Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan


Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd.,Kons.

Oleh:
KELOMPOK 5

Wika Tri Utami (010518010)


Sugeng Widodo (010518026)
Endang Rifani (010518028)

BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018

1
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bhineka Tunggal Ika merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Sebagaimana
diketahui, Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia,
mencapai 17, 667 pulau besar dan pulau kecil. Karena itu wajar kalau dikatakan
kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa
dielakkan, sekaligus anugerah Yang Mahakuasa. Kenyataan menunjukkan terdapat
350 kelompok etnis, adat tradisi, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan
tertentu, namun setiap warga negara Indonesia berbicara dalam satu bahasa nasional.
Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, Indonesia sangat
membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya yang merupakan
unsur yang dapat dilahirkan oleh pendidikan multikultural.
Dalam konteks ini, kesadaran akan multikulturalisme atau pluralisme lalu
menjadi nilai yang sangat penting. Kendati demikian, secara dini perlu agaknya kita
membedakan dua persitilahan yang memiliki kemiripan: “pluralitas” dan
“pluralisme.” Sebab tak sedikit kalangan acap kali mengacaukan penggunaan dua
peristilahan tersebut. Pluralitas adalah sebuah fakta tentang kepelbagaian yang ada
secara alami dan berdasarkan hukum alam: ras, warna kulit, suku, agama, budaya,
jenis kelamin dan seterusnya. Pluralitas, karena itu, bukanlah sebuah pilihan tapi
anugerah Tuhan bagi manusia. Sebab itu, tidak ada yang salah dalam pluralitas.
pluralisme adalah sebuah sikap yang mengakui sekaligus menghargai, menghormati,
memelihara, dan, bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat
plural, jamak atau kepelbagaian itu. Dalam konteks teologi lintas-agama misalnya,
pluralisme membangun sebuah postulat: bahwa dalam jantung semua agama dan
tradisi otentik mempunyai pesan kebenaran yang sama yakni kita semua berasal dan
akan kembali kepada satu tujuan yang sama: kepadaYang Absolut, Yang Awal-Yang
Akhir, Yang Hollygious atau dalam teologi disebut sebagai Tuhan (Sabri, 2015; 85).
Tetapi, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan
kemanusiaan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, keharmonisan,
keamanan, perdamaian, dan persaudaraan. Dengan kata lain diskriminasi, konflik
sosial agama, krisis politik, ekonomi, budaya dan pendidikan, semakin menggurita di

2
negeri ini. Persoalan penting yang perlu dipertanyakan adalah apa sebenarnya yang
mendasari terjadinya problem-problem tersebut? Serta bagaimana solusi agar
problem-problem tersebut dapat diminimalisir?.
Jika dalam dunia pendidikan persoalan yang terjadi adalah bentuk kekerasan
yang menimpa siswa seperti tawuran, dan perkelahian antar siswa. Salah kasus yang
dimuat dilaman Detiknews tawuran terjadi pada tahun 2016 yang melibatkan dua
kelompok sekolah yang berbeda di Kabupaten Karawang, yaitu antara SMK PGRI
Lemah Abang Wadas dan SMK Negeri Purwasari yang mengakibatkan satu dari
mereka meninggal dunia,dalam berita disebutkan bahwa yang melatarbelakangi
terjadinya tawuran adalah saling ejek antar dua sekolah yang berbeda tersebut. Jika
dikaji lebih lanjut, dapat ditemukan bahwa betapa minimnya attitude pelajar terutama
pada bagaimana mereka menghargai sebuah perbedaan yang ada pada diri mereka
masing-masing, artinya adalah hal tersebut mampu menunjukkan bahwa perlu adanya
pemahaman yang dapat diberikan kepada peserta didik mengenai multikulturalisme.
Dalam dunia pendidikan sekolah memiliki peran penting dalam menanamkan
pendidikan multikultural, pendidikan multikultural dapat diberikan kepada peserta
didik dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, agar konsep multikultural
dapat diterapkan dan diaplikasikan oleh masyarakat. Hilda Hernandez (Mahfud,
2014;176) mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui
realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam
pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan
pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial,
ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Pada prinsipnya,
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga
nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap
saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis dan
kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa dapat terus dilestarikan.
Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada
berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi
atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa
kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan
perselisihan, keributan, dan ketidak harmonisan. Dengan pendidikan multikultural
diharapkan individu dapat menerima dan memahami perbedaan yang ada, serta
individu dapat saling bertukar pendapat yang pada gilirannya akan memperkaya
3
kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud
masyarakat yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.
Melalui makalah ini, akan dijabarkan mengenai karakteristik problematika
pendidikan multikultural, konsep pendidikan multikultural beserta implementasi yang
dapat diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai multikulturalisme.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang yang telah dijabarkan diatas, dapat di rumuskan permasalahan
yaitu:
1. Apa saja karakteristik yang mendasari problematika pendidikan multikultural ?
2. Bagaimana implementasi pendidikan multikultural yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia agar paham akan multikulturalisme dapat diterapkan sejak dini oleh
masyarakat terutama pelajar dan tenaga pendidik?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui, mengidentifikasi karakteristik yang mendasari
problematika pendidikan multikultural.
2. Mahasiswa mampu mengetahui, menjelaskan, mendeskripsikan, bagaimana
implementasi pendidikan multikultural yang dapat diterapkan Indonesia.
D. Manfaat
Dalam pembahasan makalah ini ada beberapa manfaat dan kegunaan
diantaranya yaitu untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pendidikan
multikultural, untuk mengetahui definisi pendidikan multikultural mengetahui
paradigma pendidikan multikultural, dan untuk mengetahui penerapan pendidikan
multikultural di Indonesia.
Dengan adanya makalah ini diharapkan dengan mempelajari pendidikan
multikultural dapat menambah pemahaman dan menjadi bekal bagi penulis yang
berkecimpung di dunia pendidikan terutaman dalam bidang bimbingan dan konseling.
Kemudian berdasarkan pada makalah ini untuk kemudian dapat dijadikan
bahan diskusi bagi penulis di suasana pembelajaran dengan begitu dapat memberikan
dan menambahkan pendapat dari teman-teman yang berkenaan dengan pendidikan
multikultural di Indonesia yang belum terbahas atau tertuliskan dalam makalah ini.

4
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaanya masing-masing yang
unik (mahfud 2014;75).
Menurut May (1999) dalam Soemantri 2011, multiculturalism is an approach
which replaces universalism and which introduces ethnicity unnecessarily and
unhelpfully into the civic realm that is, ‘civil society’—multikulturalisme adalah suatu
pendekatan yang menggantikan unversalisme dan yang memperkenalkan etnik yang
tidak perlu dan tidak mendukung ke dalam wilayah perhatian atau kegiatan
‘masyakarat sipil’. Lebih lanjut Steinberg (1997) menguraikan bahwa the concept of
multiculturalism is a multicultural position to respond racial, socio- economic class,
gender, language, culture, sexual preference, and disability-related diversity —
konsep multikulturalisme adalah suatu posisi multikultural untuk menjawab
perbedaan yang berkaitan dengan rasial, golongan sosial-ekonomi, jender, bahasa,
budaya, jenis kelamin, dan ketunaan.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar
dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Multikulturalisme
merupakan suatu paham yang menekankan pada kesenjangan budaya local tanpa
mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan
utama multikulturalisme adalah kesataraan budaya.
Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam
konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, baik ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang
memberikan pemahaman bawa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah
bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan
bangsa yang multikultural aalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya

5
(ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam
prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Menururt Parekh (1997) dalam Ana Irhandayaningsih multikulturalisme
dibedakan menjadi lima model yaitu sebagai berikut:
1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok
kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal
satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan
yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur
kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang,
hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok
kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara
kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan
cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka
menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang
semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-
kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural
otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus
batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap
individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat
dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing (Azra, 2007).
B. Hakekat Pendidikan Multikultural
1. Pengertian pendidikan multikultural
James Banks dalam Choirul Mahfud, mendefinisikan pendidikan multikutural
sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin

6
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Kemudian,
bagaimana seseorang mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan
semangat egaliter. Lebih lanjut Banks (2001) menyatakan bahwa pendidikan
multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of
believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya
dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Hilda
Hernandez (mahfud, 2014;176) mengartikan pendidikan multikultural sebagai
perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan. Atau dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media
transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu
memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan
menghormati atas realitas yang ragam (plural), baik latar belakang maupun basis
sosio budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan
pembebasan) yang di kutip oleh Ibrahim (2013;139), bahwa pendidikan bukan
merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik
dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise
sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (Multicutural Education) merupakan respons
terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural
merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki
berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang nn Eropa
(Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup
seluru siswa tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompoknya seperti, gender, etnic,
ras, budaya, strata sosial dan agama (mahfud, 2014:176-177).
2. Prinsip-prinsip Pendidikan Multikultural
Arifin (2012) Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk
menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan
7
multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut. Prinsip pertama: pendidikan
multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi
seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Prinsip kedua :
pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan
kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus
ditangani lewat reformasi yang komprehensif Prinsip ketiga : pendidikan
multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai
hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan
reformasi komprehensif dalam pendidikan.
Prinsip keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan
multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan
guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki Prinsip
kelima : pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa,
tanpa memandang latar belakangnya.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural
Menurut James A. Banks dalam Zubaedi, merumuskan tujuan dari pendidikan
multikultural yaitu: “The goal of multicultural education is an education for freedom.
. . . Multicultural education should help students to develop the knowledge, attitudes,
and skills toparticipate in a democratic and free society. . . . Multicultural education
promotes the freedom, abilities and skills to cross ethnic and cultural boundaries to
participation in other cultures and groups.”
Artinya:
“Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan.
Pendidikan multikultural dimaksudkan untuk membantu para siswa dalam
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat yang bebas dan demokratis. Pendidikan multikultural mengembangkan
kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas batas budaya dan
etnis agar dapat berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain”.
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Raharjo (2002) yang mengatakan
tujuan dari pendidikan multikultural adalah: “Membantu anak didik dalam
mengembangkan pemahaman dan sikap secara memandai terhadap masyarakat yang
beraneka ragam budaya. Anak didik memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun
tetap memberikan andil terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan

8
pendidikan yang wajar, tanpa memandang perbedaan, membantu peserta didik untuk
berpartisipasi dalam suasana kultur yang berbeda. Membantu anak didik dalam
memberdayakan potensi yang optimal”.
Tujuan pendidikan multikultural menururt Zakkiyudin Baidhawy yang dikutip
oleh Samrin (2014) tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan
tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya
berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Tujuan awal
pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan
dalam dunia pendidikan dan peserta didik. Harapannya adalah apabila mereka
mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak
hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu
menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di
sekolah kepada para peserta didiknya
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak
hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan
tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat
untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut
adalah ruh pendidikan multikultural.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan
multikultural bertujuan agar peserta didik dapat menghormati keanekaragaman
budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan
melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. Pada intinya pendidikan
multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu: a. Proses pendidikan yang
menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan
manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak terhadap kenyataan yang
berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan,
yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia. b. Proses pendidikan yang
menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan,
diskriminasi, dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.
Samrin (2014) memiliki pandangan bahwa dalam konteks pembelajaran,
pendidikan multikultural bertujuan untuk transformasi pembelajaran kooperatif di
mana dalam proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama.
Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan
belajar mengajar, konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif

9
mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan
kelompok kecil, di mana pembelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain,
berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu
untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif
setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota
kelompoknya.

