Anda di halaman 1dari 56

BAB 1

Pengertian Pendidikan Multikultural

A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang


menanamkan pentingnya menghargai heterogenitas, baik
suku, budaya, etnis, dan sebagainya. Menurut Hilda
Hernandez dalam Mahfud (2010:168), mengartikan
pendidikan multikultural sebagai pengakuan terhadap
realitas ekonomi, sosial, dan politik yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat secara kultur dan kompleks
serta merefleksikan pentingnya etnisitas, budaya, agama,
ras, seksualitas dan gender, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian dalam proses pendidikan.
Dengan kata lain pendidikan sebagai media
transformasi pengetahuan yang mampu memberikan
nilai-nilai multikultur dengan cara saling menghormati
dan menghargai atas adanya keberagaman, baik dari latar
belakang maupun sosio budaya yang melingkupinya.
James Banks dalam Suryana (2015:196) menjelaskan
Pendidikan multikultural merupakan suatu kepercayaan
dan penjelasan tentang pengakuan dan penilaian akan
keberagaman budaya dan etnis, yang bertujuan
mengubah struktur pendidikan agar para siswa yang

Pendidikan Multikultural 1
berasal dari stnis, ras, dan kultur yang berbeda, laki-laki
maupun perempuan ataupun siswa yang berkebutuhan
khusus memiliki hak yang sama untuk mencapai prestasi
akademis di sekolah. Menurut Ainurrafiq Dawam dalam
Sauqi (2008:50), pendidikan multikultural adalah sebuah
proses pengembangan potensi manusia yang menjunjung
tinggi penghormatan dan penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia dari manapun dia datangnya dan
berbudaya apapun sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).
Menurut Howard (1993) pendidikan multikultural
ialah suatu pendidikan yang dapat memberikan
kompetensi multikultural dengan cara menerapkan
pendidikan multikultural sejak dini agar anak mampu
menerima dan memahami perbedaan budaya yang
berdampak pada perbedaan usage (cara individu
bertingkah laku), folkways(kebiasaan yang ada di
masyarakat), mores(tata kelakuan di masyarakat), dan
customs (adat istiadat suatu komunitas) (Suryana dan
H.A Rusdiana, 2015:196).
Pendidikan ini termasuk pendidikan yang penting
untuk diterapkan sejak dini pada anak-anak agar mereka
bisa tumbuh menjadi generasi yang toleransi terhadap
keberagaman. Pendidikan multikultural bisa diberikan
secara langsung oleh sekolah melalui guru maupun
diterapkan oleh orang tua di rumah.

Pendidikan Multikultural 2
B. Teori-teori Multikulutural

Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan


untuk menjelaskan pendidikan multikultural. Beberapa
tokoh perintis teori-teori multikultural (Liliweri, 2005:
71-80), berikut ini gagasan-gagasan dari teori tersebut :

a. Jean Piaget
Piaget menjelaskan bahwa setiap individu tidak
hanya memiliki kemampuan dan pengetahuan, namun
harus memiliki rasa empati untuk mencegah prasangka
dan sikap yang tidak baik. Empati merupakan sikap
peduli kepada dirinya dan orang lain.

b. James A. Banks
Banks disebut sebagai perintis pendidikan
multikultural, menurutnya hal terpenting pendidikan
bukanlah tentang mengjarkan “apa yang dipikirkan”
namun mengajarkan “bagaimana cara berpikir”. Adanya
hal tersebut siswa diharapkan menjadi pemikir kritis
dengan berlatar belakang keterampilan dan pengetahuan.
Melalui tulisannya berjudul The Canon
Debat;Knowledge Construction and Multicultural
Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok
terpelajar yang berpartisipasi dalam perdebatan
pengetahuan sebagai berikut :
1) Kelompok tradisionalis barat yang percaya bahwa
budaya yang paling dominan itu budaya barat, kaum
elite menjadi penguasa sejarah, kebudayaan maupun

Pendidikan Multikultural 3
kepustakaan, serta mendorong masyarakat untuk
mengakui pengetahuan dan sains itu elitis.
2) Kelompok yang mengagung-agungkan budaya barat
secara berlebihan.
3) Kelompok multikultural yang mereformasi
pendidikan agar perempuan dan orang berkulit
berwarna memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pengalaman dan perhatian Oleh karena
itu perlu adanya keseimbangan antar kurikulum
pendidikan dan sistem pendidikan.

c. Judith M. Green
Menurut Green, hampir di semua negara memiliki
kondisi multikultural, satu hal yang perlu dicatat untuk
hidup dalam masyarakat yang multikultur harus
berinteraksi, berjuang, dan kerjasama anatar budaya.
Pendidikan multikultural secara operasional merupakan
program pendidikan yang menyediakan sumber belajar
bagi pembelajar sesuai kebutuhan akademis maupun
sosial anak didik(Suryana, 2015:198). Pendidikan
multikultural dimaksud sebagai tanggapan dari
perkembangan keberagaman hak setiap kelompok, yang
mana dikembangkan dari berbagai pandangan, prestasi,
sejarah, dan perhatian terhadap orang-orang nonEropa
(Hilliard, 1991-1992).
Adapun secara luas pendidikan multikultural
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-
kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata
sosial, dan agama. Untuk menjaga keberagaman

Pendidikan Multikultural 4
tersebut, multikulturalisme memuat nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
Menurut Nurgiyantoro dan Thobroni (2010:158-
167), ada tujuh nilai yang mencerminkan sikap
multikulturalisme. Pemaparannya adalah sebagai
berikut:
a. Solidaritas dan Persaudaraan Solidaritas sosial dan
Persaudaraan sosial merupakan hal yang penting
dalam masyarakat multikultural. Terbangunnya
persaudaraan dan solidaritas sosial dilandasi adanya
sikap saling memahami dan menahan diri apabila
terjadi persoalan. Konflik umumnya terjadi diantara
orang atau kelompok bersaudara.
b. Kesetaraan Gender Keragaman merupakan suatu
kekayaan dalam masyarakat yang perlu didorong
dengan tradisi hidup setara, termasuk setara dalam
berbagai peran kehidupan berdasarkan jenis kelamin,
fisik maupun sosial.
c. Nilai Kekeluargaan Masyarakat yang multikultural
juga dibentuk oleh keluarga yang seharusnya
memiliki pengetahuan multikultural. Keluarga ini
sendiri juga tidak akan luput dari beragam persoalan,
kepentingan, dan semacamnya meskipun
anggotaanggotanya masih memiliki ikatan darah.
d. Penghormatan terhadap Tata Susila Unsur
multikulturalisme lain yang dapat ditemukan dalam
cerita ialah perlunya penghormatan terhadap nilai-
nilai atau tata susila yang berkembang ditengah
kehidupan masyarakat. Susila berarti tingkah laku

