Anda di halaman 1dari 10

Memperkuat Otot Demokrasi

Apalah arti suatu “Sistem Demokrasi” tanpa jiwa demokrat

(Churchill dan Anthony de Jasay)

Demokrasi sesungguhnya adalah kedaulatan rakyat. Dalam


sebuah negara demokrasi, kekuasaan itu berasal dari, oleh dan
untuk rakyat. Artinya, rakyat itu sendirilah yang menentukan arah
penyelengaraan negara. Prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, sehingga setiap kebijakan yang
diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan
keadilan masyarakat. Pertanyaan apakah lantas kemudian
demokrasi menggaransi kesejahteraan rakyat ?. Belum tentu.
Banyak faktor yang mempengaruhi terwujudnya demokrasi yang
menyejahterakan itu, seperti penegakan hukum, budaya dan
norma-norma yang ada. Namun, demokrasi dibandingkan sistem
pemerintahan lainya adalah satu-satunya yang menyediakan
akses partisipasi rakyat untuk menentukan cita-cita kolektif yang
benihnya dibuat, ditanam dan dipanen oleh rakyat itu sendiri.
Salah satu teori dominan tentang demokrasi yang jamak
diterima dalam wacana demokrasi adalah teori yang
dikemukakan oleh Robert A. Dahl. Menurut Dahl, karakteristik inti
dari demokrasi memuat tiga hal. Pertama, adanya persaingan
yang sehat untuk meraih posisi-posisi dalam pemerintahan;
kedua, partisipasi warga negara dalam memilih para pemimpin
politik dan; ketiga, terselenggaranya kebebasan sipil dan politik,
termasuk terjaminnya hak-hak asasi manusia (Martinussen, 1997:
195). Karakteristik yang dikemukakan Dahl tersebut, akan kita
gunakan untuk melihat bagaimana perjalanan demokrasi di
Indonesia.
Perjalanan demokrasi di Indonesia terus dan sedang mencari
bentuk terbaiknya. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kita
memilih demokrasi memberikan perbaikan-perbaikan yang
positif. Selama pemerintahan orde baru, demokrasi justru
dijalankan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Karakteristik
adanya persaingan yang sehat dalam masa orde baru, tidak kita
jumpai. Stabilitas menjadi mantra untuk mengharamkan
kontestasi politik. Jargon yang ditanamkan oleh orde saat itu
adalah politic no, economy yes. Namun, di era reformasi ada
angin segar tumbuhnya persaingan politik. Walapun masih
dinodai kecurangan dalam setiap kontestasi, tetapi keran
persaingan sudah terbuka. Sesuatu yang mustahil ditemukan di
era orde baru.
Disamping itu, partisipasi warga dalam memilih pemimpin
juga sangat rendah. Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus
meningkat meski alasan untuk golput berbeda. Begitu juga di era
reformasi, penyelenggaraan kebebasan sipil dan politik bisa
dikatakan cukup baik jika dibandingkan dengan masa orde baru.
Terbentuknya berbagai elemen masyarakat sipil dan terbukanya
saluran berpolitik menjadi catatan positif buah demokrasi.
Namun, kebebasan itu lebih dominan pada kebebasan politik
dibandingkan kebebasan sipil. Hak-hak minoritas yang coba
diancam beberapa waktu belakangan ini, belum memberi arti
kebebasan bagi semua pihak. Selain itu, pemenuhan atas hak
azasi manusia seperti hak atas penghidupan yang layak,
persamaan dalam hokum, pendidikan, beribadat dan meyakini
kepercayaan, memperoleh pekerjaan belum banyak tersentuh.
Atas nama demokrasi, orang bebas berbuat apa saja, sesuka
hatinya dan terkadang memaksakan kebenaran tunggal miliknya.
Seperti yang dikatakan oleh Michael Mann (2005) bahwa sisi
gelap demokrasi menjadi terbukti bahwa demokrasi memang
pada dirinya mengandung sisi yang baik dan sisi yang jahat. Sisi
yang baik nampak ketika demokrasi memperjuangkan keadilan
dan kesejahteraan umum. Sebaliknya, sisi yang jahat tampak
ketika demokrasi diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak
demokratis, seperti kecurangan, manipulasi, kekerasan ataupun
bentuk perilaku yang kontradiktif dengan semangat demokrasi.
Begitu juga halnya dengan penyelenggaraan negara.
Walaupun dipuja sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di
dunia, lebih banyak dilihat dari pelaksanaan demokrasi
prosedural seperti pemilihan umum yang relatif kondusif. Namun,
ketika bicara demokrasi dalam ranah demokrasi substansi, maka
sebutan negara demokrasi terbesar hanyalah puja-puji tanpa
penilaian yang objektif. Perjalanan 13 tahun pasca reformasi
belum memperlihatkan cahaya pengharapan di tengah gelapnya
keputus-asaan. Jika terus menerus dibiarkan, menjadi benar apa
yang dikatakan oleh George Sorensen, dosen senior dalam bidang
politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, yang
memperkenalkan frozen democracy.
Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang
menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik
demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena
berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami
pembusukan dikarenakan ketidak mampuan pemerintah yang
berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang
mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang
menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat
miskin. Hal ini juga didukung oleh studi John Markoff dalam
bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan
empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi
beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik,
mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial
politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian
sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Indikator pertama, kondisi perekonomian tidak kunjung
membaik. Demokrasi yang kita pilih sebagai suatu sistem
pemerintahan masih sibuk berkutat pada wilayah politik. Ruang
publik dipenuhi oleh problem menata pemilihan umum yang
ideal, penataan hubungan antar lembaga negara, politik hukum
dan bagaimana membenahi peran partai politik sebagai penyalur
aspirasi rakyat. Padahal demokrasi juga harus menyelesaikan
soal-soal ekonomi. Tingginya angka pengangguran, kemiskinan
dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memprihatinkan.
Angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS untuk tahun 2010
menyatakan angka kemiskinan sebesar 31,02 juta orang (dengan
garis kemiskinan Rp.7000/hari) dan data jumlah penduduk hampir
miskin (near poor) sebesar 29,38 juta orang. Padahal,kalau kita
adopsi garis kemiskinan US$ 2 per hari, seperti Vietnam dan
negara Asia Tenggara lain, tingkat kemiskinan kita bisa meledak
jadi 42% dari total populasi. Sedangkan angka Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2010 mencapai 7,14
persen. Sementara itu, laporan Pembangunan Manusia 2010 yang
dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa indeks pembangunan
manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara
yang tercatat. IPM merupakan indeks komposit yang mencakup
kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi
(pendapatan). Di lingkup ASEAN, Indonesia hanya berada di
peringkat 6 dari 10 negara. Peringkat ini masih lebih rendah
daripada Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57),
Thailand (92), dan Filipina (97).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk Domestik
Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2010 mencapai
US$3.004,9. Padahal menurut Wakil Presiden Boediono, sejumlah
studi menunjukkan tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor
penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman
empiris selama 1950-1990, rezim demokrasi di negara dengan
penghasilan per kapita 1.500 dollar AS (dihitung berdasarkan
purchasing power parity/PPP dollar tahun 2001) mempunyai
harapan hidup hanya delapan tahun. Pada tingkat penghasilan
per kapita 1.500-3.000 dollar AS, demokrasi dapat bertahan rata-
rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6.000 dollar AS
daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas
kegagalannya hanya 1 : 500. Jika melihat pendapatan per kapita
kita yang masih berada pada level US$2.349,6 pada tahun 2009
dan US$3.004,9 pada 2010, maka negara kita masih jauh dari
batas aman.
Indikator kedua, mandeknya pembentukan masyarakat
sipil. Pasca reformasi, pembentukan masyarakat sipil kembali
bergeliat. Faultier (2001) dikutip Dzuriyatun Toyibah menjelaskan
bahwa sejak reformasi 1998 tengah terjadi peningkatan fungsi
masyarakat sipil . Meski demikian, masih terdapat segmen
tertentu dari masyarakat sipil yang berwatak eksklusif dan
membatasi partisipasi warga negara lainnya. Kebebasan justru
digunakan sebagai sebuah cara untuk membatasi partisipasi
negara lain. Sebagai contoh, fatwa-fatwa MUI, penyerbuan massa
terhadap para pengikut ajaran-ajaran tertentu, kampanye-
kampanye penegakan syariat Islam, menunjukkan trend
pembangkangan kepada negara mengatasnamakan tafsir tunggal
kebenaran tertentu. Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai
ketertiban dan keadaban. Tindakan anarkis dalam menyuarakan
aspirasi sampai pengambilalihan tugas Negara dalam menjaga
ketertiban umum mewarnai konsolidasi demokrasi kita.
Agar pemerintahan berjalan efektif, sebuah rezim harus
memiliki jangkauan pada masyarakat sipil. Bagi Zinecker (2007),
tidak ada pemerintahan yang efektif jika dalam masyarakat
sipilnya masih terdapat aktor-aktor yang bisa memveto
kekerasan. Dalam rezim non-otoritarian, tindak kekerasan
terbesar muncul dari aktor-aktor non-negara yang berada di
dalam masyarakat sipil. Keadaban sebuah rezim politik dengan
demikian bertumpu pada keadaban masyarakat sipil. Demokrasi
yang berlangsung pada level negara tidak selalu berjalan seiring
dengan demokrasi pada tingkat masyarakat sipil.
Indikator ketiga, konsolidasi sosial politik yang tak pernah
mencapai soliditas. Sistem pemerintahan presidensil dengan
multipartai menciptakan iklim demokrasi yang tersandera
kepentingan masing-masing partai. Akibatnya kondisi sosial
politik menjadi ramai oleh hiruk pikuk. uan Linz dan Arturo
Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang
diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-
multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga
presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak
stabil. Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew
Soberg Shugart (1997) bahwa presidensial-multipartai akan
melahirkan presiden minoritas (minority president) dan
pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana
presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.
Kegaduhan ini membuat agenda demokratisasi menjadi semakin
sumbang. Selain itu, perilaku elit juga turut memperburuk
keadaan. Banyaknya kasus pelanggaran hukum, buruknya moral
dan kuatnya nalar pragmatisme tidak memberikan degradasi
kepada agenda demokratisasi.
Indikator keempat, penyelesaian sosial politik hukum masa
lalu yang tak kunjung tuntas. Menurut data dari Komisi Nasional
Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terdapat kasus-kasus yang
sama sekali belum tersentuh proses hukum seperti pembantaian
missal 1965, penembakan misterius, kasus timor timur, Aceh,
Papua, Dukun Santet, Marsinah and Bulukumba. Sementara kasus
yang macet di Kejagung seperti Kasus Talangsari, Mei 1998,
Semanggi I dan II dan Penembakan mahasiswa Trisakti.
Empat indikator tanda-tanda bekunya demokrasi tampak
dalam perjalanan bangsa pasca reformasi. Kompleksitas
persoalan yang melilit, membuat demokrasi tersandera dan
belum mampu menjawab masalah-masalah bangsa. Oleh karena
itu, kita sebagai warga negara harus memikirkan bagaimana cara
memperkuat “otot” demokrasi. Larry Diamond mengatakan,
bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu
perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang
mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip
demokrasi. Oleh karena itu, agar demokrasi terkonsolidasi,
Diamond mengatakan di mana para elit, organisasi dan massa,
semuanya harus percaya, bahwa sistem politik (demokrasi) yang
mereka miliki, layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam
tataran norma maupun dalam tataran perilaku. Diamond juga
mengatakan, bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga
agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim
pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan
birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas
horizontal, dan penegakan hukum); dan (3) restrukturisasi
hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil
atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang
otonom di pihak lain.
Namun, di atas semua itu, sistem demokrasi tidak akan
bisa bertahan dan mungkin sekali bergeser ke arah
otoratarianisme jika tidak dibarengi oleh budaya demokrasi.
Inglehart (2000:96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi
tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit
politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada
nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya. Dahl
(1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi
menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan
kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk
menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan
penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi
bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat
atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang
tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara
demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses
demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi
rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti
kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau
krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan
yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid:
258) memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan
antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan
legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik
terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena
itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari
bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi
belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
Untuk menjadikan demokrasi sebagai budaya perlu
sebuah instrumen agar bangunan sistem demokrasi diisi oleh
“tukang-tukang” yang berjiwa demokrat pula. Demokrasi kita
dalam keseharian adalah demokrasi yang dijiwai oleh Ketuhanan
yang Maha Esa, Keadilan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Proses pembudayaan demokrasi memerlukan aktor-aktor yang
offensif pula. Institusi negara dan civil society merupakan aktor-
aktor demokrasi dalam proses tersebut. Pengaturan aturan main
dalam berdemokrasi memerlukan pemberian sosialisasi nilai-nilai,
pengubahan nilai-nilai melalui konstitusi sampai penggunaan
aparat negara dalam menindak dan turut menjaga iklim
demokrasi agar tumbuh sehat.

Adi Surya
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI A-378
Alumnus FISIP Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai