Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH MULTIKULTURALISME DUNIA

Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat yang majemuk.


Amerika, Kanada, Australia adalah beberapa negara yang menganggap serius
pengembangan konsep dan teori tentang multikulturalisme dan pendidikan
multikultural, karena mereka adalah komunitas imigran dan yang tidak dapat
menutup peluang imigran lain untuk bergabung dengan mereka. Namun, negara-
negara tersebut adalah contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat
multikultural dan di antaranya mampu membangun identitas nasionalnya sendiri,
atau tanpa kehilangan identitas budaya sebelumnya atau budaya negara leluhurnya.
asal Menurut Melani Budianta , multikulturalisme dalam sejarahnya dimulai
dengan teori melting pot, yang sering dibicarakan oleh imigran J. Hector dari
Normandia . Secara teoritis, Hector menekankan perpaduan budaya dan membenci
budaya asal, sehingga semua imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru,
budaya Amerika, meskipun dia mengakui bahwa monokultur mereka lebih
berwarna kultur White Angso Saxon Protentant (WASP) sebagai budaya imigran
Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnis Amerika menjadi lebih beragam dan


budayanya lebih beragam, teori melting pot dikritik dan teori baru yang dikenal
sebagai salad bowl muncul sebagai teori alternatif yang dianjurkan oleh Horace
Cullen. Berbeda dengan melting pot yang melebur budaya asli dan membangun
budaya baru yang dibangun dalam keragaman, teori salad bowl atau teori
campuran tidak menghilangkan budaya asli. Tetapi sebaliknya budaya asing
lainnya White Angso Saxon Protenant (WASP) masuk ke dalam lubang dan
masing-masing membantu membangun budaya Amerika dan budaya nasional.
Interaksi budaya antar suku bangsa yang berbeda memang membutuhkan ruang
gerak bebas, dalam hal ini dikembangkan teori pluralisme budaya yang membagi
ruang gerak budaya menjadi dua, yaitu ruang publik untuk semua anggota
kelompok politik etnis grup budaya dan partisipasi sosial dalam politiknya. Dalam
konteks ini, mereka homogen dalam lingkungan budaya Amerika. Tetapi mereka
juga memiliki ruang pribadi di mana mereka dengan bebas mengekspresikan
budaya etnis mereka.

Dari teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsa,


membangun persatuan dan kesatuan, serta mengembangkan rasa bangga kepada
masyarakat sebagai orang Amerika. Tetapi, pada tahun 1960-an terdapat sebagian
masyarakat yang merasa hak sipilnya tidak terpenuhi. Seperti kelompok imigran
Amerika Latin, Amerika Hitam, serta etnik minoritas lainnya yang merasa tidak
terpenuhi hak sipilnya. Atas dasar tersebut, mereka mengembangkan
multiculturalism yang menekan penghormatan dan pemenuhan terhadap hak-hak
minoritas, baik dari segi etnik, agama, ras, maupun warna kulit. Pada akhirnya
multikulturalisme menjadi sebuah konsep akhir dalam membangun kekuatan
bangsa yang terdiri dari berbagai etnik, agama, suku, ras, budaya, dan bahasa,
dengan menghargai serta menghormati hak sipil mereka. Sikap tersebut dapat
meningkatkan partisipasi mereka dalam membesarkan negara.

Sampai saat ini, pandangan utama pendidikan multikultural di dunia adalah


asimilasi atau perspektif “melting-pot” (McNergney et al., 2001) di mana budaya
mikro diharapkan melepaskan identitas budaya mereka untuk berbaur atau terserap.
oleh masyarakat arus utama atau budaya makro (Bennett, 1986). Dalam perspektif
asimilasi atau "melting-pot". Pada pengembangan budaya bersama (shared
cultures), anggota budaya mikro diterima hanya setelah mereka melepaskan
identitas asli, nilai-nilai, gaya perilaku, bahasa, dan gaya komunikasi nonverbal
mereka. Dalam perspektif asimilasi, kekhasan budaya lainnya dan identifikasi
dengan cara hidup yang berbeda dianggap tidak dapat diterima,rendah, dan
merupakan ancaman bagi persatuan bangsa. Segala sesuatu yang mungkin adalah
dilakukan oleh budaya populer untuk menekan budaya lain dan kontribusi
kelompok lain (Bennett, 1986). Menurut data Sensus di Amerika Serikat, 2002,
meskipun tujuan awal perspektif asimilasi atau “melting-pot” adalah untuk
menciptakan kesatuan melalui pengembangan budaya bersama karena setiap
mikrokultur diserap ke dalam makrokultur bersama, dalam kenyataannya menjadi
lebih sulit untuk mencapai demokrasi luas di antara mikrokultur karena budaya
yang dihasilkan tidak mencerminkan budaya dan keragaman dalam bangsa.

Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang pesat selama ini


telah mengubah hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan
dunia. Proses perubahan yang digerakkan oleh teknologi ini (khususnya akses ke
Internet dan perjalanan global yang terjangkau) akan mengarah pada peningkatan
jaringan informasi dan komunikasi, serta jaringan fungsional dan saling
ketergantungan antara orang-orang dalam masyarakat (komunitas) dan negara. .
Ponterotto, Medelowitz dan Collabolletta (2008) berpendapat bahwa dunia
semakin terhubung secara global melalui tren imigrasi, peluang karir lintas budaya,
perjalanan yang lebih mudah diakses, dan teknologi virtual (Ponterotto et al.,
2014b).
Di dunia modern, mengingat meningkatnya keanekaragaman budaya baik di
tingkat lokal, nasional dan global, dan saling ketergantungan fungsional dan saling
ketergantungan interpersonal (dengan perkembangan pesat teknologi transportasi
dan komunikasi), mahasiswa atau mahasiswa di Universitas saat ini akan segera
berinteraksi dengan masyarakat dari seluruh dunia, maupun dengan bangsa yang
beraneka ragam budayanya, sehingga harus memiliki kemampuan menyesuaikan
diri dengan keragaman budaya (cultural adaptability). Konseptualisasi yang relatif
baru dalam literatur adaptasi budaya adalah kepribadian multikultural (Van der Zee
& Van Oudenhoven, 2000). Para peneliti telah menunjukkan bahwa orientasi
kepribadian multikultural memfasilitasi beberapa aspek keefektifan antarpribadi
dalam pengaturan multikultural (Eropa) (Van der Zee & Van Oudenhoven, 2000).
Studi juga menemukan bahwa pengembangan kepribadian multikultural
berkorelasi dengan keterampilan mengatasi, adaptasi, dan aspirasi dalam
lingkungan yang semakin beragam secara budaya (Ponterotto et al., 2008).
MULTIKULTURALISME INDONESIA

Multikulturalitas bangsa merupakan realitas dalam komunitas indonesia


yang tak mungkin dipungkiri dan dihindari, bangsa Indonesia yang terdiri dari
ribuan pulau, ratusan bahasa, suku, bangsa dan agama. Kondisi ini merupakan
berkah dan hikmah apabila kita mampu mengaransemennya dalam sebuah
keterpaduan yang menghasilkan keindahan dan kekuatan, tetapi juga bisa menjadi
musibah disintregasi bangsa manakala multikulturalitas itu tidak terakomodasi
dengan baik.

Kondisi realitas masyarakat Indonesia sekarang ini masih ada anggapan dari
sebagian kelompok masyarakat bahwa perbedaan itu adalah musuh yang harus
dikalahkan, perbedaan itu adalah suatu ancaman yang harus dihilangkan.
Kelihatannya terlalu berlebihan, keberagaman suku, agama, budaya, ras dan antar
golongan bukanlah suatu ancaman dan potensi konflik yang berakibat terjadinya
disintegrasi bangsa. Tetapi justru perbedaan itu adalah jalan menuju
pengintegrasian bagi bangsa Indonesia. Artinya, kondisi masyarakat yang sangat
multikultural itu bisa mendorong masyarakat untuk secara otomatis melakukan
pengintegrasian secara menyeluruh. Sejarah sudah membuktikan bahwa bangsa
Indonesia dibentuk berdasarkan atas perbedaan-perbedaan yang membentang dari
sabang sampai merauke, dan tidak ada sedikitpun kekhawatiran akan terjadinya
suatu disintegrasi bangsa. Disintegrasi bangsa terjadi ketika diantara masyarakat
tidak dapat dan tidak mampu mengaransemen perbedaan kemajemukan dan
multikultural itu dengan baik.

Diperlukan pemahaman dan kemauan mengapresiasi keberagaman


multikultural dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia bahwa pihak mayoritas
atau superior dalam mempertahankan eksistensinya, baik langsung maupun tidak
memerlukan sumbangan pihak minoritas dan inferior. Dikotomi
mayoritasminoritas, superior-inferior pada aspek multikulturalisme bisa menjadi
tragedi besar, bila ditumpangi dengan muatan politik-ideologis ataupun
ketimpangan dalam kesempatan kinerja ekonomi (Kusumohamidjojo, 2000).
Dengan demikian, pembangunan masyarakat Indonesia yang bhinneka
memerlukan kesadaran penuh tentang ketunggalan dalam keberagaman. Ini
merupakan ide tentang penegakan kesatuan Indonesia berdasarkan upaya
mengapresiasikan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Keaneragamanan masyarakat dan kebudayaan Indonesia sesungguhnya bukan
masalah baru. Menurut Franz Magnis-Suseno (2010) bahwa sejak sebelum
berdirinya sebagai negara merdeka, Indonesia sudah menghadapi persoalan besar
yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan dan agama, yaitu
pertentangan dalam penetapan sila pertama dalam Pancasila antara kelompok
nasionalis dan kelompok agama. Persoalan ini menjadi semakin besar seiring
dengan perkembangan zaman dan dinamika sejarah yang menyertainya.

Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang besar.


Masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok
etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga bangsa ini secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Raymundus Sudhiarsa
mengutip pernyataan Will Kymlica yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai
bentuk pluralisme budaya yang berbeda dan msing-masing mempunyai integritas
dan tantangannya sendiri-sendiri. Pemahaman serta kesadaran tentang
multikulturalisme sebenarnya sudah muncul sejak pendiri bangsa mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi dewasa ini pemahaman akan
multikulturalisme mulai keluar dari konsep dasar tersebut. Artinya, bagi bangsa
Indonesia masa kini, konsep multikulturalisme menjadi sebuah terminologi yang
baru dan asing. Mengapa demikian? Karena kesadaran tentang konsep
multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini telah terdistorsi pada masa
Orde Baru. Kesadaran akan multikulturalisme dipendam atas nama persatuan dan
stabilitas negara. Muncullah kemudian paham “mono-kulturalisme” yang
bercirikan penyeragaman atas berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya.

Konsep multikulturalisme tidak dapat begitu saja disamakan dengan konsep


keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat
majemuk. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan menyentuh berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik, demokrasi, keadilan,
penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti,
penghormatan atas golongan minoritas, prinsip-prinsip etika-moral, dan mutu
produktivitas. Usaha untuk membangun Indonesia yang multikultural hanya
mungkin dapat terwujud apabila konsep multikultural menyebar luas dan dipahami
pentingnya bagi bangsa Indonesia. Kesamaan pemahaman diantara para ahli
mengenai konsep multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
mendukungnya amat diperlukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Tingginya tingkat multikulturalisme Indonesia juga menjadi penyebab


tingginya tingkat Islamophobia di Indonesia. Selain agenda politik Barat, di mana
terorisme adalah definisi praktis dari kekerasan Islam yang memicu pertumbuhan
Islamofobia di Indonesia, media arus utama Indonesia juga terjebak dalam wacana
Islamofobia yang disebarkan oleh Barat. penyebab Islamofobia di Indonesia.
Menurut Amirsyah Tambunan (Sekretaris Umum DPP Majelis Ulama Indonesia),
Islamofobia di Indonesia cenderung mengarah pada paham sayap kanan tentang
agama yang berlebihan. agama dengan berusaha mendirikan negara Islam di dalam
negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan prasangka, ketakutan
dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam Indonesia. Menurut Amirsyah, Islam
harus mengikuti prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Meski negara, mencari jalan
tengah dan menawarkan solusi. Selain itu, selama dua dekade terakhir, isu
terorisme dan upaya memasukkan hukum Syariah ke dalam konstitusi nasional
marak terjadi. Juga dalam peraturan daerah yang membatasi pendirian tempat
ibadah dan tentang Ahok (mantan gubernur Jakarta) ketakutan terhadap
Islamofobia dimunculkan di Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang telah
dipaparkan di atas, maka peneliti mengangkat judul penelitian “Islamophobia:

Ancaman Multikulturalisme di Indonesia. Islamofobia dan kekerasan atas


nama Islam di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke kemerdekaan negara itu pada
tahun 1945. Diawali dengan pembahasan dasar ideologi negara, "Negara Islam
versus negara kesatuan Indonesia". Belakangan, kedua kelompok sepakat untuk
mendirikan negara kesatuan Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila, bukan
negara agama/Islam. Karena mereka percaya bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran
Islam. Namun pada tahun 1948, faksi masyarakat Islam yang tidak puas
memproklamirkan Darul Islam (Negara Islam Indonesia). Gerakan ini memiliki
pendukung kuat di tiga wilayah yakni Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1960-an, rezim Soekarno akhirnya berhasil mengalahkan gerakan ini.
Namun setelah revolusi Iran pada 1980-an, gerakan tersebut memperoleh
momentum untuk bangkit kembali. Pada akhir era Soeharto (1990-an), Darul Islam
(DI) menjadi Jemaah Islamiyah (JI). JI juga terlibat dalam beberapa serangan
teroris di Indonesia seperti pengeboman Malam Natal, Bali 1 & 2, JW Marriott,
dan saat ini polisi sedang melakukan penikaman di Medan. Kelompok teroris yang
menggunakan kekerasan atas nama Islam merusak citra Islam sebagai agama
perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama serta merusak
keharmonisan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA SEBUAH PANDANGAN KONSEPSIONAL. 2014.
Dede Rosyada. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pendidikan Multikultural : Sebuah Perspektif Global. 2021. Nikmah Suryandari; Allyvia


Camelia. Universitas Trunojoyo Madura, Indonesia

PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME INDONESIA. Agustinus Wisnu Dewantara, S.S.,


M.Hum

MEMAKNAI KEMBALI MULTIKULTURALISME INDONESIA DALAM BINGKAI PANCASILA. Abd


Mu’id Aris Shofa. Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) Universitas Brawijaya

Abdillah, A., & Putri, S. T. (2022). ISLAMOPHOBIA: ANCAMAN MULTIKULTURALISME DI


INDONESIA. Jurnal Politik Profetik, 10(1), 1-16. https://doi.org/10.24252/profetik.v10i1a1

GADJAH MADA JOURNAL OF PSYCHOLOGY VOLUME 3, NO. 2, 2017: 110-122 ISSN: 2407-779

Anda mungkin juga menyukai