bagi perantau. Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik identik
status”,yang dalam hal ini bersifat ekonomi. Pulang kampung adalah taruhan
keberhasilan seorang pemudik. Aka nada rasa malu jika mudik dengan tangan
kosong. Maka, kita lihat, banyak perantau yang sudah berhasil atau tidak
pedesaan bahwa kota adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
dengan kota. Ini tak terlepas dari adanya dikotomi pemahaman yang
terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal. Pembangunan yang lebih
dijembatani oleh pemudik yang pulang kampung. Tak jarang kita lihat,
kota. Penduduk desa kemudian terpesona oleh kemilau kota yang melekat
Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di
30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi
42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama
lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota
32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000
atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000.
satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan tenaga kerja eks pertanian untuk
akan tenaga kerja. Namun di sisi lain, urbanisasi yang "berlebih" akan
urbanisasi akan terus terjadi. Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa
Pemerintah harus mengubah imej dan stigma desa menjadi daerah yang
penduduk dari desa, namun ketika itu dikelola dengan baik, akan berdampak
Saat ini, secara definitif jumlah penduduk Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun hasil sensus
pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta. Jumlah ini untuk penduduk di malam hari, adapun di siang harinya
bisa mencapai 12 juta jiwa. Laju penambahan penduduk Jakarta dari urbanisasi selama lima tahun terakhir rata-
rata mencapai 188 ribu orang.
Tiap tahun jumlah urbanisasi di Surabaya mencapai 3-4 persen dari total jumlah penduduk yang saat ini
mencapai 2 juta jiwa. Ironisnya, di Surabaya saat ini terdapat sekitar 111.000 warga yang hidup di bawah garis
kemiskinan.
Berdasarkan data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di
Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi peningkatan berturut-turut sebanyak
22,3 persen pada tahun 1980, menjadi 30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan
menjadi 42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama dua puluh tahun terakhir,
peningkatan presentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah
penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi
dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003)
Peningkatan proporsi tersebut berdasarkan data per provinsi, dominan terjadi di perkotaan wilayah Jawa yang
rata-rata mencapai 8,57 persen dalam waktu duapuluh tahun terakhir, sedangkan wilayah luar jawa relatif kecil,
yaitu rata-rata hanya 3,37 persen dalam waktu yang sama. Hal ini menggambarkan, terdapat ketimpangan
peningkatan wilayah perkotaan di Jawa dengan di luar Jawa secara signifikan yang disebabkan beberapa
penyebab, antara lain masih cukup banyaknya arus migrasi spontan ke Jawa dibandingkan ke luar Jawa karena
faktor pertumbuhan ekonomi di Jawa lebih dominan, natural increase (pertumbuhan alami dari selisih
kematian dan kelahiran dan tidak memperhatikan angka migrasi) yang masih cukup besar di Jawa karena
kepadatan penduduk Jawa yang memang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk luar Jawa dan
beberapa penyebab lain, utamanya aspek sosial budaya dari masyarakat Jawa yang tidak suka merantau dan
sebagainya. (Litbang Ketransmigrasian, 2003)
Kemiskinan juga sejak lama terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin
mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Sedangkan per bulan Maret 2006 jumlah
penduduk miskin perdesaan mencapai 24,76 orang, sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin.
Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang
mempengaruhi arus urbanisasi. Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan
menyempitnya areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan demografis.
Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru. Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3
miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini
terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).
Pertama, geografi kemiskinan dengan segala derivasinya akan semakin bergeser ke kawasan perkotaan.
Kota besar tetap menjadi magnet raksasa dengan dua kutub saling bertolak belakang. Satu sisi tak
dikehendaki, sebab urbanisasi menyebabkan konsentrasi orang miskin kian meningkat.
Pemukiman kumuh akan tumbuh, terjadi penurunan kualitas lingkungan, dan kriminalitas naik
intensitasnya. Jika salah merespons, Jakarta justru akan bertambah lusuh karena pada 2015 diprediksi
naik posisi menjadi megapolitan ke-8 di dunia dengan 17,2 juta penduduk.
Tidak heran bila Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari
gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan
fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai
faktor penarik).
Dengan begitu, faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) sama-sama menjadi
determinan penting dalam proses urbanisasi tersebut. Karena itu, urbanisasi sebetulnya menjadi pilihan
yang rasional bagi penduduk di dalam usaha mendapatkan pendapatan yang lebih baik dibandingkan
sewaktu mereka tetap bertahan di desa.
Fenomena mudik di Indonesia berakar pada dua hal pokok. Pertama, ketidakseimbangan pembangunan
antara Indonesia Barat dan Timur, khususnya antara Jawa dan non-Jawa. Disparitas antardaerah ini
sudah terjadi sejak awal pembangunan dan hingga kini belum ada perbaikan berarti, bahkan lebih terlihat
makin mengental.
Kedua, adanya kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan yang
didominasi kegiatan ekonomi modern seperti sektor industri pengolahan perdagangan, komunikasi, dan
jasa keuangan, mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari daerah perdesaaan yang didominasi
kegiatan ekonomi tradisional.
Oleh karena itu, menurut Sugiyanto, fenomena mudik sesungguhnya menunjukkan suatu realitas yang
selama ini kurang disadari masyarakat umum, yakni tidak meratanya pusat pertumbuhan di Indonesia.
"Pusat pertumbuhan hanya ada di Jakarta atau mungkin juga di Surabaya," ujarnya.