Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MULTI KULTURAL


DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Dr. Abdul Roni M.Pd.I

Di Susun Oleh Kelompok 5 :


1. A. Sholihin : 2127201020254
2. Ibnu Wazid : 2127201020152
3. Sahriwantoni : 2127201020260
4. Chofidotul Chasanah : 2127201020363
5. Juariah : 2127201020400

INSTITUT AGAMA ISLAM AN-NUR LAMPUNG


FAKULTAS PEENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PRODI TARBIYAH 2022-2023
BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai sebuah proses pengembangan sumberdaya manusia agar memperoleh


kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal memberikan relasi yang kuat antara
individu dengan masyarakat dan lingkungan budaya sekitarnya 1. Lebih dari itu pendidikan
merupakan proses “memanusiakan manusia” dimana manusia diharapkan mampu memahami
dirinya, orang lain, alam dan lingkungan budayanya 2. Atas dasar inilah pendidikan tidak terlepas
dari budaya yang melingkupinya sebagai konsekwensi dari tujuan pendidikan yaitu mengasah rasa,
karsa dan karya. Pencapaian tujuan pendidikan tersebut menuai tantangan sepanjang masa karena
salah satunya adalah perbedaan budaya. Olehnya, kebutuhan terhadap pendidikan yang mampu
mengakomodasi dan memberikan pembelajaran untuk mampu menciptakan budaya baru dan
bersikap toleran terhadap budaya lain sangatlah penting atau dengan kata lain pendidikan yang
memiliki basis multikultural akan menjadi salah satu solusi dalam pengembangan sumberdaya
manusia yang mempunyai karakter yang kuat dan toleran terhadap budaya lain. Pertautan antara
Pendidikan dan Multikultural merupakan solusi atas realitas budaya yang beragam sebagai sebuah
proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai
konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran atau agama. 3 Pluralitas budaya, -
sebagaimana terdapat di Indonesia,- menempatkan pendidikan Multikultural menjadi sangat urgen. 4
Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat
disangkal oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pola pikir,
tingkah laku dan karakter pribadi masing– masing sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam
masyarakat dan daerah. Tradisi yang terbentuk akan berlainan dari satu suku/ daerah dengan
suku/daerah yang lain. Pergumulan antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak
terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik
inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan Multikultural dalam rangka pemberdayaan
masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta
membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan. 5

1
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan (Padang: Angkasa Raya. 1987), hlm. 7
2
Driyarkara, Tentang Pendidikan (Jakarta: Kanisius 1980), hlm. 8.
3
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Reconstruksi Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan (Surabaya: JP
Books,. 2007), hlm. 748.
4
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 3. Lihat juga Ainurrofiq Dawam, “EMOH” Sekolah: Menolak “Komersialisasi
Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual” Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press,
2003), hlm. 22.
5
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional
(Jakarta: Grasindo.2004), hlm. 9-10.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan multikulturalisme adalah melalui
pendidikan yang multikultural. Pengertian pendidikan multikultural menunjukkan adanya
keragaman dalam pengertian istilah tersebut. Makalah ini akan membahas tentang Makna
Pendidikan Multikultural Terhadap Pengembangan Pendidikan Multikultural, Sejarah Pendidikan
Multi Kultural Terhadap Pengembangan Multikultural, Problematika Multi Kultural di Indonesia
Terhadap Pengembangan Multikultural dan Tehnik Penilaian Kompetensi Sikap.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Pendidikan Multikultural Terhadap Pengembangan Pendidikan Multikultural.

Pendidikan multikultural secara etimologis berasal dari dua term yakni pendidikan dan
multikulturtal. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran,
pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik.

Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata
dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya
adalah multi yang berarti banyak, ragam, aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragaman
budaya, aneka, kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan
sebagai keragaman budaya sebagai aplikasi dari keragaman latarbelakang seseorang.

Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang
memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan
dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan
negara). Pendidikan multikultural secara inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran
keniscayaannya konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya
dia akan sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini.
H.A.R Tilaar memberikan pengertian pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana
lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi
manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama.
Ainurrofiq Dawam mengatakan, pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman
budaya etnis, suku, dan aliran (agama).
Sedangkan menurut Zubaedi, pendidikan multikultural merupakan sebuah gerakan pembaharuan
yang mengubah senua komponen pendidikan termasuk mengubah nilai dasar pendidikan, aturan
prosedur, kurikulum, materi pengajaran, struktur organisasi dan kebijakan pemerintah yang
merefleksikan pluralisme budaya sebagai realitas masyarakat Indonesia.

Dengan melihat dan memperhatikan berbagai pengertian pendidikan multikultural, disimpulkan


bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-
sekat dalam interaksi manusia. Sebagai wahana pengembangan potensi, pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang menghargai heterogenitas dan pluralitas, pendidikan yang menjunjung
tinggi nilai kebudayaan, etnis, suku, dan agama. 6

B. Sejarah Pendidikan Multikultural Terhadap Pengembangan Multikultural.

Pendidikan multikulturallahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak
negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi.7
hal ini dilandasi oleh adanya sejarah kelam yang dialami oleh negara-negara tersebut, seperti
kolonialisme dan perang dunia I dan II. Dalam sejarah, tertulis pada tahun 1415 hingga awal tahun
1900-an, negara-negara utama di Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, dan Belanda,
telah melakukan ekspansi dan penjajahan terhadap negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika.
Adanya kolonialisasi ini, menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang sangat besar bagi negara -
negara yang terjajah.8
Perang dunia I yang dimulai sejak tahun 1914 dan berlanjut menjadi Perang dunia II yang diawali
tahun 1939 dan berakhir hingga pertengahan tahun 1900-an, telah menjadikan negara-negara Eropa
bercerai-berai dan saling bermusuhan. Krisis ekonomi, politik, dan sosial hingga ribuan bahkan
jutaan jiwa melayang terjadi di hampir wilayah-wilayah di Eropa, sehingga saat itu marak terjadi
kerusuhan dimana-mana, pengangguran, kriminalitas dan bahkan korupsi. 9 Perang sipil di Amerika
pada tahun 1861-1865, termasuk salah satu tragedi yang menyakitkan bagi Amerika. Perang ini
disebabkan oleh adanya isu pertentangan ras dan etnis ini telah merenggut ratusan ribu jiwa.

6
Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah “Menolak komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual manuju
pendidikan multikultural“, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003). Zubaedi,“Telaah konsep Multikulturalisme dan
implementasinya dalam dunia pendidikan”, (Hermenia Vol.3 No.1, januari-Juni, 2004)
7
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999, hlm. 16
8
M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal.24
9
Ibid, hal.24.
Tragedi-tragedi kemanusiaan seperti kolonialisme, Perang Dunia I dan II serta perang sipil di
Amerika merupakan bagian dari sejarah kelam dunia, khususnya bagi bangsa Eropa dan Amerika. 10
Di Indonesia, kekerasan, pemberontakan, pembumihangusan dan pembunuhan generasi,
perpecahan serta ancaman disintegrasi bangsa telah terjadi sejak zaman kerajaan Singosari,
Sriwijaya, majapahit, Goa, dan Mataram. Pembunuhan besar-besaran oleh Partai Komunis
Indonesia tahun 1965, kekerasan pada etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di
Maluku Utara pada tahun 1999-2003 dan perang etnis atara warga Dayak dan Madura yang terjadi
sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 yang menyebabkan ribuan nyawa melayang, merupakan bagian
dari sejarah kelam bangsa Indonesia. 11
Tak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya,
agama, dan lain-lainnya, sehingga bangsa Indonesia bisa disebut sebagai masyarakat
multikultural. 12 Beberapa cuplikan hal-hal memilukan yang terjadi diatas, menjadikan keberadaan
pendidikan multikultural sangatlah diperlukan.
Akar kata yang digunakan untuk memahami kata multikultural adalah kata “kultur”. Elizabeth B.
Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan (1818-1881) mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang
universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota
masyarakat.13 Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya
yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain. 14
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata
pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para
siswa, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur,
agar proses belajar menjadi lebih efektif dan mudah. 15 Pendidikan multikultural dicanangkan juga
untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan
pluralis dalam lingkungan mereka. Selain menguasai kompetensi pelajaran dengan baik, siswa juga
diharapkan untuk mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi, humanisme dan pluralisme disekolah
ataupun diluar lingkungan sekolah. 16
Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani
sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam
kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan

10
Ibid, hal.25.
11
Ibid, hal.25.
12
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 86.
13
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2008), hal. 121.
14
Ibid, hal. 126.
15
M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Untuk Demokrasi dan Keadilan,...., hal.25.
16
Ibid, hal.25-26.
masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup
kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat
bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai
kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah
mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan
dalam suatu kehidupan demokrasi. 17
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang
disebut era Reformasi, Indonesia mengalami disintregasi,18 krisis moneter, ekonomi, politik dan
agama yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada
era Reformasi pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang
memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural
belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam. 19
Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan
multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak
hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua
tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural. Selain
masalah kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar
pendidikan merupakan tempat bagi perkembagan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia.20
Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum
mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru disampikan. Oleh
sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang
pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem
yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas
masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya. 21
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah
lakuyang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada
pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan
kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.22

17
Ibid., hal 166
18
Disintegrasi adalah masa kehancuran; pembubaran; pemisahan kekuasaa; kehancuran jiwa (karena dorongan nafsu
yang menguasai jiwa) (Kamus Ilmiyah Populer Pus A Partanto dan M Dahlan Al Barry). Pada masa ini terjadi pada
tahun 1998 dimana banyak dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan Suharto.
19
Ruslan Ibrahim (2008). Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. Jurnal
Pendidikan IslamEl-Tarbawi. No. 1. Vol 1. Hal 116
20
H.A.R Tilaar, loc.cit.
21
Ibid.
22
Ibid.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman agama, etnik, dan budaya masyarakat suatu
bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
(Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often
subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the
dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and
traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system).23 (Kelompok minoritas, baik
secara agama, bahasa maupun etnis, sebagaimana juga penduduk pribumi dan belum beradab,
sering tersubordinasi, yang kadang-kadang secara kuat dan buas melawan kehendak mereka,
terhadap kehendak negara dan masyarakat dominan. Sementara banyak orang….harus
mengesampingkan budaya mereka, bahasa mereka, agama dan tradisi mereka, dan harus
menyesuaikan diri dengan aturan yang asing dan kebiasaan sistem sebagai hasil konsiliasi dan
reproduksi instituasi nasional, termasuk didalamnya adalah pendidikan dan sistem hukum)
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti
Amerika Serikat dan Kanada, bukanlah suatu hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya
terkhusus dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit kulit dan kulit hitam dan
bertujuan memajukan serta memelihara integritas nasional.24

C. Problematika Multi Kultural di Indonesia Terhadap Pengembangan Multikultural

Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk.Kemajemukannya itu bukan saja menyebabkan


keragaman yang punya nilai positif tapi juga sekaligus nilai negatifnya.Dimana perbedaan
terkadang dijadikan alasan untuk tidak menyatu serta berbaur.Bentrok yang terjadi di beberapa
daerah sering kali terjadi.Tidak dapat dipungkiri penyebabnya adalah perbedaan ras,agama,suku dll.
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di
Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema
kemasyarakatan sebagai berikut:

1. Keragaman Identitas Budaya Daerah


Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang
memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika
tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada

23
Muhaemin El-Ma’hady dalamhttp://www. re-searchengines.com/ Diunduhpada hari sabtu, 14April 2011.
24
Ibid, Kini Barac Obama sebagai presiden Amerika Serikat menjadi bukti bahwa kulit hitam memiliki hak yang sama
dalam berpolitik dinegaranya.
berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik -konflik
yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis,
agama dan ras. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh
adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini
dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu
yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen
konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah
pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan
Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal,
memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

2. Kurang Kokohnya Nasionalisme


Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”)
seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional
dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai
integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang
semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak
dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang
harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika
Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek,
perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada
pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu
dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif,
persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan
peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu
yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.

3. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit,
yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan
kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini
banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola
nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi
kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara
membabi buta maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-
benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan
dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan
berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif.
Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan
oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan
contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan
gejala ke arah disintegrasi bangsa.

4. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara Kelompok Budaya


Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air
yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun
kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di
bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut
terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak
kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis
ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka
pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh
orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah
menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi
kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan
dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan
paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok
tertindas ini.
5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di
satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan
Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional
ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan
beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama
membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan
terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri
dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah
pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di
Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-
akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen
terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian
Jaya.

6. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah


Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam
tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada
masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini
tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh
kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing.
Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk
merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep putra daerah untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan
sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu
diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting
memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif
dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan
persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang
terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan.
Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik
yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk
dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak
terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati
dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan
ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang
tertindas dan kurang beruntung.

7. Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam
Memberitakan Peristiwa
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan
dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya
diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu
mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk
kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis
dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat
hukuman yang setimpal baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat
menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam
itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus
diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi
orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus
perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik
yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi
trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat
mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu
juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun
iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan
yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah
menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan
sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan
yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang
menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah
para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila
yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di
punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan
berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering
dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat
mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa. 25

D. Tehnik Penilaian Kompetensi Sikap

Pengertian Penilaian Kompetensi Sikap Menurut Kunandar, penilaian kompetensi sikap adalah
penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta
didik yang meliputi aspek menerima atau memperhatikan (receiving atau attending), merespon atau
menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola
(organization), menilai atau menghargai (characterization).

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (pasal 3) menyatakan
bahwa: Penilaian kompetensi sikap merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk
memperoleh informasi deskriptif mengenai perilaku peserta didik.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa penilaian kompetensi sikap adalah
serangkaian kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pendidik atau guru untuk mengukur dan
menilai serta memperoleh informasi mengenai perilaku peserta didik.

1. Teknik Penilaian Kompetensi Sikap dalam Kurikulum 2013

Menurut Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
pada Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam kurikulum 2013, teknik yang digunakan untuk
penilaian kompetensi sikap adalah:

25
Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
https://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia/ (Di akses pada tanggal 14
September 2015 ) http://pujirokhayanti999.blogspot.co.id/2014/02/problema-pembelajaran-pendidikan ( Di akses pada
tanggal 14 September 2015 )
1) Observasi Sikap dan perilaku keseharian peserta didik direkam melalui pengamatan
dengan menggunakan format yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati, baik
yang terkait dengan mata pelajaran maupun secara umum. Pengamatan terhadap sikap dan
perilaku yang terkait dengan mata pelajaran dilakukan oleh guru yang bersangkutan selama
proses pembelajaran berlangsung, seperti: ketekunan belajar, percaya diri, rasa ingin tahu,
kerajinan, kerjasama, kejujuran, disiplin, peduli lingkungan, dan selama peserta didik
berada di sekolah atau bahkan di luar sekolah selama perilakunya dapat diamati guru.
2) Penilaian diri (self assessment) Penilaian diri digunakan untuk memberikan penguatan
(reinforcement) terhadap kemajuan proses belajar pesertadidik. Penilaian diri berperan
penting bersamaan dengan bergesernya pusat pembelajaran dari guru ke peserta didik yang
didasarkan pada konsep belajar mandiri (autonomous learning).
3) Penilaian teman sebaya (peer assessment) Penilaian teman sebaya atau antarpeserta didik
merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait
dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar pengamatan
antarpeserta didik. Penilaian teman sebaya dilakukan oleh peserta didik terhadap 3 (tiga)
teman sekelas atau sebaliknya.
4) Penilaian jurnal (anecdotal record) Jurnal merupakan kumpulan rekaman catatan guru
dan/atau tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif atau
negatif, selama dan di luar proses pembelajaran mata pelajaran.

