Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM AL QUR’AN

Muhammad Aenul Yaqin (214120600018)


Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Agama Islam UIN Saizu Purwokerto
2021

Abstrak: Islam sejatinya telah mengajarkan pemeluknya untuk menghargai perbedaan.


Pada dasarnya, keragaman (etnis, budaya, agama dan lain-lain) manusia merupakan
sunnatullah. Jauh sebelum pemikir orientalis mengenalkan pendidikan multikultural,
Islam telah mengenal secara gamblang seperti dijelaskan dalam Al-Qur‟an. Pendidikan
Multikultural bukanlah upaya untuk mencari sinkretisme baru, melainkan mencari titik
temu diantara perbedaan-perbedaan latar belakang itu, dan menjadikan perbedaan
menjadi sebuah rahmat bagi persatuan dan kesatuan umat, sehingga tercipta suatu
simfoni Islam dalam bingkai nasionalisme dan pluralisme.
Kata Kunci: Pendidikan, multikultural, al-Qur’an

Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk (plural). Betapa tidak, negeri
yang dihuni sekitar 272 juta manusia ini memiliki keragaman agama, etnis, bahasa, dan
budaya.1 Apabila dapat dikelola secara baik, kemajemukan sejatinya merupakan modal
sosial yang amat berharga bagi peradaban bangsa ini. Sebaliknya, jika tidak dapat
dikelola secara baik, maka kemajemukan berpotensi menimbulkan konflik dan
gesekan-gesekan sosial yang begitu ‘mengerikan’ sebagaimana yang pernah terjadi di
Ambon, Maluku, Papua, dan Kalimantan beberapa tahun yang lalu yang telah
merenggut 400 jiwa lebih.2bahkan beberapa bulan yang lalu bom meledak di depan
Gereja Katredal Makassar3
Selain sederet kasus terorisme seperti disebutkan di atas, radikalisme Islam juga
merebak di mana-mana. Contoh kasus radikalisme Islam yang terjadi di Indonesia
adalah penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten
(2012) serta penyerangan pondok pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan
(2014) dan Sampang (2013-2014) Jawa Timur. Banyaknya konflik yang terjadi di
Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini belum memahami arti keragaman dan
perbedaan. Tidak sedikit di antara warga Negara ini yang hendak meniadakan
kebhinekaan (plurality) dan menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman

1
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan
(Yogyakarta: Pilar Media, 2008),h. 4.
2
Ibid, h 15
3
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210328150157-20-623072/daftar-kasus-ledakan-bom-di-
indonesia-2-dekade-terakhir
(uniformity). Ironisnya, para teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu
dilakukan karena perintah agama (Islam).4
Konflik sosial tersebut seakan-akan menegaskan betapa masa depan kedamaian
dan harmoni kehidupan sosial republik pluralis ini seakan cukup jauh untuk direngkuh.
Namun, belum selesai akar konflik sosial di sejumlah daerah tersebut, Indonesia saat
ini sudah dihantam badai terorisme dan radikalisme. Tragisnya lagi sepertinya
Indonesia merupakan negara yang belum mampu mengelola kemajemukan dengan
baik. Terutama pasca tumbangnya rezim orde baru, aksi terorisme dan radikalisme
Islam pun merebak di laksana bunga di musim semi.
Pendidikan Multikultural merupakan isu sangat strategis dan penting untuk
dibahas karena sebuah bangsa lahir dari multikultural, sehingga pengelolaan
pendidikan multikultural atau keanekaragaman budaya menjadi pendorong bagi
perkembangan dan kebaikan sebuah bangsa.5 Pendidikan multikultural adalah proses
penanaman tatacara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman
budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.6
Azyumardi menyebutkan pendidikan multikultural merespon keberagaman
kebudayaan dalam perubahan demografi dan budaya lingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan secara keseluruhan.7 Prudence Crandall mengemukakan pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh
terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, adat
istiadat, agama/ aliran kepercayaan dan budaya. Andersen dan Custer mengatakan
pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keberagaman budaya.8
Pengertian Pendidikan Multikultural
Secara akademis, hingga saat ini wacana pendidikan multikultural di Indonesia
belum tuntas dikaji dan diperdebatkan oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para
pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Secara konseptual, pendidikan multikultural
merupakan gabungan dari dua kata; pendidikan dan multikultural. Menurut

4
Muh, Sya’roni, “STRATEGI INTEGRASI PENDIDIKAN ANTI RADIKALISME DALAM KURIKULUM SMA/MA” Jurnal
Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, Vol 01, No, 01, Bln Feb, Thn 2019, Hal 37-45
5
Wasitohadi. Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia dalam Scholaria. Vol. 2. No. 1. Januari
2012, h. 116-149
6
Banks, J. A. and Cherry A. Banks, (ed), Multicultural Education: Issues and Perspective, (Massachusetts: Allyn
and Bacon, 1989)
7
Imron, Mashadi. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Balai Litbang Agama. (Jakarta:
Balai Litbang Agama, 2009), h. 48
8
H. A. Dardi Hasyim, Yudi Hartono. Pendidikan Multikultural di Sekolah. (Surakarta: UPT penerbitan dan
percetakan UNS, 2008), h. 28
Koentjaraningrat, Pendidikan bisa diartikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat
istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru.9
Sedangkan multikultural sendiri berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam)
dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman
budaya. Budaya yang mesti dipahami bukanlah budaya dalam arti sempit, melainkan
mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika
ini akan menimbulkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa,
dan lain-lain.
Menurut Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Ali Maksum, akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa,
istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut
multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikuturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau
akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak
budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta tingkat
dan mutu produktivitas.10
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW merupakan teladan yang baik
dalam rangka merangkul pelbagai etnis, apapun warna kulit, dan asal kebangssaan.
Tidak ada yang memebdakan diantara makhluk Tuhan, kecuali ketakwaaannya. Disini
multikulturasi menjadi salah satu prinsip penting realitas sosial-masyarakat. Tuhan
sendiri mampu menjadikan manusia dalam satu umat, akan tetapi Tuhan memilih
keragaman (QS.Hud (11): 118-119).11.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan multikultural
adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).

9
Ngainun Na’im, et.al. Pedidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Cet II. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2010),30.
10
Ali Maksum, Plural dan Multikulturalisne Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Aditya Media, 2011), 143.
11
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan Oase perdamaian,(Jakarta; PT
Kompas Media Nusatara, 2010)hal. xxxix
Pendidikan multikultural juga dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya
komprehensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik etnis, konflik agama,
radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa dan negara 12
Urgensi Pendidikan multikultural
Untuk mewujudkan multikultualisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan
multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya
dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya
lain yang dilakukan guna mewujudkannya. Choirul Mahfud berpendapat ada beberapa
urgensi pendidikan multikultural jika melihat keberagaman yang ada di Indonesia,
antara lain:13
1) Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat,
khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural.
Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial budaya
2) Supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga
signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia
miliki sebelumnya, tatkala dia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era
globalisasi.26 Melalui pendidikan multikultural, peserta didik tidak akan mudah
terpengaruh dengan arus global yang terkadang membawa budaya baru yang akan
berdampak pada perkembangan setiap peserta didik. Dengan maksud, peserta didik
mampu mengelola budaya-budaya “asing” agar tidak menjadi dampak yang negatif
bagi dirinya maupun lingkungannya
3) Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses
belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang
harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.

12
Tejo Waskito , Miftahur Rohman, “PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AL-QURAN” Jurnal Tarbawi:
Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 14, No. 02, Desember 2018 , pp. 29-43
13
Mahfud, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, hal 208-227
4) Menuju masyarakat indonesia multikultural
Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat Indonesia
yang bhinneka tunggal ika ini bukan hanya dimaksudkan pada keanekaragaman
suku bangsa saja, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman kebudayaan
tersebut selalu dijaga/ terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghargai,
menghormati, toleransi antar satu kebudayaan dengan kebudayan lainnya. Dalam
konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bersatu
padu meraih tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Keragaman merupakan hasil penciptaan Tuhan yang disengaja, Dia (Allah
Swt.) menghendaki setiap perbedaan yang ada. Hal tersebut terlihat dengan tegas
dalam surat Q.S. al Mādah ayat 48. Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya
maupun pemikiran (perbedaan pendapat) merupakan sunnatullah yang wajib kita
syukuri. Selanjutnya, tinggal bagaimana caranya mengembangkan langkah yang
bijak dalam menyikapi perbedaan tersebut secara arif.
Tujuan Pendidikan Multikultural
Berdasarkan setiap uraian yang disampaikan oleh para pakar mengenai pendidikan
multikultural, dapat dirumuskan beberapa tujuan diusulkannya pendidikan yang
berbasis multikulturalisme. Pendidikan mutikultural mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1) Menanamkan kesadaran akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality),
kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (demokration
values) yang dibutuhkan oleh setiap individu maupun kelompok masyarakat.
2) Membangun Paradigma keberagamaan Inklusif
Paradigma keberagamaan yang inklusif berarti lebih mementingkan dan
menerapkan nilai-nilai agama daripada hanya melihat dan mengagungkan symbol-
simbol keagamaan. Paradigma. Munculnya sekelompok umat Islam yang menolak
adanya sikap pluralism, multikulturalisme, toleransi disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat, dan esensi din (ajaran Islam).
Lebih-lebih sikap ekstrimisme, kekakuan, dan kebekuan dalam ber-Islam,
menunjukkan kedangkalan pengetahuan dan wawasan agama dan sosialnya.
Indikasi ekstrimisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran.14
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Toleransi menegaskan
bahwa, Tuhan tidak menghendaki kejahatan dan kekerasan. Sebab keduanya hanya
akan meninggalkan luka dan duka. Manusia diciptakan Tuhan bukan untuk
menebarkan kekerasan dan kejahatan, melainkan untuk menebarkan kebahagiaan
dan kedamaian.15
3) Membangun Sikap Sensitif Gender
Dalam kehidupan sosial, baik pria maupun wanita mempunyai hak yang sama.
Perannyalah yang berbeda sesuai kodrat yang dimiliki masing-masing. Ali Maksum
berpendapat, persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangun
melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu, pandangan tentang
gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki.16 Padahal Islam melalui al
Qur’an begitu tegas menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu
hal yang sama. Allah berfirman dalam surah al-Nisā’ yang artinya: “Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Pendidikan Multikultural Perspektif Al-Qur’an
Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an yang membahas tentang pendidikan
multikultural, seperti bahasan berikut ini.
1) QS Al Hujurat:13
‫ّٰللا اَتْ ٰقى ُك ْم ۗ ِا َّن ه‬
َ‫ّٰللا‬ ِ ‫ارفُ ْوا ۚ ا َِّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْندَ ه‬ ُ ‫اس ِانَّا َخ َل ْق ٰن ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َّواُ ْن ٰثى َو َجعَ ْل ٰن ُك ْم‬
َ َ‫شعُ ْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل ِلتَع‬ ُ َّ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الن‬
١٣ - ‫ع ِل ْي ٌم َخبِي ٌْر‬
َ

Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujuraat: 13). 17

14
Ali Maksum. Plural dan Multikulturalisne Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Aditya Media, 2011)hal 218.
15
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah,
2007), hal 172
16
Maksum, Ibid,hal 258.
17
https://quran.kemenag.go.id/sura/49
Pesan utama yang terkandung dalam ayat di atas adalah keragaman jenis
kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap yang
ditimbulkan oleh komitmen untuk saling mengenal tersebut merupakan sikap positif
konstruktif yang bersifat aktif (Munawar & Husin, 2005). Dengan mengenal diri pada
orang lain pada komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku,
keinginan, kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa. At-
Thabari mengatakan, Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-hari tasyriq,
sedang beliau berada di atas untanya. Beliau berkata, “Hai manusia, ketahuilah
sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan
bagi orang Arab atas seorang „Ajam (bukan Arab) maupun orang „Ajam atas orang
Arab, atau bagi orang hitam atas orang merah, atau bagi orang merah atas orang hitam,
kecuali dengan takwa (Mustofa, 1992).

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, sesungguhnya Kami (Allah swt)


menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar
untuk menegaskan bahwa semua derajat kemanusiaannya sama disisi Allah swt. Tidak
ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Tidak ada perbedaan
pada nilai kemanusiaan antara laki laki dan perempuan, karena semua manusia
diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan. Allah juga menjadikan manusia
dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan berkelompok kelompok. Semua
mendapat perlakuan yang sama oleh Allah swt. Tujuannya hanya satu, yaitu “li
ta‟arafu” (saling mengenal satu sama lain secara baik). Pengantar tersebut mengantar
pada kesimpulan bahwa “sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
swt. adalah yang paling bertaqwa”. Dengan demikian, hal yang membedakan manusia
satu dengan yang lain bukan terletak pada sukunya, rasis ataupun bahasanya, tetapi
lebih kepada tingkat ketaqwaannya kepada Allah swt. Karena itu, berusahalah untuk
meningkatkan ketaqwaan agar menjadi yang termulia disisi Allah swt (Shihab, 2006).

2) QS Ar Rum :2218

ٍ ‫ي ٰذلِكَ َ ْٰل ٰي‬


٢٢ - َ‫ت ِل ْلعٰ ِل ِميْن‬ ْ ِ‫ف اَ ْل ِسنَتِ ُك ْم َواَ ْل َوانِ ُك ۗ ْم ِا َّن ف‬ ْ ‫ض َو‬
ُ ‫اختِ ََل‬ ِ ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖه خ َْل ُق السَّمٰ ٰو‬
َ ْ ‫ت َو‬
ِ ‫اْل ْر‬
Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan
bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu

18
https://quran.kemenag.go.id/sura/30
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Ar-
Ruum/30 : 22).

M. Quraish Shihab menjelaskan, di bumipun terdapat sekian banyak tanda-


tanda kekuasaan Allah swt. Disini yang disinggung adalah yang terdapat dalam diri
manusia sekaligus dengan peredaran matahari dan bumi. Lebih lanjut Quraish
Shihab mengatakan bahwa yang disebutkan ialah perbedaan lidah, ini karena terjadi
perbedaan tempat tinggal di bumi. Demikian juga warna kulit, antara lain
dipengaruhi oleh sinar matahari. Ayat tersebut menekankan tentang perbedaan,
karena perbedaan itu lebih menonjolkan kuasa-Nya. Betapa tidak, manusia
berbeda-beda dalam segala aspek, padahal manusia lahir dari sumber yang sama.
Kata alsinatikum adalah jamak dari lisan yang berarti lidah. Ia juga digunakan
dalam arti lidah dan suara. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa tidak
seorangpun yang memiliki suara yang sepenuhnya sama dengan orang lain. Persis
seperti sidik jari (Shihab, 2006).

Alquran mengingatkan dengan tegas dalam ayat di atas sebagai antisipasi


kemungkinan timbulnya sikap dan budaya saling mencemooh dan merendahkan
antara kelompok yang satu dengan yang lain. Karena tindakan mencemooh dan
mengejek, serta merendahkan orang, apalagi kelompok lain, merupakan cikal dan
sumber konflik sosial. 19

Dalam hal ini ada 2 perspektif untuk mencermati kaitan antara Islam dan
multikultural, yaitu normatif dan historis. Perspektif pertama, dapat ditela’ah dari
beberapa ayat Alquran yang berbicara landasan normatif tentang multikultural, di
antaranya dalam surat Hud/11: 118 yang artinya “Jikalau Tuhan mu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat”.

Frase “jikalau Tuhanmu menghendaki” ini dipahami oleh mayoritas ahli tafsir
sebagai bentuk pengandaian yang tidak memerlukan jawaban (gaya bahasa retoris).
Artinya frase ini tidak memerlukan penegasan lebih lanjut. Oleh karena itu, teks
dalam surat Hut ini meniscayakan keragaman (multikultural) bagi umat manusia

19
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Wacana Keislaman Kontemporer, Cet. Ke-1, Bandung:
Mizan, 2000, h. 77
secara umum, bahkan dalam perspektif asy-Syaukani, az Zamakhsyari dan al-Alusi,
keragaman yang dimaksud adalah keragaman jalan hidup dan agama.

Perspektif kedua, dapat dicermati dari sejarah panjang Rasulullah SAW., yang
begitu intens membangun Islam dan multikultural di tengah komunitas yang
multietnis, ras, budaya dan agama selama 13 tahun di Makkah kemudian hijrah ke
Yasrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Situasi saat itu masyarakat
yang cukup plural dan multikultural tersebut telah memunculkan inspirasi
Rasulullah SAW. Untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara
Madinah” tertuang dalam “Piagam Madinah” yang mengandung nilai-nilai
universal: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan sama
di mata hukum. Walaupun dalam perjalanan dakwahnya sering terjadi benturan
dengan masyarakat Jahiliyah. Namun secara substansial, benturan dan peperangan
itu hanya ditempuh sebagai alternatif terakhir setelah segala jalan damai yang
dimpuh mengalami kegagalan. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa
sebenarnya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memusuhi, suku,
bangsa, budaya dan agama lain. Bahkan sebaliknya, bahwa Islam memerintahkan
manusia untuk menjalin kerjasama dan kontak yang baik terhadap siapapun untuk
membangun peradaban manusia yang lebih baik.20

3) QS Yunus; 99

َ َّ‫ض ُك ُّل ُه ْم َج ِم ْيعً ۗا اَفَا َ ْنتَ ت ُ ْك ِرهُ الن‬


٩٩ - َ‫اس َحتهى يَ ُك ْونُ ْوا ُمؤْ ِمنِيْن‬ َ ْ ‫َو َل ْو ش َۤا َء َربُّكَ َ ْٰل َمنَ َم ْن فِى‬
ِ ‫اْل ْر‬
Artinya : Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi
seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka
menjadi orang-orang yang beriman? (Q.S. Yunus/10 : 99).

Ayat di atas menjelaskan bahwa, perbedaan menjadi hal yang niscaya bagi
Allah swt. Adanya perbedaan merupakan sunnatullah sekaligus menjadi kebesaran
dan kekuasaan Allah akan ciptaannya. Inilah yang membedakan antara keterbatasan
kekuasaan manusia dengan kekuasaan Allah. dari hal-hal yang sangat kecilpun
diantara semua makhluk-Nya di seantero dunia ini, tidaklah ada kesamaan antara
satu dengan lainnya. Dengan tegas Allah swt mengatakan bahwa “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka

20
Heru Suparman, Multikultural dalam Perspektif Alquran, AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan Hadis vol. 1, no.
2, 2017
Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?” ini menjadi bukti yang nyata bahwa perbedaan
merupakan suatu keniscayaan bagi Allah swt.

4) QS Al Mumtahanah: 8

ُ ‫ار ُك ْم اَ ْن تَبَ ُّر ْوهُ ْم َوت ُ ْق ِس‬


‫ط ْٰٓوا‬ ِ ‫ع ِن ا َّل ِذيْنَ َل ْم يُقَاتِلُ ْو ُك ْم فِى‬
ِ َ‫الدي ِْن َو َل ْم يُ ْخ ِر ُج ْو ُك ْم ِم ْن ِدي‬ ‫َْل يَ ْنهٰ ى ُك ُم ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬
٨ - َ‫ِطيْن‬ ِ ‫ّٰللا ي ُِحبُّ ا ْل ُم ْقس‬
َ ‫ِا َل ْي ِه ۗ ْم ِا َّن ه‬
Artinya : Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir
kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil. (Q.S. Al-Mumtahanah/60 : 8).

Ayat tersebut ditafsirkan oleh Al-Maraghi yang mengatakan, “semoga Allah


menjadikan rasa cinta antara kamu dengan orang-orang kafir Makkah setelah
setelah mereka sebelumnya saling bermusuh-musuhan, serta terjalin ikatan yang
kuat setelah mereka bercerai-berai.” Menurut hemat penulis, secara ayat di atas
sangat menekankan anjuran berlaku adil, keadilan dalam arti yang sangat luas,
yakni keadilan dalam bidang politik, agama, hukum dan hak asasi manusia.
Misalnya seorang pemimpin berlaku adil kepada rakyatnya, baik perorangan
maupun kelompok. Terlepas dari itu, keadilan tidaklah memandang latar belakang
dari individu ataupun golongan tertentu dalam hal suku, rasisme, budaya, dan
agama. Tidak ada saling hegemoni antara kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas. Mendapatkan keadilan adalah hak semua individu dalam sebuah negara,
bahkan dalam hal peperangan dan permusuhanpun Allah sangat menganjurkan
hambanya untuk berlaku adil dan penuh kasih sayang terhadap musuhnya, karena
diantara orang-orang yang bermusuhan itu terdapat rasa kemanusiaan, keadilan dan
ketuhanan. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam ayat sebelumnya Q.S. al-
Mumtahanah (60) ayat 7 yang artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih
sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan
Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Multikultural pada Masa Rasulullah SAW

Membaca sejarah Madinah, khususnya pada masa awal perkembangan Islam


seringkali membuat kita terheran dan teragum-kagum. Madinah, sebuah kota yang
warganya begitu heterogen, terdiri dari berbagai kultur dan agama, ternyata dapat
hidup berdampingan. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kerja keras dan
kecerdasan Rasulullah Saw yang tentunya juga mendapatkan bimbingan dari Allah
Swt.

Masyarakat Madinah adalah potret kehidupan masyarakat modern yang


diidealkan oleh banyak orang. Bahkan gambaran tentang masyarakat Madinah
seakan menjadi gambaran masyarakat modern yang sudah mapan dan permanen,
sehinggat idak sedikit komunitas masayarakat yang menginginkan mangulang
kembali sejarah Madinah dalam konteks kehidupan sekarang ini.21
Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah umat manusia.
Dalam konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam, multikulturalisme yang
dibingkai dalam keragaman sistem teologi, keragaman suku, budaya dan bahasa
adalah wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme
menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme
merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia. Dari
masa yang sangat dini, multikulturalisme telah ada dan selalu mendampingi sejarah
sosial mereka22

Muhammad Saw adalah orang yang berhasil menjadi pemimpin seluruh


komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum Islam saja. Ketika di Madinah,
berbagai budaya, agama dan aliran politik bisa beliau satukan sehingga kehidupan
Madinah pada waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad Saw memimpi
kominitas besar Yahudi yang banyak menguasai aspek Ekonomi, politik dan kultur
di Madinah. Tak hanya itu, ditengah umat kristiani, Muhammad juga terbukti
sukses menjadi pemimpin mereka yang kemudian disebut dalam Alquran sebagai
Ahlul Kitab.23

Belajar dari apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
yang di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki masyarakat global yang
multikultural itu adalah kemampuan managerial untuk mempersatukan kaum
muslim yang tidak homogen. Kaum Muslim yang terbelah-belah sudah merupakan

21
Nurul Mubin, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani), dalam Tafsir Tematik Al-
Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies Development, 2008, h.77.
22
Nurul Mubin, Teologi Multikultural: Upaya Membumikan Dimensi Transendental Di tengah Keragaman Suku,
Budaya dan Agama, Jurnal Manarul Qur’an, Nomor: 09 tahun VII, Januarai Maret 2001, h. 94.
23
Nurul Mubin, ibid, 98
realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang mampu
mempersatukan untuk membawa mereka dengan percaya diri dan bermartabat ke
kompleksitas masyarakat yang multikultural, bukan hanya sebagai onyek tetapi
sebagai inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam sebagai
rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.

Menurut Ibnu Hisyam dalam kitab syarahnya Sirah Nabawiyah, piagam


Madinah merupakan suatu konstitusi yang dibuat oleh Rasulullah dalam
membangun peradaban kota Madinah, menurut Imam Ali ra kesahihan piagam
madinah berada setelah Alquran, yang terdiri dari 47 pasal yang menjelaskan
tentang tatanan masyarakat sosial Madinah.24

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan ayat-ayat di atas, menurut hemat penulis, terdapat
beberapa maksud yang terkandung kandungan ayat-ayat di atas, diantaranya adalah
perbedaan warna kulit, bahasa, ras, dan agama dipandang sebagai tanda kekuasaan
dan kasih sayang Allah (Q.S. al-Hujuraat/49:13) dan (Q.S. ar-Ruum/30:22), ini
menjadi bukti bahwa adanya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang
sengaja diciptakan oleh Allah swt sebagai bukti atas kebesaran kekuasaan-Nya,
karena jika Allah menghendaki maka sangat memungkinkan umat manusia menjadi
umat yang satu (Q.S. Yunus/10:99). Oleh karena itu, seharusnya perbedaan
menciptakan kedekatan antar sesama, bukan menciptakan diskriminasi saling
menghegemoni dan memonopoli. Berdasarkan hal tersebut, konsep pluralitas dan
heterogenitas bahasa, budaya, ras, dan agama sudah menjadi bagian urgen yang tak
terpisahkan dari agama islam. Al-Qur‟an juga sangat menghormati menghargai
terhadap kaum non-muslim dan menganjurkan untuk hidup bersama, hal ini sesuai
ayat Al Qur‟an yang menetapkan prinsip “tidak ada paksaan dalam beragama”
(Q.S. al-Baqarah/2:256), “bagiku agamaku, bagimu agamamu” (Q.S. al-Kafirun/
109:6), dan “bagiku amal perbuatanmu, bagimu amal perbuatanmu” (Q.S.
Yunus/10:41) tanpa ada hegemoni dan intimidasi.

24
Heru Suparman, Multikultural dalam Perspektif Alquran, AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan Hadis
vol. 1, no. 2, 2017
Pandangan atau tinjauan Alquran tentang multikultural pada dasarnya sudah
ada dalam ajaran Islam sejak jaman Rasulullah sampai sekarang. Keanekaragaman
yang ada justru menjadi kekayaan intelektual untuk dikaji, sebagaimana beberapa
ayat Alquran yang menjelaskan hal tersebut. Dengan pendidikan multikultural
diharapkan setiap individu atau kelompok bisa menerima dan menghargai setiap
perbedaan, hidup berdampingan dengan damai dan tenang, sehingga terbentuk
sebuah negara dan bangsa yang damai dan sejahtera.
Pada dasarnya, keragaman (etnis, budaya, agama dan lain-lain) manusia
merupakan sunnatullah. Jauh sebelum pemikir orientalis mengenalkan pendidikan
multikultural, Islam telah mengenal secara gamblang seperti dijelaskan dalam kitab
sucinya (Al-Qur‟an). Pendidikan Multikultural bukanlah upaya untuk mencari
sinkretisme baru, melainkan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan latar
belakang itu, dan menjadikan perbedaan menjadi sebuah rahmat bagi persatuan dan
kesatuan umat, sehingga tercipta suatu simfoni Islam dalam bingkai nasionalisme
dan pluralisme.
Meminjam filosofi dari bambu yang hidup dalam rumpun, meskipun saling
gesekan antar sesama pohon, namun mereka tidak saling melukai, justru saling
menguatkan ketika dilanda badai. Serta jadilah seperti pelangi, meski memiliki latar
belakang warna yang berbeda, namun ketika warna tersebut disatu padukan,
diantara warna tersebut tidak saling menghegemoni dan mendominasi, justru saling
berkontribusi sehingga nampak lebih indah perbedaan warna tersebut jika diamati
DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, Plural dan Multikulturalisne Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di
Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media, 2011),
Banks, J. A. and Cherry A. Banks, (ed), Multicultural Education: Issues and
Perspective, (Massachusetts: Allyn and Bacon, 1989)
H. A. Dardi Hasyim, Yudi Hartono. Pendidikan Multikultural di Sekolah. (Surakarta:
UPT penerbitan dan percetakan UNS, 2008),
Heru Suparman, Multikultural dalam Perspektif Alquran, AL QUDS : Jurnal Studi
Alquran dan Hadis vol. 1, no. 2, 2017
Imron, Mashadi. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Balai
Litbang Agama. (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009),
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2008),
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Wacana Keislaman
Kontemporer, Cet. Ke-1, Bandung: Mizan, 2000,
Mahfud, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan, hal 208-227
Muh, Sya’roni, “STRATEGI INTEGRASI PENDIDIKAN ANTI RADIKALISME
DALAM KURIKULUM SMA/MA” Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan,
Vol 01, No, 01, Bln Feb, Thn 2019, Hal 37-45
Ngainun Na’im, et.al. Pedidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Cet II.
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
Nurul Mubin, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani),
dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies
Development, 2008
Tejo Waskito , Miftahur Rohman, “PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PERSPEKTIF AL-QURAN” Jurnal Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 14, No. 02,
Desember 2018 , pp. 29-43
Wasitohadi. Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia dalam
Scholaria. Vol. 2. No. 1. Januari 2012,
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007),
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan Oase
perdamaian,(Jakarta; PT Kompas Media Nusatara, 2010)
https://quran.kemenag.go.id/sura/49
https://quran.kemenag.go.id/sura/30
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210328150157-20-623072/daftar-kasus-ledakan-
bom-di-indonesia-2-dekade-terakhir

Anda mungkin juga menyukai