Menurut The National Council for Social Studies dalam (Gorski, 2001) yang
dikutip oleh Hanum (2009) fungsi Pendidikan Multikultural adalah sebagai berikut:
1. memberi konsep diri yang jelas
2. membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari
sejarahnya
3. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada
setiap masyarakat
4. membantu mengembangkan pembuatan keputusan ( decision making), partisipasi
sosial, dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills).

C. Paradigma pendidikan Multikultural


Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal, Ali Maksum menggambarkan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau
pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu :
Horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal , kemajemukan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan
budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan
tingkat sosial budaya.
Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui,
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang
mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka
wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan
yang tidak bisa dielakan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan
karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly menyatakan bahwa,
meskipun setiap warga Negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa

10
nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat dan cara-
cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side efffect (dampak)
secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif,
karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik
antarkelompok masyarakt. Pada akhirnya, konflik-konflik antarkelompok masyarakat
tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi dan
ketidakharmonisan sosial (social disharmony). Pakar pendidikan, Syafri Sairin
(1992), mememtakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni : 1)
perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi (acces to
economic resources and to means of production 2) perluasan batas-batas sosial
budaya (social and cultural borderline expansion) 3) benturan kepentingan politik,
ideologi dan agama (conflict of political, ideology and religius Interest).
Menurut pandangan Mahfud, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut,
diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan
multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab
akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif
terhadap realistas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis
maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif
terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan
khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang
selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri
(truth claim) dengan menyalahkan pandangan ddan pilihan orang lain dapat
dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang
berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras dan agama). Fakta tersebut sebetulnya
menunjukkan kegagalan pendidikan dalam meciptakan kesadaran pluralisme dan
multikulturalisme. Simbol budaya, agama, ideologi, bendera, baju dan sebagainya, itu
sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita
setuju dalam perbedaan (agree in disagreement). Pada dasarnya, manusia diciptakan
Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan
sebagainya agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang
paling baik amal perbuatannya (bertaqwa). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam,
sebagaimana termaktub dalam Al-qur’an Surat al Hujurat ayat 13: “Hai manusia,

11
sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan (Bapak dan Ibu)
dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam umat) dan suku
bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di
antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal.” (Al Hujurat; 13).
Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang
sebagai mahluk makro dan sekaligus mahluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar
budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan
manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusianya. Sedangkan akar mikro yang
kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat dan dengan
demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang
menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1. Tujuannya membentuk “Manusia budaya” dan meciptakan “Masyarakat
Berbudaya”
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-
nilai kelompok etnis (kultural)
3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman
budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme)
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang
meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004) paradigma multikultural yang marak
didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat
multikultur seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan
genuine ini belum maupun pemerintah, dalam tindakan praksis. Apa yang
mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal
ikhwan di atas.
Sebagai tamsil adalah fenomena di munculkannya UU “Kontroversi”
Sisdiknas yang sengaja didesakkan “Kelompok Mayoritas”. Masih munculnya
keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang
dipeluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi
(Formalisasi Syariah). Kasus RUU intervensi negara yang deterministik dalam
kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multikultural dalam
‘nalar’ bangsa ini.

12
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar-
sosiologgis-antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik
secara horizontal, berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai
“Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok
penutur bahasa atau kedalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu
dengan lainnya. Sedangkan secara vertikal, berbagai kelompok masyarakat itu dapat
dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx Mode of Production yang
bermuara pada perbedaan kelas sosial dan budaya. Dalam realitas-empirik, kenyataan
ini justru kerap diterabaikan. Yang terjadi seringkali bukanya penghargaan dan
pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk “Mempersamakan”
(conformity) atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa orde baru yang
memaksakan ideologi “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti
developmentalisme dan uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau
kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak
lawan dan mengandung impilkasi-implikasi negatif bagi rekontruksi kebudayaan
Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan
desentralisasi kekuasaan pemerintahahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “
provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Politik identitas
kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme makin menguat.
Konflik antar suku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan.
Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semu belaka. Yang
mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama
dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahlan, tak jarang
suatu kelompok menghaalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironis
memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan
atas nama perbedaan.
Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pemdidikan multikultural
pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih diminanya wacana “Toleransi” dalam
menyikapi realitas multikultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila
orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard
Rirty, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana
dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali
terjebak pada ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi

13
saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan
perbedaanya sendiri. Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-
eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda
dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul
bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh.
Sampai disini, layak kita menguhkan kembali paradigma multikultural
tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi
kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke
aspek psikomotorik dan afektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan
kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkapkan Goodenough adalah
pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Untuk itu,
pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for
granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis,
programatis, integrated dan berkesinambungan. Disinilah fungsi strategis pendidikan
multikultural sebagai sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi
dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini dan
melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan
prinsip solidaritas, yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan
demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas
menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut
kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan
multikultural yang dilandasi kesadaran dakan eksistensi diri tanpa merendahkan yang
lain diharapkan segera terwujud.
Adapun bangunan paradigma pendidikan multikultural yang menurut Zamroni
(2011) dikutip oleh Arifin (2012) adalah sebagai berikut : a. Pendidikan multikultural
adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga
masyarakat. b. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau
perubahan metode pembelajaran. c. Pendidikan multikultural mentransformasi
kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus
menuju. d. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan
pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar. e.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun jembatan

14
antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna
membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan sekolah.

