Anda di halaman 1dari 17

WAWASAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

Rohani
Alumnus Pesantren Al-Iman Purworejo (2000) dan PPs UNSIQ Wonosobo (2012);
Ketua Deputi Pendidikan dan Pelatihan KKG PAI Kabupaten Wonosobo (2011-
2014) dan Wakil Sekretaris PC Lakpesdam NU Wonosobo (2012-2015)

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang multi suku, etnik, agama dan budaya. Keragaman
tersebut semakin menunjukkan “pelangi” yang indah di atas langit bumi persada Indonesia.
Hanya saja, di tengah-tengah masyarakat, belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk
hidup secara berdampingan dengan yang lainnya dalam bentuk harmonisasi kehidupan di
rumah bersama: Indonesia. Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu pendidikan yang
wajib diajarkan dan diamalkan memiliki peranan yang sangat penting untuk melakukan
harmonisasi tersebut. Penumbuhan kesadaran multikulturalisme –yang merupakan suatu
keniscayaan bagi Indonesia– bagi warga Indonesia di tengah-tengah radikalisasi dan konflik
horisontal yang berkepanjangan harus mampu dilakukan oleh semua komponen bangsa.

Studi ini berusaha mengungkapkan tentang adanya wawasan multikulturalisme dalam


Pendidikan Agama Islam.
Kata Kunci: multikultural, keragaman, pendidikan agama Islam, konflik

A. Pendahuluan
Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang multi-suku, multi-etnik, multi-
agama dan multi-budaya. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, kemajemukan bukanlah
keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu, menurutnya, apabila diamati lebih jauh,
dalam kenyataannya tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, uniter
1
(unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Kemajemukan tersebut
merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama lain bersinergi
dan saling bekerja sama untuk bahu-membahu dalam membangun bangsa dan negara.
2
Namun disamping kemajemukan dan multikulturalitas mengisyaratkan adanya perbedaan,
keragaman tersebut juga amat potensial bagi munculnya konflik dalam berbagai dimensi
3
kehidupan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa apabila masing-

1 Selengkapnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet. IV, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. 159.
2 Secara sederhana, multikultural diartikan sebagai suatu fakta adanya perbedaan kultur. Sedangkan

multikulturalisme merupakan tanggapan atau respon yang normatif terhadap fakta tersebut. Ainun
Hakiemah, “Nilai-nilai dan Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Tesis, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2007), hal. 15..
3 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hal. 8.
Wawasan Pendidikan Multikultural

masing komponen mengedepankan ego dan kepentingan sendiri-sendiri, sebagaimana


dikatakan oleh Abdurrahman Wahid:

“Sebuah bangsa tidak akan berkembang apabila tingkat pluralitasnya kecil. Begitu pula
dengan sebuah bangsa yang besar jumlah perbedaan kebudayaannya, akan menjadi
kerdil apabila ditekan secara institusional. Bahkan, tindakan semacam itu akan
merusak nilai-nilai yang ada dalam budaya itu sendiri. Akibatnya, perpecahan dan
tindakan-tindakan yang mengarah kepada anarki menjadi sebuah sikap alternatif
4
masyarakat ketika pengakuan identitas dirinya terhambat”.

Merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa
Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya. Hal itu juga menjadi bukti betapa
5
rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Konflik dan
kekerasan sosial yang sering terjadi antar kelompok masyarakat merupakan bagian dari
kemajemukan dan multikulturalitas yang tidak dikelola dengan baik. Agama seringkali juga
dapat menjadi pemicu timbulnya “percikan-percikan api” yang dapat menyebabkan konflik
6
horizontal antarpemeluk agama. Hal ini dapat terjadi –sebagaimana dikatakan Gus Dur–
karena adanya campur tangan terlalu banyak terhadap kehidupan beragama. Agama terlalu
7
banyak diklaim untuk semua hal. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa
kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan dan ketimuran yang telah
8
dibangun menjadi terberangus.

Menurut Jandra, ada dua fakta yang perlu dikemukakan sehubungan dengan merebaknya
konflik dalam masyarakat yang terjadi selama ini. Pertama, dalam sejarahnya pertemuan
agama-agama dan perbenturan kadang-kadang tidak terelakkan, karena masalah agama
lebih sensitif dibanding dengan yang lainnya. Dalam hubungan antara Islam dengan agama
lain, ajaran Islam dengan tegas mengatakan bahwa “bagimu agamamu dan bagiku
agamaku” ( QS. al-Kâfirûn: 6) dan pengakuan Nasrani dalam keputusan Vatikan II “gereja
memandang umat Islam dengan penuh hormat”. Kedua, bila diamati dalam kurun waktu
tiga dekade di penghujung abad XX dan awal abad XXI, ada dua gejala sosial yang muncul
ke permukaan, yaitu fenomena sosiokultural yang menggejala pada masyarakat postmodern
(postmodernity), dan fenomena transmisi global seperangkat “kesadaran dan institusi”

4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), hal. 11.
5 Ngainum Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2008), hal. 51. Bandingkan: Zubaedi, “Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya
dalam Dunia Pendidikan”, Jurnal Hermeunia, Vol. 3, No. 1, (Yogyakarta: PPs IAIN Sunan Kalijaga, Januari-
Juni 2004), hal. 3.
6 Ki Supriyoko, “Pendidikan Masyarakat Multikultural”, Kompas, 26 Januari 2004.
7 Memang harus diyakini bahwa agama memberikan pengarahan kepada umat manusia tentang hampir

semua hal, akan tetapi harus diatasnamai untuk semua hal agar tidak kehilangan jati diri. KH. Abdurrahman
Wahid “Warga NU lebih Waspada” dalam Majalah Santri, Edisi 02/III/2007 M / Ramadhan – Syawwal 1417 H.
hal. 33
8 Sebagai contoh misalnya, beberapa konflik agama antara kaum Muslim dan Nasrani, seperti di

Maumere (1995), Surabaya, Situbondo dan Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Jakarta, Solo dan
Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002), dan Sampang Madura (2012) bukan saja telah banyak merenggut
korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik gereja
maupun masjid) terbakar dan hancur. Sudarto, Konflik Islam Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan
Antarumat Beragama di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 2-4

66 | ISSN 1829-765X
Rohani

modern (sosial, ekonomi, dan budaya) hingga menyentuh masyarakat yang belum modern
9
yang disebut juga “globalisasi”.

