Multikultural berasal dari dua kata, yaitu multi dan kultural. Multi yang berarti banyak atau beragam dan kulturak yang berarti budaya. Jadi multikultural dapat diartikan keberagaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial. Indonesia memiliki kemajemukan suku. Kemajemukan suku ini merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang bisa dibanggakan. Akan tetapi, tanpa kita sadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini telah terbukti di beberapa wilayah Indonesia terjadi konflik seperti di Sampit (antara Suku Madura dan Dayak), di Poso (antara Kristiani dan Muslim), di Aceh (antara GAM dan RI), ataupun perkelahian yang kerap terjadi antarkampung di beberapa wilayah di pulau Jawa dan perkelahian pelajar antarsekolah. Untuk meminimalisir hal di atas, di sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleran, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai perbedaan. Proses pendidikan ke arah ini dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti ataupun pengakuan terhadap orang lain yang berbeda. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah- masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi- strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif, maka pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek- subjek lain yang relevan. Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan. Sejalan dengan itu, Musa Asy’arie mengemukakan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, menurut Musa Asy’arie diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial. B. Perkembangan Pendidikan Multikultural H. A. R. Tilaar menegaskan setidaknya ada beberapa kekuatan di dunia yang telah melahirkan pendidikan multikultural, yaitu : 1. Proses Demokratisasi dalam Masyarakat Sungguhpun paham demokrasi telah seumur kahidupan manusia di dunia ini, tapi pelaksanaannya tersendat-sendat, tidak merata dalam berbagai kelompok kehidupan manusia. Di dalam kehidupan manusia dikenal kelompok-kelompok yang menganggap dirinya mempunyai hak istimewa termasuk hak untuk memperoleh pendidikan yang tidak dinikmati oleh kelompok lainnya. Oleh sebab itu di dalam masyarakat yang demikian terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang tersisihkan dalam pendidikan. Perjuangan untuk memperoleh pendidikan dari kelompok-kelompok yang tersisihkan tersebut antara lain merupakan salah satu perjuangan melawan opresi kolonialisme. Baik di negara-negara demokrasi maupun di negara-negara totaliter terdapat perbedaan perlakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Perbedaan tersebut ada yang didasarkan kepada perbedaan ras, ideologi, etnik, dan yang lainnya. Misalnya perbedaan-perbedaan yang dulu terjadi di Afrika Selatan dengan politik segragasinya yang mengasingkan antara kelompok berkulit putih dengan hak-hak istimewanya, termasuk hak pendidikan, dan kelompok kulit berwarna terutama ras Afrika yang selalu disepelekan. Oleh sebab itu, pendidikan multikulturalisme berjalan bergandengan dengan proses demokratisasi di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi tersebut dipicu oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna kulit, agama, dan gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan martabat yang sama tanpa membedakan akan warna kulit, asal usul, agama, dan jenis kelamin.
2. Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II
Sesudah Perang Dunia II terjadi perubahan besar di dalam tata kehidupan antar bangsa.yang ingin membangun kembali puing-puing kehancuran Perang Dunia II di Eropa. Seiring dengan pembangunan kembali Eropa adalah berakhirnya kolonialisme dengan lahirnya negara-negara baru, terutama Afrika. Penduduk eks koloni memasuki Perancis dan Inggris dan menjadi pekerja-pekerja yang dibutuhkan di dalam pembangunan kembali negara-negara itu. Migrasi penduduk, khususnya migrasi pekerja, lama-kelamaan meminta perlakuan yang adil terutama bagi generasi mudanya yang menuntut adanya pendidikan yang baik. Migrasi penduduk dunia lebih diintensifkan dengan adanya kemudahan-kemudahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi transfortasi darat, laut, dan terutama transfortasi udara.
3. Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural
Dengan munculnya berbagai kelompok bangsa bermukim di negara-negara maju yang semakin pesat, lama kelamaan membentuk sesuatu kekuatan sendiri atau menuntut hak-haknya sebagai “warga negara” yang baru. Dari situ kemudian lahirlah kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaannya masing-masing, memberikan warna baru dalam kebudayaan tuan rumah yang sebelumnya sedikit banyak bersifat homogen. Sejalan dengan perkembangan paham demokrasi dan hak asasi manusia di atas, kelompok-kelompok etnis baru tersebut mulai melebur di dalam etnis mainstream. Dengan adanya kelompok-kelompok baru ini, munculah paham nasionalisme baru yang tidak lagi berkonotasi etnis tetapi lebih merupakan pengertian kultural. Di situlah nasionalisme kultural mulai lahir menggantikan nasionalisme etnis, dan pendidikan juga mulai terbuka untuk kebutuhan kelompok-kelompok etnis baru, sekaligus mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok mayoritas dengan kebudayaan mainstreamnya. Dari gelombang-gelombang peruhan tersebut di atas itulah yang melahirkan pendidikan multikultural di berbagai negara dengan berbagai coraknya masing- masing. Seperti di Amerika Serikat kita melihat perkembangan pendidikan multikultural yang berawal dari penghapusan segregasi dari kelompok warga negara Amerika yang berasal dari Afrika (American Afrika) yang ditantang sangat keras oleh gerakan-gerakan Civil Rights yang dipelopori oleh Dr. Martin Luther King. Gerakan Civil Rights ini lebih memacu lagi lahirnya pendidikan multikultural sejak dekade 70-an abad ke-20. Gerakan demokratisasi pendidikan yang diwujudkan di dalam pendidikan multikultural di Amerika akhirnya juga berimbas di negara tetangganya, Kanada. pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif dibandingkan dengan negara tetangganya. Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural. Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok- kelompok etnis bukan hanya dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India, Cina, Vietnam, dan juga dari Indonesia. Dari pengalam negara-negara tersebut di atas yang telah menerapkan praksis pendidikan multikultural kita dapat mengambil manfaatnya sebagai modal dasar penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, meski kita sadari bahwa penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut sifatnya lain bila dibandingkan dengan di Indonesia. Penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut di atas seakan-akan bertentangan dengan budaya homogen, tetapi di Indonesia pendidikan multikultural dapat diterapkan dalam perspektif pluralitas bangsa Indonesia.
C. Manfaat Kuliah Pendidikan Multikultural
1. Untuk membina mahasiswa agar tidak tercerabut dari akar budayanya Sebab pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa jadi dapat menjadi ancaman serius bagi generasi muda. Dalam kaitan ini mahasiswa perlu diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. 2. Untuk menumbuhkan prinsip-prinsip multikulturalisme seperti toleransi, demokrasi, saling menghargai dan mau memahami serta mengakui perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. 3. Untuk menanamkan rasa bangga terhadap kebudayaan Indonesia.
D. Ruang Lingkup Kajian Pendidikan Multikultural
Ruang lingkup pendidikan multikultural cukup luas, hal ini dipaparkan oleh Hilda, yang memberikan ketegasan atau runag lingkup pendidikan multikultural meliputi : konteks, proses, dan konten, pengembangan kurikulum multicultural, dan mengajar dalam perspektif multikultural. Muslim multikultural menegaskan pembatasan ruang lingkup pendidikan multikultural pada akhirnya bukanlah persoalan penting yang harus terbatas pada aspek tertentu. Hal ini yang menyebabkan agama masuk dalam tatanan ruang lingkup pendidikan multikultural yang semestinya tidak perlu diperdebatkan. Dengan melibatkan agama dalam proses pendidikan multikultural dari berbagai bidang, maka agama mampu berperan maksimal. Yang mana agama tidak hanya menanamkan nilai kesholehan ritual saja, tapi lebih penting dari itu, yakni dengan adanya agama mampu mewujudkan kesholehan sosial yang mampu membongkar proses dehumanisasi.