D. Pendekatan Pendidikan Multikultural


Mahfud 2014 menjelaskan ada beberapa pendeketan dalam proses pendidikan
multikultural yaitu:
1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan
(schooling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah
formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi
kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-
mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang
bertanggung jawab, karena program –program sekolah seharusnya terkait dengan
pembelajaran informal diluar sekolah.
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
Artinya, tidak perlu lagi mengasosialisasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
3. Pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, maka dapat diliat lebi jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-
sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan
multikultural.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi
secara proporsional.
5. Kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan
kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara
pribumi dan non-pribumi.

Kemudian Banks (1993) dalam Hanum (2009) mengemukakan empat


pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam
kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yang bila dicermati relevan untuk

15
diimplementasikan di sekolah di Indonesia, bahkan pendekatan pertama sudah biasa
dilakukan, yaitu:

1) Pendekatan kontribusi (the contributions approach). Level ini yang paling sering
dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan
etnis. Ciri pendekatan kontribusi ini adalah dengan memasukkan
pahlawanpahlawan dari suku bangsa/ etnis dan benda-benda budaya ke dalam
pelajaran yang sesuai. Hal inilah yang sampai saat ini yang dilakukan di
Indonesia.
2) Pendekatan Aditif (Aditive Approach). Pada tahap ini dilakukan penambahan
materi, konsep, tema, dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur,
tujuan dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan
penambahan buku, modul atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa
mengubahnya secara substansif.
3) Pendekatan Transformasi (the transformation approach). Pendekatan tranformasi
berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pada
pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan
kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis. Bank (1993) menyebut ini proses multiple
acculturation sehingga rasa saling menghargai, kebersamaan dan cinta sesama
dapat dirasakan melalui pengalaman belajar.
4) Pendekatan Aksi Sosial (the social action approach) mencakup semua elemen
dari pendekatan transformasi, namun menambah komponen yang
mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu atau
masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam
pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan
mengajari mereka keterampilan pembuatan keputusan untuk memperkuat siswa
dan membantu mereka memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu mereka
menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan
sosial.
E. Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak kemunculunnya sebagai sebuah disiplin ilmu pada dekade 1960-an dan
1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education,
selanjutnya disingkat (MBE), telah didefinisikan dalam banyak arah dan dari berbagai

16
perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang
hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multikultural (multicultural education)
seperti yang dipakai dalam konteks keidupan multikultural negara-negara Barat.
Sejumla definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antroplogi,
sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya.
Hilda Hernandez pakar pendidikan multikulturaldi California State University,
Amerika Serikat, dalam buku Mlticultural Education: A Teaher Guide to Linking
Context, Process, and Content mengungkapkan dua definisi ‘klasik’ untuk
menekankan dimensikonseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi
pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik,
sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam (plural) secara kultur. Definisi ini juga
bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etinitas, agama, status
sosial, ekonomi, dan pengeualian-pengeualian dalam proses pendidikan.
Dalam satu dekade terakhir, Hernandez mengembangkan sebuah definisi
operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan
pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez,
adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk
semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas,
bahasa, agama, dan perkecualian-perkeualian yang memengaruhi, membentuk dan
mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil
perkembanganseutunya dari konstelasi/interaksi unik masing-masing individu yang
memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi
kewarganegaraan (citizenship) dalam komunitasbudaya dan bahasa yang majemuk
dan saling terkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia
menggambarkan realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang
secara luas dan sistematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah
dan luar ruangan. Ia menyangkut seluru aset pendidikan yang termanifestasikan
melalui konteks, proses, dan muatan (content). MBE menegaskan dan memperluas
kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan
pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-

17
lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang
mencerminkan cita-ita persamaan, kesataraan dan keunggulan.
F. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Perlu diketaui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat
Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang
baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang
dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan
sebagai counter teradap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda). Apabila
hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan
kita kedalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Menurut Azyumardi Azra (mahfud 2014;198), pada level nasional,
berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan
“monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang
mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang
multikultural. Bebarengan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/gejala
“provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan ini,
jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural
yang amat parah, bahkan juga diintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain, menunjukkan
keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk
mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang
dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di
Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada
dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model
pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran termasuk
revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat,
revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap
paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah
Amerika perpektif yang lebi beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang
diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan.
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi
buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia.

18
Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat
akan pentingnya perspektif baru tentang perang., agar tragedi kemanusiaan tidak
terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang
dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang
lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis.
Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam
sejarah” diberbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi
pembelajaran, tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri.
Affirmative Actiondalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika
adalah salah satu strategi untuk membtua perbaikan ketimpangan struktural terhadap
kelompok minoritas. Contoh lain adala model “sekolah pembaruan” Iskandar Muda di
Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan
menyusun program anak asuh lintas kelompok. di Amerika Serikat, bersamaan
dengan masuknya waana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya
disekolah-sekolah maupun di masyrakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial
(sense of crisis), toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di
Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti diajukan Gorski,
pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi: (1) transformasi
diri; (2) transformasi sekolah dan proses mengajar , dan (3) transformasi msyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus
berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar
dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana
pendidikan mutlikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negri
yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan
metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.

