1. Pengertian Multikultural
Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena
multikulturalisme menekankan keanekaragamaan kebudayaan dalam kesederajatan.
Multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik
dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, hak asasi
manusia, hak budaya komumitas dan golongan minoritas, prinsipprinsip etika dan moral, tingkat
dan mutu produktivitas, serta berbagai konsep lainnya yang lebih relevan (Fay,1996).
Blum (Atmadja,2003) menyatakan bahwa multikulturalisme meliputi sebuah
pemahaman, penghargaan, penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang Igin. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian
terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari
kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan
nilai bagi anggota-anggotanya. Adapun Spradely (1997) menitikberatkan multikultural pada
proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk
menginterpretasikan pandangan dunia yang berbeda untuk menuju ke arah kebaruan kultur.
Kata multikultural menjadi pengertian yang sangat luas (multidiscursive), bergantung
pada konteks pendefinisian dan manfaat yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Dalam
kebudayaan multikultural setiap individu memiliki kemampuan berinteraksi dan bertransaksi
meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda. Hal ini disebabkan sifat manusia, antara
lain akomodatif, asosiatif, adaptable, fleksibel, dan kemauan untuk saling berbagi.
Pandangan ini mengisyaratkan bahwa keberagaman kultur mengandung unsur jamak
serta sarat dengan nilai-nilai kearifan. Dalam konteks membangun tatanan sosial yang kukuh,
nilai-nilai kearifan itu dapat dijadikan sebagai sumbu pengikat dalam berinteraksi dan
bersosialisasi antarindividu atau antarkelompok sosial. Hanya dengan mempersempit
perselisihan budaya yang tidak kondusif, siklus kehidupan sosial masyarakat yang majemuk
akan terwujud dalam prinsip dasar yang dapat saling menghargai, menghormati, dan menjaga
satu dengan yang lain.
2. Pengertian Pendidikan Multikultural
Menurut Andersen dan Cusher (1994:320), pendidikan multi. kultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Definisi ini mengandung unsur yang lebih
luas. Meskipun demikian, posisi kebudayaan masih sama, yaitu mencakup keragaman
kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek studi, Dengan kata lain, keragaman
kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan, khususnya bagi rencana
pengembangan kurikulum.
James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multikultural merupakan suatu
rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya
keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara. Ia mendefinisikan pendidikan
multikultural adalah ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan
utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan
perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras,
etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai
prestasi akademis di sekolah.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire pakar pendidikan
pembebasan (1989), bahwa pendidikan bukan “menara ganding” yang berusaha menjauhi
realitas sosial dan budaya. Menurutnya, pendidikan harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Azra (2002) menjelaskan pendidikan multikultural sebagai engganti dari pendidikan
interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik
engakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural
dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta
subjeksubjek lain yang relevan.
Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberikan kompetensi
multikultural. Pada masa awal kehidupan siswa, waktu banyak dilalui di daerah etnis dan
kulturnya masing masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket dari budaya
tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan yang
berlebihan. Faktor ini penyebab timbulnya permusuhan antaretnis dan golongan. Melalui
pendidikan multikultural sejak dini anak diharapkan mampu menerima dan memahami
perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara individu bertingkah laku),
folkways (kebiasaan yang ada di masyarakat), mores (tata kelakuan di masyarakat), dan customs
(adat istiadat suatu komunitas).
Dengan pendidikan multikultural peserta didik mampu menerima perbedaan, kritik,
dan memiliki rasa empati serta toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status, gender,
dan kemampuan akademis (Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan oleh Musa Asya
Rie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup
menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat plural sehingga peserta didik kelak memiliki kekenyalan dan kelenturan mental
bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat.
Pendidikan multikultural (multicultural education) tidak persis sama dengan
enkulturasi ganda (multiple enculturation). Sizemore (1978:2) membedakan pendidikan
multikultural dengan enkulturasi.s ganda. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Enkulturasi lebih menekankan pada integrasi struktural yang mengaburkan makna akulturasi
dengan enkulturasi. Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pemerolehan
pengetahuan untuk dapat mengontrol orang lain demi sebuah kehidupan (survival).
b. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference)
atau politics of recognition, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program
pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi para pembelajar (multiple
learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial anak didik.
Adapun definisi pendidikan multikultural yang diadopsi dari Suzuki (1978), Pramono (1999),
didasarkan pada asumsi awal bahwa sekolah dapat memainkan peran besar dalam mengubah
struktur sosial sebuah masyarakat. hal ini tidak berarti bahwa sekolah satu-satunya lembaga
sosial yang dapat mengubah struktur sosial sebuah masyarakat tetapi sekolah dapat menjadi
wahana atau alat bagi perubahan sosial dari masyarakat. berdasarkan pemahaman tersebut dapat
dimaknai hal-hal sebagai berikut:
a. Guru-guru dapat membantu siswanya mengonseptualisasi dan menumbuhkan aspirasi
tentang struktur sosial alternatif serta memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan untuk berubah. Definisi dan tujuan inilah yang akan dikembangkan menjadi
program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang dan ke-
bhinekaan sosio-historis, budaya, ekonomi dan psikologi.
b. Pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia penting untuk dikembangkan. Hal ini
mengingat faktor ke-bhinekaan bangsa Indonesia dan faktor-faktor lain yang menjadi
pengalaman bangsa Indonesia.
c. Terjadinya peristiwa disintegrasi sosial dan konflik selama ini, semakin perlu untuk
diantisipasi secara tepat. Hal yang paling memungkinkan adalah melalui program pendidikan
multikulturalisme.
d. Kesungguhan dalam merumuskan pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia
yang tepat semangat dan tepat tujuan.
3. Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah endekatan pelajaran dan
pembelajaran ke arah memberikan peluang rang sama pada setiap anak. Jadi, tidak ada yang
dikorbankan lemi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling memahami,
mengakhiri perbedaan, tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan.
Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu dihargai. Hal ini berarti
harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilainilai, khususnya civitas akademika sekolah. Ketika
siswa berada di antara sesamanya yang berlatar belakang berbeda, mereka harus belajar satu
sama lain, berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga dapat menerima perbedaan di antara mereka
sebagai sesuatu yang memperkaya mereka.
Perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan multikultural,
antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, agama, jenis
kelamin, kondisi ekonomi, daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur,
dan lain-lain (Baker, 1994:11).
Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk membantu Siswa:
a. memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat,
b. menghormati dan mengapresiasi ke-bhinneka-an budaya dan sosio-historis etnik;
c. menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka,
d. memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan
terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik;
e. meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalahmasalah rutin dan isu melalui
proses demokratis melalui sebuah Visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil, dan bebas;
f. mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Melalui pendidikan multikultural ini anak didik diberi kesempatan dan pilihan untuk mendukung
dan memerhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai, gaya hidup, atau bahasa.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respons terhadap
perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki
berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap Orang orang non-Eropa (Ililliard,
1991-1992). Adapun secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan
agama.
Dalam aktivitas pendidikan mana pun, peserta didik merupakan sasaran (objek)
sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik,
para pendidik perlu memahami ciri-ciri umum peserta didik. Secara umum peserta didik
memiliki beberapa ciri, yaitu:
a. dalam keadaan sedang berdaya. Maksudnya, peserta didik dalam keadaan berdaya untuk
menggunakan kemampuan, kemauan, dan sebagainya,
b. memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa, memiliki latar belakang yang berbeda-
beda;
c. melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki
secara individual.