Anda di halaman 1dari 4

Mudik, Wajah Gagal

Pembangunan
Oleh : Adi Surya

Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang

Mahasiswa FISIP Unpad

Mudik, menjadi kata yang paling ditunggu-tunggu menjelang penghujung


ramadhan. Bagaimana tidak, tradisi pulang ke desa untuk sementara waktu
ini dianggap membawa simbol-simbol tersendiri, khususnya bagi perantau.
Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik identik dengan fenomena
ekonomi. Maksudnya, selain sebagai ajang berkumpul dengan keluarga dalam
bingkai spritualitas, ada semacam bentuk “pamer status”,yang dalam hal ini
bersifat ekonomi. Pulang kampung adalah taruhan keberhasilan seorang
pemudik. Akan ada rasa malu jika mudik dengan tangan kosong. Maka, kita
lihat, banyak perantau yang sudah berhasil atau tidak sengaja memoles
dirinya dengan simbol-simbol peningkatan status ekonomi. Namun,
penonjolan status tersebut membawa efek lanjutan bagi penduduk pedesaan
bahwa kota adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Melihat banyaknya orang yang berbondong-bondong untuk mudik,
sebenarnya sekaligus menelanjangi sebuah fakta kesenjangan antara desa
dengan kota. Ini tak terlepas dari adanya dikotomi pemahaman yang
terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal. Pembangunan yang lebih
menitikberatkan pada perkotaan kemudian secara tidak sengaja menimbulkan
anggapan bahwa kota adalah lambang kemakmuran dan pedesaan sebagai
simbol keterbelakangan. Padahal, belum tentu seorang penduduk tidak bisa
sukses di desa. Desa kemudian menjadi anak tiri pembangunan sehingga
jarang mendapat sentuhan perhatian kasih sayang pemerintah. Kota
kemudian menjelma menjadi surga pemikat yang menjanjikan kemapanan
ekonomi. Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru. Untuk
pertama kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan
hidup di wilayah perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama
terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).
Dikarenakan, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akan timbul
fenomena urbanisasi. Perpindahan penduduk desa ke kota ini kemudian
dijembatani oleh pemudik yang pulang kampung. Tak jarang kita lihat,
pemudik kemudian membawa sanak-saudaranya untuk mengais rejeki di
kota. Penduduk desa kemudian terpesona oleh kemilau kota yang melekat
dalam diri rekan-rekannya yang merantau di kota. Berdasarkan data Sensus
Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di
Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi
peningkatan berturut-turut sebanyak 22,3 persen pada tahun 1980, menjadi
30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi
42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama
dua puluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai
lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota
32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000
atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000.
(Litbang Ketransmigrasian, 2003).
Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan
kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi. Di
Indonesia, sekalipun faktor-faktor yang mempengaruhi urbanisasi merupakan
jalinan multidimensional, akan tetapi variabel ekonomi sangat dominan.
Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh menyempitnya
lapangan kerja di pedesaan; perubahan struktur atas kepemilikan tanah;
serta bertambahnya populasi petani gurem berlahan sempit. Dengan
demikian fenomena urbanisasi sangat diwarnai motif mikro untuk
meningkatkan kesejahteraan. Tidak heran bila Michael Lipton (1977) pernah
mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan
ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan
fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan
penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).
Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan
menyempitnya areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan
demografis. Namun, disamping itu, urbanisasi sebagai proses mobilitas
penduduk dapat dipandang sebagai hal yang berdampak positif dan berdamak
negatif. Di satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan tenaga kerja eks
pertanian untuk bekerja di sektor industri, khususnya yang bersifat padat
karya. Jadi urbanisasi merupakan mekanisme pemenuhan kebutuhan dunia
industri akan tenaga kerja. Namun di sisi lain, urbanisasi yang "berlebih" akan
menimbulkan problema kompleks di masyarakat perkotaan. Salah satu
contohnya adalah kepadatan penduduk dan kemiskinan, yang kemudian
bermetamorfosis menambah kompleksitas permasalahan kota. Kepadatan
penduduk membawa kerusakan pada lingkungan. Sedangkan kemiskinan
melahirkan bentuk-bentuk kriminalitas. Kemiskinan juga sejak lama
terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk
miskin mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin.
Sedangkan per bulan Maret 2006 jumlah penduduk miskin perdesaan
mencapai 24,76 orang, sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin.
Sementara, bagi desa, kekurangan tenaga penggarap lahan pertanian akan
membuat matinya desa sebagai pemasok komoditas pertanian.
Selama desa tidak dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan,
urbanisasi akan terus terjadi. Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa
dimanfaatkan untuk merestrukturisasi sentralisme pembangunan kota.
Pemerintah harus mengubah imej dan stigma desa menjadi daerah yang
berbeda dengan kota dari segi spesialisasi. Karena kebanyakan motif
urbanisasi adalah ekonomi,maka desa juga harus bisa membendung
urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja dan sumber-sumber ekonomi.
Desa yang dikelola melalui potensi pedesaan yang menjanjikan pendapatan
tinggi akan meminimalisir urbanisasi.
Pemerataan pembangunan jika diartikan sebagai menjiplak kota ke desa
sangatlah sulit dilakukan. Untuk menyiasatinya kita bisa melakukan segregasi
yang berarti konsentrasi suatu tipe kelompok orang atau kegiatan tertentu
pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak harus menjadi pusat segalanya,
namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang bisa dibangun di desa.
Semisal daerah hunian, pariwisata, perhotelan, pusat-pusat perdagangan
pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh kota. Sehingga, penyebaran pusat-
pusat aktivitas menjadi lebih merata, Disamping itu, salah satu penyebab desa
tidak menjadi tujuan investasi adalah pembangunan infrastruktur yang
minim. Untuk mendukung pusat-pusat aktivitas tadi, infrastruktur seperti
jalan, air bersih, transportasi, jembatan ,listrik harus dipersiapkan.
Di samping itu, kota juga harus memiliki manajemen urbanisasi. Salah
satu mengelola urbanisasi agar tidak menimbulkan masalah adalah melalui
perencanaan kota. Walaupun di setiap kota memiliki badan perencanaan kota,
namun fungsinya masih sebatas pembangunan yang reaktif dan parsial.
Urbanisasi adalah pilihan yang rasional ketika kesenjangan desa dan kota
terlalu “telanjang”, oleh sebab itu pula kita tidak bisa menghentikannya
dengan cara reaksioner dan koersif. Namun, ketika urbanisasi dikelola dengan
baik, akan berdampak positif untuk menunjang pembangunan kota.

Anda mungkin juga menyukai