19
BAB III

PEMBAHASAN

Multikulturalisme adalah proses pembudayaan. Pendidikan adalah proses


pembudayaan. Masyarakat multikulturalisme hanya dapat diciptakan melalui proses
pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk kehidupan
publik. Selain itu, pendidikan juga diyakini mampu memainkan peranan signifikan
dalam membentuk politik dan kultural. Dengan demikian pendidikan sebagai media
untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial, sehingga akan menjadi basis
institusi pendidikan yang sarat akan nilai-nilai idealisme. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa acapkali pendidikan di Indonesia menjumpai banyak kasus
permasalahan baik yang menimpa peserta didik maupun guru dan masyarakat dalam
lingkungan sekolah.
Jika kita kaji secara seksama dari berbagai arah sudut pandang mengenai
karakteristik problematika pendidikan multikultiral di Indonesia sangatlah banyak.
Namun disini kami melihat dari sudut pandang subjektif, bahwa karakteristik ini
muncul dari sifat-sifat manusia itu sendiri karena yang menjalankan pendidikan
adalah manusia.
A. Macam-macam karakteristik yang mendasari problematika pendidikan
multikultural di Indonesia adalah sebagai berikut:
Yang pertama adalah adanya Prasangka, definisi klasik prasangka pertama kali
dikemukakan oleh psikholog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis
konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini
berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu
berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok
tertentu. Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang
salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa
langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Allport
memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati
kelompok. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif
(berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe)
dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Kedua yaitu Stereotipe, Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka
antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik

20
perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan
kounikasi verbal maupun non verbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama
prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan
dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain
yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out group). Stereotipe adalah pemberian
sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya
karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif
maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga
karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun
positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Ketiga adalah Etnosentrisme, merupakan paham paham yang pertama kali
diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang
beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya
individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus
berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang
antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang
mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang
disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma
dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
Kemudian yang keempat adalah Rasisme, Rasisme adalah pandangan yang
menganggap bahwa kelompok ras adalah lebih unggul daripada ras lain dalam soal
hak-hak dan martabat, dan sebagai konsekuensinya, mengakibatkan penjajahan yang
satu atas yang lainnya. Liliweri (2005) mengartikan rasisme adalah prasangka atau
diskriminasi berdasarkan pemisahan fisik yang berdampak pada pemisahan social.
Ketika prasangka social terjadi, ia langsung mendorong sikap kita pada asumsi
mengenai superioritas dan inferiorities etnik maupun ras. Dalam cara berfikir yang
sederhana, prasangka merupakan pikiran atau sekedar sikap, sedangkan diskriminasi
adalah gambaran dari apa yang dipikirkan kemusian diterjemahkan ke dalam perilaku
dan tindakan tertentu.
Kelima yaitu Diskriminasi, Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan,
maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya
dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya
tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan

21
diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, di sana
ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka
diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan
tindakan yang membedabedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan
terhadap kelompok subordinasinya.
Dan yang terakhir atau keenam adalah Kambing Hitam (Scape Goating).
Kambing hitam adalah “Orang atau pihak yang disuruh bertanggung jawab atas
kesalahan yang tidak diperbuatnya. Orang itu harus menanggung konsekuensi yang
bisa berupa hukuman atau sanksi, padahal tidak melakukan kesalahan. Dan mereka
mempersalahkan orang atau golongan tertentu sebagai biang keladi. Orang atau
golongan itu menjadi sasaran kebencian dan kemarahan. Boleh jadi mereka, yang
dengan cara demikian dipersilahkan, dianiaya dan dibunuh. Itulah “kambing hitam”.
Lalu setelah mengetahui karakteristik yang mendasari problematika
pendidikan multikultural yang berasal dari manusia itu sendiri munculah pertanyaan
selanjutnya yang perlu dijawab adalah bagaimana agar karakteristik tersebut dapat
luntur dalam diri manusia? hal tersebut dapat diminimalisir dengan adanya pendidikan
multikultural, dalam hal ini guru menjadi figur utama untuk mencapai keberhasilan
dalam mengaktualisasikan pendidikan multikultural sebagaimana yang diharapkan.
B. Dimensi dalam pendidikan multikultural
Dalam mengaktualisasikan pendidikan multikultural penting untuk
memperhatikan berbagai dimensi untuk saling berelasi satu sama lain. Banks (1994)
dalam Mahfud, ada lima dimensi dalam pendidikan multikultural yang seharusnya
dilakukan, kelima dimensi tersebut yaitu: integrasi konten (content integration),
proses pembentukan pengetahuan (knowledge construction process), reduksi
prasangka (prejudice reduction), pendidikan/ perlakuan pedagogi tanpa pandang bulu
(equity pedagogy), dan pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial
(empowering school culture and social structure).
Berikut merupakan penjabaran dari kelima dimensi tersebut:
1. Integrasi konten adalah upaya guru memberikan atau menggunakan contoh dan
materi dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci,
prinsip, generalisasi, teori dan lain-lain ketika mengajar satu topik atau mata
pelajaran tertentu. Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan
dengan “poin kunci‟ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda.
Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke

22
dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu
pendekatan umum adalah mengakui kontribu-sinya, yaitu guru-guru bekerja ke
dalam kuri-kulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat
kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembe-lajaran
dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru
menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi
multi-kultural. Sebagai contoh, ketika guru mengajar topik menggambar motif
batik, kemudian dikaitkan dengan berbagai macam motif batik di berbagai daerah
penghasil batik di Indonesia. Artinya, yang dimaksud dengan integrasi konten
adalah mengintegrasikan pendidikan multikultur ke dalam mata pela-jaran/topik
pelajaran. Dengan kata lain, sambil belajar biologi, terjadi penyadaran akan
perbedaan budaya.
2. Proses pembentukan pengetahuan adalah suatu dimensi dimana para guru
membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan
kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki.
Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap
perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri. Dimensi ini berupaya
membantu siswa untuk memahami, mencari tahu, dan menentukan bagaimana
suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya secara implisit tercipta karena adanya
pengaruh budaya tertentu, kalangan tertentu, kelompok dengan status sosial
tertentu yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh, ketika guru membahas topik
tentang Galileo yang menghasilkan teori heliosentris yang menumbangkan asumsi
geosentris yang terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat
dominan. Sehingga, Galileo harus dihukum mati karena teorinya, namun
belakangan teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia. Di sini guru harus
menjelaskan mengapa hal itu sampai terjadi dengan mengungkapkan pengaruh
budaya masyarakat di sana pada waktu itu.
3. Reduksi prejudice adalah upaya guru membantu siswa mengembangkan sikap
positif terhadap perbedaan (baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status sosial,
dll.) Sebagai contoh, adalah tidak benar kalau guru mendorong sikap atau
prasangka yang menganggap bahwa orang Papua yang berkulit hitam adalah
terbelakang, bodoh dan lain-lain. Prejudice yang tidak benar terhadap gender, ras,
budaya dan lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang harus dihindari.

23
4. Perlakuan pedagodik tanpa pandang bulu (equity pedagogy) adalah upaya guru
memperlakukan secara sama tanpa pandang bulu dalam proses pembelajaran di
kelas. Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas
pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah
siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar di sekolah diupayakan
memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama
(coope-ratve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition
learning). Hal ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk
lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik,
wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan
pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan
belajar. Hal ini akan terlihat dari metode yang di-gunakan, cara bertanya,
penunjukkan siswa, pengelompokkan siswa, dan sebagainya.
5. Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial adalah proses merestrukturisasi
dan reorganisasi sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, kelas sosial akan
mengalami dan merasakan pemberdayaan dan persamaan budaya. Dimensi ini
penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang
berasal dari kelompok yang berbeda. Dalam menyusun struktur sosial sekolah
memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik
struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim
sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam
merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah. Dengan demikian, semangat
multikulturalisme harus tercermin dalam segala aktifitas di sekolah. Hal ini
menuntut adanya perubahan baik dari sisi literasi multikultur pendidik dan tenaga
kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi, iklim sekolah dan lain-lain.

24
BAB IV

IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN di INDONESIA

Suyahman dalam jurnalnya yang berjudul “Implementation of Multicultural


Education In Indonesia Between Expectations and Reality” menjelaskan implementasi
pendidikan multikultural di Indonesia yang diadopsi dari pendapat David Westmeier
dan Hilda Hernandez, ada lima pendekatan yang dapat diimplementasikan yaitu:
Pendekatan pertama, menurut Sleeter dan Grant, adalah "mengajarkan perbedaan
budaya". Itu berarti dengan mengajarkan tentang budaya tertentu yang berbeda dari
budaya seseorang. Dalam hal ini, target pendidikan multikultural adalah minoritas di
mana mereka kecil jumlahnya dan hidup dalam masyarakat arus utama dengan
budaya yang berbeda. Ini bertujuan untuk memperkenalkan minoritas pada budaya
mainstream, sehingga mereka memiliki kompetensi (pengetahuan, nilai, dan
keterampilan lain). Di sini, tujuan dasar pendidikan multikultural menurut pendekatan
ini adalah bahwa kaum minoritas dapat hidup sesuai dengan budaya mayoritas.
Pendekatan kedua adalah "hubungan manusia". Target pendidikan multikultural
dalam pendekatan ini adalah mereka yang tinggal di lingkungan sosial di mana ada
banyak hubungan sosial antar budaya, atau dengan kata lain, di masyarakat di mana
ada banyak hubungan sosial antara orang-orang dari beragam etnis dan budaya.
Menurut pendekatan ini, pendidikan multikultural layak untuk dilakukan di daerah
perkotaan atau kota-kota besar di mana penduduk terdiri dari berbagai etnis dan yang
hidup sehari-hari dalam hubungan budaya yang beragam. Hubungan antara kelompok
etnis berpotensi untuk berbagai konflik budaya. Tujuan utama pendidikan
multikultural adalah untuk mencegah konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan
latar belakang etnis dan budaya. Namun demikian, Sleeter dan Grant tidak
menyebutkan konten atau bentuk pendidikan multikultural dengan pendekatan ini,
tetapi diduga terkait dengan studi budaya untuk mencapai saling pengakuan, saling
pengertian, dan saling menghormati.
Pendekatan ketiga adalah "studi etnis". Konkretnya, ada bidang studi atau subjek
yang disebut “studi etnis dan budaya Cina-Amerika”, “studi etnis dan budaya Afro
Amerika”, dan seterusnya. Targetnya adalah siapa saja yang tertarik tentang budaya
tertentu dan tujuannya adalah untuk memperkenalkan budaya tertentu tertentu.
Kerugian dari pendekatan ini adalah kecenderungan siswa untuk mempelajari budaya
mereka sendiri daripada budaya lain. Namun, pada dasarnya memberikan pengenalan

25
budaya yang berbeda bagi siapa saja yang tertarik untuk mencapai saling pengertian,
saling pengakuan, dan saling menghormati.
Pendekatan keempat adalah "pendekatan pendidikan multikultural". Targetnya
adalah semua siswa. Dengan pendekatan ini, semua siswa, tanpa kecuali, mempelajari
berbagai budaya ("multi budaya"). Dengan demikian, isi pendidikan multikultural
adalah multikultural, yang disebut "pendekatan pendidikan multikultural". Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk mempromosikan hak asasi manusia (semua orang
memiliki hak oleh alam sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi),
menghargai perbedaan (perbedaan etnis dan budaya tidak harus membuat sebagian
orang menganggap diri mereka lebih tinggi dan yang lain sebagai inferior ), dan
responsif dan bersedia terlibat untuk mengatasi masalah kesetaraan (kesetaraan
kemanusiaan terlepas dari ras, warna, dan budaya yang berbeda).
Pendekatan kelima adalah "Rekonstruksi multikultural dan sosial". Rekonstruksi
didefinisikan sebagai mengatur ulang, menyusun ulang, atau membangun kembali.
Westmeier di Tatang M. Amyrin, mengklaim pendekatan ini adalah yang paling
cocok dan tepat untuk menggambarkan apa sebenarnya pendidikan multikultural
berdasarkan beberapa alasan. Pertama, karena gelar pendidikan multikultural sosial
lebih tepat dan cocok sesuai dengan peruntukan pendidikan multikultural. Penetapan
pendidikan multikultural harus menunjukkan (ideal) "pendidikan multikultural" untuk
mencapai seluruh kurikulum (bidang studi). "Pendidikan multikultural" bukan lagi
hanya bagian dari "studi sosial". Dengan demikian, mata pelajaran bahasa, seni,
matematika, sains dan lain-lain harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan (di
sekolah atau lembaga pendidikan formal) yang memiliki konten multikultural. Kedua,
menurut Westmeier, istilah "pendidikan yang merekonstruksi tatanan sosial"
mencerminkan tujuan utama dari pendekatan kelima ini, yang pada kenyataannya,
termasuk tujuan dari pendekatan keempat, yang terkait dengan pengajaran dan
pembelajaran hak asasi manusia. , menghormati keragaman dan perbedaan, masalah
kesetaraan dan sebagainya. Dengan demikian, tujuan utamanya adalah untuk
membuat murid (siswa) memahami, tanggap terhadap tanggung jawab, dan kesediaan
untuk mengambil tindakan sehubungan dengan berbagai isu multikultural (keragaman
budaya) yang ada dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat di suatu negara.

