PENGELOLAAN LINGKUNGAN
BERWAJAH SOSIAL
Salah satu tujuan pembangunan adalah mewujudkan ruang kehidupan yang
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung
pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasi nilai-nilai
sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa
proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberi nilai
tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.
Berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan
bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga
generasi yang akan datang.
Namun, dibalik tujuan ideal pembangunan tersebut, terdapat sebuah dilema dimana
tujuan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik berdampingan dengan dampak-dampak
negatif yang justru mengganggu kehidupan masyarakat. Hal ini karena pembangunan selalu
mengakibatkan intervensi terhadap keseimbangan lingkungan yang jika tidak ditangani dapat
menyebabkan masalah-masalah sosial. Karena pembangunan selalu membawa dampak,
maka penanganan dampak menjadi penting untuk meningkatkan efek positif dan
meminimalisir bahkan menghilangkan dampak-dampak negatif. Rencana pembangunan
yang menekankan pada perhitungan keuntungan ekonomi semata, tidak jarang
menimbulkan ongkos sosial (social cost) yang dapat lebih mahal daripada manfaat ekonomi
yang diperoleh.
Tergusurnya pemukiman rakyat kecil oleh pembangunan dan hilangnya hak atas
pengolahan lahan, sedang mereka yang berada di sekitar proyek tidak banyak menikmati
hasil pembangunan, merupakan salah satu sebab penting terjadinya kesenjangan yang
makin lebar dan kecemburuan sosial yang makin meningkat. Kesenjangan yang makin
meningkat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya akan meningkatkan keresahan
sosial sehingga gejolak sosial dengan mudah dapat terjadi ( Soemarwoto 2005).
hidup akibat pembangunan masih berorientasi pada pendekatan konvensional yang bersifat
businees as usual seperti pemberian kompensasi, bantuan pada hari-hari besar atau
bantuan lainnya yang menafikkan peran masyarakat dalam upaya pengelolaan lingkungan.
Dalam kondisi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri, maka
pelaksana pengelolaan lingkungan berwajah sosial adalah perusahaan. Hal ini diperkuat
dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada pasal 5 huruf b yang
menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan. Dimana dalam pasal penjelasan dijabarkan yang dimaksud dengan
tangung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang,
dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Hal ini menjadi menarik, karena selama ini penyelesaian masalah-masalah dalam
pembangunan selalu didominasi oleh aktor-aktor di luar masyarakat setempat tanpa
memperhatikan keterlibatan mereka dalam menentukan tujuan dan memilih strategi yang
tepat untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah pembangunan yang ada di sekitar
mereka. Prinsip pengembangan masyarakat kemudian menjadi dasar dari upaya
pengelolaan lingkungan. Prinsip partisipasi memberikan penekanan bahwa sejak fase
rencana pembangunan, masyarakat lokal dilibatkan dalam menyusun rencana, mengambil
keputusan sampai pada pelaksanaan keputusan tersebut. Prinsip pemberdayaan
menekankan bahwasanya masyarakat lokal yang dirugikan dalam proyek pembangunan,
harus menjadi berkuasa atas dirinya melalui pemberian pelatihan, sumber daya,
pengetahuan, keterampilan sehingga mereka memiliki kapasitas menentukan masa
depannya sendiri.
bersifat birokratis, berpola top down dan tidak berdasar pada kebutuhan masyarakat hanya
akan membuat pembangunan justru menjadi anti pembangunan.
Adi Surya
Fisip Unpad