Anda di halaman 1dari 5

Matinya Pencitraan Politik

Oleh : Adi Surya

Mantan Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

(Studi Di Fisip Unpad Sumedang)

Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich Nietzhe


pernah berucap “Tuhan telah mati”. Kini dalam nada yang
hampir sama, Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan
mengucap “pencitraan telah mati”. Anas memang tidak
mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang
pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya.
Pencitraan disini adalah pola kampanye yang hanya
mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan
kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan
bahwa suara arus bawah tidak goyah dikepung oleh iklan-iklan
politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali, senior dan
sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga
tidak mampu membendung laju kemenangan Anas
Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU), dalam putaran kedua
pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan
280 suara.
Sedang Marzuki Alie (MA) meraih 248 suara.

Ada beberapa faktor yang bisa kita nilai sebagai kunci


kemenangan Anas. Pertama, Anas sudah membuat investasi
politik sejak dini di tubuh partai. Posisi yang dijabatnya sebagai
Ketua DPP Bidang Politik,membuat interaksi politik dengan arus
bawah sebagai pemilik mandat suara lebih terjaga. Dengan
posisinya di DPP itu pula, Anas memainkan negosisasi dan
bargain politik dengan proses politik arus bawah di DPC-DPC.
Interaksi yang intens membuat hubungan emosional dan iman
politik tersampaikan dengan baik. Kedua, Karakter pribadi yang
santun, cerdas dan berwibawa. Anas tahu betul bahwa karakter
pribadinya sangat cocok dengan positioning Partai Demokrat
yang juga selaras dengan karakter pribadinya. Proses
pelembagaan nilai-nilai yang dimiliki partai membuat kader-
kader demokrat yang mempunyai hak suara dalam kongres
dibuat nyaman dengan sosok Anas.

Ketiga, pengalaman politik sejak dini. Guru terbaik adalah


pengalaman. Anas sebenarnya bukan anak kemarin sore dalam
panggung perpolitikan tanah air. Karirnya sejak menjadi aktivis
HMI sampai kemudian menjadi ketua fraksi demokrat di
Senayan tergolong cukup mulus untuk usia yang masih muda.
Ini adalah rajutan track record yang tidak bisa disangkal
sebagai sebuah prestasi politik yang brillian. Ibarat kita
membeli barang elektronik dengan rumusnya “harga tidak
pernah bohong”, begitu pula dalam melihat kualitas pemimpin,
diktumnya berbunyi “track record tidak bakal bohong”. Dalam
usianya yang masih 41 tahun, dengan jabatan sebagai ketua
partai terbesar di Indonesia, menunjukkan siapa sebenarnya
beliau.

Keempat, dukungan SBY. Walau tidak tersurat, SBY


sedang memainkan politik tebar jala. Artinya, siapapun
ketuanya, yang menang tetap SBY. Menempatkan anaknya,
Eddi Baskoro ke dalam kubu Andi Malaranggeng adalah satu
sisi. Sisi lain, pada saat menjelang putaran kedua, kita
sebenarnya bisa mencerna bahasa politik SBY dalam pidato
singkatnya agar pemilihan dilakukan demokratis dan tidak ada
tekanan. Demokratis dan tanpa tekanan adalah simbol
kedaulatan rakyat, yang juga berarti suara pemilih tidak tunduk
pada kekuatan politik tertentu dan hanya berdaulat pada sang
pemilik suara. Pada saat itu, suara AM yang hendak
diperebutkan, dan sesuai dengan pidato SBY, suara AM
akhirnya punya otonomi atas hak politiknya masing-masing.
Padahal AM sudah mengumumkan pelimpahan dukunganya
pada Marzuki Ali. Pelimpahan dukungan pun tidak bulat, karena
hampir setengah lebih suara AM pindah ke kubu Anas. Menurut
penulis, SBY sengaja bersikap netra dan cenderung
membiarkan tiga kandidat bertarung habis-habisan. Sambil
menunggu dan melihat kandidat yang paling berpeluang
menang. SBY tidak ingin berhadapan dengan konflik jika
mendukung terang-terangan salah satu calon. Kalaupun ada
beberapa sinyal, itupun tidak bisa di-judge oleh pihak yang
kalah sebagai dukungan SBY. Terlihat disini bagaimana SBY
juga bermain cantik mengamankan posisinya. Hal ini pula yang
dianggap sebagai faktor penentuan kalahnya Marzuki. Posisi
Marzuki sebagai ketua DPR mungkin terlalu sulit untuk
dikendalikan SBY sehingga memberi sinyal halus mendukung
Anas.

