Anda di halaman 1dari 4

KAUM MUDA YANG MATI

MUDA
Oleh : Adi Surya

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

Menempuh Studi Di FISIP UNPAD Sumedang

Di zaman ini, generasi muda kita sedang mengidap amnesia


sejarah. Lupa akan sejarah sama dengan menjadi tercerabut dari akar ke-
Indonesian. Padahal sejarah menunjukkan siapa kita sebagai sebuah
entitas diantara bangsa-bangsa. Kini sejarah diartikan sebagai museum
rentetan peristiwa semata yang “berdebu”. Kalah jauh dibandingkan
ketertarikan terhadap kapitalisme. Produk kapitalisme global mampu
dengan cepat mengalahkan nasionalisme menjadi bangsa pemuja
konsumsi. Anak-anak muda kita lebih suka berduyun-duyun meniru
budaya barat yang negatif dibandingkan melestarikan budaya sendiri.
Fenomena inilah yang tampak dari aura salah satu gedung kebanggaan
warga Bandung, yakni Gedung Merdeka yang kini digunakan sebagai
Museum Konferensi Asia-Afrika. Jika kita mengunjungi gedung ini memang
tampak sebuah gejala, generasi kita sedang mati muda. Disayang
sekaligus bernasib malang.

“Setiap hari, rata-rata 15-20 pengunjung yang datang kesini.


Kadang ada study tour dari sekolah-sekolah yang tentunya bisa mencapai
ratusan orang. Anak-anak muda kita seolah lupa dengan pesan Bung
Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bayangkan, negara kita tidak
dipandang sebagai negara berdaulat di kancah internasional. Coba lihat
pada saat penyergapan relawan ke Palestina oleh Israel. Saat itu pasukan
Israel menanyai satu persatu relawan. Tampak pelecehan disana saat
relawan yang mengaku berasal dari eropa dipersilahkan masuk
sedangkan relawan yang mengaku dari Indonesia, disambut dengan ludah
yang mengarah ke tanah. Ini harusnya menjadi cambuk buat kita semua
khususnya anak muda. Baca lagi sejarah, kalau Soekarno masih hidup, dia
akan libas itu Israel. Belajar sejarah dan martabat bangsa bisa dimulai
dari mengunjungi tempat-tempat bersejarah”. Pernyataan agak sedikit
emosional tersebut keluar dari mulut Pak Kodrat. Beliau adalah salah satu
pegawai museum yang bercerita tentang hal ikhwal Museum Konferensi
Asia- Afrika.
Untuk memudahkan membaca sejarah gedung ini, pengunjung
diberi buku kecil yang berjudul Museum Konferensi Asia-Afrika. Dilihat dari
buku itu, KAA yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 sampai
dengan 24 April 1955 mencapai kesuksesan besar, baik dalam
mempersatukan sikap dan menyusun pedoman kerja sama di antara
bangsa-bangsa Asia Afrika maupun dalam ikut serta membantu
terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia. Konferensi ini melahirkan
Dasa Sila Bandung yang kemudian menjadi pedoman bangsa-bangsa
terjajah di dunia dalam perjuangan memperoleh kemerdekaannya dan
yang kemudian menjadi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan
perdamaian dan kerja sama dunia. Kesuksesan konferensi ini tidak hanya
tampak pada masa itu, tetapi juga terlihat pada masa sesudahnya,
sehingga jiwa dan semangat Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu
faktor penting yang menentukan jalannya sejarah dunia

