Anda di halaman 1dari 4

Menguji Politik Santun Partai Demokrat

Oleh : Adi Surya


(Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009)
Studi Di Fisip Unpad

Masuknya Andi Nurpati, salah satu anggota KPU aktif ke Partai


Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Politik memunculkan
perdebatan yang cukup hangat. Pasalnya, sebagai wasit dalam pemilu
2009 yang lalu, kini Andi menjadi pemain yang bergabung dengan
partai pemenang yang kental tuduhan memainkan kecurangan.
Akibatnya, kecurigaan publik menguat akan teka-teki hasil pemilu
kemarin. Selain itu, persoalan lain yang muncul adalah apakah
anggota KPU bisa berhenti semaunya sendiri dan apa efek buruknya
bagi perkembangan demokrasi kita ke depan ?. Hal ini menjadi penting
karena demokrasi bisa berjalan dengan kepercayaan (trust) diantara
aktor-aktor demokrasi tersebut. Jika hal ini tidak bisa dibangun, bukan
tidak mungkin, semua lembaga independen hanyalah bungkus
ketidakindependenan sikap yang ditanamkan oleh partai politik untuk
memuaskan syahwat kekuasaaanya.

Peristiwa semacam ini bukan sekali ini saja terjadi. Andi


Malaranggeng, tercatat pernah menjadi anggota KPU periode 1999-
2004, kini bergabung di Partai Demokrat. Setelahnya, muncul nama
Anas Urbaningrum yang pernah menjabat sebagai anggota KPU 2004-
2009, sekarang menjadi ketua umum Partai Demokrat. Kini, Andi
Nurpati meniru jejak para seniornya di KPU terdahulu untuk bergabung
dalam partai politik. Titik pangkal persoalan ada pada pertanyaan
“apakah tindakan Andi Nurpati dan Partai Demokrat itu salah dan apa
motif beliau masuk democrat ?.

Berbicara salah-benar, kita bisa menggunakan rujukan peraturan


tertulis berupa undang-undang dan etika politik. Semangat undang-
undang yang mengatur penyelengaran negara adalah melarang
merangkap sebagai anggota partai politik tertentu. Semua partai
memahami itu pastinya. Namun, Partai Demokrat justru
mengumumkan susunan kepengurusan yang di dalamnya ada nama
Andi Nurpati yang pada saat yang sama masih menjabat sebagai
anggota KPU aktif. Tindakan demokrat ini sebenarnya menyalahi
semangat undang-undang, dimana partai tidak bisa menarik dan
mengumumkan seorang penyelenggara negara ketika beliau masih
menjabat. Disini tampak arogansi partai berkuasa yang justru
menabrak regulasi yang berlaku dan disepakati bersama.
Sisi lainya, Andi Nurpati juga seharusnya paham dan tidak menyetujui
pengangkatan dirinya menjadi pengurus partai politik. Hal ini
disebabkan beliau masih sedang menjabat di KPU dan malah
menerima tawaran partai sebelum masa jabatanya habis. Tindakan
Andi ini juga bisa dikatakan melanggar Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dimana Pasal 29
ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan anggota KPU tidak bisa
mengundurkan diri sebagai anggota KPU, kecuali terhadap dua hal
yakni alasan kesehatan atau karena terganggu fisik atau jiwanya untuk
menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU.

Dari kedua syarat tersebut, tampak jelas bahwa jika Andi


berhenti dikarenakan keinginan masuk demokrat, tentu saja menabrak
undang-undang tersebut. Andi sehat jasmani dan rohani, tidak ada
halangan kesehatan apapun yang menghambat beliau menjalankan
tugas di KPU. Andi juga tidak mengalami sakit kejiwaan, hal ini
dibuktikan dengan pernyataan-pernyataanya yang masih
menunjukkan dia adalah orang yang waras. Lantas, kalau tetap
memaksakan diri menjadi pengurus partai, hal ini bukan saja
mencederai kehidupan berdemokrasi kita, tetapi kepercayaan (trust)
publik pada lembaga penyelenggara negara. KPU adalah lembaga
yang netral dari intervensi politik. Justru masuknya Andi merusak etika
politik yang berkembang di dalam masyarakat. Etika politik selalu
berbicara benar salahnya sebuah tindakan dipandang dari nilai-nilai
yang hidup yang kadang tidak terlembagakan dalam peraturan
tertulis. Tentu hal ini adalah sebuah preseden buruk buat
penyelenggara negara di Indonesia.

Lantas apa motif Andi dan juga Partai Demokrat dalam hal ini ?.
Motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak
alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan ia berbuat sesuatu (Gerungan,1996). Motif timbul
karena adanya kebutuhan dimana dianggap sebagai kekurangan dan
butuh pemenuhan. Sedangkan Mc.Clelland (1967) berpendapat bahwa
untuk menemukan motif yang mendasai suatu perbuatan, cara yang
terbaik ialah dengan menganalis motif yang ada di dalam fantasi
seseorang. Gardner Lindzey,Calvin S.Hall, dan Richard Thompson
dalam buku Psychology (1975) mengklasifikasikan motif ke dalam dua
hal yaitu drives dan incentives. Drives (needs) adalah yang mendorong
untuk bertindak yang tidak dipelajari maupun yang dipelajari.
Sedangkan Incentives adalah benda atau situasi yang berada di dalam
lingkungan sekitar kita yang merangsang tingkah laku.

Analisis Partai Demokrat dengan menggunakan analisis drives


dan incentive dalam hal ini bisa dibaca dalam tujuanya untuk
memenangkan pemilu 2014 (persaingan). Oleh karena itu ada sebuah
kebutuhan yang mendorong partai membuat strategi yang salah
satunya adalah merekrut anggota KPU yang strategis dalam
pemenangan pemilu. Strategis karena sebagai anggota KPU, tentunya
memahami seluk beluk penyelenggara pemilu dan hal ini adalah salah
satu kunci penting dalam strategi pemenangan. Oleh karena adanya
persaingan dalam bentuk kontestasi pemilu, demokrat kemudian
menindaklanjuti dengan menawarkan posisi kepada Andi. Jika ada
kecurigaan bahwa ini adalah balas jasa demokrat pada Andi yang turut
membantu demokrat pada pemilu lalu, tidaklah bisa kita salahkan
juga. Seorang wasit yang kemudian masuk ke pada pihak yang
menang, dimanapun pasti akan dicurigai. Namun, kecurigaan itu harus
ditindaklanjuti dengan fakta-fakta yang mendukung hal tersebut
menjadi sebuah fakta.

Sedangkan Andi Nurpati lebih banyak didorong kebutuhan untuk


aktualisasi diri dan memperoleh penghargaan. Sebagai anggota KPU,
Andi mendapat fasilitas dan pendapatan yang bisa dikatakan lebih dari
cukup untuk ukuran kebutuhan dasar manusia Indonesia. Sehingga,
perilaku masuk demokrat lebih didorong oleh keinginan berkarir pada
posisi-posisi strategis untuk mendapatkan penghargaan dari
lingkungan sosialnya. Kondisinya saat sebentar lagi masa tugas
anggota KPU akan berakhir dan wajar Andi memikirkan tempat dia
berkarir selanjutnya. Namun, dorongan-dorongan yang berujung pada
perilaku dikawal dengan aturan-aturan yang hidup dan berkembang di
masyarakat.

Untuk itu ada beberapa hal yang bisa kita rumuskan untuk
memaknai kejadian ini. Pertama, membawa kasus ini ke dewan
kehormatan KPU untuk diuji integritas dan kredibilitasnya, apakah bisa
menjelaskan persoalan secara jernih kepada publik. Kedua, merevisi
Undang-Undang KPU. Dalam undang-undang tersebut dikatakan
anggota parpol yang ingin menjadi anggota KPU harus keluar dari
parpol minimal 5 tahun sebelum dia menjadi anggota KPU. Ini menjadi
timpang ketika anggota KPU bisa masuk kapan saja untuk masuk ke
dalam parpol seperti yang dilakukan Andi Nurpati. Setidaknya anggota
KPU yang berhenti dari KPU disarankan diatur dalam undang-undang
tidak boleh masuk dalam partai politik minimal 5 tahun setelah
berhenti dari KPU.

Pengaturan akan hal ini menjadi penting mengingat pentingnya


netralitas KPU dalam pemilu. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola,
wasit yang memimpin pertandingan ternyata dalah “peliharaan” salah
satu tim yang bertanding, maka hasilnya juga tidak bisa
dipertangungjawabkan secara adil. Tentunya KPU bukanlah tempat
pasukan khusus partai yang mengemban misi memenangkan dan
mendesain hasil pemilu sesuai dengan selera dan kepentingan dari
pemilik skenario kotor. Namun yang paling penting adalah bagaimana
partai tidak mencoba mengotori proses kontestasi dengan
“membajak” anggota KPU aktif yang masih bertugas. Partai Demokrat
mencipta brand sebagai partai santun, dipimpin oleh anak muda yang
juga santun. Apakah hal tersebut berkorelasi dengan tindakan yang
santun ?. Tentunya elit-elit partai tersebutlah yang bisa menjawab.

Anda mungkin juga menyukai