BAB II
LANDASAN TEORI
9
10
berdampingan secara damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan
dengan hasil rekomendasi APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa
hasil pendidikan tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
anak didiknya, namun juga dalam hal penanaman dan pengembangan nilai-
nilai dan afeksi mereka yakni dalam bentuk belajar bersama, berpartisipasi
dan bekerja sama dengan individu/masyarakat dari kelompok budaya yang
berlainan dalam segala aktivitas (Muthahir, 1997).
Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986) menyatakan ada
empat tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, memberikan
pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan
kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi,
partisipatory, dan exime. Kedua, mengembangkan keterampilan untuk
klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten
dan manifest. Ketiga, untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan
implikasinya kepada strategi pembelajaran guru. Keempat, mengkaji vareasi
kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan
strategi pembelajaran yang sesuai.
Dari pemaparan yang di kemukakan para pakar tersebut dapat terlihat
bahwa pendidikan multikultural merupakan wadah yang penting untuk di
implementasikan dalam sebuah Negara yang memiliki tingkat kemajemukan
yang sangat tinggi seperti Indonesia. Terlebih Indonesia memiliki semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang pemahaman maknanya kian meredup dan perlu
untuk di tumbuhkan kembali.
3. Hakikat Pendidikan Multikulural
James Banks dikenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Jadi
penekanan dan perhatian Banks difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin
bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana
berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus
diajari memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi
15
SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan
dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu
hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk
sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya keragaman mulai muncul seiring gagalnya
upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekan
kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal, seperti suku,
agama, etnis, golongan, yang seharusnya menjadi hasanah, dan modal untuk
membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai
kepentingan politiknya. Mungkin ketika kemudian konflik bergejolak di
daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama
“kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering
muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan
penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan
multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya
diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif.
Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu
prasangka atau konflik tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke
arah lebih baik. Namun demikian, problema pendidikan multikultural di
Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang
dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi dapat memicu munculnya problema
pendidikan multikultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya
dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia
yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat
21
isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.
Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi
pelajaran. Siswa doleh melihat dari perspektif yang lain. Banks (1993)
menyebut ini sebagai proses multiple acculturation, sehingga rasa saling
menghargai, kebersamaan dan cinta sesame dapat dirasakan melalui
pengalaman belajar. Konsepsi akulturasi ganda (multiple acculturation
conception) dari masyarakat dan budaya Negara mengarah pada perspektif
bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, music, seni, pengetahuan lainnya
sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya secara umum. Budaya
kelompok dominan hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya
yang lebih besar.
Keempat, Pendekatan aksi sosial (the sosial action approach)
mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan
konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan uama dari
pembelajaran dan pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan kritik
sosial dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan untuk memperkuat
siswa dan membentu mereka memperoleh pendidikan politis, sekolah
membantu siswa menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang
terlatih dalam perubahan sosial. Siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan
keterampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisispasi dalam perubahan
sosial sehingga kelompok-kelompok etnis, ras dan golongan-golongan yang
terabaikan dan menjadi korban dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
B. Dekadensi Pemhaman Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto Negara, diangkat dari penggalan
kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit
(abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-
beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri
bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
28
karakter anak bangsa yang bisa hidup dalam nuansa perbedaan. Menurut
Malik Fajar bahwa PKn sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan,
watak dan karakter warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
(Nadiroh, dalam Jurnal Kewarganegaraan, 2006:8). Hal ini terjadi karena
salah satu tujuan PKn adalah mebangun karakter warga negara yang
demokratis (Cholisin, 2006). Pendidikan demokrasi yang menjadi bagian
dalam konten PKn akan tercapai jika komponen-komponen sosio-kultural
Indonesia sebagai bangsa, dipahami sebagai kekayaan alam nusantara.
Komponen-komponen sosio-kultural tadi diformulasikan dalam bentuk
pendidikan multikultural. Oleh guru sebagai mediator di kelas, dikonstruksi
sebuah pendekatan sederhana tapi penuh makna dalam PKn yaitu berbasis
multikultural. Pembelajaran PKn sekaligus berisikan pendidikan multikultural
bisa dan mudah dilaksanakan karena cirinya yang sederhana, bisa berulang
(kontinuitas) dan terjangkau (karena bisa dilakukan langsung di kelas oleh
guru bersama siswa). Dengan model sederhana ini diharapkan pembelajaran
PKn akan lebih bermakna bagi siswa dan tetap menjadi muatan pembelajaran
strategis dalam upaya membangun karakter bangsa (nation and character
building).