B. Latar Belakang Pendidikan Multikultural


Secara garis besar multikulturalisme dapat dipahami sebagai sebuah paham yang
menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan
hak-hak dan eksistensi budaya lain. Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas
dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-
10
an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement).
Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-
tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan yang
11
dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
12
Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank, berimplikasi pada dunia pendidikan,
dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan
yang sarat dengan diskriminasi. Sehingga pada awal tahun 1970-an bermunculan sejumlah
kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan
dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity). Begitu juga keberadaan
masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa (langguage),
kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender (sex), dan kelas
sosial (social class) dalam suatu masyarakat juga berimplikasi pada keragaman latar
belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan sehingga turut melatarbelakangi
berkembangnya pendidikan multikultural.

Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga
terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan
budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250
13
kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi .
Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia

9 M. Jandra, “Pluralisme Agama dan Multikulturalisme: Usaha Mencari Perekat Sosial”, dalam Zakiyuddin

Baidhawi & M. Toyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: PSB-PS UMS, 2005). Bandingkan dengan
Ruslan Ibrahim, “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam era Pluralitas Agama”, Jurnal
Pendidikan Islam el-Tarbawi, no. 1, vol. 1. 2008, hal. 118.
10 Lebih tepatnya, istilah multikulturalisme marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Kata ini

dipopulerkan dari kalimat di surat kabar Kanada, Montreal Times, yang menggambarkan masyarakat
Montreal sebagai masyarakat “multicultural and multilingual”. Ali Maksum, Ahmad Nur Fuad dan Biyanto
(Peny.), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikulturalisme, Cet.I, (Malang:
PuSAPOM, 2007), hal. 281.
11 Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” makalah pada Simposium

Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, hal. 2-3.
12 Abdullah Aly, “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”, makalah “Seminar Pendidikan

Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman”, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) UMS,
Sabtu, 8 Januari 2005, dimuat pada: http://psbps.org/index.php? option=com_content&task=
view&id=60&Itemid=71, diunduh 15 Mei 2011.
13 Leo Suryadinata, dkk, Indonesia‟s Population: Etnicity and Religion in a Changing Political Landscape.

(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hal. 30, 71, 104, dan 179. Keterangan lain
menyebutkan, selama rezim Orde Baru terdapat lima agama resmi (negara), lebih dari 12 ribu suku/etnis
dan lebih dari 500 bahasa yang dipakai oleh suku-suku tersebut. Lihat, Zuly Qodir, “Konflik-Kekerasan SARA
di Indonesia: Dimana Seharusnya Kebijakan Negara?”, makalah Seminar Nasional “Revitalisasi Agama untuk
Resolusi Konflik di Indonesia”, 14 Maret 2008, Hotel Saphir, Yogyakarta.

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 67


Wawasan Pendidikan Multikultural

terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis
kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).

Pendidikan multikultural menurut Prudence Crandall (1803-1890) adalah pendidikan yang


memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek
14
keragaman suku, etnis, ras, agama, aliran kepercayaan dan budaya (kultur). Dengan
demikian, salah satu yang hendak dituju dari pendidikan multikultural adalah terpenuhinya
kebebasan masing-masing peserta didik untuk mendapatkan haknya tanpa ada yang
menghalangi. Akan tetapi perlu diingat, bahwa melaksanakan hak tidak berarti sama
dengan berbuat bebas (liberal) sebebas-bebasnya karena di sana terdapat orang lain yang
15
juga berhak melakukan sesuatu.

Dalam pandangan Ricardo L. Garcia kemunculan pendidikan multikultural terpengaruh


dengan adanya teori sosial cultural pluralism: mosaic analogy yang dikembangkan oleh
Berkson. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk
16
mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak
meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas
sekalipun. Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada
semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan
agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.

Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu, atau penganut aliran kepercayaan, maka semua pemeluk agama
diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila
individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan
Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya,
bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri
dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan
kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.

Pentingnya pendidikan agama berbasis multikultural, menurut Donna M. Gollnick


dilatarbelakangi oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap budaya dapat berinteraksi dengan
budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberikan kontribusi; (2) keragaman
budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat dewasa ini; (3) keadilan sosial dan
kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara; (4)
distribusi kekuasaan dapat dibagi secara sama kepada semua kelompok etnik; (5) sistem
pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi
kelangsungan masyarakat demokratis, serta; (6) para guru dan praktisi pendidikan dapat

14 Damanhuri, “Paradigma Pendidikan Multikultural”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. IV, No. 1, Juni 2008,
hal. 2.
15 Abd. Rachman Assegaf, “Kunci Utama Memahami Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Islam”,
Pengantar Ahli dalam Haryanto al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), hal.18.
16 Ricardo L. Garcia, Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models, Strategies. (New York: Harper &

Row Publisher, 1982) hal. 37-42, sebagaimana dikutip Abdullah Aly, Loc. Cit

68 | ISSN 1829-765X
Rohani

mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang


17
mendukung pendidikan multikultural.

Dengan demikian, proyeksi dari pendidikan agama berbasis multikultural adalah membantu
siswa untuk saling mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan
agama yang berbeda. Proyeksi ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan sikap saling
menghargai perbedaan (agree in disagreement), dan dapat hidup saling berdampingan satu
18
dengan yang lain (to live together). Dengan kata yang lain, siswa diajak untuk menghargai
– bahkan menjunjung tinggi – pluralitas dan heterogenitas karena paradigma pendidikan
multikultural mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain
19
dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Tujuan dari
saling memahami ini tiada lain adalah untuk mengembangkan: i) transformasi diri; ii)
20
transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan; iii) transformasi masyarakat.

C. Pendidikan Agama di Tengah Multikulturalisme


Apabila dikaji secara mendalam, ditemukan kenyataan bahwa ajaran Islam sangat ramah
dan menghargai keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam; sunna-t-ullâh). Dalam hal
ini, konsep rahmatan li-l-„alamîn merupakan landasan kultural ajaran Islam. Untuk
menjalankan misi kemanusiaanya tersebut, Islam memiliki instrumen yaitu meletakkan
pendidikan pada barisan terdepan, karena pendidikanlah yang secara langsung berhadapan
21
dengan umat manusia. Pendidikan diberi tanggungjawab untuk menciptakan rasa
kemanusiaan, moral dan kepribadian yang mendukung terjadinya kedamaian di masyarakat
melalui penyebaran pengetahuan, wawasan, dan spirit bagi generasi penerus. Selain itu,
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, oleh karena itu, kebudayaan dan
peradaban yang maju (yang mana masyarakatnya sejahtera, damai, kreatif, produktif, dan
22
suka keindahan) pastilah didukung dengan pendidikan yang berhasil. Akan tetapi
memperbincangkan pendidikan (agama) Islam pada hari ini biasanya memunculkan
gambaran pilu dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan kondisi yang
23
serba tidak jelas. Begitu juga disinyalir bahwa sistem pendidikan nasional yang selama ini
berlaku menunjukkan fenomena yang tidak menguntungkan bagi pembentukan proses

17 Donna M. Gollnick, Multicultural Education in a Pluralistik Society. (London: The CV Mosby Company.

1983.), hal. 29, dikutip dari: http://www.educationworld.com/a_admin/admin/admin299.shtml, diunduh 19


Mei 2011
18 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis

Integratif-Interkonektif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 311.


19 Pendidikan ini pada prinsipnya mengajarkan kepada kita tentang pentingnya menjaga harmoni

hubungan antarmanusia, meskipun berbeda-beda secara kultural, etnik, religi, dan lain-lainnya. Nurani
Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern, (Jokjakarta: Ar-
Ruzz Media Group, 2010), hal. 141.
20 Syafiq A. Mughni, “Pendidikan Berbasis Multikulturalisme”, Pengantar dalam Choirul Mahfud,

Pendidikan Multikultural, Cet: IV (Yogyakarta: 2010), hal. xi.


21 Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 100.

22 Ibid, hal. 138.

23 Abd. Rachman Assegaf, “Kata Pengantar” dalam Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno;

Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009), hal. 15-
16.

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 69


Wawasan Pendidikan Multikultural

24 25
kultural. Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional mempunyai
tanggung jawab (moral obligation) dalam penyebaran nilai-nilai pluralisme,
multikulturalisme, inklusivisme dan toleransi.

Namun kenyataannya, dalam penilaian Kautsar Azhari Noer, pendidikan agama Islam yang
selama ini diajarkan di sekolah, pesantren, madrasah dan institusi Islam lainnya turut
memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Hal ini disebabkan karena: pertama,
penekanan pendidikan Islam lebih pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses
transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa
pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai
“pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai
moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan,
suka menolong, suka damai dan toleransi, dan; keempat, kurangnya perhatian untuk
26
mempelajari agama-agama lain.

Sementara Muhaimin mengidentifikasi bahwa kegagalan pendidikan agama Islam


setidaknya disebabkan karena, pertama, pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal
yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal formalistik ( halâl-harâm) dan
kehilangan ruh moralnya; kedua, kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada
penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga ranah emosional. Kadang-kadang
terbalik dengan hanya menyentuh ranah emosional tanpa memerhatikan ranah intelektual.
Akibatnya tidak dapat terwujud dalam perilaku siswa dikarenakan tidak tergarapnya ranah

24 M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural; Cross-Kultur Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan¸

(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 191. Hal ini ditandai dengan praktik-praktik pendidikan yang tidak sehat
sebagai berikut: pertama, pendidikan nasional bersifat monolitik-kultural, etnosentrisme dengan
menempatkan budaya induk sebagai acuan atau standar superioritas sehingga sangat merugikan bagi
pembentukan integrasi nasional. kedua, sistem pendidikan Barat dikembangkan di Indonesia, dengan acuan
sistem ekonomi internasional sehingga melahirkan ukuran norma-norma yang seragam dalam menilai
keberhasilan masyarakat (mobilitas vertikal). ketiga, ke-Indonesia-an tidak cukup dibangun dengan identitas
sub-nasional dengan basis ras, etnik, budaya, kelas sosial, agama ataupun pengelompokan lainnya. Karena
selama ini ke-Indonesiaan tidak berhasil memelihara sistem nilai dan pola perilaku yang berlaku umum dan
berlaku untuk menjaga keutuhan masyarakat. keempat, dunia persekolahan di Indonesia cenderung bersifat
elitis untuk mempertahankan status quo dalam struktur sosial yang mapan. Anak-anak Cina mengelompok
dalam model sekolah mereka sendiri, demikian pula anak-anak pribumi berkumpul di sekolah negeri, mereka
menggunakan simbol etnis, agama dan status sosial. Dengan demikian anak-anak itu sekarang semakin
individualistik, materialistik, sektarian, sering menghindari tanggung jawab yang besar, cenderung lebih
santai dan tidak pernah peduli dengan nasib orang lain. Baca: Ainurrafiq Dawam, “Emoh Sekolah”: Menolak
“Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural, (Jogjakarta:
INSPEAL Ahimsakarya Press, 2003), hal. 102.
25 Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik

untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam
mengajarkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya: kitab suci al-Qur‟ân dan Hadits melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Selain itu, ia merupakan tuntutan untuk
menghormati orang lain dalam hubungannya dengan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Lihat, Fahrurrozi, “Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Buku
Ajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas Daerah Istimewa Yogyakarta,” Jurnal Studi Agama
Millah, Vol. IV, No. 2 (Januari 2005), hal. 156.
26 Conny Semiawan, “Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM Melalui Pendidikan

Multikultural”, Dalam: http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=42


&Itemid=33, diunduh 9 Mei 2011.

70 | ISSN 1829-765X
Rohani

27
psikomotik, sehingga dalam praktiknya, pendidikan agama berubah menjadi pengajaran
28
agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islami. Kondisi ini menurut
Harun Nasution, disebabkan karena pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh trend Barat
yang lebih mengutamakan pengajaran daripada pendidikan moral (karakter). Padahal,
29
intisari pendidikan agama justru terletak pada pendidikan moral tersebut.

Selain itu, ada juga beberapa kelemahan lainnya, yaitu: 1) dalam bidang teologi (tauhîd),
ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2) bidang akhlak (al-akhlâq) hanya
berorientasi pada urusan sopan-santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi
manusia beragama; 3) bidang ibadah („ibadâh) diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan
kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian; 4) dalam bidang hukum (fiqh)
cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan
kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam; 5) agama Islam cenderung diajarkan
sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan
ilmu pengetahuan; 6) orientasi mempelajari al-Qur‟an masih cenderung pada kemampuan
membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna yang
terkandung.

Dalam konteks berbeda, M. Amin Abdullah melihat beberapa kelemahan pelaksanaan


pendidikan agama di sekolah, yaitu: 1) pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada
persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan
ibadah praktis („ibadâh mahdhah); 2) pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang
perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum; 3) isu
kenakalan remaja, perkelahian antarpelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color
crime, free sex, konsumsi miras, dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung, memiliki
kaitan dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-
tradisional; 4) metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era
modernitas; 5) pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual,
yang lebih menekankan hafalan (muhâfazah) teks-teks keagamaan yang sudah ada; 6)
dalam sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama
pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna”
30
spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.

27 Muhaimin, Arah Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga

Redefinisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003), hal. 71.


28 Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), hal. 239-240. Menurut penulis, selama ini pendidikan agama hanya terfokus pada aras kognisi
(intelektual-pengetahuan), sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika telah mampu menghafal,
mengusai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti nilai keadilan,
menghormati, toleransi, tasâmuh, dan silaturrahîm, dihayati (mencakup emosi) sungguh-sungguh dan
kemudian dipraktikkan (psikomotorik). Model pendidikan ini hanya akan menghasilkan hilangnya saling
kepercayaan (distrust) antar sesama penganut agama –bahkan seagama yang berlainan idiologi-, lenyapnya
rasa saling menghormati, saling toleran, dan solidaritas. Bahkan, pendidikan agama justru memupuk
semangat spasial antar umat beragama, memupuk mental gentho, maling, bajak laut, perampok, dan
preman agama. Baca: Rohani, “Menggugat Pendidikan Agama”, Magelang Ekspress, 11 Januari 2011, hal. 4.
29 Harun Nasuiton, Islam Rasional: Gagasan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 425.
30 M. Amin Abdullah, “Problem Metodologis-Epistemologis Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir

Mulkhan dkk., Religiositas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 65.

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 71


Wawasan Pendidikan Multikultural

Dalam kerangka ini, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan; pertama, mempelajari
Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar; kedua,
mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Dengan kata lain, belajar agama adalah
untuk membentuk perilaku beragama yang memiliki komitmen, loyal dan penuh dedikasi,
yang sekaligus mampu memosisikan diri sebagai pembelajar, peneliti dan pengamat yang
31
kritis untuk peningkatan dan pengembangan keilmuan.

Oleh karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang
memiliki kesadaran multikulturalisme, diperlukan rekonstruksi pendidikan agama, dalam
artian, kalau selama ini pendidikan agama masih menekankan sisi keselamatan yang dimiliki
dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri, maka pendidikan
agama perlu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial yang
tidak semata-mata individual dan memperkenalkan social contract. Dengan demikian, pada
diri peserta didik tertanam suatu keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang
berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman dan kredo. Namun,
demi menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak
mau harus rela menjalin kerja sama dalam bentuk sosial antarsesama kelompok warga
masyarakat. Dengan reorientasi ini, diharapkan akan terjadi perubahan proses dan
mekanisme pembelajaran menuju ke arah terciptanya pemahaman dan kesadaran
multikultural kepada anak didik. Dalam hubungannya dengan hal ini, penting untuk
digarisbawahi bagaimana fungsi institusi pendidikan Islam mendudukkan dirinya di tengah
pluralitas nilai dan norma kerohanian masyarakat, yaitu kesadaran anak didik untuk
bersikap saling menghargai identitas agama-agama dan kepercayaan apapun yang ada.

Kekhawatiran dan kemasygulan beberapa kalangan bahwa pendidikan multikultural akan


mendegradasi keimanan dan tidak sesuai dengan tuntutan fundamental dalam Islam adalah
kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Karena dalam konteks pendidikan multikulturalisme
ini, peserta didik tidak diajarkan untuk menihilkan semua nilai dan bahkan merelatifisasinya,
melainkan tetap untuk mengetahui bahwa Islam adalah agama yang paling benar sembari
tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran lain di luar Islam. Pendidikan multikultural
berusaha menanamkan pada anak didik pentingnya beragama secara kualitas, bukan
kuantitas. Mereka diajarkan bagaimana mengedepankan substansi daripada simbol-simbol
agama. Pesan-pesan universal agama seperti keadilan, kejujuran dan toleransi, semuanya
merupakan nilai-nilai yang perlu untuk dikembangkan dalam masyarakat plural. Setidaknya
peran aktif yang dapat dikerjakan oleh praktisi pendidikan adalah mengembangkan disain
kurikulum dan metode pendidikan agama yang mampu menumbuhkan sikap saling
menghargai antarpemeluk agama dan kepercayaan. Di sinilah pentingnya pendidikan agama
lintas kepercayaan (inter-religious education) sebagai pengembangan dari pendidikan
agama berbasis multikultural.

31 Komaruddin Hidayat, “Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam (Kata Pengantar)”, dalam

Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana tentang Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. xii-xiii.

72 | ISSN 1829-765X
Rohani

D. Kurikulum Pendidikan Agama (Islam) Multikultural


Kurikulum dapat dimaknai sebagai a plan of learning, yaitu sebuah perencanaan
pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Ronald C. Doll mengatakan
“kurikulum merupakan pengalaman yang ditawarkan kepada anak didik di bawah bimbingan
32
dan arahan sekolah”. Dengan demikian, kurikulum merupakan salah satu aspek penting
dalam pendidikan multikultural. Sebagaima penulis uraikan di atas, bahwa pendidikan
multikultural dipahami sebagai suatu pengetahuan yang menanamkan kesadaran diri
seseorang akan arti perbedaan antarsesama manusia dan berbagai budaya dan nilai-nilai
yang terdapat di dalamnya atau dalam ungkapan lain dipahami sebagai proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).

James A. Banks merumuskan bahwa pendidikan multikural memiliki berbagai dimensi


pokok, yaitu: pertama, content integration, yaitu upaya mengintegrasikan berbagai budaya
dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu; kedua, the knowledge constuction process, yaitu suatu metode/cara
bagaimana membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
(disiplin); ketiga, an equity paedagogy, yaitu usaha untuk menyesuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa
yang beragam, baik dari segi ras, budaya maupun sosial; keempat, prejudice reduction,
yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka,
melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan
seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis, ras dalam upaya menciptakan budaya
33
akademik.

Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yaitu: (i) tujuan attitudinal (sikap), yaitu
membudayakan sikap sadar, sensitif, toleran, respek terhadap identitas budaya, responsif
terhadap berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat; (ii) tujuan kognitif, yaitu
terkait dengan pencapaian akademik, pembelajaran berbagai bahasa, memperluas
pengetahuan terhadap kebudayaan yang spesifik, mampu menganalisa dan
menginterpretasi tingkah laku budaya dan menyadari adanya perspektif budaya tertentu,
dan; (iii) tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi mengenai berbagai
kelompok etnis secara benar di berbagai buku teks maupun dalam pengajaran, membuat

32 Ronald C. Dolls, Curriculum Improvement: Decision Making and Process, (Boston: Alyun&Bacon, In,

1974), hal. 22, sebagaimana dikutip Ngainun Hakim dan Achmad Sauqi, Ibid, hal. 189.
33 James A. Banks, “Teaching for Multicultural Literacy, Global Citizenship and Social Justice”, Dalam

http://www.lib.umd.edu/PAL/SCPA/fowlercol-loq2003bankspaper.html, diunduh 9 Mei 2011, bandingkan:


Nurani Soyomukti, Op. Cit, hal. 143. Lebih lanjut James A. Banks mengatakan pendidikan multikultural
meliputi tiga hal, yaitu: (i). Sebagai suatu ide, pendidikan multikultural di arahkan pada keharusan
memberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama bagi setiap siswa tanpa memandang dari
kelompok mana mereka berasal. (ii). Sebagai suatu gerakan reformasi pendidikan, pendidikan multikultural
mencoba untuk merubah kurikulum dan miliu sekolah maupun institusi pendidikan sehingga tercipta
pendidikan yang tidak diskriminatif, yang toleran, dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. (iii). sebagai suatu
proses, pendidikan multikultural mempunyai tujuan terciptanya keadilan dan kebebasan bagi setiap siswa,
toleransi, dan kesamaan dalam dunia pendidikan, sehingga hal tersebut harus ditingkatkan (proses) secara
terus menerus. James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks (Ed.), Multikultural Education: Issues and
Perspective, (Amerika: Allyn and Bacon, 1997), hal. 17, dikutip dari http://re-searchengines.com/muhaemin6-
04.html, diunduh 9 Mei 2011.
Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 73
Wawasan Pendidikan Multikultural

strategi tertentu dalam menghadapi masyarakat yang plural, menyiapkan alat yang
konseptual untuk komunikasi antarbudaya dan untuk pengembangan ketrampilan,
mempersiapkan teknik evaluasi dan membuka diri untuk mengklarifikasi dan penerangan
34
mengenai nilai-nilai dan dinamika budaya.
35
Secara konseptual, menurut Gorsky, pendidikan multikultural mempunyai tujuan sebagai
berikut: (a) setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi mereka;
(b) siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis; (c) mendorong siswa untuk
mengambil peran aktif dalam pendidikan, dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman
mereka dalam konteks belajar; (d) mengakomodasi semua gaya belajar siswa; (e)
mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda; (f) mengembangkan sikap
positif terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai latar belakang berbeda; (g) untuk
menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun di masyarakat; (h) belajar bagaimana
menilai pengetahuan dari perspektif yang berbeda; (i) untuk mengembangkan identitas
etnis, nasional dan global, dan; (j) mengembangkan keterampilan-keterampilan mengambil
keputusan dan analisis secara kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan yang lebih baik
dalam kehidupan sehari-hari.
36
Dalam pandangan Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, ciri-ciri dari pendidikan
multikultural adalah: (a) tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan
“masyarakat berperadaban” (berbudaya); (b) materinya mengajarkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural); (c) metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keragaman budaya bangsa dan
kelompok etnis (multikulturalis), dan; (d) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap
tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya.

Kurikulum dan materi pendidikan multikultural bagaimana pun tidak dapat terlepas dari
dimensi perkembangan pendidikan multikultural. Kurikulum pendidikan multikultural disini
bukan berarti terdapat mata pelajaran khusus untuk pengembangan pendidikan
multikultural, namun pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai berbagai mata
pelajaran, tak terkecuali pendidikan agama Islam. Adapun komponen yang termasuk dalam
kurikulum pendidikan multikultural antara lain tentang studi etnis, minoritas, gender,
kesadaran kultur, hubungan antarsesama manusia, dan pengklarifikasian nilai-nilai dalam
suatu kebudayaan. Hal-hal tersebut termasuk pula mengenai konsep rasisme, perbedaan
jenis kelamin, keadilan, diskriminasi, opresi, perbedaan dan semacamnya.

Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yaitu: pertama, pemilihan materi


pelajaran harus terbuka secara budaya didasarkan pada siswa sehingga dapat menyatukan
opini-opini yang berlawanan dan interpretasi-interpretasi yang berbeda; kedua, isi materi

34 Abdullah Aly, “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”, dalam: http://maulanusantara.


wordpress. com/2008/04/30/pendidikan-multikultural-dalam-tinjauan-pedagogik/, diakses 9 Mei 2011.
35 Hamid Hasan, “Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Januari-November 2000, hal. 102.


36 Ali Maksum dan Luluk Y Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hal.

191-192.

74 | ISSN 1829-765X
Rohani

pelajaran yang dipilih harus mengandung perbedaan dan persamaan dalam lintas
kelompok; ketiga, materi pelajaran yang dipilih harus sesuai dengan konteks waktu dan
tempat; keempat, pengajaran semua pelajaran harus menggambarkan dan dibangun
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dibawa siswa ke kelas, dan; kelima,
pendidikan hendaknya memuat model belajar mengajar yang interaktif agar supaya mudah
dipahami.

Pendidikan Agama Islam (PAI) hendaknya terintegrasi dengan spirit pendidikan multikultural
ini. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum PAI haruslah didasarkan pada prinsip-
prinsip berikut: 1) keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori,
model, dan hubungan sekolah dengan lingkungan sosial-budaya setempat; 2) keragaman
budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti
tujuan, konten, proses dan evaluasi; 3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah
sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan anak didik, dan;
4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan
kebudayaan nasional.

Kurikulum PAI perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran dengan
menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan
agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok. Dengan demikian,
sikap-sikap pluralisme diharapkan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda.
Oleh karenanya, dalam upaya pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam perlu
diperhatikan dimensi-dimensi berikut ini:

Pertama, pembelajaran fiqih dan tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan
pendekatan muqāran (perbandingan). Ini menjadi sangat penting, karena siswa tidak hanya
dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna
ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan
sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa
bisa berbeda; kedua, untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan
pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan dialog antar agama;
ketiga, untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan
Islam menyelenggarakan program road show lintas agama dengan tujuan untuk
menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain;

Keempat, untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu


menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC), hal ini bisa dilakukan
dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari,
termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Dalam program ini, siswa
harus melebur serta melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dalam keluarga
tersebut. Tujuannya adalah, agar siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk
menghargai dan menghormati orang lain, dan; Kelima, pada bulan Ramadan dapat
dilakukan program sahur on the road, yaitu kegiatan sahur bersama antara siswa dengan
anak-anak jalanan, misalnya. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-
orang di sekitarnya yang kurang mampu.

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 75


Wawasan Pendidikan Multikultural

Disamping itu, PAI melalui pelajaran akidahnya, perlu menekankan pentingnya


persaudaraan umat beragama. Pelajaran akidah, bukan sekedar menuntut pada setiap
peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan dengannya, seperti iman
kepada Allah Swt., Nabi Muhamad Saw., dan lain-lain. Tetapi sekaligus juga menekankan
arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat
berbuntut dengan amal perbuatan baik (akhlâq-ul-karîmah) peserta didik. Hal ini perlu
untuk dilakukan, karena pendidikan agama merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai akidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara
peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru
pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk
menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus
dapat mengenal tradisi agama orang lain. Dalam bidang syarî‟ah (fiqh), pendidikan Islam
perlu memberikan pelajaran fiqih muqāran untuk memberikan penjelasan adanya
perbedaan pendapat dalam Islam dengan argumen (dalîl) masing-masing serta kewajiban
untuk menghormati perbedaan tersebut.

Pendidikan Islam harus memandang iman yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama adalah
bersifat dialogis, artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara
sesama manusia. Melalui suasana pendidikan seperti itu, akan terbangun suasana pergaulan
dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti, tidak dikenal
superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang memiliki
peluang untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan
masing-masing.

Tujuan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki
iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat
pendidikan akidah yang inklusif. Dalam pembelajarannya, tentu saja memberikan
perbandingan dengan akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama).
Pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap objektif sekaligus
subjektif. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair itu
tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif
berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap
peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu agama itu
dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.

E. Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Agama Islam


berwawasan Multikultural
37
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu: pertama, tidak
lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan
(schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal; kedua,
menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan

37Dikutip dari Muhaemin el-Ma'hady, “Multikulturalisme dan pendidikan multikultural (Sebuah Kajian
Awal)”, dalam: http://www.Pendidikan_Network.com, diunduh 9 Juni 2011.

76 | ISSN 1829-765X
Rohani

kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini; ketiga, karena


pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan
interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat
lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara
etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis; keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi, dan; kelima,
kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep
dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi.

Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal


manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi
untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Sebagai sebuah wacana baru, pendidikan agama Islam berwawasan multikultural tentunya
memiliki faktor pendukung dan penghambatnya. Diantara faktor pendukung
dikembangkannya pendidikan agama Islam berwawasan multikultural adalah sebagai
berikut: (1) adanya landasan kultural dan teologis dari al-Qur‟ân maupun al-Hadits terhadap
nilai-nilai multikultural, yaitu: nilai kejujuran dan tanggungjawab (al-amânah), keadilan (al-
„adâlah), persamaan (al-musâwah), permusyawaratan dan demokrasi (al-syurâ atau al-
musyâwarah), nilai solidaritas dan kebersamaan (al-ukhuwwâh), kasih sayang (al-tarâhîm
atau al-talathuf), memaafkan (al-‟afw), perdamaian (al-shulh atau al-silm), toleransi (al-
tasamûh) dan kontrol sosial (amr al-ma‟rûf wa al- nahy „an al-munkar); (2) nilai-nilai
multikultural tersebut telah lama dikenal dan diajarkan di lembaga pendidikan Islam,
terutama penjelasannya dalam teks-teks klasik (al-kutub al-mu‟tabarâh) yang lazim
digunakan dan dipelajari di pondok pesantren; (3) rakyat Indonesia telah memiliki sejarah
yang panjang mengenai pluralisme dan multikulturalisme, melalui semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan multikultur dapat
dibuktikan dari sejarah, konstitusi dan realita kehidupan sehari hari bangsa ini; (4)
terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai wacana untuk
memecahkan kebekuan komunikasi dan kerjasama antar umat beragama di beberapa
daerah menjadi angin segar terhadap pemahaman agama yang inklusif, toleran dan sejalan
dengan semangat pendidikan multikultural, dan; (5) adanya rekomendasi UNESCO pada

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 77


Wawasan Pendidikan Multikultural

bulan Oktober 1994 di Jenewa yang sangat mendukung dalam pelaksanaan PAI
38
berwawasan multikultural.

Sementara yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan Agama Islam berbasis
multikultural adalah: (1) masih terbangunnya mindset (kerangka berpikir) yang keliru dalam
memahami paham/aliran-aliran kontemporer terkait dengan ajaran agama. Munculnya
fatwa MUI (Majelis Ulama‟ Indonesia) tentang larangan / haramnya paham pluralisme
sedikit banyak menghambat upaya pencapaian pendidikan multikultural tersebut; (2) masih
merebaknya konflik, baik antarumat agama maupun interumat agama itu sendiri serta
fundamantalisme pemikiran yang masih bertahan pada pemikiran lama yang ekslusif dan
berpandangan bahwa kelompok (agama) lain adalah sesat sehingga harus disatukan; (3)
lebih menonjolnya semangat ke-ika-an dari pada ke-bhineka-an dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta kurangnya pengakuan terhadap keberadaan dan hak agama,
suku dan golongan lain; (4) belum tertanamnya kesadaran bahwa menganggap agama,
kelompok/suku yang satu “lebih baik” dari yang lain adalah pandangan sempit yang
offensive, dan karenanya harus ditinggalkan; (5) pengajaran PAI berwawasan multikultural
belum terkonsep dengan jelas terkait dengan kurikulum dan metodenya; (6) guru-guru
agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat
yang paling bawah hingga yang paling tinggi nyaris kurang tersentuh oleh gelombang
pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme,
multikulturalisme dan dialog antarumat beragama, dan; (7) kurangnya pemahaman
terhadap multikulturalisme dan pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God;
sunnatullâh) yang harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi
multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan memahami dan menerapkan pendidikan agama (Islam) yang berwawasan


multikultural tersebut, diharapkan umat beragama di Indonesia akan terhindar dari
gesekan-gesekan kultural yang berakibat pada terpecahbelahnya sesama anak bangsa.
Persoalannya adalah terletak pada semua pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia
untuk mau dan mampu melaksanakan dan mengembangkan gagasan tersebut atau tidak.
Bila hidup berdampingan itu indah, mengapa harus bermusuhan?. Wa Allâhu a‟lâm bi al-
shawâb.

38 Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan: pertama, pendidikan hendaknya


mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai- nilai yang ada dalam kebhinnekaan
pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
berbagi dan bekerja sama dengan yang lain; kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan
mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian- penyelesaian yang memperkokoh perdamaian,
persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat; ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan
kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya
juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian
mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan
memelihara; keempat, pendidikan multikultural hendaknya memuat konsep yang dibuat dengan tujuan untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan
kelompok budaya. Selengkapnya, M Syafi’i Anwar “ Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran” dalam
www.tokohindonesia.com, diunduh 12 Juli 2011.

78 | ISSN 1829-765X
Rohani

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rachman Assegaf, “Kata Pengantar” dalam Syamsul Kurniawan, Pendidikan di


Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno , (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media Group, 2009).

__________, “Kunci Utama Memahami Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Islam”,
Pengantar Ahli dalam Haryanto al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).

__________, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis


Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011).
Abdullah Aly, “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”, dalam
http://psbps.org/index.php?option=com.content&task=
view&id=60&Itemid=71, diunduh 15 Mei 2011.
Abdurrahman Wahid “Warga NU lebih Waspada”, dalam Majalah Santri, Edisi
02/III/2007 M / Ramadhan – Syawwal 1417 H.

__________, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2001).

Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001).

Agus Moh. Najib, Ahmad Baidowi, Zainudin, “Multikulturalisme dalam Pendidikan


Islam, (Studi terhadap UIN Yogyakarta, IAIN Banjarmasin, dan STAIN Surakarta)”, Jurnal
Penelitian, Pusat Penelitian IAIN Banjarmasin, vol. X. no. 10 Januari-Juni 2005.
Ainun Hakiemah, “Nilai-nilai dan Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan
Islam”, Tesis, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007).

Ainurrafiq Dawam, “Emoh Sekolah”: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan


“Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: INSPEAL
Ahimsakarya Press, 2003).

Ali Maksum dan Luluk Y Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal, (Yogyakarta:


IRCiSoD, 2004).

__________, dkk (Peny.), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil


Society dan Multikulturalisme, cet.I, (Malang: PuSAPOM, 2007).
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Conny Semiawan, “Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM Melalui


Pendidikan Multikultural”,
dalam:http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=comcontent&task=v
iew&id=42&Itemid=33, diunduh 9 Mei 2011.

Damanhuri, “Paradigma Pendidikan Multikultural”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. IV, No.
1, Juni 2008.

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 79


Wawasan Pendidikan Multikultural

Donna M. Gollnick, “Multicultural Education in a Pluralistik Society”, dalam:


http://www.education world.com/aadmin/admin/admin299. shtml, diunduh 19 Mei
2011.

Fahrurrozi, “Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Menengah Atas Daerah Istimewa Yogyakarta,” dalam Jurnal Studi Agama Millah,
Vol. IV, No. 2 (Januari 2005).

H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam


Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004).
Hamid Hasan, “Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”,
dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Januari-November 2000.

Harun Nasuiton, Islam Rasional: Gagasan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995).

James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks (Ed.), Multikultural Education: Issues
and Perspective, (Amerika: Allyn and Bacon, 1997), hal. 17, dikutip dari: http://re-
searchengines.com/muhaemin6-04.html, diunduh 9 Mei 2011.

__________, “Teaching for Multicultural Literacy, Global Citizenship and Social


Justice”, Dalam http://www.lib.umd.edu/PAL/
SCPA/fowlercolloq2003bankspaper.html, diunduh 9 Mei 2011.
Komaruddin Hidayat, “Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam (Kata
Pengantar)”, dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan
Tinggi: Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos, 1999).
Leo Suryadinata, dkk, Indonesia‟s Population: Etnicity and Religion in a Changing
Political Landscape, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003).
M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural; Cross-Kultur Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan¸ (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
M. Jandra, “Pluralisme Agama dan Multikulturalisme: Usaha Mencari Perekat Sosial”,
dalam Zakiyuddin Baidhawi & M. Toyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural, (Surakarta: PSB-
PS UMS, 2005).

M . Syafi’i Anwar “ Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran” dalam


www.tokohindonesia.com, diunduh 12 Juli 2011.
Maftuh, “Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme (Tinjauan
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam)”, Makalah PPs IAIN Sunan Kalijaga,
2006.

Muhaemin el-Ma'hady, “Multikulturalisme dan pendidikan multikultural (Sebuah


Kajian Awal)”, dalam: http://www.Pendidikan_Network.com, diunduh 9 Mei 2011.

Muhaimin, Arah Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan


Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003).

80 | ISSN 1829-765X
Rohani

Munir Mulkhan dkk., Religiositas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Ngainum Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).

Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,


Postmodern, (Yokyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010).
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000).

Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” makalah pada


Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

Rohani, “Menggugat Pendidikan Agama”, Opini Magelang Ekspress, 11 Januari 2011.

Ruslan Ibrahim, “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam era


Pluralitas Agama”, Jurnal Pendidikan Islam el-Tarbawi, no. 1, vol. 1. 2008.

Sudarto, Konflik Islam Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat


Beragama di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999).
Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Syafiq A. Mughni, “Pendidikan Berbasis Multikulturalisme”, Pengantar dalam Choirul


Mahfud, Pendidikan Multikultural, Cet: IV (Yogyakarta: 2010).

Zubaedi, “Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam Dunia


Pendidikan”, Jurnal Hermeunia, Vol. 3, No. 1, (Yogyakarta: PPs IAIN Sunan Kalijaga,
Januari-Juni 2004).

Zuly Qodir, “Konflik-Kekerasan SARA di Indonesia: Dimana Seharusnya Kebijakan


Negara?”, Makalah Seminar Nasional “Revitalisasi Agama untuk Resolusi Konflik di
Indonesia”, 14 Maret 2008

Jurnal Al-Qalam Vol.XI | 81

Anda mungkin juga menyukai