Menurut Sigit Pramono, terdapat beberapa bentuk teknik penilaian kompetensi sikap, yaitu:

1. Observasi Perilaku Siswa. Guru bisa melakukan observasi perilaku siswa di dalam kelas
ataupun di lingkungan sekolah.
2. Melalui respon pribadi. Penggunaan teknik ini, di sekolah, misalnya siswa diminta
membuat ulasan yang berisi pandangan atau tanggapannya tentang suatu masalah, keadaan
atau hal yang menjadi objek sikap.
3. Skala sikap. Misalnya dengan menggunakan skala (selalu, sering, kadang-kadang, jarang,
sangat jarang) pada objek sikap.
4. Pertanyaan langsung. Guru dapat menanyakan secara langsung tentang sikap siswa
berkaitan dengan sesuatu hal.

Menurut pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa teknik penilaian kompetensi sikap dapat
dilakukan melalui teknik observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan penilaian jurnal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang
memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan
dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan
negara).

Pendidikan multikultural adalah sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-sekat
dalam interaksi manusia. Sebagai wahana pengembangan potensi, pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang menghargai heterogenitas dan pluralitas, pendidikan yang menjunjung tinggi nilai
kebudayaan, etnis, suku, dan agama

Sejarah Pendidikan multikulturallahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan
lahirnya banyak negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi.
hal ini dilandasi oleh adanya sejarah kelam yang dialami oleh negara-negara tersebut, seperti
kolonialisme dan perang dunia I dan II. Dalam sejarah, tertulis pada tahun 1415 hingga awal tahun
1900-an, negara-negara utama di Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, dan Belanda,
telah melakukan ekspansi dan penjajahan terhadap negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika.

Problematika Multi Kultural di Indonesia Terhadap Pengembangan Multikultural


Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso,
Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema
kemasyarakatan sebagai berikut:
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah

2) Kurang Kokohnya Nasionalisme


3) Fanatisme Sempit

4) Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara Kelompok Budaya

5) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural

6) Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah

7) Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam
Memberitakan Peristiwa
Pengertian Penilaian Kompetensi Sikap Menurut Kunandar, penilaian kompetensi sikap adalah
penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta
didik yang meliputi aspek menerima atau memperhatikan (receiving atau attending), merespon atau
menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola
(organization), menilai atau menghargai (characterization).

Kompetensi sikap adalah serangkaian kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pendidik atau guru
untuk mengukur dan menilai serta memperoleh informasi mengenai perilaku peserta didik.

B. Daftaf Pustaka

1. Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan (Padang: Angkasa Raya. 1987)


2. Driyarkara, Tentang Pendidikan (Jakarta: Kanisius 1980).
3. Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Reconstruksi Sistem Pendidikan berbasis
Kebangsaan (Surabaya: JP Books,. 2007).
4. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 3. Lihat juga Ainurrofiq Dawam, “EMOH”
Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual” Menuju
Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003).
5. H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo.2004).
6. H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford
Foundation, 1999.
7. M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta:
Nuansa Aksara, 2005.
8. Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
9. Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan
aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008).
10. Ruslan Ibrahim (2008). Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama. Jurnal Pendidikan IslamEl-Tarbawi. No. 1. Vol 1. Hal 116.
11. Muhaemin El-Ma’hady dalamhttp://www. re-searchengines.com/ Diunduhpada hari sabtu,
14April 2011.
12. Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan.
13. Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah “Menolak komersialisasi pendidikan dan kanibalisme
intelektual manuju pendidikan multikultural“, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003).
Zubaedi,“Telaah konsep Multikulturalisme dan implementasinya dalam dunia pendidikan”,
(Hermenia Vol.3 No.1, januari-Juni, 2004)

Anda mungkin juga menyukai