Anda di halaman 1dari 7

Membaca Fenomena Mudik

Dan Laju Urbanisasi


Oleh : Adi Surya

Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang

Mahasiswa FISIP Unpad

Mudik, menjadi kata yang paling ditunggu-tunggu menjelang

penghujung ramadhan. Bagaimana tidak, tradisi pulang ke desa untuk

sementara waktu ini dianggap membawa simbol-simbol tersendiri, khususnya

bagi perantau. Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik identik

dengan fenomena ekonomi. Maksudnya, selain sebagai ajang berkumpul

dengan keluarga dalam bingkai spritualitas, ada semacam bentuk “pamer

status”,yang dalam hal ini bersifat ekonomi. Pulang kampung adalah taruhan

keberhasilan seorang pemudik. Aka nada rasa malu jika mudik dengan tangan

kosong. Maka, kita lihat, banyak perantau yang sudah berhasil atau tidak

sengaja memoles dirinya dengan simbol-simbol peningkatan status ekonomi.

Namun, penonjolan status tersebut membawa efek lanjutan bagi penduduk

pedesaan bahwa kota adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.

Melihat banyaknya orang yang berbondong-bondong untuk mudik,

sebenarnya sekaligus menelanjangi sebuah fakta kesenjangan antara desa

dengan kota. Ini tak terlepas dari adanya dikotomi pemahaman yang
terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal. Pembangunan yang lebih

menitikberatkan pada perkotaan kemudian secara tidak sengaja menimbulkan

anggapan bahwa kota adalah lambang kemakmuran dan pedesaan sebagai

simbol keterbelakangan. Padahal, belum tentu seorang penduduk tidak bisa

sukses di desa. Desa kemudian menjadi anak tiri pembangunan sehingga

jarang mendapat sentuhan perhatian kasih sayang pemerintah.

Dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akan timbul

fenomena urbanisasi. Perpindahan penduduk desa ke kota ini kemudian

dijembatani oleh pemudik yang pulang kampung. Tak jarang kita lihat,

pemudik kemudian membawa sanak-saudaranya untuk mengais rejeki di

kota. Penduduk desa kemudian terpesona oleh kemilau kota yang melekat

dalam diri rekan-rekannya yang merantau di kota. Berdasarkan data Sensus

Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di

Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi

peningkatan berturut-turut sebanyak 22,3 persen pada tahun 1980, menjadi

30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi

42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama

dua puluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai

lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota

32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000

atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000.

(Litbang Ketransmigrasian, 2003).

Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa


dan kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi.

Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan

menyempitnya areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan

demografis. Namun, urbanisasi sebagai proses mobilitas penduduk dapat

dipandang sebagai hal yang berdampak positif dan berdampak negatif. Di

satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan tenaga kerja eks pertanian untuk

bekerja di sektor industri, khususnya yang bersifat padat karya. Jadi

urbanisasi merupakan mekanisme pemenuhan kebutuhan dunia industri

akan tenaga kerja. Namun di sisi lain, urbanisasi yang "berlebih" akan

menimbulkan problema kompleks di masyarakat perkotaan. Salah satu

contohnya adalah kepadatan penduduk dan kemiskinan, yang kemudian

bermetamorfosis menambah kompleksitas permasalahan kota. Kepadatan

penduduk membawa kerusakan pada lingkungan. Sedangkan kemiskinan

melahirkan bentuk-bentuk kriminalitas. Sementara, bagi desa, kekurangan

tenaga penggarap lahan pertanian akan membuat matinya desa sebagai

pemasok komoditas pertanian.

Selama desa tidak dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan,

urbanisasi akan terus terjadi. Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa

dimanfaatkan untuk merestrukturisasi sentralisme pembangunan kota.

Pemerintah harus mengubah imej dan stigma desa menjadi daerah yang

berbeda dengan kota dari segi spesialisasi. Karena kebanyakan motif

urbanisasi dalah ekonomi,maka desa juga harus bisa membendung urbanisasi

melalui penyediaan lapangan kerja dan sumber-sumber ekonomi. Desa yang


dikelola melalui potensi pedesaan yang menjanjikan pendapatan tinggi akan

meminimalisir urbanisasi. Di samping itu, kota juga harus memiliki

manajemen urbanisasi. Kota tidak akan bisa menghentikan laju mobilitas

penduduk dari desa, namun ketika itu dikelola dengan baik, akan berdampak

positif bagi kota.