26
Hambatan-Hambatan dalam Implementasi Pendidikan Multikultural

Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural dikancah pendidikan


lebih spesifik di lingkungan sekolah, tidak menutup kemungkinan terjadinya kendala
yang dapat terjadi dalam prosesnya. Arifudin(2007) dalam tulisannya menyebutkan
beberapa hal yang diharapkan dapat diperhatikan diawal antara lain yaitu:
1. Perbedaan pemaknaan terhadap pendidikan multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam
mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi
etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka
dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal
pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar8 mengatakan
bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis
yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu.
Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi,
menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar
mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
2. Munculnya Gejala Diskontinuitas

Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan


kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar
belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di
sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan
sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah
mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta
berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku
pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh
masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural
peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati
sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban
untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
Di samping itu, upaya tersebut perlu dilakukan pula terkait dengan penciptaan
konsistensi dalam menyediakan kondisi dan situasi bagi peserta didik yang kondusif

27
dan suportif demi terpeliharanya kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
3. Rendahnya komitmen berbagai pihak
Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga
menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini
kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang
hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung
pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk
melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki
terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter,
menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
Bila berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan menyadari akan hal ini, maka
sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah
dicapai sebab dalam pendidikan multikultural nilai-nilai masyarakat madani itu yang
ingin ditanamkan pada siswa sejak dini.
4. Kebijakan-kebijakan yang Suka akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan
pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep.
Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada
keseragaman dan sulit menghargai perbedaan.
Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh
pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan
tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan. Oleh
karena itu, untuk pelaksanaan pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai
penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, perbedaan, dan keragaman akan menjadi
kurang disukai dan kurang dianggap penting.
Peranan Bimbingan Konseling dalam Pendidikan Multikultural
Dalam upaya mensosialisasikan Pendidikan Multikultural di instansi-instansi
pendidikan, Bimbingan dan Konselinglah yang harus memberikan kontribusi lebih.
Karena Bimbingan sendiri adalah proses untuk membantu seseorang untuk
memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya serta mengembangkan
pandangan-pandangannya sendiri secara bertanggung jawab. Sedangkan Konseling
adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah

28
kehidupannya secara tatap muka. Oleh sebab itu bimbingan dan konseling harusnya
mampu menunjukan peran lebih dalam upaya mengembangkan pendidikan
Multikultural di instansi-instansi pendidikan.
Bimbingan dan konseling dalam memberikan arahan kepada siswa, harus pula
memahami teori-teori pendidikan multikultural agar dapat memahami pikiran
seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada
kedalama jiwanya, melainkan dari asal usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial
yang didasari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg). Dengan mengetahui kondisi
sosial dan sejarah hidup seseorang tentunya dapat lebih mempermudah peranan BK
untuk mensosialisasikan Pendidikan multikultural di kalangan peserta didik.
Bimbingan dan Konseling dapat saja melakukan evaluasi program terhadap
berjalannya proses pendidikan multikultural yang salah satu contohnya dengan
menggunakan teori belajar sosiokultur. Bukankah tugas bimbingan adalah membantu?
Membantu merupakan usaha memberikan pertolongan dalam menghadapi dan
mengatasi tantangan serta kesulitan yang timbul dalam kehidupan manusia. Melalui
proses bimbingan inilah diharapkan ada usaha lebih giat dari BK untuk menanamkan
sikap mau menerima perbedaan kepada seluruh peserta didik, dan sebagai
konselorpun BK diharapkan mampu menanamkan sikap menghargai dan mau
menerima budaya lain sebagai obyek yang dapat dipelajari dengan segala kelebihan
dan kekurangannya, tidak kemudian mengganggap budayanyalah yang paling baik.
Hal ini terkait dengan konselor harus berusaha lebih giat untuk menunjukan
peranan Bimbingan dan Konseling di instansi-instansi Pendidikan agar dapat
mewujudkan tujuan-tujuan Bimbingan dan Konseling sesuai dengan yang diharapkan.
Bimbingan dan Konseling mempunyai peranan penting untuk mengukuhkan adanya
pendidikan multikultural di Indonesia. BK dapat mengadakan bimbingan klasikal
dengan layanan orientasi maupun penguasaan konten dan bentuk sosialisasi lainnya
agar pendidikan multikultural dapat dikenal oleh peserta didik dan BK sendiri yang
selama ini keberadaannya kurang dirasakan peserta didik dapat mulai dirasakan
kehadirannya ditengah-tengah peserta didik.

29
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan multikultural


dapat merekonstruksi kembali ”kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari
beragam etnis, suku bangsa, budaya dan agama serta strata sosial, sebagai kenyataan
yang tak dapat ditolak dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikan
multikulturalisme diharapkan dapat mengubah “paradigma monokultural” yang penuh
dengan prasangka dan diskriminatif ke paradigma multikulturalisme yang menghargai
perbedaan, keragaman, toleransi dan sikap terbuka, membangun masyarakat yang
berperadaban, toleransi terhadap sesama manusia, mandiri dan mampu mengatur diri
sendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan untuk menuju dan tercipta
masyarakat baru Indonesia, dimana kelompok minoritas dapat menikmati pendidikan
yang mereka cita-citakan tanpa ada pembedaan sedikitpun dari kelompok mayoritas.

Multikulturalisme merupakan suatu bentuk pemahaman yang berpihak pada


wujud dari kehidupan yaitu plural (beragam) tanpa mengesampingkan atau
memberikan pengecualian terhadap budaya tertentu. Pendidikan multikultural adalah
wujud kesadaran mengenai pluralisme serta merupakan sebuah strategi yang dapat
dilakukan untuk menciptakan suasana saling menghargai didalam perbedaan. Dalam
menghadapi pluralisme budaya perlu dilakukan pembentukan paradigma baru yang
menjunjung tinggi nilai perbedaan. Pendidikan di Indonesia akan menjadi fleksibel
ketika dalam prosesnya mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural.
Bimbingan dan konseling memiliki peranan penting dalam menciptakan pendidikan
multikultural. Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di Indonesia
menggunakan beberapa pendekatan yang pertama yaitu mengajarkan perbedaan
budaya, hubungan manusia, studi etnis, pendekatan pendidikan multikultural,
rekonstruksi multikultural dan sosial.
B. Saran

Sebagai masyarakat dan tenaga pendidik yang berada dalam ruang lingkup
kemajemukan baik agama, suku, bahasa, dan latarbelakang budaya, akan lebih indah
jika mampu mengoptimalkan sebuah perbedaan sebagai kekuatan yang mampu

30
memajukan kepentingan bersama. Artinya adalah sebagai warga negara Indonesia
yang baik seyogyanya mampu menghargai sebuah perbedaan yang ada dilingkungan
dimanapun kita berada. Tidak dapat dipungkiri bawa dari sebuah perbedaan akan
timbul suatu permasalahan atau konflik, oleh sebab itu wajib hukumnya bagi tenaga
pendidik dan orang yang terdidik untuk mampu meminimalisir kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi sebagai bentuk dari akibat adanya perbedaan tersebut.

Dari situlah betapa pentingnya menanamkan pendidikan multikultural di


lingkungan sekolah terutama di Negara Indonesia yang menganut sistem kebhinekaan
dengan begitu diharapkan mampu menghasilkan peserta didik dan bibit-bibit manusia
yang berpotensi untuk menghargai akan adanya sebuah perbedaan. Artinya adalah,
pendidikan multikultural sebaiknya menjadi prioritas untuk segera diwujudkan di
setiap satuan pendidikan mengingat peranan pendidikan multikultural yang
diharapkan dapat memper-siapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan dalam
menangani konflik.

31
Daftar Pustaka

Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam


Praksis. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. (diakses pada
tanggal 14 september 2018)
Arifudin, Iis. 2007. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah.
Purwokerto: INSANIA Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. (diakses pada
tanggal 1 November 2018)
Banks, James A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston: MA
Banks, James A. & Cherry McGee Banks, (eds). (2001). Multicultural education
issues and perspectives. New York: John Wiley and Sons.
Hanum, Farida & Rahmadonna, Sisca. 2009. Implementasi Model Pembelajaran
Multikultural di Sekolah Dasar di Profinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikel
Multikultural: Stranas
H. A. R. Tialaar. 2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan
Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Grafindo
Ibrahim, Rustam. 2013. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: Pengertian, Prinsip, dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam. ADDIN, Vol. 7, No.1, Februari
2013
Irhandayaningsih, Ana. 2012. Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme
Indonesia. https://ejournal.undip.ac.id/index.pp/humanika/article/view/3988/2729
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur. Cetakan I. LKiS; Pelangi Aksara; Yogyakarta. Hal. 206
Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Masnurdiansyah. 2016. Saling Ejek, Pelajar SMK Di Karawang Terlibat Tawuran
Satu Orang Tewas. Detiknews. https://news.detik.com/berita/3314413/saling-
ejek-pelajar-smk-di-karawang-terlibat-tawuran-satu-orang-tewas
M. Agus Nuryanto. 2008. Madzhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi
Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book
Raharjo, Setyo. 2002. Mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di Sekolah.
Jurnal Ilmiah Guru “COPE” No. 2 Tahun IV, Desember
Sabri, Muhammad & Musyahidah, Sitti. 2015. Agama Mainstream, Nalar Negara,
dan Paham Lintas Iman: Menimbang Philosophia Perennis. Jurnal Diskursus
Islam Volume 3 Nomor 1
Samrin. 2014. Konsep Pendidikan Multikultural. Jurnal Al-Ta’dib Vol. 7 No. 2 Juli-
Desember
Soemantri, Hermana. 2011. Konflik dalam Perspektif Pendidikan Multikultural. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Ditjen Dikti
Suprapto. 2009. Penanaman Dan Sikap Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap
Nilai Nilai Multikultural Jurnal penelitain pendidikan agama dan keagamaan.
Vol VII, No 1
Suyahman. Implementation of Multicultural Education In Indonesia Between
Expectations and Reality. The 2nd International Conference on Science,
Technology, and Humanity
Zubaedi. Telaah Konsep Multikulturalisme Dan Implementasinya Dalam Dunia
Pendidikan. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

32
33

Anda mungkin juga menyukai