harta benda. Contoh konflik yang terjadi di Indonesia adalah
kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum
menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis. Dominasi yang dilakukan oleh
sekelompok orang di Indonesia menyebabakan konflik yang dikarenakan kurangnya kesadaran
masyarakat tentang keberagaman yang terjadi di Indonesia.

Multikulturalisme Globalisasi dan Eksistensi Budaya Lokal

Multikulturalisme pada akhirnya hanya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah
bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dengan menghargai
dan menghormati hak sipil mereka, termasuk hak kelompok minoritas. Sikap apresiatif tersebut
akan meningkatkan partisipasi mereka dalam membebaskan sebuah bangsa, karena mereka akan
menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka akan bangga dengan bangsanya.
Semangat yang paling penting dari multikulturalisme adalah living together as one society (hidup
bersama sebagai satu masyarakat). Munculnya ide multikulturalisme didorong oleh kenyataan
bahwa dunia, sejak lima puluh tahun yang lalu bergerak menjadi dusun global (global village).
Dunia sekarang tidak lagi merupakan tempat di mana satu wilayah hanya dihuni oleh satu
kelompok etnis, budaya, dan agama tertentu saja.
Kehidupan modern akibat globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya
lokal dengan budaya global pada masyarakat Bali. Sistem budaya lokal dengan kearifan lokalnya
yang selama ini digunakan sebagai acuan pembentukan karakter oleh masyarakat tidak jarang
mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global terutama karena kemajuan
teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Berkembang
pesatnya kemajuan teknologi di satu sisi mempermudah bagi kehidupan masyarakat, akan tetapi
di sisi lain menjadi beban terutama karena adanya sejumlah nilai-nilai ikutan dari teknologi yang
membahayakan masyarakat khususnya generasi muda, yakni nilai-nilai sekular, pragmatis dan
positivis. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya
menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di banyak kalangan. Intinya, proses
globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas, yang tampak dari proses pembentukan
gaya hidup dan identitas masyarakat.
Globalisasi sendiri merupakan konsep yang berkaitan dengan internasionalisasi, universalisasi,
liberalisasi, dan westernisasi. Selain itu, globalisasi menyebabkan terjadinya kompleksitas isu
dan nilai yang menyebar dan menjadi universal (Battersby and Siracusa 2009) Didalam tiga
kelompok besar globalisasi, kelompok hiperglobalis mendefiniskan globalisasi sebagai sejarah
baru kehidupan manusia dimana negara tradisional telah menjadi tidak relevan lagi dan mulai
berubah menjadi menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global (Winarno, 2007).
Namun demikian, seiring dengan makin kuatnya terpaan konsumerisme dan materialisme, kini
perilaku masyarakat kota juga sudah menjadi semakin individualistis, asosial, bahkan
menunjukkan sifat-sifat hedonis pada sebagaian masyarakat. Menghadapi kondisi ini menjadi
sebuah keniscayaan bagi para orang tua, dan para pendidik formal lainnya mengangkat dan
menggunakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai rujukan dalam pendidikan guna membentuk
karakter manusia.
Kondisi global sekarang ini, multikulturalisme dewasa ini menghadapi tantangan, yaitu:
Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Komunitas, terutama negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni
Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya untuk
mengatasinya sehingga dapat berdiri sama tegak dengan dunia Barat. Kedua, esensialisasi
budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk mencari esensi budaya sendiri tanpa
jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat
melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu di dalam era
globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena
gelombang dahsyat glogalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan
bersama dan budaya tradisional—memang tidak budaya yang statis, namun masyarakat yang
kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak dan dia akan disapu bersih oleh
gelombang dahsyat globalisasi, dan manusia akan kehilangan pribadinya, kehilangan
identitasnya, dan hanya sekedar pemain-pemain atau konsumen dari imperialisme baru yang
dibawa oleh globalisasi. Indonesia sendiri sebagaimana ditegaskan Azyumardi Azra telah
menyadari tentang kemajemukan ragam etnik dan budaya masyarakatnya. Indonesia
diproklamirkan sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman etnik tetapi tetap memiliki
tujuan yang sama, yakni sama-sama menuju masyarakat adil makmur dan sejahtera. Akan tetapi
gagasan besar tersebut kemudian tenggelam dalam sejarah dan politik “keseragaman budaya”
(mono-kulturalisme) dari zaman Soekarno dan Soeharto.
Di era globalisasi ini, kemungkinan yang akan terjadi dari penyatuan budaya lokal dan budaya
global modern di masa yang akan datang (Piotr, 2007):
1) Homogenitas global yaitu kultur barat akan mendominasi dunia sehingga seluruh dunia akan
menjadi jiplakan gaya hidup, pola konsumsi, nilai dan norma, serta keyakinan masyarakat Barat;
2) Kejenuhan. Secara berlahan masyarakat pinggiran menyerap pola kultur barat dan akan
semakin menjenuhkan bagi mereka. Jika ini terjadi secara terus menerus maka penghayatan akan
kultur lokal akan perlahan menghilang dan terbentuklah homogenitas dimensi historis;
3) Kerusakan kultur pribumi dan kerusakan kultur barat yang diterima. Bentrokan yang terjadi
antara kultur pribumi dengan kultur barat semakin merusak kultur barat itu sendiri;
4) Kedewasaan. Penerimaan kultur barat melalui dialog dan pertukaran yang lebih seimbang
ketimbang penerimaan sepihak tetapi warga pribumi menerima melakukan seleksi atas kultur
Barat yang akan diterima. Kedewasaan ini berarti kultur global berperan merangsang dan
menantang perkembangan nilai kultur lokal sehingga terjadi proses spesifikasi kultur lokal.
Benturan kebudayaan yang terjadi antara budaya lokal dan budaya asing akan menentukan ahsil
akhir dari perubahan kebudayaan yang ada di suatu negara. Filterisasi atas kebudayaan asing
serta kekuatan kebudayaan inda merupakan kunci utama dalam mempertahankan kebudayaan
lokal sehingga jika budaya lokal tidak cukup kuat dan tidak memiliki filter yang bagus maka
akan terjadi kerusakan kultur budaya atau bahkan hilangnya budaya lokal. Sejalan dengan
perkembangan itu, nilai-nilai globalisasi semakin memengaruhi kehidupan masyarakat di dunia,
tak terkeculi dalam kehidupan sosiokultural. Kebudayaan lantas harus dipaksa untuk
mengakomodasi pengaruh globalisasi. Kebudayaan sendiri diartikan Bourdieu seperti yang
dikutip Mubah, sebagai peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta adalah
aturan dan konvensi, sedangkan perjalanan adalah Tindakan aktual. Apa yang disebut kesadaran
budaya adalah perasaan untuk menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk
memilih jalan kita ke dalam kebudayaan indakan adalah aksi kita terhadap kesadaran budaya
(Mubah, 2011).