Saat ini, secara definitif jumlah penduduk Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun hasil sensus
pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta. Jumlah ini untuk penduduk di malam hari, adapun di siang harinya
bisa mencapai 12 juta jiwa. Laju penambahan penduduk Jakarta dari urbanisasi selama lima tahun terakhir rata-
rata mencapai 188 ribu orang.

Tiap tahun jumlah urbanisasi di Surabaya mencapai 3-4 persen dari total jumlah penduduk yang saat ini
mencapai 2 juta jiwa. Ironisnya, di Surabaya saat ini terdapat sekitar 111.000 warga yang hidup di bawah garis
kemiskinan.

Berdasarkan data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di
Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi peningkatan berturut-turut sebanyak
22,3 persen pada tahun 1980, menjadi 30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan
menjadi 42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama dua puluh tahun terakhir,
peningkatan presentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah
penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi
dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003)
Peningkatan proporsi tersebut berdasarkan data per provinsi, dominan terjadi di perkotaan wilayah Jawa yang
rata-rata mencapai 8,57 persen dalam waktu duapuluh tahun terakhir, sedangkan wilayah luar jawa relatif kecil,
yaitu rata-rata hanya 3,37 persen dalam waktu yang sama. Hal ini menggambarkan, terdapat ketimpangan
peningkatan wilayah perkotaan di Jawa dengan di luar Jawa secara signifikan yang disebabkan beberapa
penyebab, antara lain masih cukup banyaknya arus migrasi spontan ke Jawa dibandingkan ke luar Jawa karena
faktor pertumbuhan ekonomi di Jawa lebih dominan, natural increase (pertumbuhan alami dari selisih
kematian dan kelahiran dan tidak memperhatikan angka migrasi) yang masih cukup besar di Jawa karena
kepadatan penduduk Jawa yang memang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk luar Jawa dan
beberapa penyebab lain, utamanya aspek sosial budaya dari masyarakat Jawa yang tidak suka merantau dan
sebagainya. (Litbang Ketransmigrasian, 2003)
Kemiskinan juga sejak lama terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin
mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Sedangkan per bulan Maret 2006 jumlah
penduduk miskin perdesaan mencapai 24,76 orang, sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin.

Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang
mempengaruhi arus urbanisasi. Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan
menyempitnya areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan demografis.

Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru. Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3
miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini
terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).
Pertama, geografi kemiskinan dengan segala derivasinya akan semakin bergeser ke kawasan perkotaan.
Kota besar tetap menjadi magnet raksasa dengan dua kutub saling bertolak belakang. Satu sisi tak
dikehendaki, sebab urbanisasi menyebabkan konsentrasi orang miskin kian meningkat.
Pemukiman kumuh akan tumbuh, terjadi penurunan kualitas lingkungan, dan kriminalitas naik
intensitasnya. Jika salah merespons, Jakarta justru akan bertambah lusuh karena pada 2015 diprediksi
naik posisi menjadi megapolitan ke-8 di dunia dengan 17,2 juta penduduk.

Fenomena ini menunjukkan bahwa mudik menjadi jembatan bagi peningkatan


aktivitas ekonomi informal perkotaan, sekaligus membawa dampak bagi
masa depan sektor pertanian dan informal pedesaan. Karena alokasi dana
untuk bermudik-ria yang seringkali tak rasional dalam paradigma homo
economicus, mudik juga dapat menjadi penguat mitos subsistensi kaum
informal. Banyak pemudik yang menghabiskan tabungannya untuk
berlebaran dan menebarkan demonstration effect di kampung, sehingga
tertutup kemungkinan bagi mereka untuk mengakumulasi modal dan
memperbesar usaha ekonomi informal mereka.

Urbanisasi memang memiliki dimensi yang kompleks, dan memberi


stimulasi perubahan struktur ekonomi, sosial, politik dan kultural.
Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota
sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi. Lapangan
pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan menyempitnya
areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan
demografis.
Motif-motif ekonomi tersebut mendapatkan penyaluran yang pas, ketika
terjadi dua hal secara bersamaan. Yakni peristiwa mudik (yang memang
cukup unik, karena jarang ditemukan di negara lain) yang
melipatgandakan efek faktor penarik, yakni demonstration effect dari
kaum urban. Mudik semakin memicu motif ekonomi kaum pedesaan untuk
berurbanisasi ke perkotaan.
Dengan istilah yang lain, mudik menjadi jembatan perantara yang
efektif untuk mewadahi hasrat kaum pedesaan untuk meningkatkan taraf
kehidupan ekonomis. Bagi mereka, bekerja di kota menjadi semacam
harapan tersendiri.