D. PENELITIAN TERDAHULU
Setelah menelusuri berbagai literature dari berbagai sumber dalam
masalah yang sama, atau yang memiliki kemiripan baik yang berkenaan
dengan “impelementasi pendidikan multikultural, atau nilai-nilai bhineka
tunggal ika” ditemukan beberpa hasil sebagai berikut :
1. Hasil penelitian murtadlo (2013) yang berjudul Implementasi pendidikan
multikultural dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sma
taruna bakti (studi deskriptif di sma taruna bakti bandung). Temuan
penelitian ini adalah : 1) Penerapan dan proses berlangsungnya
pembelajaran PKn berbasis multikultural terlaksana melalui langkah:
memilih topik dan materi yang dapat di integrasikan dengan muatan
35
yang terdiri dari lima fase, yaitu fase apersepsi, eksplorasi, elaborasi,
konfirmasi dan penutup. Implementasi sintaks model pembelajaran PKN
berbasis multikultur yang dilangsungkan selama tiga kali siklus
menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
multikultur siswa untuk tiap siklusnya. Eksperimentasi model menujukkan
kompetensi siswa yang mengikuti model pembelajaran PKN berbasis
multikultur lebih baik dibandingkan dengan kompetensi multikultur siswa
yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penelitian ini
merekomendasikan model pembelajaran PKN berbasis multikultur dapat
dijadikan sebagai alternatif bagi guru dan siswa dalam melangsungkan
proses pembelajaran dan mengembangkan kompetensi multikulturnya.
3. Hasil penelitian Dwi Panda yang berjudul Implementasi pendidikan
berbasis multikultural dalam institusi pendidikan. Inti dari penelitian
tersebut adalah Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses
pendidikan berjenjang yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti status sosial, etnis, gender
dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar tercipta kepribadian
yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah
keberagaman.
E. Kerangka Berpikir
Pendidikan dalam arti yang luas adalah proses pembudayaan anak
untuk dibentuk sesuai potensi belajar yang dimilikinya dengan tujuan agar
menjadi anggota penuh dari masyarakat yang dapat menghayati dan
mengamalkan potensinya, baik secara individu maupun bersama-sama dengan
anggota lainnya. Dalam arti praktis, pendidikan merupakan proses
penyampaian kebudayaan atau proses pembudayaan yang bertujuan
menjadikan anak memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai,
serta pola-pola perilaku tertentu. Mengacu pada pemahaman arti luas dan arti
praktis, pendidikan itu bertujuan untuk mentransformasikan budaya, baik
37
Karena itu, beberapa hal yang menjadi fokus kajian ini adalah model
pembelajaran yang berbasis multikultural, yang berdasarkan rancangannya
berpotensi mengakomodir berbagai persoalan multikulturalisme yang pada
akhirnya mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif terhadap
nilai-nilai keberagaman yang sangat bermanfaat dalam upaya meredam
konflik etnis dan sebaliknya merekatkan nilai-nilai integritas bangsa.Sebagai
salah satu Negara Multikultural terbesar di dunia selayaknya menerpakan
Pendidikan Multikultural secara universal dan di implementasikan pada PKN
dalam rangka menumbuhkan kembali Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika yang
sudah mulai memudar sebagai mana diagram ini :
Nilai-Nilai Bhineka
PENDIDIKAN Tunggal Ika
Pembelajaran PKN
berbasis
Multikultural Out Put / Hasil
Implementasi
39
Bagan di atas dapat dijelaskan bahwa konteks pendidikan Indoensia saat ini
memerlukan penerpaan Pendidikan Berbasis Multikultur dalam rangka menanamkan
Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika agar aset bangsa indonesia yang majemuk tetap bisa
di pertahankan dan tidak menjadi wabah konflik yang mengakibatkan terjadinya
disintegrasi Bangsa. Oleh karena itu pemerintah berupaya merancng sistem
pendididikan nasional yang konten dan isinya sesuai dengan kemajemukan di
indoensia. Sehingga output yang dicapai adalah pserta didik yang paham dan
memaknai isi dari Bhineka Tunggal Ika dan kekharmoniasan ditengah-tengah
kemajemukanpun akan tercipta.