Perbedaan Konsep Multikulturalisme dan Kesetaraan


Multikulturalisme adalah istilah untuk menggambarkan tentang pandangan yang berkaitan
dengan ragam kehidupan di dunia atau kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan
tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial- budaya, dan lain-lain. Sedangkan, kesetaraan
sendiri menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau
tidak lebih rendah antara satu sama lain.n masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
multicultural dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, agama, budaya, dsb antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Tetapi pada hakikatnya mereka memiliki kedudukan yang sama di
mata hokum yang ada di negara Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya kesadaran akan
adanya kesetaraan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, maka terciptalah
harmonisasi sosial. Jadi, multikulturalisme dan kesetaraan itu harus saling berkaitan agar
dibarengi dengan kesetaraan, maka akan berpotensi terjadi diskriminasi sosial.

 SIMPULAN
Dari materi diatas dapat disimbulkan bahwa perbedaan, kesetaraan, dan harmonisasi sosial
memiliki keterkaitan satu sama lain. Meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
multicultural dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, agama, budaya, dsb antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Tetapi pada hakikatnya mereka memiliki kedudukan yang sama di
mata hokum yang ada di negara Indonesia. oleh karena itu, dengan adanya kesadaran akan
adanya kesetaraan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, maka terciptalah
harmonisasi sosial.
Tantangan terbesar yang dihadapi pendidikan berbasis multikultural belakangan ini adalah
kemampuan dalam menjaga, melestarikan, dan mewariskan kearifan-kearifan lokal. Pewarisan
nilai kearifan lokal dimaksudkan agar generasi muda dapat memproteksi diri dari pengaruh
negatif modernisasi akibat globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

A, L. (n.d.). Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. Retrieved from


http://www.kompas.com
Abdullah, M. (2017, November 23). Multikulturalisme dan Problem. Retrieved from
http://puspekaverroes. org/category/opini/
Asy'arie. (n.d.). Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Retrieved from diakses secara
online di: http://www.kompas.com.
Sumaatmadja, N. &. (1999). Perspektif Global. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tilaar, H. (2004). Multikulturalisme: Tantangan- tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi. Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai