Anda di halaman 1dari 3

Membangun Oposisi

Intelektual
Oleh : Adi Surya

Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang

Mahasiswa FISIP Unpad

Lord Acton pernah mengatakan bahwa power tends to corrupct and


absolute power corrupt absolutly.Pendapat ini menyiratkan bahwa kekuasaan
yang absolut berpotensi untuk berubah menjadi kekuasaan yang korup yang
sewenang-wenang.Kuasa mengandung legitimasi bertindak dan menggerakkan
apa yang ada. Kekuasaan disanjung karena didalamnya ada
kekuatan,penghormatan,prestise.Di sisi lainnya kekuasaan ditakutkan karena
berpotensi digunakan untuk merusak,menegaskan ambisi pibadi,berbuat
semena-mena dan liar.Untuk itulah dalam menjalankan kekuasaan,dibutuhkan
kontrol untuk menjaga kekuasaan dipergunakan sesuai dengan rel-nya.Dalam
tata pemerintahan yang bertugas melakukan hal ini adalah DPR sebagai
manifestasi kehendak rakyat dalam sistem demokrasi.Melihat hasil pemilu
kemarin,kita perlu mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan check and
balances tidak akan signifikan.Karena itu pula oposisi sipil harus dibangun.

Di republik ini,maraknya aksi demonstrasi warga sebenarnya


menunjukkan disfungsi lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya. DPR
adalah penjelmaan rakyat dalam sistem perwakilan yang salah satu tugasnya
adalah mengawasi kekuasaan eksekutif untuk menjalankan kehendak
rakyat.Namun,sejarah tidak bisa menipu dirinya sendiri bahwa legislatif hanya
peduli pada dirinya sendiri dan malahan menjadi stempel bagi legitimasi kuasa
eksekutif.Jika demikian,ketika eksekutif dan legislatif sudah menyimpang dari
cita-cita kerakyatan,maka salah satu cara adalah membangun oposisi
masyarakat sipil.Oleh karena itu masyarakat sipil harus turun tangan tidak
hanya mengawasi kekuasaan eksekutif,melainkan juga legislatif.Jika,b\ajar
sejarah,maka aktor yang selama ini selalu jadi garda dan sekaligus martir
perubahan adalah pemuda dan mahasiswa.Golongan ini punya
idealisme,semangat,militansi dan rasa muak pada kelaliman.
Dalam melakukan tugas sebagai alat kontrol kekuasaan sebenarnya
mahasiswa tidak juga terjebak pada pola vis a vis (berhadap-hadapan) dengan
penguasa saja. Strategi yang dibangun juga harus memperhatikan kondisi dan
karakter kekuasaan yang ada.Ada beberapa hal yang bisa diperankan seperti
melakukan gerakan intelektual,seperti menulis di media massa,mengadakan
seminar,pelatihan dan forum-forum akademik yang membahas persoalan-
persoalan bangsa.Output dari gerakan ini adalah dihasikannya gagasan atau
konsep tandingan dari masyarakat yang bisa dipertanggungjawabkan.
Semisal,mahasiswa bersama masyarakat bisa menyusun dan menawarkan draft
Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada pemerintah.Sehingga mahasiswa
tidak dianggap sebagai golongan yang NATO (No Action,Talk Only).

Kedua,gerakan struktural.Maksudnya adalah bermitra atau bekerja sama


dengan pemerintah dalam program-program kerakyatan.Mahasiswa bisa
menjadi patner pemerintah dalam menterjemahkan program ke
masyarakat.Dengan pelibatan mahasiswa,maka sekaligus bisa memantau
aplikasi kerja-kerja pemerintah dan sekaligus memantau kekuasaan.Mahasiswa
juga sebenarnya bisa menjalin komunikasi dengan elit-elit politik di eksekutif
maupun di parlemen yang di identifikasi senafas dengan perjuangan
mahasiswa.Hal ini dibutuhkan agar mahasiswa punya kekuatan di dalam
parlemen sebagai tempat pemngambilan keputusan. Tentunya,hal ini harus
dilakukan secara hati-hati menyimak sejarah gerakan mahasiswa rentan
kooptasi dan penunggangan. Ketiga,gerakan kultural.Hal ini dimaksudkan
membangun basis dan pendidikan politik di masyarakat sebagai sekutu dalam
mengawasi kekuasaan.Rakyat adalah hakim.Maka,mahasiswa dalam mengawasi
kekuasaan harus dengan dukungan rakyat yang juga melek politik.Muara dari
gerakan kultural ini adalah terciptanya komunikasi dan kesinambungan antara
gerakan mahasiswa dan masyarakat grass root.Selain menghukum politisi busuk
lewat pemilu lima tahunan,masyarakat adalah kekuatan besar untuk melakukan
reformasi bahkan revolusi.Keempat,gerakan massa.Jika kekuasaan sudah
tuli,parlemen tak berfungsi,maka gerakan ekstra parlementer dalam bentuk
pembangkangan sipil juga sah dilakukan sebagai cermin kehendak rakyat.Aksi
demonstrasi juga dilakukan dengan menaati kaidah –kaidah yang ada agar
stigma mahasiswa sebagai pembuat kerusuhan bisa berubah.

Di samping itu,harus kita akui bahwa kontrol masyarakat sipil dalam hal
ini mahasiswa masih sangat lemah ketika berhadapan dengan
kekuasaan.Mahasiswa belum mampu menjadi motor penggerak yang bisa
mengajak semua elemen.Membangun kerangka perjuangan sesama kekuatan
mahasiswa dan melakukan pencerdasan ke masyarakat memang bukan hal yang
mudah.Mahasiswa juga disibukkan dengan urusan akademis.Oleh karena
itu,rakyat menjadi sekutu strategis menutupi kelemahan tersebut.Ketika
masyarakat cerdas,nalar otoritarianisme akan berpikir dua kali untuk hadir.
Kekuasaan bukanlah predator yang harus ditakuti.Selama dipandang hanya
sebagai alat untuk mencapai visi misi pemerintah dalam bekerja untuk
masyarakat,maka kekuasaan itu sesungguhnya mulia.Lain halnya jika dijadikan
tujuan semata,mau tidak mau kita harus mengangkat “senjata”
menghancurkannya.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI

Anda mungkin juga menyukai