Anda di halaman 1dari 13

Nama : Zaki Afifi

NIM : O300210002
Mata Kuliah : Pendidikan Demokrasi dan Multikulturalisme
Pengampu : Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MATERI SOSIOLOGI DI MADRASAH


ALIYAH PONDOK PESANTREN MODERN ISLAM ASSALAAM

Abstract: This article presents a portrait of the application of multicultural education at


Madrasah Aliyah (MA) Islamic Modern Islamic Boarding School (PPMI) Assalaam. MA
PPMI Assalaam is one of the Islamic educational institutions that seeks to overcome
multicultural problems. The students of this school come from all over Indonesia. The
multicultural atmosphere and sociological material play a large role in this education. The
paradigm leads to the recognition of social construction, the scope of dimensions and the
application of several approaches in multicultural education. This research is based on James
A Banks' paradigm as a grand theory. The incompatibility of the paradigm with the
application of multicultural education in this paper can be a criticism for the school
concerned or for a theory that is not suitable to be applied.
Keywords: application; education; multicultural

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan budaya yang bermacam-macam. Keragaman
ini memberi banyak manfaat besar sekaligus menjadi potensi konflik. Keragaman
budaya di Indonesia ini menjadi identitas negara Indonesia. Keragaman budaya
memberi banyak manfaat di antaranya adalah menjadi keragaman ini merupakan
sebuah kekayaan pengetahuan, menjadi kebanggaan nasional dan meningkatkan
nasionalisme, keragaman melahirkan keunikan yang menjadi daya tarik bagi seluruh
manusia di bumi, meningkatkan daya pariwisata di indonesia yang mana ini berimbas
pada aspek ekonomi, dll. Manfaat-manfaat yang disebut secara garis besar ini
merupakan manfaat yang luar biasa yang seharusnya bisa dioptimalkan sehingga
melahirkan banyak kebaikan bagi banyak pihak.
Di balik peluang manfaat-manfaat yang luar biasa ini, multikultur di Indonesia
menjadi potensi konflik yang sangat berbahaya. Terdapat cerminan konflik yang telah
terjadi dengan latarbelakang keragaman ini: konflik dengan latar belakang agama yang
terjadi di Poso dan di Aceh antara umat Islam dan Nasrani, konflik di lampung selatan

1
antara umat Islam dan Buddha, konflik dengan latar belakang suku yang terjadi di
Sampit antara suku Dayak dan Madura yang menumpahkan banyak jiwa, konflik antara
pribumi dan keturunan Thiong Hoa pada tahun 1998, konflik antar golongan dengan
pemerintah, dalam hal ini adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik
Maluku Selatan) dan OPM (Operasi Papua Merdeka), dan konflik-konflik lainnya.
Selain konflik besar juga terdapat diskriminasi-diskriminasi terhadap individu yang
tidak jarang kita temukan diskriminasi ini dilakukan oleh anak di usia sekolah
menengah. Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi
setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. 1
Jumlah ini tidak dapat diremehkan.
Paparan di atas menunjukkan bahwa perlu adanya pengakuan terhadap
keragaman kultur yang ada di Indonesia. Suku, Agama, Ras dan Antargolongan
(SARA) menjadi kunci dari keragaman ini. Pendidikan dan pengkajian mendalam
tentang multikultur menjadi jembatan menuju pada harapan ini. Ilmu pendidikan sosial,
lebih spesifik yaitu ilmu sosiologi kiranya memiliki peran besar dalam membekali
warga Indonesia melalui pendidikan untuk dapat mengantarkan pada capaian manfaat
teroptimal dan menghindari potensi buruk yang terkandung pada multikultur ini.
Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam
merupakan lembaga pendidikan Islam di Sukoharjo yang memiliki siswa beragama
Islam dari berbagai daerah di Indonesia dan bersistemkan asrama (sistem pendidikan 24
jam). Lembaga pendidikan ini terlihat memiliki peluang besar untuk menerapkan
pendidikan multikultural serta mungkin beberapa perbaikan. Penulis memiliki
ketertarikan untuk mengkaji tentang “Pendidikan Multikultural dalam Materi Sosiologi
di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam.”

B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikultural berakar pada kata kultur yang berarti budaya. Multikultural
secara bahasa berarti keberagaman budaya. Musa Asy’arie memandang
multikultural sebagai kearifan untuk melihat keanekaraaman budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul
jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat

1
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan-yang-dipicu-masalah-
keberagaman-di-indonesia?page=all, diakses pada 7 Januari 2022.

2
realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan diri
sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang
komplek, dan karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas
dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, dipungkiri,
apalagi dimusnahkan.2
Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah
untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya peserta didik baik pria
maupun wanita, peserta didik berkebutuhan khusus, dan peserta didik yang
merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu
akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di
sekolah.3
Tujuan pendidikan multikultural yang dipaparkan Banks merupakan tujuan
aplikatif dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini diperkuat oleh Zamroni yang
menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan multikultural adalah melakukan
transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan
kelemahan-kelemahan, kegagalankegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia
4
pendidikan. Apabila tujuan ini tercapai maka akan membawa efektifitas dalam
misi menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap kultur
yang berbeda.
2. Paradigma Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural setidaknya memiliki tiga komponen: ide, gerakan
pembaharuan dan proses.5 Pendidikan multikultural sebagai sebuah ide atau konsep
merupakan pengakuan terhadap paradigma kesetaraan/kesempatan yang sama
dalam hal pendidikan di sekolah baik untuk semua orang dengan latar belakang
konstruksi sosial apapun.
Pendidikan multikultural sebagai gerakan pembaharuan berarti perlunya
lembaga pendidikan melakukan reformasi menuju kesetaraan kesempatan belajar

2
Julita Widya Dwintari, Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural dalam
Pembinaan Keberagaman Masyarakat Indonesia, Civic Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial
Budaya: 69-81
3
Muh. Sain Hanafi, Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebangsaan, Jurnal Diskursus
Islam, Vol. 3, No. 1, (2015): 119-139.
4
Akhmad Hidayatullah Al Arifin, Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan di
Indonesia, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. 1, No. 1, (Juni 2012): 72-82..
5
James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks. Multicultural Education Issues and Perspectives. United
State. (2013).

3
untuk siswa dari karakteristik seperti apapun. Selanjutnya, pendidikan
multikultural sebagai proses mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural
merupakan proses yang berkelanjutan sehingga dapat mencapai apa yang menjadi
target pendidikan multikultural.
Dalam pendidikan multikultural diperlukan pengetahuan tentang beberapa
konstruksi sosial. Banks dengan latar belakang kehidupan Amerika Serikat
menyebutkan konstruksi sosial dalam pendidikan multikultural terdiri dari: gender,
orientasi seksual, ras, kelas sosial dan kekhususan. 6 Di Indonesia konstruksi sosial
banyak disebut dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Istilah ini dipopulerkan oleh Sudomo panglima Kopkamtib (Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban) pada era 1980-an. Maka istilah SARA erat kaitannya
dengan sumber konflik pada awalnya. Heru Nugroho menyebutkan bahwa SARA
merupakan realitas sosial yang tak dapat dielakkan. 7 Ia juga menegaskan tentang
pergeseran paradigma SARA sebagai sumber konflik ke SARA sebagai energi
kemajemukan dan demokrasi.
Dalam rangka pendidikan multikultural terdapat kritik terhadap sekolah
umum yang hanya memikirkan terhadap konten yang terkait dengan struktur sosial
ini. Argumen ini diangkat oleh guru selain materi IPS, seni bahasa dan musik
dengan alasan tidak selaras dengan disiplin ilmunya. Argumen pendidikan
multikultural secara eksklusif dikonseptualisasikan sebagai konten seperti ini
merupakan bentuk delegitimasi terhadap pendidian multikultural secara luas.
Dalam hal ini Banks merumuskan gagasan lima dimensi pendidikan multikultural
sebagai pedoman reformasi sekolah:8
a. Integrasi konten
Integrasi konten berkaitan dengan sejauh mana guru menggunakan
contoh dan konten dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan
konsep kunci, prinsip, generalisasi, dan teori dalam bidang studi atau disiplin
mereka. Memasukkan konten etnis dan budaya ke dalam area subjek harus
logis, tidak dibuat-buat.

6
Ibid.
7
Heru Nugroho. Dekonstruksi Wacana SARA Negara dan Implikasinya Terhadap Kemajemukan
Masyarakat Indonesia, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gajah Mada, Vol. 1, No. 2, (November 1997): 1-12.
8
James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks. Multicultural.

4
b. Proses konstruksi pengetahuan
Proses konstruksi pengetahuan berkaitan dengan sejauh mana guru
membantu siswa untuk memahami, menyelidiki, dan menentukan bagaimana
asumsi budaya dan perspektif, dalam suatu disiplin mempengaruhi cara-cara di
mana pengetahuan dibangun di dalamnya.
c. Menghindari prasangka
Pengurangan prasangka menggambarkan pelajaran dan kegiatan yang
digunakan guru untuk membantu siswa mengembangkan sikap positif terhadap
kelompok ras, etnis, dan budaya yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa
pelajaran, unit, dan bahan ajar yang mencakup konten tentang kelompok ras
dan etnis yang berbeda dapat membantu siswa untuk mengembangkan sikap
positif antarkelompok yang lebih jika hal ini dikondisikan dalam pengajaran.9
d. Pedagogi kesetaraan
Guru di setiap disiplin dapat menganalisis prosedur dan gaya mengajar
mereka untuk menentukan sejauh mana mereka mencerminkan masalah dan
perhatian multikultural. Pedagogi kesetaraan adalah modifikasi pengajaran
yang dilakukan guru dengan cara yang memfasilitasi pencapaian akademik
siswa dari kelompok ras, budaya, gender, dan kelas sosial yang beragam. Ini
termasuk menggunakan berbagai gaya dan pendekatan pengajaran yang
konsisten dengan berbagai gaya belajar dalam berbagai kelompok budaya dan
etnis, dan sangat dipersonalisasi ketika bekerja dengan kelompok seperti siswa
asli Amerika dan Alaska, dan menggunakan teknik pembelajaran kooperatif
dalam pengajaran matematika dan sains untuk meningkatkan prestasi
akademik siswa kulit berwarna.10
e. Budaya sekolah dan struktur sosial yang memberdayakan (multikulturalisme)
Banks memandang dimensi penting lainnya dari pendidikan
multikultural adalah budaya dan organisasi sekolah yang mempromosikan
kesetaraan gender, ras, dan kelas sosial. Budaya dan organisasi sekolah harus
diperiksa oleh semua anggota staf sekolah. Mereka semua juga harus
berpartisipasi dalam merestrukturisasinya. Pengelompokan dan praktik
pelabelan, partisipasi olahraga, disproporsionalitas dalam pencapaian,
proporsionalitas dalam pendaftaran di program pendidikan berbakat dan

9
Bigler & Hughes dalam Ibid.
10
Cohen & Lotan dalam Ibid.

5
khusus, dan interaksi staf dan siswa lintas etnis dan ras adalah variabel penting
yang perlu diperiksa untuk menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan
siswa dari kelompok ras, etnis, dan bahasa yang beragam dan dari kedua
kelompok gender.
Pendidikan multikultural bukan sebatas ide, upaya sektoral ataupun sekali
upaya untuk meraih apa yang dicita-citakan dari pendidikan ini, pendidikan adalah
perubahan besar-besaran dalam lembaga pendidikan. Pendidikan multikultural
yang diinginkan bukan hanya pemasukan konten namun pengintegrasian upaya ini
ke dalam kurikulum sekolah. Terdapat empat pendekatan dalam rangka
mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam kurikulum11:
a. Pendekatan Kontribusi
Pendekatan kontribusi adalah pendekatan paling dasar dan ditandai
dengan penyisipan nilai-nilai budaya, etnis, ras, suku, pahlawan, hari libur ke
dalam kurikulum. Pengintegrasian ini tidak merubah struktur dasar kurikulum
karena tujuan dari pendekatan kontribusi ini hanya sebatas pengetahuan dasar
tentang multikultural. Contoh pendekatan kontribusi ini seperti menyisipkan
nama-nama Patrick Henry, George Washington, Barrack Obama dalam
pembelajaran, bisa juga dengan memperingati hari libur umat Agama lain.
b. Pendekatan Aditif
Pendekatan aditif adalah menambahkan konten, konsep, tema dan
media pembelajaran tentang keragaman etnis, budaya, ras, bahasa ke dalam
kurikulum tanpa merubah struktur dasarnya. Contoh dalam pendekatan ini
adalah dengan menambahkan buku, film, lagu saat proses pembelajaran.
Pendekatan ini dinilai sebagai tahap pertama untuk mereformasi kurikulum
yang transformatif.
c. Pendekatan Transformasi
Dalam pendekatan ini, struktur kurikulum dirubah (modif) untuk
memudahkan siswa melihat, memahami nilai-nilai sosisal budaya, bahasa, isu
dan berbagai permasalahan pluralisme di masyarakat.
d. Pendekatan Aksi
Pendekatan aksi adalah pendekatan transformasi yang harus dibarengi
dengan perbuatan (keputusan, tindakan, problem solving) terhadap konten
sosial budaya yang terjadi dalam konteks multicultural. Tujuan pendekatan ini
11
Ibid.

6
adalah mengajarkan siswa untuk memiliki softskill dan pengetahuan dalam
bersosial dan mengambil keputusan plus tindakan di dalamnya sehingga
terwujud kehidupan plural tanpa diskriminasi. Dalam pendekatan ini guru
memiliki peran sebagai agen perubahan yang mengkampanyekan nilai-nilai
multicultural dan demokrasi kepada siswa.
Empat pendekatan di atas masing-masing memang memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam prakteknya dan telah tersusun secara hirarkis. Dalam
penerapannya tentu guru memulai dengan pendekatan yang paling mudah
(pendekatan kontribusi) lalu secara bertahap ke level selanjutnya.

C. IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI MADRASAH


ALIYAH PONDOK PESANTREN MODERN ISLAM ASSALAAM
1. Konstruksi sosial yang menjadi perhatian pendidikan multikultural dalam materi
sosiologi di MA PPMI Assalaam
Hal paling mendasar dalam implikasi pendidikan multikultural adalah
pengakuan terhadap konstruksi sosial. Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren
Modern Islam (PPMI) Assalaam merupakan lembaga merupakan lembaga
pendidikan dalam pengelolaan PPMI Assalaam yang berkomitmen pada prinsip-
prinsip keassalaaman. MA PPMI Assalaam dalam proses pendidikannya mengakui
kategori stratifikasi (pengelompokan berdasarkan tingkatan) dan diferensiasi
(pengelompokan secara horizontal). Stratifikasi terdiri dari pendidikan, ekonomi,
jabatan, dll, sedangkan difernsiasi yang diakui adalah gender, ras, dan kekhususan
golongan sosial termasuk: suku, agama, kaum difabel dan profesi. Multikultural
menekankan pada kesetaraan dan harmonisasi pada hal diferensiasi.12
MA PPMI Assalaam tidak mengakui ‘orientasi seksual’ sebagai konstruksi
sosial dalam pendidikan multikultural karena ini bertentangan dengan ideologi
PPMI Assalaam yang berasaskan agama Islam yang mengajarkan satu-satunya
‘orientasi seksual’ yang disahkan adalah heteroseksual. “Gender bukan semata
jenis kelamin, namun menekankan pada karakteristik laki-laki dan perempuan. Di
sini tidak ada penghargaan terhadap LGBT. Ini menentang Al Quran.”13

2. Dimensi pendidikan multikultural dalam materi sosiologi di MA PPMI Assalaam

12
Wawancara dengan Wahyuni di kantor guru MA PPMI Assalaam pada Januari 2022.
13
Wawancara dengan Wahyuni di kantor guru MA PPMI Assalaam pada Januari 2022.

7
Pendidikan multikultural di MA PPMI Assalaam menerapkan pendidikan
multikultural pada dimensi berikut ini:
a. Integrasi konten
MA PPMI Assalaam menerima siswa dari berbagai daerah di seluruh
Indonesia. Konten menghargai suku, agama, ras dan antar golongan
ditekankan di sini dengan urgensi bahwa latar belakang peserta didik yang
bermacam-macam bisa saja menimbulkan konflik. Guru melalui sosiologi
mendatangkan pengetahuan tentang suku, agama, ras dan antar golongan
dalam konten materi.
Terkait dengan agama, meskipun MA PPMI Assalaam mengklaim
kebenaran agama Islam secara mutlak, namun nasihat untuk menghormati
pemeluk agama lain sebagai sesama manusia tidak luput dari pengajaran
sosiologi sehingga dapat dikatakan bahwa dogma yang ditanamkan di sini
adalah “kesucian agama Islam sekaligus toleransi sebagai akhlak yang mulia.”
b. Proses konstruksi pengetahuan
Beberapa kegiatan di luar materi sosiologi memaksa peserta didik untuk
mau memahami dan menghargai kebudayaan yang beragam. Pentas seni
menampilkan beberapa tarian daerah (seperti: Tari Saman dari Aceh yang
bahkan ditampilkan baik oleh siswa asal Aceh maupun daerah yang lain),
demonstrasi bahasa serta adanya sistem asrama yang tidak memilah suku
maupun ras yang menuntut untuk membangun komunikasi dan pemahaman
satu sama lain. Pengkondisian kelas bernuansa multikultural dilakukan dengan
membuat klipping yang identik dengan adat dan menampilkannya di kelas. 14
Keadaan-keadaan seperti ini membangun paradigma siswa bahwa keragaman
ini bukanlah permasalahan namun justru anugerah dan menjadi kesempatan
bagi siswa untuk berlatih berkomunikasi dengan baik terhadap orang lain yang
beragam kultur.
Guru dalam proses pembelajaran sosiologi juga mengajak siswa untuk
menghayati multikultural sebagai realitas. Siswa tidak jarang diminta
melakuan “brain storming” akan budaya-budaya, bahasa, ataupun kebiasaan
dari berbagai macam daerah/konstruksi sosial untuk dipresentasikan guna
membangun simpati dan pemahaman terkait multikultural.
c. Menghindari prasangka
14
Observasi di MA PPMI Assalaam pada Januari 2022.

8
Konten terkait menghilangkan prasangka buruk terhadap kebiasaan lain
dilakukan dengan “brain storming” yang dikomandoi oleh pengampu sosiologi
terkait budaya-budaya yang ada di Indonesia serta miliu hidup berasrama:
memanfaatkan fasilitas yang ada bersama, saling membantu ketika salah
seorang siswa mengalami kesulitan dan memiliki tuntutan pendidikan dan
disiplin yang sama dalam multi-ras, multi-suku dan multi-golongan (latar
belakang organisasi agama) menjadi rutinitas yang sangat kondusif dalam
memperkenalkan banyak budaya sehingga terbangun pemahaman dan tidak
mudah berprasangka terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh orang dari lintas
budaya.
d. Pedagogi kesetaraan
Proses pembelajaran di MA PPMI Assalaam dilakukan secara terpisah
antara siswa laki-laki dan perempuan. Hal ini mempermudah guru dalam
memperlakukan siswa sebagai individu berdasarkan gender. Guru sosiologi
maupun selainnya seperti guru fiqh dan dirasah islamiyah secara umum selalu
memperlakukan siswa dengan latar belakang ormas tertentu dengan
penghargaan tanpa diskriminasi, serta membangun ruang diskusi, membuka
kritik dan kemudian memberi pemahaman perspektif golongan tertentu.
Namun guru masih melakukan perlakuan yang sama jika dikaitkan
dengan suku, ras, dan profesi. Tidak ada pendekatan khusus terhadap siswa
dari kultur satu dan yang lain. Selain itu, masih tampak kesenjangan
stratifikasi ekonomi antar siswa siswa yang terindikasi dari perbedaan
signifikan terkait intensitas belanja yang dilakukan. Harmonisasi yang
dilakukan hanyalah pembatasan yang berbentuk himbauan atau nasehat dan
sedikit kontrol.15
e. Budaya sekolah dan struktur sosial yang memberdayakan.
MA PPMI Assalaam menerima siswa dari segala gender, suku, ras, kelas
sosial, maupun golongan tertentu. Dalam hal multi-suku dan multi-ras
teraplikasikan dengan lancar di sekolah karena memang siswa-siswa yang ada
terdiri dari bermacam-macam asal daerah. Mereka disatukan dalam asrama
dan berinteraksi selama 24 jam dengan kontrol ‘wali asrama’ termasuk kontrol
dalam hal kerukunan yang menjadi prinsip pendidikan multikultural. Hal ini
didukung dengan kegiatan-kegiatan yang menuntut kerukunan, kekompakan,
15
Wawancara dengan Wahyuni di kantor guru MA PPMI Assalaam pada Januari 2022.

9
persatuan dan persamaan persepsi seperti: pentas seni, kompetisi olah raga,
kegiatan kepramukaan, dll.
Terdapat catatan yaitu tidak adanya siswa beragama selain Islam karena
sekolah ini berasaskan agama Islam, serta tidak ada siswa difabel dan tidak
terpenuhinya fasilitas-fasilitas difabel. Ini terindikasi dari tidak adanya jalur
pedestrian, jalur pemandu, pintu, ram, lift, tangga, toilet, wastafel, dll dengan
standar difabel. Miliu multikultural terhadap difabel tidak tampak melainkan
hanya pada konten pelajaran.
Catatan selanjutnya adalah kurangnya kegiatan yang terkhusus untuk
pemberdayaan masyarakat. Namun hal ini terbantu oleh sistem asrama yang
merupakan masyarakat multikultural kecil hasil rekayasa pendidikan.
Kekurangan asrama adalah bahwasanya masyarakat multikultural kecil ini
tidak mencakup kategori difabel dan multi-agama.16
3. Pendekatan dalam mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam kurikulum
MA PPMI Assalaam
Beberapa pendekatan yang dilakukan MA PPMI Assalaam mengintegrasikan
pendidikan multikultural ke dalam kurikulum MA PPMI Assalaam dengan rincian
sebagai berikut:
a. Pendekatan kontribusi
Keragaman kultur dihargai dalam beberapa kegiatan seperti: pentas seni
“Mahakarya Santri Assalaam” yang menampilkan tarian budaya daerah
tertentu dan demonstrasi bahasa. Perlakuan guru terhadap siswa sebagai
individu dari multi-suku dan multi-golongan menjadi kontribusi dalam
membangun paradigma multikultural. MA PPMI Assalaam tidak
melaksanakan liburan di hari raya agama selain Islam karena lembaga
pendidikan ini berasaskan agama Islam.

b. Pendekatan aditif
Konten pendidikan sosiologi di MA PPMI Assalaam sangat mendalam
dalam membahas pendidikan multikultural, di antaranya terdiri dari materi:
prinsip-prinsip bersosial, perbedaan antar kelompok, penghargaan terhadap

16
Observasi

10
keragaman, permasalahan sosial di masyarakat, pemetaan dan resolusi konflik,
perubahan sosial, globalisasi, dan pemberdayaan komunitas lokal.
Miliu pembelajaran tidak diskriminatif, bernuansa multikultural
khususnya terkait keragaman suku. Penelusuran informasi terkait keragaman
kultur dioptimalkan dengan media internet dan sumber ajar buku yang
beragam di perpustakaan Assalaam serta pemutaran film terkait hal ini baik di
dalam maupun di luar proses pembelajaran.17
c. Pendekatan transformasi
MA PPMI Assalaam belum mencapai pendekatan transformatif dalam
pendidikan multikultural dikarenakan beberapa hal bertentangan dengan
prinsip keassalaaman seperti: pengakuan terhadap pembenaran agama yang
menjadikan lembaga ini hanya menerima siswa dari satu agama saja, tidak ada
pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman manusia berdasarkan
orientasi seksual karena hal ini bertentangan dengan dogma keagamaan yang
dianut dan tidak memperbolehkan penggunaan bahasa daerah di kawasan
PPMI Assalaam karena yang diwajibkan adalah penggunaan bahasa Inggris
dan Arab yang menjadi target kompetensi siswa sekaligus dianggap sebagai
bahasa pemersatu.
d. Pendekatan aksi
Pendekatan aksi yang merupakan lanjutan dari pendekatan transfornasi
tidak dilakukan secara langsung, namun MA PPMI Assalaam memiliki
harapan bahwa siswa yang terkumpul dari berbagai daerah merupakan agen
penyiar kebenaran Islam yang berakhlak mulia, mampu menghormati sesama
manusia dengan latar belakang budaya apapun serta menjadi solusi dari
konflik multikultural yang ada.

D. KESIMPULAN
Paradigma sekolah sangat menentukan langkah-langkah yang diambil dalam
pendidikan multikultural. MA PPMI Assalaam mengakui adanya konstruksi sosial yang
dikemukakan Banks maupun yang dirumuskan di Indonesia yaitu: gender, suku, agama,
ras, kelas sosial, dan golongan tertentu atau kekhususan tertentu yaitu difabilitas dan
17
Observasi di MA PPMI Assalaam pada Januari 2022.

11
profesi serta berupaya mengharmoniskan stratifikasi sosial. Adapun orientasi seksual
tidak diakui karena menyalahi ideologi agama Islam yang menjadi landasan lembaga
ini.
MA PPMI Assalaam telah mencakupi semua dimensi pendidikan multikultural
dengan beberapa catatan di antaranya: guru masih memberi perlakuan yang sama
terhadap siswa dari berbagai suku, kurangnya upaya harmonisasi stratifikasi ekonomi
siswa, tidak menerima berbagai agama dan fasilitas tidak dipersiapkan untuk golongan
difabel.
Dalam rangka mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam kurikulum,
dilakukan pendekatan kontribusi dan aditif dan belum menjangkau pada pendekatan
transformatif dan aksi. Jika ditinjau dari paradigma Banks bahwa pendidikan
multikultural merupakan ide, gerakan pembaharuan dan proses berkelanjutan, maka
penerapan pendidikan multikultural di MA PPMI Assalaam selaras dengan hal ini
namun terdapat beberapa catatan yang telah tersebut di atas yang mana hal ini banyak
disebabkan karena perbedaan landasan pemikiran.

Daftar Pustaka
Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis
Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Vol.
1, No. 1. (Juni 2012): 72-82.
Arifudin, Iis. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah: Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan. Vol. 12, No. 2. (Mei-Agustus 2007): 220-233.
Banks, James A. dan Banks, Cherry A. McGee. Multicultural Education Issues and
Perspectives. United State. (2013).
Dwintari, Julita Widya. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural dalam
Pembinaan Keberagaman Masyarakat Indonesia, Civic Culture: Jurnal Ilmu
Pendidikan PKn dan Sosial Budaya: 69-81.
Hanafi, Muh. Sain. Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebangsaan. Jurnal
Diskursus Islam. Vol. 3, No. 1. (2015): 119-139.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan-yang-dipicu-
masalah-keberagaman-di-indonesia?page=all
Nugroho, Heru. Dekonstruksi Wacana SARA Negara dan Implikasinya Terhadap
Kemajemukan Masyarakat Indonesia, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

12
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. Vol. 1, No. 2,
(November 1997): 1-12.

13

Anda mungkin juga menyukai