Gedung yang terletak di jalan Asia Afrika ini didirikan oleh seorang
arsitek Belanda yang bernama Van Galenlast dan C.O. Wolf Shoomaker.
Gedung ini menjadi sangat terkenal sejak diadakannya Konferensi Asia
Afrika tahun 1955, kemudian Konferensi Mahasiswa Asia Afrika tahun
1956 dan Konferensi Islam Asia Afrika yang menyimpan naskah-naskah
dan peniggalan-peniggalan Asia Afrika yang terkenal. Gedung ini dibuka
untuk umum setiap harikerja dan mudah dicapai dengan menggunakan
bus kota jurusan Cicaheum-Cibeureum, Museum yang menampilkan
koleksi foto-foto dan barang-barang tiga dimensi yang berhubungan
dengan Konferensi Asia Afrika 1955. Pak Kodrat kemudian bercerita
tentang masih kurangnya perhatian pemerintah dalam mengalokasikan
anggaran pemeliharaan gedung. “Barang–barang di gedung ini adalah
barang bersejarah yang butuh perawatan yang lumayan mahal. Beberapa
koleksi peninggalan KAA dan kondisi gedung harus dirawat secara
berkala. Terkadang pengunjung tidak justru malah ikut mengotori gedung
dengan adanya tapak-tapak sepatu di dinding gedung. Selain sepinya
pengunjung, malah orang asing yang banyak berkunjung kesini.
Wisatawan lokal dan asing akan dipandu oleh guide yang menjelaskan
tiap sudut gedung dari persfektif sejarah” begitu terangnya.

Bangunan ini terdiri dari berbagai fasilitas yang memiliki fungsi


masing-masing. Sambil membuka buku kecil tentang Museum KAA, Pak
Kodrat melanjutkan dengan menerangkan apa saja fasilitas yang ada. Ia
menerangkan, “Pertama, Museum Konperensi Asia Afrika memiliki ruang
pameran tetap yang memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda
tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu,
Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun
1955. Selain itu dipamerkan juga foto-foto mengenai peristiwa yang
melatarbelakangi lahirnya Konferensi Asia Afrika, dampak Konferensi Asia
Afrika bagi dunia internasional, Gedung Merdeka dari masa ke masa, profil
negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika yang dimuat dalam
multimedia.

Kedua, fasilitas perpustakaan. Fasilitas ini memiliki sejumlah buku


mengenai sejarah, sosial, politik, dan budaya Negara-negara Asia Afrika,
dan negara-negara lainnya; dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia
Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya; serta majalah dan surat
kabar yang bersumber dari sumbangan/hibah dan pembelian.Bersamaan
dengan akan diperluasnya ruang pameran tetap Museum Konperensi Asia
Afrika pada April 2008, perpustakaan pun akan dikembangkan sebagai
pusat perpustakaan Asia Afrika yang proses pengerjaannya dimulai pada
2007. Perpustakaan ini diharapkan akan menjadi sumber informasi utama
mengenai dua kawasan tersebut, yang menyediakan berbagai fasilitas
seperti zona wifi, bookshop café, digital library, dan audio visual library.
Ketiga, ruang audiovisual. Ruangan ini menjadi sarana untuk penayangan
film-film dokumenter mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an,
Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-
film mengenai kondisi sosial, politik, dan budaya dari negara-negara di
kedua kawasan tersebut”

Jika anda ingin datang ke museum KAA ini, hari buka mulai Senin
hingga Jumat pada pukul 08.00-15.00 Wib dengan biaya masuk gratis.
Sudah seyogyanya sejarah tidak ditempatkan di rak-rak usang dalam
bingkai pemikiran kita. Sejarah bukanlah barang antik. Bukan pula barang
mati yang hanya diziarahi. Tetapi, bagaimana kita melihat sejarah sebagai
titik tolak untuk menjawab pertanyaan siapa, dimana dan mau apa kita
hidup sebagai sebuah bangsa. Hal ini penting agar generasi kita tidak
menjadi generasi yang limbung tentang jati dirinya. Kita tentunya tidak
ingin menjadi generasi yang terjebak dalam mempertahankan keaslian
dengan cinta buta dan menerima modernitas tanpa jati diri. Tentu saja,
kita bukan kaum muda seperti itu.

Adi Surya

Mahasiswa Fisip Unpad

Bergiat di GMNI Sumedang

Anda mungkin juga menyukai