Anda di halaman 1dari 31

9

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Pendidikan Multikultural


1. Pengertian Multikultural
Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme
(lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung penagkuan
akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya yang unik.
Dengan demikian, setiap indifidu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Reccognition)
merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. Menurut
Longer Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan oleh
kebanyakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut mensitir
kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan
masyarakat Kanada sebagai masyarakat “multi-cultural dan ulti-lingual”.
Istilah multikulturalisme sendiri pertama kali digunakan dalam laporan
pemerintah kanada yang di publikasikan pada tahun 1965 bertajuk
“Preminary Report Of The Royal Commision Of Bilingualism and
Biculturalism”.
Gibson (1984 : 47) mendefinisikan bahwa multikultural adalah suatu
proses yang membantu individu mengembangkan cara menerima,
mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang
mereka miliki.
Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum
banyak dipahami orang. Penulis membagi pemahaman mengenai mengenai

9
10

multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan. Pertama, pemahaman popular.


Orang kebayakan memahami fenomena multikulturalisme semakin mudah
ditemukannya restoran Cina, Hoka-hoka Bento, Salero Bagindo, Mc Donald,
Jet Kun Do, Shaolin, kursus Yoga sampai boutique Versace di satu wlayah
yang sebelumnya relative homogen. Kedua, pemahaman politis. Kalangan
politisi memahami multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara
kultural yang menimbulkan berbagai persoalan sosial yang menuntut
kebijakan-kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program
asimilasi). Ketiga, pemahaman akademis. Pemahaman akademis
multikulturalisme mendasarkan diri pada perkembangan filsafat
postmodernisme dan Cultural Studies, yang menekankan prinsip paralogisme
di atas monologisme, kemajemukan diatas kesatuan (Ijalmustofa : 2013).
Isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara
lain; konsep kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik
liberalisme, toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya.
Merujuk apa yang dikemukakan Parekh (1997), multikulturalisme
meliputi tiga hal. Pertama, multikulturalisme berkenaan dengan budaya;
kedua, merujuk pada keragaman yang ada; dan ketiga, berkenaan dengan
tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman tersebut. Akhiran “isme”
menandakan suatu doktrin normatif yang diharapkan bekerja pada setiap
orang dalam konteks masyarakat dengan beragam budaya. Proses dan cara
bagaimana multikulturalisme sebagai doktrin normatif menjadi ada dan
implementasi gagasan-gagasan multikultural yang telah dilakukan melalui
kebijakan-kebijakan politis, dalam hal ini kebijakan-kebijakan pendidikan.
Berdasarkan berbagai konsep mengenai multikultural yang telah di
paparkan tersebut terlihat bahwa multikultural merupakan sebuah termin baru
yang berusaha mengakomodir berbgai elemen budaya menjadi sebuah
kesatuan, meski dalam konteks penafsirannya multikultural memiliki
11

beberapa tingktan yang berbeda tergantung dari cara pandang tingkatan


tersebut.
2. Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural
sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar
pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti
bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atuau tidak jelas.
Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran anatara
satu fakar dengan fakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu
sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan
multikultural.
Pendidikan multikultural bisa di definisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis
dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Hal ini seiring dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan
merupakan “menara gading” yang beruaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berprndidikan, bukan sebuah masyarakat yang
hanya mengagungkan prestos sosial sebagai akibat kekayaan dan
kemakmuran yang dialaminya.
Meminjam pendapatnya Andersen dan cusher (1994:320), bahwa
pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai
keragaman kebudayaan. Kemudian Jams Banks (1993:3) mendefiniskan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan Pople to color. Artinya,
pendidikan multikultural ingin mengexplorasi pebedaan sebagai keniscayaan.
Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan
penuh toleran dan semangat egaliter.
12

Hal senada juga di katakan oleh Amstrong yang mengatkan bahwa


Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan
siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok
masyarakat (Savage & Armstrong, 1996 : 124).
Pendidikan multikultural (multikultural education) merupakan respon
terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembang kurikulum dan aktivitas pendidikan
untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991 : 87).
Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui
ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa
dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka,
menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik
antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996:89). Pendidikan
multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan
siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang
berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap
perbedaan budaya, ras, dan etnis (Farris & Cooper, 1994:67).
Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh
siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras,
budaya, strata sosial, dan agama.
Berbicara masalah konsep pendidikan multikulturalisme, James Bank
(1994:90) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima
dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content
integrations in instructional, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
13

dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, The Knowladge Construction


Process in instructiona, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi
budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, An Equity
Paedagogy in instructional, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam, baik dari segi ras, budaya, maupun sosial. Kemapat, Prejudice
Reduction in instructional, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menemtukan metode pengajaran mereka.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran
(obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam
memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman
tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik
dapat dilihat dari empat cirri sebagai berikut: Pertama, Peserta didik dalam
keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk
menggunakan kemampuannya, kemauannya, dan sebagainya. Kedua, Peserta
didik memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. Ketiga, Peserta
didik memiliki latar belakang budaya, etnis, agama yang berbeda. Keempat,
Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan
potensi-potensi dasar yang dimilikinya secara individu
Dalam perspektif tilaar, pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan tentang “interkultualisme” sesuai perang dunia ke II.
Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkultualisme” ini selain terkait
dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan
dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain. Juga karena
meningkatnya pluralitas di Negara-negara barat sendiri sebagai akibat dari
peningkatan migrasi dari Negaranegara baru merdeka ke Amerika dan Eropa
(Tilaar, 2004: 23).
Fokus perhatian pendidikan multikultural adalah memberikan
wawasan budaya kepada anggota masyarakat agar mereka dapat hidup
14

berdampingan secara damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan
dengan hasil rekomendasi APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa
hasil pendidikan tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
anak didiknya, namun juga dalam hal penanaman dan pengembangan nilai-
nilai dan afeksi mereka yakni dalam bentuk belajar bersama, berpartisipasi
dan bekerja sama dengan individu/masyarakat dari kelompok budaya yang
berlainan dalam segala aktivitas (Muthahir, 1997).
Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986) menyatakan ada
empat tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, memberikan
pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan
kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi,
partisipatory, dan exime. Kedua, mengembangkan keterampilan untuk
klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten
dan manifest. Ketiga, untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan
implikasinya kepada strategi pembelajaran guru. Keempat, mengkaji vareasi
kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan
strategi pembelajaran yang sesuai.
Dari pemaparan yang di kemukakan para pakar tersebut dapat terlihat
bahwa pendidikan multikultural merupakan wadah yang penting untuk di
implementasikan dalam sebuah Negara yang memiliki tingkat kemajemukan
yang sangat tinggi seperti Indonesia. Terlebih Indonesia memiliki semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang pemahaman maknanya kian meredup dan perlu
untuk di tumbuhkan kembali.
3. Hakikat Pendidikan Multikulural
James Banks dikenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Jadi
penekanan dan perhatian Banks difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin
bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana
berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus
diajari memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi
15

pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbda-beda


(Banks, 1993). Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua
pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan. Siswa juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang
diterima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh
kepentingan masing-masing, mungkin saja interpretasi itu nampak
bertentangan sesuai dengan sudut pandang pandangnya. Siswa harus
dibiasakan menerima perbedaan.
Selanjutnya Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan
multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan
etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Ia
mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan, pembaharuan
pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk
mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun
wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari
kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki
kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Banks,
1993).
Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multukultural
memberi kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan siswa, waktu
banyak dilalui di daerah etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan dalam
mentransformasi nilai, aspirasi, etiket dari budaya tertentu, sering berdampak
pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan yang berlebihan. Faktor
ini penyebab timbulnya permusuhan antar etnis dan golongan. Melalui
pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan
memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara
individu bertingkah laku); folkways (kebiasaan-kebiasaan yang ada di
16

masyarakat), mores (tata kelakuan di masyarakat), dan customs (adat istiadat


suatu komunitas). Dengan pendidikan multikultural peserta didik mampu
menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama
tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademik
(Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan oleh Musa Asya’rie
(2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan
cara hidup menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang
hidup di tengah-tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak
memiliki kekenyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik
sosial di masyarakat.
4. Sejarah Pendidikan Multikultural
Perkembangan multikulturalisme, terutama di Amerika Serikat dan
Australia, dimana kebudayaannya di dominasi oleh kaum imigran putih
dengan budaya WASP, yaitu kebudayaan putih (white), dari bangsa Anglo
Saxon (yaitu berbahasa Inggris) dan beragama Protestan. Nila-Nilai WASP
inilah yang menguasai mainstream kebudayaan di Amerika Serikat. Dengan
demikian terjadilah segregsi dan diskriminasi, bukan hanya dalam bidang ras,
tetapi juga dalam bidang agama, budaya dan gaya hidup. Yang paling
didiskriminasikan adalah kelompok Afrika-Amerika, yang menurut
sejarahnya di bawa ke Amerika sebagai budak untuk di pekerjakan di
perkebunan-perkebunan atau membangun prasarana industri yang
berkembang pada saat abas XIX. Politik diskriminasi tersebut kemudian
berlaku juga terhadap kelompok non-WASP, yaitu kelompok indian (native
amerika), kelompok chicano (dari Negara-negara latin terutama mexiko), dan
pada akhir abad XX dari kelompok Asia-Amerika. Di dalam menghadapi
masyarakat yang bersifat “melting pot” tersebut telah di kembangkan berbagai
praktik pendidikan yang berusaha untuk menggaet kelompok-kelompok suku
bangsa tersebut di dalam suatu kebudyaan mainstream yang di dominasi oleh
WASP.
17

Keadaan demikian tersebut mulai mengalami perubahan terutama


sedalah adanya pengaruh dari perkembangan politik dunia seperti HAM,
deklarasi hak asasi manusia dari PBB (Universal Declarations of Human
Right tahun 1948). Demikian pula, gerakan Human Righta (human rights
movement) yang mengglobal serta proses dekolonisasi pada perang dunia
kedua telah ikut merontokan garis-garis segregasi antar ras. Praktek-praktek
pendidikan mulai gencar di lakukan untuk mencari titik temu guna menerima
semua ras dan tidak mengunggulkan salah satu ras. Maka dari itu mulai di
wacanakan pendidikan intrakultural. Konsep pendidikan intrakultural pun
mulai mengalami perkembangan namun hanya terbatas pada nilai-nilai
budaya barat (budaya ras putih).
Program pendidikan intrakultural tersebut kemudian di sempurnakan
dengan gagasan konsep pendidikan multicultural. Program pendidikan
multikultural melihat masalah-masalah masyarakat secara lebih luas. Bukan
hanya memasukan masalah-masalah struktural ras, tetapi juga mempersoalkan
masalah-masalah kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-
kelompok minoritas dalam ilmu pengetahuan.
Sejarah kelam yang panjang yang dialami negara-negara Eropa dan
Amerika seperti kolonialisme, perang sipil di Amerika dan perang dunia I dan
II, sebenarnya juga menjadi landasan utama kenapa pendidikan multikultural
ini diaplikasikan di kedua negara besar tersebut (M. Ainul Yaqin, 2005: 24).
Berbagai upaya untuk mengembangkan pendidikan multikultural
tersebut juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat Akar sejarah
multikulturalisme di Indonesia, menurut Muhaemin el-Ma’hady (2004) dapat
dilacak secara historis, sedikitnya selama tiga dasawarsa kebijakan yang
sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah
menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan
dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka,
rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis
18

di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa


rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa
kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian
antar kelompok.
Sistem politik Orde Baru yang sangat otoritarian dinilai hanya
melahirkan monokulturalisme. Pada masa itu terjadi Jawanisasi dalam segala
kehidupan, sehingga orang-orang di luar Jawa atau mereka yang tinggal di
Jawa pun kehilangan identitas dirinya, sebab mereka menjadi tidak percaya
diri bila tidak njawani (berpura-pura menjadi Jawa). Ketika Orde Baru
tumbang, maka tuntutan untuk membangun identitas diri itu pun muncul
dimana-mana. Jawaban atas tuntutan tersebut adalah melalui pendidikan
multikultural (Darmaningtyas, 2006: 93).
5. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Berbeda dengan negara AS, Inggris, dan negara-negara di Eropa, di
mana pada umumnya multikultural bersifat budaya antarbangsa, keragaman
budaya datang dari luar bangsa mereka. Adapun multikultural di Indonesia
bersifat budaya antaretnis yang kecil, yaitu budaya antarsuku bangsa.
Keragaman budaya datang dari dalam bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab
itu, hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan
pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Semangat Sumpah
Pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk mempersatukan warga negara
Indonesia yang berbeda budaya.
Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah pulau-
pulau yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda laut Indonesia
seluas 5,8 km2, didalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil
dan dikelilingi garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km, yang merupakan
garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (Prakoso B.P., 2008: 1). Hal
ini menyebabkan interaksi dan integrasi tidak selamanya dapat berjalan
lancar. Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata, sehingga terdapat
19

ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai awal rasa


ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan
yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan pada era terdahulu,
kebijakan Negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan
stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang
mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan,
sebab kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat;
kebebasan berpikir ikut terpasung; pembinaan kehidupan dalam keragaman
nyaris berada pada titik nadir.
Gerakan reformasi Mei 1998 untuk mentransformasikan
otoritarianisme Orde Baru menuju transisi demokrasi sebaliknya telah
menyemaikan berkembangnya kesadaran baru tentang pentingnya otonomi
masyarakat sipil yang oleh Esktrand (dalam Nasikun, 2005) disebut sebagai
perspektif multikulturalisme radikal (radical multicularism) sebagaimana yang
kini telah diakomodasi oleh Undang-Undang Sisdiknas. Di dalam konteks
perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan perspektif pendidikan
yang demikian memiliki peluang dan pendidikan multikultural justru sangat
diperlukan sebagai landasan pengembangan sistem politik yang kuat.
Pendidikan multikultural sangat menekankan pentingnya akomodasi hak
setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan
mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional.
6. Masalah Pendidikan Multikultural di Indonesia
Sejak lama, rakyat Indonesia selalu diingatkan agar dapat hidup
berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa,
agama, ras, dan antar golongan. Kita diserukan untuk mengerti, menghayati,
dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan
kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan
20

SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan
dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu
hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk
sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya keragaman mulai muncul seiring gagalnya
upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekan
kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal, seperti suku,
agama, etnis, golongan, yang seharusnya menjadi hasanah, dan modal untuk
membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai
kepentingan politiknya. Mungkin ketika kemudian konflik bergejolak di
daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama
“kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering
muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan
penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan
multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya
diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif.
Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu
prasangka atau konflik tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke
arah lebih baik. Namun demikian, problema pendidikan multikultural di
Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang
dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi dapat memicu munculnya problema
pendidikan multikultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya
dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia
yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat
21

berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik


dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada
komunikasi antarabudaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat
menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini
di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas
etnis, agama, dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini
dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang
memancing persoalan. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman
yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan
dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu
manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara
dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di
dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya
pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga
daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa
saling berkomunikasi.
b. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat Ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia
dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks.
Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya.
Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat
ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya
lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang
terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak
lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat
lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam
konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan
dengan kekuasaaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk
22

merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu,


termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting
dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang
demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan
menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos
penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut
memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya.
Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan.
Namun bila isu itu terus menerus dihembuskan justru akan
membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang
akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya
iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu
publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang
yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang. Konsep
pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang
marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan
tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka
menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini.
Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari
kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.

c. Kurang Kokohnya Nasionalisme


Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan
yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional,
dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar
lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila
kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak
23

isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru


banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu
dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa
Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga
ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar
dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui,
termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada
Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada
hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu
ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif, dan
manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah
menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan
kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme
yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat
memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
d. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun
yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa
kelompoknyalah yang paling benar, paling baik, dan kelompok
lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak
menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala
Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak
menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah
memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap
kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap
pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada
di sekitar stadion ketika tim kesayangannya, kalah menunjukkan
gejala ini.
24

Kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan pada korps


memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan
kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi
kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka
fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya
perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian
dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi
di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini.
Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di
Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
e. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional
dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan
kesatuan bangsa dengan berorientas pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep
stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-
kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di
Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas
nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan
bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipati terhadap
kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat
diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang
bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama
membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang
berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Disisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran
25

budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa


ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka)
di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan
multikultural yang terjadin akhir-akhir ini. Salah seorang panglima
perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap
negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhinneka Tunggal
Ika di Nabire, Irian Jaya.
f. Kesejahteraan Ekonomi Yang Tidak Merata Di Antara
Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit
beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari
kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi
beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya
ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Keterlibatan
orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini,
apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena
orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada
yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat
dalam demontrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya.
Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai
hal ini. Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan
tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera
mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada
kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan
yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala
perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak
bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil
mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi
26

kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan


cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobilmobil mewah
yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah
tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
7. Implementasi Pendidikan Multikultural
Bentuk pengembangan pendidikan multikultural di setiap Negara
berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masing-masing
Negara. Banks (1993) mengemukakan empat pendekatan yang
mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum
maupun pembelajaran di sekolah yang bila dicermati relevan untuk
diimplementasikan di Indonesia.
Pertama, Pendekatan kontribusi (the contributions approach). Level
ini yang paling sering dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase
pertamadari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya adalah dengan memasukkan
pahlawan/pahlawan dari suku bangsa/etnis dan benda-benda budaya ke dalam
pelajaran yang sesuai. Hal inilah yang selama ini sudah dilakukan di
Indonesia.
Kedua, Pendekatan aditif (aditif approach). Pada tahap ini dilakukan
penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa
mengubah struktur, tujuan dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini
sering dilengkapi dengan buku, modul, atau bidang bahasan terhadap
kurikulum tanpa mengubah secara substansif. Pendekatan aditif sebenarnya
merupakan fase awal dalam melaksanakan pendidikan multikultural, sebab
belum menyentuh kurikulum utama.
Ketiga, Pendekatan transformasi (the transformation approach).
Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan
kontribusi dan aditif. Pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar
kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep,
27

isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.
Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi
pelajaran. Siswa doleh melihat dari perspektif yang lain. Banks (1993)
menyebut ini sebagai proses multiple acculturation, sehingga rasa saling
menghargai, kebersamaan dan cinta sesame dapat dirasakan melalui
pengalaman belajar. Konsepsi akulturasi ganda (multiple acculturation
conception) dari masyarakat dan budaya Negara mengarah pada perspektif
bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, music, seni, pengetahuan lainnya
sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya secara umum. Budaya
kelompok dominan hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya
yang lebih besar.
Keempat, Pendekatan aksi sosial (the sosial action approach)
mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan
konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan uama dari
pembelajaran dan pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan kritik
sosial dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan untuk memperkuat
siswa dan membentu mereka memperoleh pendidikan politis, sekolah
membantu siswa menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang
terlatih dalam perubahan sosial. Siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan
keterampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisispasi dalam perubahan
sosial sehingga kelompok-kelompok etnis, ras dan golongan-golongan yang
terabaikan dan menjadi korban dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
B. Dekadensi Pemhaman Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto Negara, diangkat dari penggalan
kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit
(abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-
beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri
bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
28

keanekaragaman. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang


tercantum dan menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah
pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai
pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tidak lepas dari campur tangan
para pendiri bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik
memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan
geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman
dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa. Ketetapan Bhineka
Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara di tetapkan dalam PP. No. 66 tahun
1951, diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran
Negara No. II tahun 1951.
Bhineka Tunggal Ika adalah (sensati) yang tertulis dipita lambang
Negara Garuda Pancasila, yang berarti berbagai keragaman etnis, agama, adat
istiadat, bahasa daerah, budaya dan lainnya, yang ‘mewujud’ menjadi satu
kesatuan tanah air, satu bangsa, dan satu Bahasa Indonesia.
Bhineka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan yang mendasari
lahirnya kemerdekaan RI, ternyata mengalami dekadensi terhadap
pemahammanya. Akibat globalisasi yang di tandai salah satunya dengan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, menyebabkan berbagai
informasi dari Negara lain masuk secara tidak terkendali. Akibatnya pengaruh
negatif yang tidak sesuai dengan kultur Indonesia, berbenturan dengan nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat. Namun oleh sebagian kalangan nilai-nilai
asing tersebut di paksakan untuk di ikuti, dan hal itu dapat menimbulkan
berbagai kerawanan. Akibat lebih jauh, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
menjadi korban, terlindas oleh nilai-nilai asing, dan akhirnya mengalami
penurunan yang sangat tajam, sehingga nilai-nilai tersebut mulai di tinggalkan
oleh generasi muda kita. (Bedjo: 2007:13).
29

Bila Implikasi ini di tinjau melalui kacamata Astagarata, dapat di


jelaskan melalui uaraian berikut ini :
a. Permasalahan Bidang Geografi, Demografi, dan SKA.
Banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal dan hidup di
daerah terpencil, yang belum di dukung oleh sarana tranportasi, dan
komunikasi yang memadai. Mata pencaharian mereka umumnya
sebagai petani, nelayan, pedagang kecil, dengan tingkat kesejahtraan
yang rentan dengan kondisi miskin dan sangat miskin. Kondisi ini
sangat rawan konflik antar suku dan daerah.
b. Permasalahan Di Bidang Ideologi dan Politik.
Ideologi pancasila mulai di tingalkan oleh sebagian rakyat
dan jarang materi pancasila di bahas oleh forum-forum penting,
bahkan di sekolahpun tidak lagi di pelajari secara sungguh-
sungguh. Ini merupakan ancaman ril bagi kelangsungan hidup
pancasila dan NKRI. Partai politik yang boleh menggunakan azaz
selain pancasila, akan menjadikan masyarakat terpolarisasi lebih
tajam, yang rawan menimbulkan konflik, dan bertentangan dengan
Bhineka Tunggal Ika.
c. Bidang Ekonomi.
Kerisis ekonomi sejak tahun 1998 lalu membawa dampak
luas, yakni kemiskinan yang makin luas. Banyak perusahaan asing
penydiaan lapangan kerja bagi masyarakat terpaksa gulung tikar.
Akibat keamana yang tidak stabil di Indonesia. Pengangguran
makin banyak akibat PHK. Para lulusan sarjana atau SLA yang
baru makin menambah deretan panjang jumlah pengangguran-
pengangguran Rill. Keadaan seperti ini sangat rawan terjadi
persaingan dan kerusuhan yang di picu oleh solidaritas antar
kelompok dan etnis.
30

d. Bidang sosial dan budaya.


Kehidupan masyarakat yang mudah di picu untuk berbuat
anarkis, emosi masyarakat yang tak terkendali, adalah ciri
masyarakat kita saat ini. Kehidupan beragama yang masih sering
di warnai konflik antar agama, suku, dan budaya. Kondisi ini
bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Biaya sekolah yang
relatif mahal, menyebabkan banyak penduduk kita yang tidak
sekolah. Masalah di pendidikan di samping biaya yang mahal,
kualitasnya juga belum seperti yang di harapkan. Wajib belajar
pendidikan dasar untuk beberapa daerah masih belum ada tanda-
tanda positif dapat memperbaiki mutu pendidikan.
e. Bidang Hukum Dan HAM
Anggran yang hanya 5 % dari APBN menyebabkan
kekuatan TNI saat ini memang tidak setangguh semasa orde baru
maupun orde lama. Tingkat kesejahteraan personil TNI/POLRI
juga masih rendah, sehingga awam terhadap berbagai
penyimpangan. TNI (Darat,Laut Udara) dan plori yang dengan
kekuatan sebanyak 600 ribu orang, sangat tidak memadai bila di
bandingkan dengan luasnya wilayah, banyaknya pulau yang harus
di jaga dan di amankan TNI yang tidak di persenjatai dengan
persenjataan yang cukup dan mutakhir, akan sangat sangat mudah
I pukul mundur oleh kekuatan musuh.
Dari pemaparan diatas terlihat bahwa pemahaman dalam rangka
memaknai Nilai-Nilai yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika kian
menurun dan perlu sebuah usaha untuk kembali menumbuhkannya. Oleh
karena itu melalui pendidikan yang kontennya sesuai dengan konteks
kemajemukan yang ada di indonesia dikira sangat tepat sebagai sebuah
alternatif dan solusi untuk mengatasi problem terebut.
31

C. Pembelajaran PKN Berbasis Multikultural


Menurut Udin S. Winataputra bahwa secara akademis PKn
didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahnya pada
seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu,
dengan menggunakan ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan
kajiannya atau penemuannya. Intinya yang diperkaya disiplin ilmu-ilmu lain
yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfaatan terhadap
instrumentasi dan praksis pendidikan setiap warga negara dalam konteks
sistem pendidikan nasional (Nadiroh, 2008:86).
Kemajemukan bangsa Indonesia yang tak dimiliki oleh bangsa lain ini,
menjadi modal sosial dengan konstruksi berbasis kearifan lokal (local genius).
Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab tersebut
tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya nasional.
Dalam konteks hubungan sosial (interaksi sosial) baik secara horizontal
maupun vertikal dalam realita pluralitas tersebut, dibutuhkan instrumen
pendidikan yang berkarakter terbuka, inklusif, toleran dan pluralis. Bahasa
pendidikan sebagai media sosio-kultural menjadi jembatan antara realita
sosial dengan sikap yang mesti ditunjukkan oleh masyarakat, dalam hal ini
adalah warga sekolah seperti guru dan siswa. Terminologi pendidikan
multikultural menjadi istilah yang relevan untuk dikembangkan dalam ranah
pendidikan Indonesia sebagai bangsa yang plural. Mengutip Yaqin (2007 )
bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan
pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-
perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama,
bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar
menjadi efektif dan mudah (Yaqin, 2007:25).
Jelas sekali bahwa unsur utama dalam pendidikan multikultural adalah
penempatan posisi siswa sebagai subjek yang bersifat sejajar. Tidak ada
superioritas satu komponen kultural seorang siswa terhadap siswa lainnya.
32

Maka pendidikan multikultural ini dapat melatih dan membangun karakter


siswa mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan
mereka. Pendidikan multikultural memiliki posisi strategis dalam memberikan
sumbangsih terhadap penciptaan perdamaian dan upaya penanggulangan
konflik. Sebab nilai-nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan
pembumian nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial (Fanani,
2004:16). Pendidikan multikultural ini bisa dimasukkan secara inheren
(integral) dalam semua mata pelajaran. Walaupun dalam format kurikulum
nasional belum menjadi suatu mata pelajaran yang mandiri (berdiri sendiri),
tetapi bersifat integratif dengan pelajaran lainnya. Namun penulis lebih
memandang jika pendidikan multikultural secara integral bisa masuk ke dalam
bingkai ilmu sosial, seperti PKn. Sebagaimana dijelaskan Chapin dan
Mossick, dengan menggunakan pendekatan integrated yang menggunakan
persamaan perspektif yang dirangkai dalam bidang ilmu sosial. Rumusan
secara umum tentang ilmu sosial adalah kajian tentang berbagai kejadian
dalam alam sekitar dan perilaku manusia dalam berbagai kelompok, dan
bentuk kehidupan sosial maupun situasi atau kejadian di masa lampau atau
hari ini (Semiawan, 2008) Oleh karena itu diperlukan strategi pembelajaran
melalui berbagai pendekatan dan model pembelajaran yang efektif, dalam
menyampaikan pesan kesadaran kultural kepada siswa di sekolah. Dalam hal
ini adalah melalui gagasan pembelajaran PKn yang berbasis pendidikan
multikutural.
Dalam rangka pemenuhan kewajiban mendidik, mengajar, melatih,
mengarahkan, membimbing, menilai dan mengevaluasi, maka prasarat utama
yang harus dimiliki guru adalah kemampuan dalam membangun model
pembelajaran yang efektif, inovatif dan menyenangkan namun tetap relevan
dengan realita di lingkungan masyarakat. Pendekatan integrated learning dan
cooperative learning adalah beberapa model pendekatan yang efektif dalam
memasukkan pendidikan multikultural ke dalam PKn di kelas. Beberapa poin
33

penting yang harus dilakukan dalam memformulasikan pendidikan


multikultural dalam PKn yang bersifat mudah dan efektif yaitu:
Pertama, Guru harus merencanakan strategi pembelajaran yang akan
dipakai dalam kelas. Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning
adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif anggotanya terdiri dari 6 orang
dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen (Raharjo, 2007:4). Jika
yang dipakai adalah model cooperative learning, maka strategi ini digunakan
untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar
bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari
daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam konteks belajar
dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning,
diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam memberikan
apresiasi terhadap nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang
kebangsaan. Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan
mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi
terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan
teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki
empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola
konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Kedua, Pembelajaran multikultural yang dilaksanakan di kelas oleh
siswa bisa dimulai dari hal/perbuatan yang kecil namun penuh makna
(meaningfull). Siswa dan guru bisa memulainya bersama dengan melakukan
tindakan nyata di kelas yang menunjukkan keterampilan multikultural.
Maksudnya adalah sikap yang ditunjukkan karena kesadaran kultural
kemudian diimplementasikan dalam suatu tindakan dalam format
kemajemukan.
Menggagas pembelajaran PKn yang berbasis pendidikan multikultural
ini merupakan satu metode dan strategi sederhana, dalam rangka menciptakan
34

karakter anak bangsa yang bisa hidup dalam nuansa perbedaan. Menurut
Malik Fajar bahwa PKn sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan,
watak dan karakter warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
(Nadiroh, dalam Jurnal Kewarganegaraan, 2006:8). Hal ini terjadi karena
salah satu tujuan PKn adalah mebangun karakter warga negara yang
demokratis (Cholisin, 2006). Pendidikan demokrasi yang menjadi bagian
dalam konten PKn akan tercapai jika komponen-komponen sosio-kultural
Indonesia sebagai bangsa, dipahami sebagai kekayaan alam nusantara.
Komponen-komponen sosio-kultural tadi diformulasikan dalam bentuk
pendidikan multikultural. Oleh guru sebagai mediator di kelas, dikonstruksi
sebuah pendekatan sederhana tapi penuh makna dalam PKn yaitu berbasis
multikultural. Pembelajaran PKn sekaligus berisikan pendidikan multikultural
bisa dan mudah dilaksanakan karena cirinya yang sederhana, bisa berulang
(kontinuitas) dan terjangkau (karena bisa dilakukan langsung di kelas oleh
guru bersama siswa). Dengan model sederhana ini diharapkan pembelajaran
PKn akan lebih bermakna bagi siswa dan tetap menjadi muatan pembelajaran
strategis dalam upaya membangun karakter bangsa (nation and character
building).
D. PENELITIAN TERDAHULU
Setelah menelusuri berbagai literature dari berbagai sumber dalam
masalah yang sama, atau yang memiliki kemiripan baik yang berkenaan
dengan “impelementasi pendidikan multikultural, atau nilai-nilai bhineka
tunggal ika” ditemukan beberpa hasil sebagai berikut :
1. Hasil penelitian murtadlo (2013) yang berjudul Implementasi pendidikan
multikultural dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sma
taruna bakti (studi deskriptif di sma taruna bakti bandung). Temuan
penelitian ini adalah : 1) Penerapan dan proses berlangsungnya
pembelajaran PKn berbasis multikultural terlaksana melalui langkah:
memilih topik dan materi yang dapat di integrasikan dengan muatan
35

pendidikan multikultural dengan menggunakan metode pembelajaran


bersama (Cooperative Learning), sumber belajar yaitu buku dan
kontekstual, siswa memulai belajar dengan berdoa melalui 2 cara yakni
ibadah pagi dan berdo’a menurut kepercayaan masing-masing. 2) Faktor
pendukung dalam pembelajaran PKn berbasis multikultural adalah siswa
yang berlatar belakang berbeda-beda, materi yang menekankan pada
kerukunan, media berupa audio visual, sumber belajar berupa buku teks,
film yang bernuansakan multikulturalisme, evaluasi pembelajaran yang
menekankan pada aspek kerjasama dan perilaku siswa. 3) Kendala dalam
penerapan pendidikan multikultural dalam pembelajaran PKn tidak terlihat
signifikan akan tetapi perdebatan yang dilandasi oleh emosi sesaat dan
faktor usia yang masih muda. 4) Upaya dalam mengatasi kendala yang
dihadapi, guru berperan lebih banyak untuk mengatasi perdebatan dan
permasalahn yang muncul dan pihak sekolah terus melakukan upaya
pembinaan pembangunan karakter siswa yang saling menghormati dan
sopan-santun kepada semua pihak.
2. Hasil penelitian Saustika yang berjudul pengembangan model
pembelajaran pkn berbasis multikultur di sekolah dasar (studi
pengembangan model pada siswa kelas v sd di kota singaraja provinsi
bali). Temuan penelitian adalah pengembangan model pembelajaran PKN
berbasis multikultur yang sejalan dengan nilai-nilai budaya Bali seperti
toleransi, empati, cinta damai dan hukum karma. Kompetensi multikultur
yang relevan dikembangkan adalah kemampuan mengemukakan ide dan
gagasan, keterampilan bekerjasama dan keterampilan untuk
menyelesaikan masalah-masalah kultural. Sintaks model pembelajaran
PKN berbasis multikultur diawali dengan inisiasi, individual opinion,
kelompok multikultural, multikultural opinion, implementasi dan refleksi.
Pengembangan model pembelajaran PKN berbasis multikultur ini tetap
mengacu pada Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang standar proses
36

yang terdiri dari lima fase, yaitu fase apersepsi, eksplorasi, elaborasi,
konfirmasi dan penutup. Implementasi sintaks model pembelajaran PKN
berbasis multikultur yang dilangsungkan selama tiga kali siklus
menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
multikultur siswa untuk tiap siklusnya. Eksperimentasi model menujukkan
kompetensi siswa yang mengikuti model pembelajaran PKN berbasis
multikultur lebih baik dibandingkan dengan kompetensi multikultur siswa
yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penelitian ini
merekomendasikan model pembelajaran PKN berbasis multikultur dapat
dijadikan sebagai alternatif bagi guru dan siswa dalam melangsungkan
proses pembelajaran dan mengembangkan kompetensi multikulturnya.
3. Hasil penelitian Dwi Panda yang berjudul Implementasi pendidikan
berbasis multikultural dalam institusi pendidikan. Inti dari penelitian
tersebut adalah Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses
pendidikan berjenjang yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti status sosial, etnis, gender
dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar tercipta kepribadian
yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah
keberagaman.
E. Kerangka Berpikir
Pendidikan dalam arti yang luas adalah proses pembudayaan anak
untuk dibentuk sesuai potensi belajar yang dimilikinya dengan tujuan agar
menjadi anggota penuh dari masyarakat yang dapat menghayati dan
mengamalkan potensinya, baik secara individu maupun bersama-sama dengan
anggota lainnya. Dalam arti praktis, pendidikan merupakan proses
penyampaian kebudayaan atau proses pembudayaan yang bertujuan
menjadikan anak memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai,
serta pola-pola perilaku tertentu. Mengacu pada pemahaman arti luas dan arti
praktis, pendidikan itu bertujuan untuk mentransformasikan budaya, baik
37

pendidikan di rumah tangga (keluarga), di masyarakat, maupun di sekolah,


yang menunjukkan apa yang baik di masyarakat (Sagala, 2006:227).
Guna menjalankan pembangunan pendidikan nasional, pemerintah
menggariskan visi pendidikan nasional yakni sebagai berikut: “Terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah (Hery : 88).
Langkah untuk Mewujudkan visi tersebut tentu harus sesuai dengan
konteks kemajemukan yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini pendidikan
multikultural merupakan pendekatan progresif, pebendekatan ini sejalan
dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang
undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat 1,yang
berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asai
manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa. Hal
tersbut menjadi tanda di berlakukannya pendidikan multikultural dalam sistem
pembelajaran di Indonesia.
Strategi yang harus di ambil dalam rangka mensinergikan pendidikan
multikultural dala pembelajaran PKN adalah harus menemukan formula yang
tepat dalam mekanisme pembelajarannya. Oleh karena itu harus di
kembangkan model pembelajaran berbasis multikultural dalam pembelajaran
PKN. Kajian tentang model pembelajaran berbasis multikultural pada
pendidikan PKN merupakan hal yang cukup mendesak, mengingat
pascareformasi memperlihatkan gejala disintegrasi bangsa dengan adanya
berbagai hal, di antaranya seperti maraknya konflik baik vertical maupun
horizontal, euporia reformasi dan demokrasi lokal serta otonomi daerah, serta
berbagai masalah yang semua itu mengarah kepada konflik yang mengancamn
disintegrasi bangsa (Badan Litbang Puskur Depdiknas, 2007: 9).
38

Karena itu, beberapa hal yang menjadi fokus kajian ini adalah model
pembelajaran yang berbasis multikultural, yang berdasarkan rancangannya
berpotensi mengakomodir berbagai persoalan multikulturalisme yang pada
akhirnya mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif terhadap
nilai-nilai keberagaman yang sangat bermanfaat dalam upaya meredam
konflik etnis dan sebaliknya merekatkan nilai-nilai integritas bangsa.Sebagai
salah satu Negara Multikultural terbesar di dunia selayaknya menerpakan
Pendidikan Multikultural secara universal dan di implementasikan pada PKN
dalam rangka menumbuhkan kembali Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika yang
sudah mulai memudar sebagai mana diagram ini :

Nilai-Nilai Bhineka
PENDIDIKAN Tunggal Ika

Urgensi Pendidikan Terwujudkan


Multikultural integrasi di
Indonesia sebagai
pilar nasionalisme

Pembelajaran PKN
berbasis
Multikultural Out Put / Hasil

Implementasi
39

Bagan di atas dapat dijelaskan bahwa konteks pendidikan Indoensia saat ini
memerlukan penerpaan Pendidikan Berbasis Multikultur dalam rangka menanamkan
Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika agar aset bangsa indonesia yang majemuk tetap bisa
di pertahankan dan tidak menjadi wabah konflik yang mengakibatkan terjadinya
disintegrasi Bangsa. Oleh karena itu pemerintah berupaya merancng sistem
pendididikan nasional yang konten dan isinya sesuai dengan kemajemukan di
indoensia. Sehingga output yang dicapai adalah pserta didik yang paham dan
memaknai isi dari Bhineka Tunggal Ika dan kekharmoniasan ditengah-tengah
kemajemukanpun akan tercipta.

Anda mungkin juga menyukai