Pendidikan Multikultural 5
atau kelakuan baik yang harus menjadi pedoman
hidup manusia. Dengan demikian, kesusilaan
merupakan suatu keadaan yang dapat memenuhi
kebutuhan anggota masyarakat tanpa melukai
kepentingan orang lain, juga dihadapkan dengan
sikap mampu menghormati antar individu.
e. Merasa Cukup dalam Hidup Masyarakat
multikultural cenderung berada dalam kondisi yang
stabil, kohesif, hidup yang nyaman dalam dirinya,
jika memenuhi syarat tertentu. Syarat tersebut
meliputi sebuah struktur yang didasarkan pada
kesepakatan, hak konstitusional yang dapat diterima
secara kolektif, sebuah negara yang adil dan
memiliki sebuah kebudayaan umum yang terbentuk
secara multikultur dan pendidikan multikultur, serta
pandangan identitas nasional yang plural dan
inklusif. Diantara hal tersebut tidak ada yang mampu
memenuhi dirinya sendiri.
f. Perdagangan Terbuka Kehidupan masyarakat
multikultural tidak akan dapat dibebaskan dari unsur
ekonomi, salah satunya tradisi berdagang. Ditengah-
tengah keberagaman masyarakat, mereka yang
terlibat dalam kegiatan jual-beli juga dituntut untuk
menghormati dan menghargai keberagaman itu.
g. Berbagi dan Kontrol Kekuasaan Kekuasaan dalam
pandangan masyarakat merupakan kepercayaan yang
diberikan oleh masyarakat dari Tuhan kepada sosok
yang dianggap mampu mengembannya. Tujuan dari
kekuasaan itu sendiri adalah untuk memakmurkan

Pendidikan Multikultural 6
dan mensejahterahkan masyarakat baik lahir maupun
batin. Adanya pandangan seperti kekuasaan
bukanlah sesuatu yang perlu diperebutkan karena
dianggap sebagai sebuah tanggung jawab yang
mahaberat.

Pendidikan Multikultural 7
BAB 2
Tujuan Pendidikan Multikultural

A. Tujuan Pendidikan Multikultural

Setiap pendidikan tentu memiliki tujuan mulia yang


diharapkan bisa memperbaiki kualitas hidup manusia,
begitu juga dengan pendidikan multikultural. Adapun
tujuan pendidikan ini adalah sebagai berikut.
1. Memaksimalkan fungsi sekolah dalam menghadapi
keberagaman peserta didiknya.
2. Melatih peserta didik dalam bersikap positif terhadap
keberagaman suku, etnis, budaya, dan kelompok
yang berbeda dengan dirinya.
3. Mengasah keterampilan sosial peserta didik dalam
berinteraksi di lingkungan yang heterogen.
4. Mengajarkan peserta didik akan pentingnya
keberagaman dan cara menghargai perbedaan.
5. Melatih peserta didik untuk menerapkan hidup
damai dalam keberagaman.

Selain itu tujuan pendidikan multikultural adalah


membantu anak didik dalam mengembangkan
pemahaman dan sikap secara memadai terhadap
lingkungan masyarakat yang beraneka ragam budaya

Pendidikan Multikultural 8
(Setyo Raharjo dalam Samrin, 2014:127). Selanjutnya,
menurut Arifin (2012:75) tujuan pendidikan
multikultural adalah menyediakan setiap siswa jaminan
untuk memperoleh kesempatan yang sama guna
mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki. Adapun Yaqin (2007:26) menyebutkan:
Pendidikan Multikultural mempunyai dua tujuan yaitu
tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan
tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi
sebagai perantara agar tujuan agar tujuan akhirnya dapat
dicapai dengan baik.
Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu
membangun wacana pendidikan multikultural di
kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil
kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa
jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum.
Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana
pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka
tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan
keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang
diajarkannya. Akan tetapi juga mampu untuk menjadi
transformator pendidikan mulltikultural yang mampu
menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan
demokrasi secara langsung disekolah kepada para
peserta didiknya.
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini
adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan
tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan

Pendidikan Multikultural 9
mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis, dan humanis. Sebagaimana tujuan
pendidikan multikultural yang telah dijelaskan oleh
beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya pendidikan multikultural menghendaki adanya
perubahan pembelajaran yang didasarkan pada 12
pemberian kesempatan bagi semua peserta didik
sehingga nantinya diharapkan peserta didik dapat
mencapai prestasi secara maksimal yang pada akhirnya
dapat menjadikan peserta didik memiliki karakter dan
sikap demokratis, pluralis, dan humanis terhadap
berbagai keragaman yang ada.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural

Tugas guru selain membangun keahlian peserta


didik terhadap mata pelajaran yang diajarkannya juga
diharapakan dapat menjadi transformator pendidikan
mulltikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai
demokrasi, pluralisme, dan humanisme pada peserta
didiknya secara langsung disekolah. Nilai-nilai
pendidikan multikultural tersebut sesuai dengan pendapat
Aly (2015:12-15) yang menyebutkan bahwa ada 3 (tiga)
nilai-nilai inti dalam pendidikan multikultural, yaitu: (1)
nilai demokrasi, kesetaraan, dan keadilan; (2) nilai
kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; serta (3)
sikap sosial, yaitu: pengakuan, penerimaan, dan
penghargaan kepada orang lain. Selanjutnya, Yaqin
(2007:5) berpendapat bahwa hal yang terpenting dalam
pendidikan multikutural adalah seorang guru selain

Pendidikan Multikultural 10
dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional
mengajar mata pelajaran yang diajarkannya, seorang guru
juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari
pendidikan multikultural seperti demokrasi, pluralisme,
dan humanisme. Dari beberapa pernyataan diatas, dapat
disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) nilai pendidikan
multikultural yakni demokrasi, pluralisme, dan
humanisme.
Adapun penjelasan mengenai nilai-nilai tersebut
dijelaskan seperti di bawah ini.

a. Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu gagasan yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua orang. Untuk mendidik
warga negara yang baik guna menjamin terwujudnya
masyarakat demokratis perlu adanya penanaman pada
generasi baru mengenai pengetahuan dan kesadaran akan
kelangsungan demokrasi yang tergantung pada
keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi
yang meliputi kebebasan, persamaan dan keadilan
(Zamroni, 2006:17).
Nilai demokrasi ini sejalan dengan program
UNESCO tentang education for all (EFA), yaitu sebuah
program pendidikan yang memberikan peluang atau
kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk
memperoleh pendidikan. Akan tetapi pendidikan untuk
semua ini bukan hanya terbatas pada pemberian peluang
yang sama, melainkan juga berarti memperoleh

Pendidikan Multikultural 11
perlakuan yang sama kepada peserta didik dalam
pembelajaran di kelas (Aly, 2015:12).

b. Pluralisme
Pluralisme adalah suatu masyarakat yang beragam
mulai dari agama, suku, dan status sosial namun semua
masyarakat dapat tetap bekerjasama dan saling
bergantung satu sama lain demi terwujudnya kehidupan
kesatuan bermasyarakat dan bernegara (Zamroni,
2006:81). Dalam hal ini perlu adanya sikap untuk saling
mengakui, menerima, dan menghargai keberagaman
tersebut. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Aly
(2015:14) yang mengemukakan bahwa dalam kehidupan
di masyarakat yang majemuk diperlukan sikap sosial
yang positif. Sikap positif tersebut antara lain sikap
menerima, mengakui dan menghargai keberagaman.
Dalam hal ini perlu adanya pengembangan sikap sosial
yang positif tersebut yakni melalui sikap toleransi,
simpati, serta mendukung dan mengupayakan kehadiran
kelompok lain.

c. Humanisme
Humanisme adalah sebuah paham yang bertujuan
menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-
citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dalam hal ini
humanisme sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Adapun nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai universal
yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam lingkungan
masyarakat yang majemuk dan merupakan suatu

Pendidikan Multikultural 12
dorongan yang menempatkan manusia dalam posisi
tertinggi dan bermartabat (Aly, 2015:13). Lebih lanjut,
Art-Ong Jumsai & Na-Ayudhya (dalam Sukayasa & Evie
Awuy, 2014:56) menyebutkan bahwa nilai-nilai
kemanusiaan (Human Values) terdiri dari lima pilar yaitu
kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa
kekerasan. Dan kelima nilai tersebut merupakan satu
kesatuan dan apabila satu nilai hilang maka semua nilai
yang lain akan hilang. Mengacu pada pemaparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai tersebut
mempengaruhi sikap dalam kehidupan bermasyarakat
seseorang maupun suatu kelompok. Sehingga dalam hal
ini, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting
dalam penanaman nilai-nilai tersebut agar nantinya
tercipta generasi yang memiliki sikap berdasarkan nilai-
nilai tersebut.

Pendidikan Multikultural 13
BAB 3
Fungsi Pendidikan Multikultural

Sangat penting dalam menyadari bahwa sebuah


identifikasi terdiri dari susunan hierarki, kurikulum dan
pembelajaran tentu harus dimajukan lewat pengenalan
identitas terlebih dulu. Karena itulah pendidikan
multikultural dipakai, hal ini tak lepas dari fungsi yang
diberikannya. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi
fungsi jenis pendidikan ini, berikut di antaranya.
 Fungsi pertama pendidikan multikultural adalah
sebagai langkah dalam menguatkan karakter terhadap
peserta didik.
 Kedua adalah cara yang dipakai dalam mengajarkan
kepada peserta didik jika konflik akan selalu ada, hal
itu membuat mereka dapat mengedepankan perilaku
positif meski beragam.
 Sebagai langkah dalam pembinaan dan pemahaman
terkait pentingnya menjaga keutuhan bangsa yang di
dalamnya memuat keberagaman.
Menurut Clive Back (dalam Zaitun, 2016, hlm. 40)
beberapa fungsi pendidikan multikultural di antaranya
adalah sebagai berikut.

Pendidikan Multikultural 14
1. Teaching ethnic student about their own ethnic
culture, including perhaps some heritage language
instruction. Artinya, pendidikan multikultural dapat
berfungsi untuk mengajarkan siswa budaya etnis
mereka sendiri yang mungkin dapat dibarengi oleh
penggunaan bahasa etnis itu sendiri dalam proses
pengajaran.
2. Teaching all student about various traditional
cultures, at home and abroud, While such student can
be pursued in a variety of ways, what is usually
missing is systematic treatment of fundamental issues
of culture and ethnicity. Artinya, mengajarkan siswa
mengenai bermacam budaya tradisional lokal maupun
internasional sembari siswa juga dapat mencari
tahunya sendiri melalui berbagai cara, yang biasanya
merupakan salah satu perbaikan dari kesalahan
sistematis perilaku fundamental untuk mengetahui
berbagai isu budaya dan etnisitas.
3. Promoting acceptance of ethnic diversity in society.
Berarti mempromosikan penerimaan keberagaman
etnis di masyarakat.
4. Showing that people of different religious, races,
national background and so on are equal worth.
Menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda
agama, ras, dan asal negara yang berbeda sejatinya
memiliki nilai yang sejajar/sama.
5. Fostering full acceptance and equitable treatment of
the etnic sub-cultures associated with different
religious, races, national background, etc, in one`s

Pendidikan Multikultural 15
own country and in other parts of the word.
Mendorong penerimaan penuh dan perlakuan yang
adil dari sub-budaya etnis yang terkait dengan agama
yang berbeda, ras, latar belakang nasional, dll, di
negara sendiri dan di bagian lain dunia.
6. Helping student to work toward more adequate
cultural forms for the themselves and for society.
Membantu siswa menyongsong bentuk budaya
beragam yang lebih memadai untuk diri sendiri dan
masyarakat.

Sementara itu, menurut The National Council for


Social Studies, fungsi pendidikan multikultural adalah
sebagai berikut :

1. Memberi konsep diri yang jelas.


2. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis
dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan
realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
4. Membantu mengembangkan pembuatan keputusan,
partisipasi sosial, dan keterampilan kewarganegaraan
(citizenship skills).

Pendidikan Multikultural 16
BAB 4
Konsep dan Karakteristik Pendidikan
Multikultural

A. Konsep Pendidikan Multikultural

Menurut pendiri Pusat Pendidikan Multikultural


Universitas Washington, James Banks, konsep dasar
pendidikan multikultural adalah setiap peserta didik
harus diberikan kesempatan yang sama tanpa
memandang perbedaan kondisi, baik suku, budaya, jenis
kelamin, dan lainnya. Mereka berhak mendapatkan
persamaan di semua aspek pendidikan.
Misalnya, seorang guru harus memberikan perhatian,
bimbingan, arahan yang sama pada semua peserta
didiknya di kelas. Penerapan konsep tersebut di sekolah
diharapkan mampu mencegah tindakan diskriminasi di
masa mendatang. Semakin banyak generasi yang sadar
akan pentingnya menjaga perdamaian, semakin kecil
kemungkinan terjadi tindakan diskriminasi, baik rasial
maupun etnosentrisme.
Konsep Pendidikan Multikultural Menurut Banks,
(1993) pembelajaran multikultural pada dasarnya
merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas

Pendidikan Multikultural 17
multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan
kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya. “The
term multicultural education (now) describes a wide
variety of programs and practices related to educational
equity, women, ethnic groups, language minorities, low-
income groups, and people with disabilities”.
Di sisi yang sama, menurut Zamroni (2011: 140)
pendidikan multikultural merupakan bentuk reformasi
pendidikan yang bertujuan untuk memberikan
kesempatan yang setara bagi semua siswa tanpa
memandang latar belakangnya, sehingga semua siswa
dapat meningkatkan ke mampuan yang seoptimal sesuai
dengan ke tertarikan, minat dan bakat yang dimilikinya.
Seide dengan Banks, Sleeter dan Grant (1988)
mendefinisikan pembelajaran multikultural sebagai
kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui,
menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan
manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas. Lebih
dari itu, pendidikan multikultural adalah suatu sikap
dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa
membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi
jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995).
Pendidikan multikultural (multicultural
education) merupakan strategi pendidikan yang
memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan
dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk
membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat
bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai
lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman

Pendidikan Multikultural 18
bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya,
keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas
(Liliweri, 2005).
Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan
multikultural pada hakikatnya mencoba membantu
menyatukan kesukuan, ras dan golongan secara lebih
manusiawi, dengan menekankan pada perspektif
pluralitas kemasyarakatan. Dengan demikian, sekolah
dikondisikan untuk mencer minkan praktik dari nilai-
nilai pluralitas. Kurikulum di persekolahan pun harus
diracik se demikian rupa. Aneka kelompok budaya yang
berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek di mana
para pelajar lebih baik berbicara ten tang rasa hormat di
antara mereka dan me nun jung tinggi nilai-nilai kerja
sama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka
di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras,
etnik, budaya dan kelompok status sosialnya perlu
dimasukkan. Pendidikan berbasis multikultural
didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan,
keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-
hak manusia.
Hakikat pendidikan multikultural mempersiapkan
seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju
kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga
sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan
yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan
pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda
pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi
kompetisi budaya individual.

Pendidikan Multikultural 19
B. Karakteristik Pendidikan Multikultural

Adapun karakteristik atau ciri-ciri pendidikan


multikultural menurut Wihardit (dalam Rosyad & Dian,
2022, hlm. 11) di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Berprinsip pada demokrasi, persamaan, dan
keadilan.
Artinya, semua anak (siswa) mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan. Tidak hanya
sebatas memberikan kesempatan pendidikan, tetapi
harus mendapat perlakuan yang sama untuk
mendapatkan pelajaran di kelas. Dengan begitu,
mereka mendapat kesempatan untuk mencapai
kompetensi dan keterampilan ilmiah sesuai dengan
minatnya.
2. Berorientasi pada Kemanusiaan, Kebersamaan
dan Perdamaian.
Hal ini dijadikan landasan etis untuk membangun
hubungan sosial yang baik dalam masyarakat yang
majemuk di tengah-tengah masyarakat. Kedamaian
hidup dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan
dengan menghindari terjadinya kekerasan, perang,
dan tindakan mementingkan diri sendiri serta dengan
menegakkan keadilan. Artinya, pendidikan
multikultural bertugas membentuk pola pikir peserta
didik dalam membangun kehidupan sosial yang
harmonis tanpa permusuhan, konflik, kekerasan dan
egoisme.

Pendidikan Multikultural 20
3. Mengembangkan sikap mengakui, menerima,
dan menghargai.

Pendidikan Multikultural 21
BAB 5
Dimensi dan Landasan Pendidikan Multikultural

A. Dimensi Pendidikan Multikultural

Menurut James Banks, ada lima dimensi pada


pendidikan ini. Dimensi tersebut bisa membantu guru
dalam menyikapi perbedaan peserta didiknya karena
saling berkaitan. Adapun dimensi yang dimaksud adalah
sebagai berikut.

1. Dimensi integrasi
Dimensi integrasi adalah dimensi yang di
dalamnya memuat kecakapan guru dalam
mengintegrasikan beberapa materi yang berbeda agar
bisa mencapai satu kata kunci yang sama. Hasil integrasi
tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam kurikulum
dengan penambahan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi
Dimensi ini lebih mengarah kepada peserta didik.
Pemahaman peserta didik dipengaruhi oleh pengetahuan
yang diterimanya.

Pendidikan Multikultural 22
3. Dimensi pengurangan prasangka
Dimensi ini merupakan dimensi yang melibatkan
peran guru dalam menghilangkan berbagai prasangka
akan suatu ras, agama, maupun etnis. Artinya, guru harus
bisa membentuk perilaku positif peserta didiknya saat
menghadapi heterogenitas di sekolah.
Misalnya, seorang peserta didik rasis pada temannya
yang berbeda suku. Dalam hal ini, guru harus bisa
mengalihkan pandangan tersebut dengan cara
membaurkan mereka disertai pembahasan tentang
indahnya keberagaman dan perbedaan kelompok.

4. Dimensi pendidikan yang sama


Dimensi pendidikan yang sama diwujudkan
dengan seringnya guru mengembangkan kerja sama
antarpeserta didiknya. Dimensi ini sulit untuk dicapai
jika guru masih membiasakan perilaku kompetitif.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan


struktur sosial
Dimensi ini tidak bisa dilakukan secara instan,
tetapi mudah untuk dilakukan jika guru dan peserta didik
selalu terlibat secara aktif. Guru harus bisa
memberdayakan kembali di kelas setiap budaya peserta
didik yang berbeda kelompok. Selanjutnya, budaya-
budaya tersebut disusun menjadi struktur sosial yang
identik dengan karakteristik sekolah tersebut.

B. Landasan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendidikan Multikultural 23
Multikultural adalah berbagai macam status sosial
budaya meliputi latar belakang, tempat, agama, ras, suku
dan lain-lain. Implementasi pendidikan multikultural
adalah usaha penerapan sadar untuk mengembangkan
kepribadian di dalam dan di luar sekolah yang
mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras,
suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam
menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Multikultural berarti beranekaragaman
kebudayaan. Multikulturalisme secara sederhana dapat
diartikan sebagai pengakuan atas pluralism budaya. Akar
dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu
kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan
bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu
ideologi yang disebut multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah berbagai pengalaman yang
membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, status
sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras dan

Pendidikan Multikultural 24
berkebutuhan khusus. Dilihat dari kedua pengertian di
atas, pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah
yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial,
ras, suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas
dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman
budaya.

Pendidikan Multikultural 25
BAB 6
Pentingnya Pendidikan Multikultural di
Indonesia

A. Arti Penting Pendidikan Multikultural


Adapun pentingnya pendidikan multikultural di
Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan
akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat
relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti
sekarang.

1) Sarana alternatif pemecahan konflik


Penyelenggaraan pendidikan multikultural di
dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi
konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat,
khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata
laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana
alternatif pemecahan konflik sosial-budaya Struktur
kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam
menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk
mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan
sumber perpecahan.

Pendidikan Multikultural 26
Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa
Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era
globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri
dari berbagai macam budaya Pada kenyataannya
pendidikan multikultural belum digunakan dalam
proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi
sebagai instirusi pendidikan dapat mengembangkan
kurikulum pendidikan multikultural dengan model
masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau
sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan
memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang untuk
dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku,
budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa
pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih
sangat kurang.
Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat
dikatakann berhasil apabila terbentuk pada diri setiap
peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan,
dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan
budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya. Menurut
Sleeter dan Grant (1988:46), pendidikan multikultural
dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua
elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya
multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam
pendidikan multikultural. Perubahan yang diharapkan

Pendidikan Multikultural 27
adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai,
toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu
muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya
dan SARA.

2) Agar peserta didik tidak meninggalkan akar budaya


Selain sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam
upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan
akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia
berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era
globalisasi. Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini
bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta didik. Untuk
menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut
hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam.
Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan
global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya
kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta
didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak
budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah
antisipatif terhadap tantangan globalisasi, terutama dalam
aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan
memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini
sangat berat dan kompleks. Maka, upaya untuk
mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi
konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama

Pendidikan Multikultural 28
dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta
didik tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal
budayanya sendiri. Sehingga dengan pendidikan
multikultural itulah, diharapkan mampu membangun
Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan
ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah
kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.

3) Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional


Pendidikan multikultural sebagai landasan
pengembangan kurikulum menjadi sangat penting apabila
dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran
yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran
dan tingkatan tertentu. Pengembangan kurikulum yang
berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku
secara serentak seperti sekarang menjadi filosofi
pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit
pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum
content) yang mengartikannya sebagai aspek
substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi,
menuju pengertian yang mencakup nilai moral,
prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang
harus dimiliki generasi muda.

Pendidikan Multikultural 29
c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan
unsur keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus
berdasarkan cara belajar berkelompok dan bersaing
secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan
cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat
dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan
siswa terbiasa untuk hidup dengan
keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan
aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik
sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan.

4) Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural


Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah
mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, dan
ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan,
pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya
keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat
yang menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Corak masyarakat
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya
merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan
juga menyangkut tentang keanekaragaman budaya yang
ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

Pendidikan Multikultural 30
Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat
terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai,
menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama
lain. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan
dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan ungkapan budaya, domain privat
dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-
konsep lain yang relevan.
Multikultural atau kebhinekaan adalah anugerah
terindah untuk Indonesia. Ibarat pelangi, jalinan warna
menyatu membentuk kesatuan yang indah, latar agama,
warna budaya, dan keunikan bahasa menjadi perekat
perbedaan di negeri tercinta ini. Indonesia dianggap
sebagai salah satu Negara multikultural terbesar di dunia.
Keadaan ini dapat dilihat dari sosio-budaya maupun
geografis yang begitu luas dan beragam dalam suku,
agama, ras dan budaya.
Kemajemukan bangsa negeri ini bukanlah realitas
yang baru terbentuk. Beberapa tahun belakangan seiring
munculnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan
realitas masyarakat Indonesia yang pluralis-multikultural.
Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
masyarakat yang mengagungkan pendidikan
multikultural masih sangat sedikit.
Hanya beberapa bagian saja dari masyarakat yang
secara objektif memiliki anggota atau lingkungan yang

Pendidikan Multikultural 31
heterogen. Dalam pendidikan multikultural, selalu
muncul dua kata kunci:pluralis dan kultural, sebab,
pemahaman terhadap pluralis mencakup segala
perbedaan dan keragamannya, apapun bentuk perbedaan
dan keragamannya, sedangkan kultur itu sendiri tidak
bias terlepas dari empat tema penting, yakni: aliran
(agama), ras (etnis), suku, dan budaya. Oleh karena itu,
pendidikan multikultural memiliki urgensi yang amat
tinggi di Indonesia.
Menurut Rosyad & Dian (2022, hlm. 12)
beberapa urgensi atau kepentingan pendidikan
multikultural di Indonesia, di antaranya adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik.
Penyelenggara pendidikan multikultural di dunia
pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi
konflik dan intoleransi yang terjadi di masyarakat.
Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat
menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial
budaya. Spektrum kultural masyarakat indonesia yang
amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut
menjadi suatu aset, bukan divisi sumber.
2. Supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya.
Pendidikan multikultural juga signifikan dalam
membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya
yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan
dengan realitas sosial budaya di era globalisasi. Dalam
era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya

Pendidikan Multikultural 32
menjadi ancaman bagi anak didik. Untuk menyikapi
pengetahuan realitas global tersebut, siswa memiliki
pengetahuan dan pengetahuan yang cukup, sehingga
mereka memiliki kompetensi yang luas akan global,
termasuk aspek kebudayaan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum
nasional.
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai
titik tolak dalam proses belajar mengajar, pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan
kurikulum menjadi sangat penting.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural.
Dalam masyarakat multikultural ditegas-ditegas
masyarakat Indonesia yang beragam bukan hanya
akan corak pada keanekaragaman suku bangsa,
melainkan juga keanekaragaman budaya yang ada
pada masyarakat. Eksistensi Keragaman tersebut
tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati,
toleransi antara satu budaya dengan lainnya.

B. Nilai-Nilai Multikultural

Nilai-nilai multikulutral sesuai dengan


rekomendasi pendidikan multikultural dari UNESCO
yang ditetapkan pada bulan Oktober tahun 1994 di
Jenewa di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Toleransi Toleransi merupakan kemampuan untuk
dapat menghormati sifat-sifat dasar, keyakinan, dan
perilaku yang dimiliki orang lain. Selain itu,

Pendidikan Multikultural 33
toleransi juga dapat diartikan sebagai sikap
menghargai, membiarkan, atau membolehkan
pendirian, pandangan, pendapat, kepercayaan, serta
perilaku yang berbeda dari budaya atau kelompok
lain.
2. Nilai Demokrasi Demokrasi dalam ranah pendidikan
mengandung arti tentang pandangan hidup yang
mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua orang yang
berbeda-beda.
3. Nilai Kesamaan Kesamaan, kesetaraan, atau
kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang
sama, kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih
tinggi maupun lebih rendah.
4. Nilai Keadilan Keadilan memiliki arti sama atau
seimbang. Artinya, keadilan adalah pengakuan dan
perlakuan yang sama antara hak dan kewajiban atau
keharmonisan antara menuntut hak dan menunaikan
kewajiban.

Pendidikan Multikultural 34
BAB 7
Penerapan Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural dapat diterapkan di


dunia pendidikan melalui berbagai cara:
1) Multikulturalisme dalam Kurikulum.
Pengenalan ragam kultur atau budaya merupakan
langkah pertama yang perlu dilakukan ketikahendak
mengajarkan nilai-nilai multikulutaralisme. Sebagaimana
dikemukakan di atas, kultur di sini meliputi berbagai
aspek sosial manusia yang membentuk identitasnya,
seperti etnis, ras dan agama.Pengenalan kultur perlu
dijadikan sebagai bagian integral dari kurikulum tiap
jenjang pendidikan.Namun demikian, bukan berarti perlu
diadakannya mata pelajaran khusus multikulturalisme,
karena hal tersebut hanya akan membuat struktur
kurikulum menjadi gemuk dan terlalu banyak mata
pelajaran. Pengenalan ragam kultur dapat diintegrasikan
dalam berbagai mata pelajaran yangmemungkinkan
pengenalan kultur itu terjadi.Kita sadari bersama bahwa
Indonesia sangat kaya dengan budaya yang dibentuk oleh
kehadiranagama, keragaman etnis dan kondisi geografis
masyarakatnya. Para siswa perlu diperkenalkandengan
aneka ragam kelompok sosial yang membentuk

Pendidikan Multikultural 35
masyarakat Indonesia. Kelompok sosialdimaksud adalah
kelompok sosial yang membentuk identitas manusia, baik
secara kolektif maupun individual.Kelompok sosial
tersebut dapat berbentuk kelompok berdasarkan agama,
suku bangsa, maupun etnis tertentu.
Pengenalan identitas kelompok yang berbeda ini
penting agar siswa menyadari keberadaan kelompok
mereka dan keberadaan kelompok lain yang memiliki
identitas yang berbeda.Dengan mengenalkan keragaman
sosial bangsa Indonesia, siswa akan diajak untuk
memahami bahwabangsa Indonesia memiliki kekayaan
budaya yang sangat besar. Perbedaan yang mereka lihat
danalami perlu dipahami sebagai sebuah kekayaan dan
bukan sebagai pemisah antara satu kelompok dengan
kelompok yang lainnya.
Di samping pengenalan terhadap ragam budaya
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang
multietnis,siswa juga perlu disadarkan bahwa mereka
adalah bagian dari warga dunia (global citizen). Oleh
karena itu, pengenalan terhadap ragam kultur
mancanegara juga perlu diberikan, terutama untuk siswa
di tingkat menengah ke atas. Kenyataannya kekayaan
budaya Indonesia tidak hanya merupakan hasil
kreativitas murni bangsa Indonesia asli, tetapi banyak
juga yang dipengaruhi olehbudaya dari luar Indonesia,
seperti Arab, India dan China.

Pendidikan Multikultural 36
2) Penanaman nilai-nilai multikultur dalam
pembelajaran.
Penanaman nilai-nilai multikultur tidak terbatas
pada pengenalan ragam budaya Indonesia dandunia,
tetapi juga berupaya membentuk sikap-sikap positif
terhadap keragaman tersebut.Penanaman nilai-nilai
multikultur dapat dilakukan dalam setiap proses
pembelajaran di kelas. Jikapengenalan keragaman
budaya dilakukan dengan pendekatan kognitif, maka
penanaman nilainilaimultikultur lebih menyentuh aspek
afeksi siswa.Nilai-nilai multikultur yang dimaksud
meliputi: identitas diri, kesetaraan, obyektivitas,
pemahamanakan perbedaan, toleransi, dan empati. Nilai-
nilai tersebut dapat ditanamkan melalui interaksi gurudan
siswa di kelas. Penanaman ini tidak hanya menjadi
tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu,tetapi
melibatkan seluruh guru yang memiliki interaksi dengan
siswa di kelas. Dengan demikian, suasana kelas harus
dikondisikan sedemikian rupa, sehingga mengedepankan
nilai-nilai multikuluturalisme tersebut dengan tidak
mengabaikan hak-hak individu yang ada di dalamnya.
Internalisasi nilai-nilai multikultural dalam pembelajaran
dilakukan melalui pemilihan metode danstrategi
pembelajaran di kelas/di luar kelas. Metode yang
digunakan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip
kesetaraan, objektivitas dan toleransi.Prinsip kesetaraan
berarti semua siswa memiliki hak dan peluang yang sama
untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Pendidik perlu memastikan keterlibatan setiap individu

Pendidikan Multikultural 37
siswa dalam proses tersebut dan jangan sampai terjadi
dominasi oleh seseorang atau sekelompok orang atas
yang lainnya.
Perlu disadari bahwa dengan latar belakang dan
sifat individu yang berbeda, masing-masing siswa punya
preferensi tersendiri untuk melibatkan dirinya dalam
kelompok sosial. Ada yang cenderung aktif, agresif dan
dominan. Ada juga yang cenderung pasif, mengalah dan
mengikuti. Di sinilah peran guru menjadi sangat penting
untuk memastikan bahwa masingmasing siswa sadar
akan kesetaraan mereka sebagai peserta didik.Tidak jauh
berbeda dengan prinsip kesetaraan, guru harus
memperlakukan seluruh siswa secara objektif.
Keberpihakan guru adalah pada pembentukan karakter
positif dalam diri siswa, dengan menghindari perilaku
yang menguntungkan seseorang atau sekelompok orang
dan merugikan yang lain. Sikap objektif guru akan sangat
berpengaruh pada diri siswa. Sikap guru yang objektif
terhadap seluruh siswanya akan memberikan kesan pada
siswa bahwa memperlakukan orang lain harus dengan
adil dan bijak. Sehingga perlahan-lahan sikap tersebut
akan terinternalisasi dalam diri siswa.
Toleransi sebenarnya merupakan penyimpangan
terhadap kesepakatan atau nilai-nilai yang dianut.
Memberikan toleransi berarti membiarkan orang lain
untuk melanggar aturan yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu, penggunaan prinsip toleransi harus dilakukan
secara hati-hati, terukur dan terbatas. Salah satu

Pendidikan Multikultural 38
contohnya adalah siswa yang terlambat masuk kelas. Jika
aturan mengatakan bahwa siswa harus masuk kelas pukul
07.00, dan mereka yang lewat pukul itu tidak
diperkenankan masuk kelas, maka mestinya siswa yang
datang pukul 07.01 tidak lagi diperbolehkan untuk masuk
kelas. Namun terkadang guru merasa bahwa
keterlambatan kurang dari 10 menit adalah hal yang bisa
dimaafkan. Itulah yang disebut toleransi, yaitu
melonggarkan aturan demi terjadinya keberlangsungan.
Namun, kelonggaran aturan itu harus ditetapkan secara
tebatas. Sesuai dengan contoh di atas, siswa yang datang
pukul 07.30 tentu tidak dapat diperkenankan masuk
kelas, kecuali jika ada alasan yang benar-benar kuat
untuk lebih melonggarkan toleransi itu. Hal yang sama
juga berlaku untuk hubungan antar individu atau
kelompok di kelas. Perlu disepakati adanya toleransi dan
batas-batas di mana toleransi itu masih dianggap wajar.
3) Budaya multikultur di sekolah
Pemahaman mengenai keragaman budaya
merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan
dilembaga-lembaga pendidikan, sehingga para generasi
muda benar-benar memahami konsepmultikultural secara
baik. Namun demikian, pemahaman saja belum lah
memadai, karena pemahaman secara kognitif tidak
berarti apa-apa jika tidak disertai dengan perbuatan
nyata. Kenyatannya orang yang memahami konsep
multikultur dengan baik, belum tentu mampumenerapkan
nilai-nilai multikultur tersebut.Penanaman nilai-nilai

Pendidikan Multikultural 39
multikultur akan menjadi lebih efektif apabila budaya
multikultur dapatdijadikan sebagai bagian dari budaya
sekolah.
Sekolah dewasa ini, terutama di kota-kota
besar,adalah salah satu tempat di mana orang dari
berbagai latar belakang sosial bertemu. Sekolah-sekolah
di kota dan daerah-daerah urban cenderung lebih plural
dibandingkan sekolah-sekolah di desa. Oleh karena itu,
sekolah harus menjadi laboratorium budaya
multikultural.
Budaya multikultural adalah budaya yang
didasarkan atas konsep multikulturalisme, di mana
sekumpulan populasi terdiri atas anggota yang memiliki
latar belakang yang berbeda. Budaya multikultur diawali
dengan adanya pengakuan terhadap budaya-budaya yang
berbeda tersebut, dantidak menjadikan sebuah kultur
menjadi dominasi atas yang lain. Pengakuan tersebut
diiringi dengan sikap-sikap lainnya, seperti toleransi,
empati dan apresiasi. Bagi sekolah sekolah umum (non-
keagamaan) penerapan nilai-nilai tersebut nampaknya
akan lebih mungkin dilakukan karena sekolah umum
lebih terbuka terhadap perbedaan khususnya
perbedaanagama. Meski demikian, sekolahsekolah
keagamaan juga dapat menerapkan nilai-nilai multikultur
tersebut meskipun siswanya hanya terdiri dari orang-
orang yang memiliki keyakinan yang sama.Meskipun
mereka beragama sama, namun masing-masing siswa
pasti memiliki identitas sosial yang mungkin berbeda

Pendidikan Multikultural 40
dengan temannya, bisa perbedaan suku, etnis, dan status
sosial.

4) Kegiatan penunjang pendidikan multikultur


Lembaga pendidikan dapat melakukan berbagai
macam program atau kegiatan temporeryang bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai multikultural. Kegiatan-
kegiatan tersebut dapat berupakegiatan yang secara
spesifik mengusung tema multikultural atau kegiatan
dengan tema tertentuyang diselenggarakan secara
multikultural.Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa
dikenalkan dengan budaya-budaya dan nilai-nilai
yangdimiliki oleh masyarakat lain. Berbagai perspektif
multikultural dapat digunakan untuk mengenalkanragam
perbedaan kepada siswa. Misalnya perspektif agama-
agama, perspektif negara/bangsa,perspektif suku bangsa,
dan perspektif komunitas sosial tertentu.
Di samping kegiatan penunjang di sekolah,
lembaga lembaga pendidikan juga dapat
menyelenggarakan kegiatan kunjungan ke tempat-tempat
yang dapat mendukung terwujudnya pendidikan
multikulutral tersebut. Mengunjungi museum, rumah
ibadah agama lain, perkampungan komunitas tertentu,
atau sekolah lain yang mayoritas siswanya adalah etnis
tertentu adalah contohlain kegiatan kegiatan penunjang
pendidikan multikultural.

Pendidikan Multikultural 41
BAB 8
Pendidikan Berbasis Multikultural di Sekolah

Masyarakat multikultural merupakan suatu


realitas. Hampir tidak ada suatu masyarakat yang bersifat
monokultur. Bahkan sejarah telah menunjukkan setiap
upaya untuk menciptakan “monokultur” dengan berbagai
macam bentuk telah gagal. Karena pada hakekatnya,
masyarakat multikultur merupakan sunatullah (Zamroni,
2011: 31). Dengan alasan tersebut, tentu sangat rasional
jika dunia persekolahan kita mencari format pendidikan
yang empan papan bagi semua lapisan masyarakat.
Khususnya, pendidikan yang dapat menghargai
perbedaan suku, ras, agama, budaya dan adat-istiadat
masyarakat.
Pendidikan multikultur pun bisa menjadi salah
satu solusi alternatifnya. Dalam konteks itu, James A.
Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi
pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat
membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa
program yang mampu merespon terhadap perbedaan
pelajar (siswa), yaitu:
Pertama, dimensi integrasi isi/materi (content
integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk
memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’
pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-

Pendidikan Multikultural 42
beda. Secara khusus, para guru menggabungkan
kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum
dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu
pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu
guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan
membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari
berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan
pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah.
Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa
unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan
materi multikultural.
Kedua, dimensi konstruksi pengetahuan
(knowledge construction). Suatu dimensi di mana para
guru membantu siswa untuk memahami beberapa
perspektif dan merumuskan kesimpulan yang
dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka
miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan
pemahaman para pelajar terhadap perubahan
pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
Ketiga, dimensi pengurangan prasangka
(prejudice reduction). Guru melakukan banyak usaha
untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku
positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh,
ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif
dan memiliki kesalah pahaman terhadap ras atau etnik
yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan
dapat membantu siswa mengembangkan perilaku
intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang
mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah

Pendidikan Multikultural 43
bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif
tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan
pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-
menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar
yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe,
cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan
kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari
luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa
penggunaan teksbook multikultural atau bahan
pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang
kooperatif dapat membantu para pelajar untuk
mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang
lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan
pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras
luar, etnik dan kelompok budaya lain.
Keempat, dimensi pendidikan yang sama, atau
adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan
cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran
sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada
sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan
aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya
memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain
dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan
bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition
learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang
dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah,
menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok
etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus
yang akan memberikan pengalaman pendidikan

Pendidikan Multikultural 44
persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan
belajar.
Kelima, dimensi pemberdayaan budaya sekolah
dan struktur sosial (empowering school culture and social
structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan
budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari
kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan
untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang
memanfaatkan potensi budaya siswa yang
beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah
setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok,
iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler
dan penghargaan staff dalam merespon berbagai
perbedaan yang ada di sekolah.
Dengan demikian, kelima dimensi tersebut sangat
membantu proses pembelajaran di kelas. Pendekatan
yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas
multikultural adalah dengan menggunakan pendekatan
kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan
pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives
Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada
umumnya memakai pendekatan kajian kelompok
tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa
dalam mempelajari pan dangan-pandangan kelompok
tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus
tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu,
kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut,
dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu
terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan,

Pendidikan Multikultural 45
politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa.
Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan
nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji (Lubis Grafura,
2007: 10).
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple
Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu
tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-
kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru
memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya.
Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992, dalam
Lubis Grafura, 2007) menyarankan agar pembelajaran
menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan
alasan pendekatan itu nampak lebih efektif. Pendekatan
perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari
bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan
secara berbeda oleh orang lain, di mana interpretasinya
sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka
ikuti.
Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok
(karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering
tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak
cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage &
Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif
ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu
yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk
menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan
pandangan kelompok yang berbeda-beda memungkinkan
siswa untuk berempati. Lebih dari itu, hasil penelitian
(Byrnes, 1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah

Pendidikan Multikultural 46
prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan
terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga
mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap
terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat
yang berbeda (Walsh, 1988).
Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat
aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam
perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan
perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang
memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia
untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara
pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi
prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku
sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif
tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992).
Pendekatan perspektif ganda mengandung dua
sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan
prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda
merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
Pertanyaan lanjutannya, bagaimana strateginya? Beragam
strategi dapat digunakan, di antaranya strategi kegiatan
belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang
dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept
Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis);
strategi analisis sosial (Social Investigation).
Beberapa Pilihan strategi ini dilaksanakan secara
simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah
model pembelajaran berbasis multikultural. Namun
demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara

Pendidikan Multikultural 47
fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi
Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi
siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal
untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap
menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing,
dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya daerah asal tersebut. Strategi cooperative
learning, digunakan untuk menandai adanya
perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-
sama menso sia lisasikan konsep dan nilai budaya lokal
dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman.
Dalam tataran belajar dengan pendekatan
multikultural, penggunaan strategi cooperative learning,
diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa
dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta
membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan
ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan
kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain,
toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan
jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang
berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki
empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan
mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan
(conflict non violent).

Pendidikan Multikultural 48
BAB 9
Pendidikan Berbasis Multikultural di
Masyarakat

Transformasi masyarakat menuju pemaham an


masyarakat multikultural menjadi keniscayaan. Apalagi,
mencermati fenomena sosial kemasyarakatan belakangan
ini sangat menyedihkan, kalau tidak dikatakan
membahayakan. Khususnya, bagi keutuhan kebinekaan
dan Kebangsaan kita. Beragam kekerasan, ke rusuhan,
konflik, dan anarkisme seolah tanpa putus. Sebut saja,
kasus kekerasan warga dan aparat di PT Preport Papua,
Mesuji Lampung, Sape di Bima Nusa Tenggara Barat
dan lain sepadannya. Parahnya lagi, masyarakat kita
semakin menjauhi sifat kejujuran, akibatnya tidak ada
lagi trust (kepercayaan) di antara mereka. Perkembangan
lebih lanjut, suasana kekeluargaan dan persaudaraan
sebagai satu bangsa sudah hampir punah, diganti dengan
kebersamaan dan persaudaraan sempit yang berpusat
pada keluarga (hubungan darah) atau kelompok.
Musnahnya suasana kekeluargaan dan
persaudaraan diiringi dengan menurunnya penghargaan
atas martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang
paling sempurna membawa nilai “kehidupan” manusia
menjadi amat rendah (Zamroni, 2011: 92). Tidak mudah
memang mengembalikan nilai-nilai dan karakter

Pendidikan Multikultural 49
Kebangsaan kita yang konon dikenal sebagai bangsa
yang guyup, rukun, gotong royong, ramah tamah dan
menjunjung tinggi keragaman dan perbedaan
(kebhinekaan). Tapi, kini karakter Kebangsaan itu mulai
luntur dan menguap. Bahkan, sekarang bangsa kita lebih
dikenal sebagai bangsa yang gemar “tawuran” dan
kekerasan. Pendidikan multikultural pun bisa dijadikan
salah satu bagian dari solusi alternatif untuk
mengembalikan semangat Kebangsaan. Caranya
bagaimana? Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan
untuk mendorong terwujudnya pendidikan multikultural
di masyarakat.
Pertama, penyadaran akan pentingnya
pemahaman multikultural bagi kehidupan masyarakat. Ini
berarti masyarakat disadarkan tentang pentingnya
memandang keunikan manusia dengan tanpa
membedakan agama, kepercayaan, ras, budaya, jenis
kelamin, seks, kondisi jasmaniah dan status ekonomi
seseorang. Strategi percepatan penyadaran ini dapat di
lakukan melalui beragam cara sebut saja misalnya,
melalui penyuluhan-penyuluhan, khutbah-khutbah
keagamaan, dan KKN Tematik multikultural perguruan
tinggi. Di sisi yang sama, untuk mengatasi beberapa
daerah yang berkonflik akibat isu SARA, perlu didorong
kembali terwujudnya rekonsiliasi bermakna. Atau
meminjam istilahnya Zamroni, rekonsiliasi yang
memaafkan, tapi tidak melupakan kejadian masa lalu.
Hal ini memang sulit dilaksanakan, namun harapan itu
masih tetap terbuka lebar. Karena kodrat manusia adalah

Pendidikan Multikultural 50
makhluk sosial, yang merindukan kedamaian dan
ketenangan.
Kedua, adanya kebijakan desa berbasis
multikultural. Kebijakan ini sebagai bentuk lanjutan dari
penyadaran yang telah dilakukan, baik oleh aparatur
pemerintahan, kaum agamawan, maupun sivitas
akademika perguruan tinggi. Sehingga penyadaran
tersebut, perlu dijaga, dipupuk dan dibuatkan konsensus
bersama. Wujud konsensus kolektif itu, berupa kebijakan
berbasis multikultural. Produk konsensus tentu
tergantung kearifan lokal masing-masing desa/
masyarakat. Contoh misalnya, kebijakan adanya forum
kerukunan antar agama di desa, dibentuknya warung
kerukunan beragama dan pemaksimalan program PMPM
berasas kerukunan. Gagasan ini menjadi sangat relevan,
mengingat berbagai kekerasan berbusanakan SARA
biasanya teretas dari desa dan daerah. Dengan adanya,
konsensus (kebijakan) ini, diharapkan dapat
meminimalisir kekerasan atas nama SARA berkembang
dan beranak pinak di negara seribu satu etnik ini.
Ketiga, memupuk semangat resiliensi berbasis
multikultural. Upaya ini menjadi sangat penting
dilakukan, karena untuk menjaga tum buhnya
penyadaran, konsensus kolektif berbasis multikultural,
maka kedua hal itu perlu diikat. Sehingga dibutuhkan
pengingat yang benar-benar kuat. Sangat bijak kiranya,
tawaran Siti Irene Astuti untuk mengikat semangat
multikultural dengan “tali resiliensi”. Mengapa
demikian? Karena semangat resiliensi berarti adanya

Pendidikan Multikultural 51
proses dinamis yang mengarah pada kemampuan yang
positif untuk menyesuaikan diri dalam situasi yang sulit
(Luthar, dkk, 2000). Apalagi, semangat reiliensi
ditumbuh kembangkan di masyarakat yang berkonflik.
Sebab fungsi resiliensi di antaranya adalah mengatasi
kesulitan-kesulitan yang pernah dialami di masa kecil,
mewujudkan masa dewasa yang diinginkan, melewati
kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, bangkit
kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau
kesulitan besar (Siti Irene Astuti D, 21/11/2011).
Secara praksis, tugas berat melaksanakan
resiliensi ini pada hakikatnya adalah tanggung jawab
semua warga. Sehingga warga masyarakat pun, harus
dibekali pemahaman dan konsep resiliensi ini.
Persoalannya siapa yang melakukan ini semua?
Pertanyaan ini menjadi suatu kewajaran, karena resiliensi
adalah konsep dan teori yang berat, tidak semua orang
mampu melakukannya. Menurut hemat saya, perguruan
tinggi melalui LPPM/LPM dapat menjadi pionir
meretaskan ide dan gagasan mulia ini. Melalui
pengabdian masyarakat, sekaligus sebagai realisasi
perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi konsep
resiliensi ini dapat segera didorong dan diwujudkan.
Mengingat jumlah masyarakat yang
membutuhkan penyadaran dan pemahaman resiliensi
sangat banyak, maka perguruan tinggi perlu
mengerahkan dosen dan mahasiswanya untuk
melaksanakan tugas suci ini. Bentuknya, bisa saja
perguruan tinggi mengadakan workshop, loka karya dan

Pendidikan Multikultural 52
TOT (Tranning of Tranner) di desa desa dan di kampung-
kampung.
Di samping itu, proyek proposal pengabdian
masyarakat berbasis multikultural perlu diupayakan.
Muaranya, tentu agar konsep resiliensi dapat dipahami
oleh sivitas akademika dengan baik, kemudian
“ditularkan” kepada lapisan masyarakat.

Pendidikan Multikultural 53
DAFTAR PUSTAKA

Ainul Yakin, M. 2005. Pendidikan Multicultural, Cross-


cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media

Banks, J.A. 1994. Multiethnic Education Theory and


Practice. 3rd ed. Boston: Allyn and Boston.

Byrnes, D.A. 1988. “Children and Prejudice”. Social


Education. 52 (267-271).

Dufty, D. 1986. “Remodelling Australian Society and


Culture: A Study in Education for a Pluralistic
Society” . In Modgil, C. & Verma S. & Modgil ,
S. (eds.) Multicultural Education , the
Interminable Debate. London: The Falmer Press

Munib, Achmad. 2009. Pengantar IImu Pendidikan.


Semarang: Unnes press.\

P4tkpenjasbk.2013. Multicultural: Kajian Holistic


tentang Multicultural dari berbagai Dimensi.
Kompas.com

Sleeter, C.E dan Grant, C.A. 1988. Making Choice for


Multicultural Education, File Approaches to

Pendidikan Multikultural 54
Race, Class, and Gender. New York: Mac Millan
Publishing Company.

Rosyad, R., & Dian. (2022). Model pendidikan


perdamaian di sekolah pondok peacesantren
garut. Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama
UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-


tantangan Global Masa Depan Dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo..

Wahid, Abdul. (2016). Konsep pendidikan multikultural


dan aplikasinya. Jakarta: Balai Litbang Agama.

Zaitun. (2016). Sosiologi pendidikan: analisis


komprehensif aspek pendidikan dan proses social.
Pekanbaru: Kreasi Edukasi.

Zamroni. 2010. “The Implementation of Multicultural


Education”. A Reader

------------. 2011. Pendidikan Demokrasi pada


Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Gavin
Kalam Utama.

Pendidikan Multikultural 55
----------. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu.
Yogyakarta; Gavin Kalam Utama.

Pendidikan Multikultural 56

Anda mungkin juga menyukai