Anda di halaman 1dari 4

Mudik, Wajah Gagal

Pembangunan
Mudik, menjadi kata yang paling ditunggu-tunggu menjelang penghujung ramadhan.
Bagaimana tidak, tradisi pulang ke desa untuk sementara waktu ini dianggap membawa simbol-
simbol tersendiri, khususnya bagi perantau. Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik
identik dengan fenomena ekonomi. Maksudnya, selain sebagai ajang berkumpul dengan keluarga
dalam bingkai spritualitas, ada semacam bentuk “pamer status”,yang dalam hal ini bersifat ekonomi.
Pulang kampung adalah taruhan keberhasilan seorang pemudik. Akan ada rasa malu jika mudik
dengan tangan kosong. Maka, kita lihat, banyak perantau yang sudah berhasil atau tidak sengaja
memoles dirinya dengan simbol-simbol peningkatan status ekonomi. Namun, penonjolan status
tersebut membawa efek lanjutan bagi penduduk pedesaan bahwa kota adalah jalan menuju
kehidupan yang lebih baik.
Melihat banyaknya orang yang berbondong-bondong untuk mudik, sebenarnya sekaligus
menelanjangi sebuah fakta kesenjangan antara desa dengan kota. Ini tak terlepas dari adanya
dikotomi pemahaman yang terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal. Pembangunan yang lebih
menitikberatkan pada perkotaan kemudian secara tidak sengaja menimbulkan anggapan bahwa kota
adalah lambang kemakmuran dan pedesaan sebagai simbol keterbelakangan. Padahal, belum tentu
seorang penduduk tidak bisa sukses di desa. Desa kemudian menjadi anak tiri pembangunan sehingga
jarang mendapat sentuhan perhatian kasih sayang pemerintah. Kota kemudian menjelma menjadi
surga pemikat yang menjanjikan kemapanan ekonomi. Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran
sejarah baru. Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan
hidup di wilayah perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara
berkembang (State of World Population 2007).
Dikarenakan, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akan timbul fenomena urbanisasi.
Perpindahan penduduk desa ke kota ini kemudian dijembatani oleh pemudik yang pulang kampung.
Tak jarang kita lihat, pemudik kemudian membawa sanak-saudaranya untuk mengais rejeki di kota.
Penduduk desa kemudian terpesona oleh kemilau kota yang melekat dalam diri rekan-rekannya yang
merantau di kota. Berdasarkan data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi
tingkat keurbanan di Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi
peningkatan berturut-turut sebanyak 22,3 persen pada tahun 1980, menjadi 30,9 persen pada tahun
1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi 42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut
menggambarkan bahwa selama dua puluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota
mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa
pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980
menjadi 42,0 pada tahun 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003).
Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel
dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi. Di Indonesia, sekalipun faktor-faktor yang
mempengaruhi urbanisasi merupakan jalinan multidimensional, akan tetapi variabel ekonomi sangat
dominan. Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh menyempitnya lapangan kerja
di pedesaan; perubahan struktur atas kepemilikan tanah; serta bertambahnya populasi petani gurem
berlahan sempit. Dengan demikian fenomena urbanisasi sangat diwarnai motif mikro untuk
meningkatkan kesejahteraan. Tidak heran bila Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang
berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh
sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya
tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).
Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan menyempitnya areal
pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan demografis. Namun, disamping itu,
urbanisasi sebagai proses mobilitas penduduk dapat dipandang sebagai hal yang berdampak positif
dan berdamak negatif. Di satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan tenaga kerja eks pertanian
untuk bekerja di sektor industri, khususnya yang bersifat padat karya. Jadi urbanisasi merupakan
mekanisme pemenuhan kebutuhan dunia industri akan tenaga kerja. Namun di sisi lain, urbanisasi
yang "berlebih" akan menimbulkan problema kompleks di masyarakat perkotaan. Salah satu
contohnya adalah kepadatan penduduk dan kemiskinan, yang kemudian bermetamorfosis menambah
kompleksitas permasalahan kota. Kepadatan penduduk membawa kerusakan pada lingkungan.
Sedangkan kemiskinan melahirkan bentuk-bentuk kriminalitas. Kemiskinan juga sejak lama
terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta
orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Sedangkan per bulan Maret 2006 jumlah
penduduk miskin perdesaan mencapai 24,76 orang, sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin.
Sementara, bagi desa, kekurangan tenaga penggarap lahan pertanian akan membuat matinya desa
sebagai pemasok komoditas pertanian.
Selama desa tidak dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan, urbanisasi akan terus
terjadi. Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk merestrukturisasi
sentralisme pembangunan kota. Pemerintah harus mengubah imej dan stigma desa menjadi daerah
yang berbeda dengan kota dari segi spesialisasi. Karena kebanyakan motif urbanisasi adalah
ekonomi,maka desa juga harus bisa membendung urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja dan
sumber-sumber ekonomi. Desa yang dikelola melalui potensi pedesaan yang menjanjikan pendapatan
tinggi akan meminimalisir urbanisasi.
Pemerataan pembangunan jika diartikan sebagai menjiplak kota ke desa sangatlah sulit
dilakukan. Untuk menyiasatinya kita bisa melakukan segregasi yang berarti konsentrasi suatu tipe
kelompok orang atau kegiatan tertentu pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak harus menjadi pusat
segalanya, namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang bisa dibangun di desa. Semisal daerah
hunian, pariwisata, perhotelan, pusat-pusat perdagangan pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh
kota. Sehingga, penyebaran pusat-pusat aktivitas menjadi lebih merata, Disamping itu, salah satu
penyebab desa tidak menjadi tujuan investasi adalah pembangunan infrastruktur yang minim. Untuk
mendukung pusat-pusat aktivitas tadi, infrastruktur seperti jalan, air bersih, transportasi, jembatan
,listrik harus dipersiapkan.
Di samping itu, kota juga harus memiliki manajemen urbanisasi. Salah satu mengelola
urbanisasi agar tidak menimbulkan masalah adalah melalui perencanaan kota. Walaupun di setiap
kota memiliki badan perencanaan kota, namun fungsinya masih sebatas pembangunan yang reaktif
dan parsial. Urbanisasi adalah pilihan yang rasional ketika kesenjangan desa dan kota terlalu
“telanjang”, oleh sebab itu pula kita tidak bisa menghentikannya dengan cara reaksioner dan koersif.
Namun, ketika urbanisasi dikelola dengan baik, akan berdampak positif untuk menunjang
pembangunan kota.

Adi Surya
Ketua DPC GMNI Kab.Sumedang 2007-2009
Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Sumedang

Anda mungkin juga menyukai