Jadi ada tiga trigering factors yang memicu fenomena urbanisasi di


Indonesia. Pertama, menyusutnya lapangan kerja dan perubahan struktur
kepemilikan tanah di pedesaan. Kedua, penetrasi gaya atraktif warga
urban melalui mudik. Serta faktor ketiga, efek mercu-suar dari kota
metropolis yang didapat melalui jalur informasi yang notabene memang
dikendalikan dari kota metropolis. Ketiga faktor ini
berjalin-berkelindan untuk memompa urbanisasi hingga menyentuh dan
melampaui platform toleransi.
Urbanisasi merupakan potret mobilitas penduduk yang memiliki
plus-minus tersendiri. Di satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan
tenaga kerja eks pertanian untuk bekerja di sektor industri, khususnya
yang bersifat padat karya. Jadi urbanisasi merupakan mekanisme
pemenuhan kebutuhan dunia industri akan tenaga kerja.

Namun di sisi lain, urbanisasi yang "berlebih" akan menimbulkan


problema kompleks di masyarakat perkotaan. Karena kaum urban yang
pergi ke ibukota rata-rata tak berpendidikan formal memadai (unskilled
and untrained labour) maka urbanisasi akan meningkatkan aktivitas
ekonomi informal di perkotaan.
Dari aspek lingkungan hidup, meningkatnya urbanisasi ke
kota besar mengakibatkan degradasi lingkungan hidup pada komunitas
kelas menengah ke bawah. Muncullah problema kehidupan kota seperti
menjamurnya perkampungan kumuh, krisis air bersih, meningkatnya volume
sampah rumah tangga, dan lain-lain.
Karena urbanisasi dilandasi motif-motif ekonomi, maka pendekatan yang
dilakukan untuk mengendalikan arus urbanisasi harus dilakukan secara
ekonomi pula. Manajemen urbanisasi yang efektif tidak saja melalui
tindakan persuasif seperti yang selama ini kita lakukan. Percuma saja
menghimbau agar warga yang mudik tidak membwa rekan baru ketika
kembali ke kota.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemerintah dan swasta memberi
stimulasi kegairahan ekonomi pedesaan. Penciptaan lapangan kerja
produktif di desa sangat urgen untuk membendung arus urbanisasi.
Bagaimana agar membuat sektor pertanian tetap menarik, seraya
mempersiapkan alternatif mobilitas sektoral menuju bidang usaha yang
lebih produktif di pedesaan, merupakan cara efektif meredam arus
urbanisasi.
Sebaliknya, fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status
sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan
kendaraan sendiri. Anehnya, ternyata tarikan sosiologis serupa sangat kuat, sebab tidak sedikit orang
kota yang mudik sambil bersandiwara. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari
rental. Kampung pun jadi ramai oleh mobil berbagai merek, juga oleh pembicaraan tentang sukses di
kota. Inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer
keberhasilan, yang pada gilirannya membuat arus urbanisasi terus mengalir deras.

Tidak heran bila Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari
gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan
fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai
faktor penarik).

Dengan begitu, faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) sama-sama menjadi
determinan penting dalam proses urbanisasi tersebut. Karena itu, urbanisasi sebetulnya menjadi pilihan
yang rasional bagi penduduk di dalam usaha mendapatkan pendapatan yang lebih baik dibandingkan
sewaktu mereka tetap bertahan di desa.
Fenomena mudik di Indonesia berakar pada dua hal pokok. Pertama, ketidakseimbangan pembangunan
antara Indonesia Barat dan Timur, khususnya antara Jawa dan non-Jawa. Disparitas antardaerah ini
sudah terjadi sejak awal pembangunan dan hingga kini belum ada perbaikan berarti, bahkan lebih terlihat
makin mengental.

Kedua, adanya kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan yang
didominasi kegiatan ekonomi modern seperti sektor industri pengolahan perdagangan, komunikasi, dan
jasa keuangan, mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari daerah perdesaaan yang didominasi
kegiatan ekonomi tradisional.
Oleh karena itu, menurut Sugiyanto, fenomena mudik sesungguhnya menunjukkan suatu realitas yang
selama ini kurang disadari masyarakat umum, yakni tidak meratanya pusat pertumbuhan di Indonesia.
"Pusat pertumbuhan hanya ada di Jakarta atau mungkin juga di Surabaya," ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai