Anda di halaman 1dari 8

Menggagas Tonggak

Pendidikan
Multikultur
John Naisbitt dalam judul bukunya Global Paradox
(1994) berpandangan dalam era globalisasi telah
terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya
dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota
buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi
transformasi dan informatika,masyarakat modern
semakin merindukan nilai-nilai dan gaya
promordial,terutama pada romantisme etnis.Bahkan
Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras
sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.Ramalam
ini perlu kita wapadai dalam konteks sebagai bangsa
yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnik,
agama, ras, budaya dan bahasa yang menyimpan
bahaya laten konflik harizontal.Kerap kali bentrokan
dengan nada egoisme kelompok menyimpan api dalam
sekam dalam perjalanan kita sebagai bangsa.

Sebut saja fenomena masyarakat kita yang


semakin rapuh terhadap nilai-nilai penghormatan
terhadap keberagaman.Bahkan logika yang dibangun
lebih ke arah tirani mayoritas terhadap
minoritas.Padahal seperti yang kita baca dalam kitab
sejarah,proses membangsa menjadi Indonesia yang
merdeka dan berdaulat merupakan hasil jerih payah
dan sumbangsih setiap warna beragam yang menjadi
satu. Warna merah, putih, hitam, hijau, biru kuning,
ungu menjelma dalam bingkai rumah Indonesia dalam
semboyan bhineka tunggal ika.Semua warna berpadu
secara harmonis,tidak ada warna yang mencoba
mendominasi atau menegaskan klaim kultural,sejarah
maupun politik atas warna lainnya.Dari awal,Indonesia
tidak dimaksudkan lahir hanya untuk satu
golongan,melainkan bagi setiap kepala tanpa
membedakan asal usulnya.Dengan arti lain,menjadi
Indonesia berarti hidup berdampingan tanpa saling
meniadakan yang lain.

Logika persatuan dalam keberagaman seperti


itulah yang akhir-akhir ini mendapat terpaan dan
ancaman yang harus diantisipasi. Di satu sisi
multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis,
tetapi secara bersamaan keberagaman ini juga
merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu
manifest saat semangat primordialisme tidak mampu
dikelola dan dikendalikan secara bijaksana. Maraknya
konflik yang berbau SARA sekaligus menelanjangi dan
membuat kita menggantungkan tanya,kemana arah
perjalanan kita sebagai bangsa yang majemuk ?.

Pemaknaan atas realitas masih lemahnya


pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis
antar sesama,membuat pendidikan sebagai alat untuk
penamanan nilai-nilai yang diharapkan dapat
membentuk perilaku yang diharapkan mencuat sebagai
jalan keluar. Wacana pendidikan multikultur yang
diharapkan dapat menjembatani hal ini memang layak
kita kaji secara kritis dengan coba mengkomparasikan
dengan pengalaman negara-negara lain seperti
Amerika,Canada dan Australia.Negara-negara tersebut
merupakan contoh negara yang berhasil
mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka
dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan
atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka
sebelumnya, atau kultur nenek moyang di tanah
asalnya.

Ditilik dari sejarahnya,wacana multikultur


diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal
Normandia yang menekankan penyatuan budaya dan
melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran
Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni
budaya walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu
lebih diwarnai oleh kultur White Angso Saxon
Protentant (WASP) sebagai kulur imigran kulit putih
berasal Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika kian


ragam dan budaya mereka kian majemuk, maka teori
melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru
yang populer dengan nama salad bowl sebagaiu
sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen
(Budianta,2003:9).Berbeda dengan melting pot yang
melelehkan budaya asal dalam membangun budaya
baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad
bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya
asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP
diakomodasi dengan baik dan masing-masing
memberikan kontribusi untuk membangun budaya
Amerika, sebagai sebuah budaya nasional.

Namun pada dekade 1960-an masih ada sebagian


masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum
terpenuhi. Kelompok Amerika hitam, atau imigran
Amerika latin atau etnik minoritas lainnya merasa
belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah,
kemudian mereka mengembangkan multiculturalism,
yang menekankan penghargaan dan penghormatan
terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik,
agama, ras atau warna kulit. Muliklturalisme pada
hakikatnya adalah sebuah konsep akhir untuk
membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari
berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan
bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak
sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas.
(Budianta,2003:9).

Tentunya penerapan pendidikan multikultur


memerlukan model sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya.Namun,untuk referensi kita bisa ambil
pemikiran Calarry Sada dengan mengutip tulisan
Sleeter dan Grant (Sada,2004: 85),menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural memiliki empat makna
(model), yakni, (1) pengajaran tentang keragaman
budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural, (2)
pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata
hubungan sosial, (3) pengajaran untuk memajukan
pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam
masyarakat, dan (4) pengajaran tentang refleksi
keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan
kesamaan.Tujuannya adalah agar setiap orang
memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan
yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas,
dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan,
identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia
international.

Pendidikan multikultur ini dalam tataran


implementasi memang butuh proses yang
melembagakan perilaku dalam diri seseorang. Will
Kymlicka (Kymlicka,2000: ix), yang mencoba
mendeskripsikan Multicultural Citizenship,maka materi-
materi yang seharusnya dihantarkan dalam pendidikan
multikulural adalah tentang hak-hak individual dan hak-
hak kolektif dari setiap anggota masyarakat,kebebasan
individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu
termasuk dari etnik minoritas memiliki kebebasan
untuk berkreasi, berkarya, bahkan untuk
mengembangkan dan memajukan budayanya, tentang
keadilan dan hak-hak minoritas, jaminan minoritas
untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya
dalam struktur pemerintahan atau legislatif, toleransi
dan batas-batasnya.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas


secara mendetail tentang konsep pendidikan
multikultur.Melainkan sebagai stimulus atau
rangsangan untuk institusi pendidikan menerapkan
dalam kurikulum pembelajaran.Apakah nanti formatnya
dalam mata pelajaran khusus,atau diperdalam dalam
mata pelajaran kewarganegaraan.Pemahaman
berbangsa dalam bingkai keragaman harus kita
pandang sebagai sebuah prioritas di tengah arus
ancaman semakin kuatnya egoisme
kelompok.Indonesia tidak ingin bernasib seperti negara
Uni Soviet yang terpecah-pecah menjadi negara-negara
kecil.Indonesia ingin mejadi miniatur dunia sebagai
negara pelopor multikulturalisme.Semboyan “berbeda-
beda tetapi tetap satu jua” akan terus membahana
dalam jiwa.Seperti itulah Indonesia yang kita impikan.

Adi Surya

Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia


(GMNI) Kabupaten Sumedang

Pemerhati Sosial-Budaya Unpad.

Anda mungkin juga menyukai