Terlepas dari faktor kekalahan Marzuki Ali, ada hal yang


menarik dari kongres demokrat kemarin, yakni matinya iklan
politik. Beberapa analisis kemenangan Anas, berbanding
terbalik dengan tersingkirnya Andi di putaran pertama, banyak
pertanyaan kenapa Andi dengan Ibas sebagai simbol Cikeas,
bisa kalah ?. Restu Cikeas kepada Andi dengan representasi
Ibas adalah klaim. Tidak pernah ada tanda-tanda Cikeas
mendukung Andi. Penempatan Ibas di kubu Andi bisa dibaca
sebagai kebebasan Ibas dalam memilih calon pemimpin atau
bisa juga dibaca sebagai strategi politik SBY untuk menanam
saham politik. Karena rumus politik SBY adalah siapapun yang
menang, pemenang sejati adalah SBY, maka penempatan Ibas
tidak terlalu menjadi perhitungan politik yang bisa
menggoyahkan kewibawaan Cikeas jika Andi kalah. Rumus
politik SBY terbukti dengan posisinya sebagai ketua dewan
pembina sekaligus menjadi ketua majelis tinggi partai yang
memiliki kewenangan yang sangat superpower. Kewenangan
tersebut antara lain menentukan formatur pembentukan
kabinet Anas sampai pengambilan keputusan strategis
partai,pembentukan koalisi dan penentuan calon presiden dan
wakil presiden. Jika dilihat dari kewenangan majelis tinggi
tersebut, maka fungsi ketua umum hanyalah sebagai pembawa
obor. Yang terang bersinar tetap SBY.

Selain itu, Andi jarang menjalin interaksi politik di akar


rumput. Posisinya sebagai juru bicara presiden dan menteri
pemuda dan olah raga tentunya bukan pintu yang tepat untuk
membangun relasi politik dengan DPC-DPC. Akhirnya, iklan
politik menjadi senjata pamungkas menutupi kelemahan itu.
Namun, Andi lupa bahwa kampanye udara saja tidaklah cukup.
Kampanye darat untuk pemilih sekelas partai masih sangat
menentukan. Inti pencitraan dalam ajang politik adalah
membangun kesadaran palsu bagi khalayak yang menjadikan
sosok yang dimunculkan nampak sempurna. Hal itu mungkin
bisa dikenakan pada khalayak yang memiliki kesadaran pasif
namun tidak bagi khalayak aktif seperti anggota internal partai.
Menurut Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis,
media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu
memproduksi kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak
memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori
Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya iklan-
iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-
tokoh dengan bendera satu partai politik di belakangnya. Para
tokohi politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan
politis agar mendapatkan dukungan di kongres. Proses
dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang
sensitif dan populer di hadapan pemilih.

Demokrat membuktikan iklan politik bukan rumus sakti


menghasilkan pemimpin. Politik hati yang dibangun jauh-jauh
hari masih ada dalam kongres kemarin. Kekalahan Andii itu
menguatkan pendapat, jika ingin berhasil di dunia politik maka
tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus
turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan
menanam persepsi yang sama tentang visi dan misi partai.
Andi lupa yang dihadapinya bukan segerombolan massa rakyat
yang mudah tertipu dan terombang-ambing oleh iklan dan
spanduk siapa yang paling banyak. Itu semua karena Andi lupa,
dan sekali lagi lupa bahwa dia ”menggunakan meriam untuk
membunuh nyamuk”.

Anda mungkin juga menyukai