Anda di halaman 1dari 23

MULTIKULTURALISME

ASUMSI KEANEKARAGAMAN
 Keanekaragaman identitas budaya (dalam
arti luas) merupakan keniscayaan. Satu
sisi, keanekaragaman identitas budaya
merupakan berkah-karunia. Pada sisi lain,
keanekaragaman identitas budaya
mengandung potensi kerawanan.
 Realitas keanekaragaman identitas
budaya adalah satu hal. Sedangkan
perspektif perihal keanekaragaman
identitas budaya adalah hal lain yang
berbeda.
PERSPEKTIF
KEANEKARAGAMAN
 Menyangkut discourse perihal bagaimana
keanekaragaman dipersepsi, diyakini,
diteorikan, serta disikapi yang mendasari
praksis maupun kebijakan.
 Perspektif bisa berbeda-beda menurut
konteks tempat dan semangat jamannya.
 Multikulturalisme merupakan perspektif
yang memuat semangat baru dlm
mempersepsi, meyakini, meneorikan, dan
menyikapi keanekaragaman identitas
budaya.
MULTIKULTUR DAN
MULTIKULTURALISME
 Multikultur: mengandung konotasi bahwa
budaya merupakan sesuatu yang statis,
esensialis, dan mempunyai batas-batas yang
kaku; lebih bersifat deskriptif, yaitu menunjuk
pada realitas dan kecenderungan bahwa dlm
kehidupan bersama selalu terjadi proses
pemajemukan budaya (a.l.: karena migrasi).
 Multikulturalisme: mengandaikan bahwa
budaya merupakan sesuatu yang dinamis,
dikonstruksikan, bisa saling memberi dan
bertukar antar-budaya; lebih bersifat preskriptif,
berupa arahan, resep, pilihan kebijakan untuk
mendorong tindakan dlm hubungan antarbudaya
dan perlakuan atas keanekaragaman budaya
yang berdasar prinsip setara, damai, dan adil.
MAKNA MULTIKULTURALISME
 Ajaran (doktrin) bahwa beberapa ikatan
budaya yang berbeda -- seperti ikatan
suku, ras, agama, daerah, bahasa,
kelompok jender, dsb-nya -- dpt hidup
berdampingan secara damai, saling
mendukung dlm posisi setara, dan
menikmati kehidupan yang makin adil
(dlm suatu negara atau wilayah
pengorganisasian hidup bersama).
 Perspektif yang memuat semangat baru
dlm mempersepsi, meyakini, meneorikan,
dan menyikapi keanekaragaman ikatan
budaya.
REALITAS GANDA/RAGAM
 Multikulturalisme menawarkan
hadirnya realitas ganda/ragam :
differences – similarities, diversity –
unity, identity – integration,
particularity – universality,
nationality – globality, etc.
 Multikulturalisme tak pernah
dimaksud menghilangkan
kekhususan (specifity) dari ciri
budaya; tak pula dimaksud
meleburnya ke dalam keumuman
MENGAPA
MULTIKULTURALISME?
 Secara alamiah setiap ikatan budaya
cenderung ingin hidup dengan
caranya sendiri; dan memang tiap
ikatan budaya punya hak hidup serta
berkembang.
 Masyarakat modern-terbuka
meniscayakan adanya interaksi
(pertemuan, kerjasama, konflik) di
antara manusia yang berbeda latar
budaya.
PRESKRIPSI
MULTIKULTURALISME
 Kesadaran dan kebanggaan pada
identitas budaya sendiri tak
seyogyanya menjurus ke sikap dan
tindakan yang eksklusif, egois, serta
arogan yang dapat mengancam
kebersamaan kehidupan dalam
keanekaragaman budaya.
 Kecenderungan “partikular-eksklusif”
harus dikontrol dan diimbangi
dengan semangat “universal-
inklusif”.
GLOBALISASI
MULTIKULTURALISME
 Runtuhnya Uni Soviet dan Eropa Timur
yang menandai berakhirnya perang
dingin, telah mempercepat dan
meningkatkan intensitas globalisasi di
berbagai bidang.
 Sejak itu, AS seolah menjadi penguasa
dunia. Sehingga, hampir semua yang
berbau AS cepat dan mudah merambah
ke berbagai dunia. Termasuk, pengalaman
sejarah multikulturalisme di AS.
MULTIKULTURALISME DI AS
 Dinamik perspektif keanekaragaman di AS mulai
dengan “melting-pot assimilation” menjadi “salad
bowl” berkembang lagi menjadi “cultural
pluralism” dan akhirnya “multiculturalism”.
 Dinamik perspektif itu bermula dari gerakan
warga kulit hitam yang menuntut kesetaraan hak
sipil dan politik pada 1960-an. Kemudian tahun
1970-an muncul gerakan civil society, yang
diikuti gerakan perempuan, lalu muncul gerakan
“pribumi Amerika” dan kelompok kulit berwarna.
Pada tahun 1980-an hingga 1990-an muncul
pemikiran kritis terhadap kurikulum sekolah
dasar perihal sejarah, demografi, dan pendidikan
civic, yang menggugat perspektif melting-pot
assimilation.
MELTING-POT ASSIMILATION
 Konsep ini dipopulerkan melalui drama
karya Zangwill.
 Dalam perspektif melting-pot ditonjolkan
perihal lahirnya “manusia baru” yang
disebut Amerika, yaitu merupakan
idealisasi peleburan beraneka ragam
budaya yang berasal dari Eropa dan
Afrika.
 Pemikiran kritis mengungkap bahwa
melting-pot ternyata bersifat monokultur.
Karena, dominasi dan hegemoni WASP
(White Anglo-Saxon Protestant) amat
mengedepan.
SALAD BOWL
 Untuk mengakomodasi dan mengapresiasi
kontribusi non-WASP, dikembangkan
perspektif pengganti yang disebut “salad
bowl”.
 Unsur non-WASP memang di akomodasi,
tapi ternyata tak mengurangi unsur
pokoknya yang dominan, yaitu budaya
WASP.
 Perspektif salad bowl masih tetap
dirasakan mengecewakan oleh non-WASP.
CULTURAL PLURALISM
 Horace Kallen (1970) memperkenalkan perspektif
“cultural pluralism” untuk menggantikan salad
bowl.
 Perspektif ini membedakan antara ruang publik
dan ruang privat.
 Ruang publik: ruang terbuka tempat bertemunya
orang dari berbagai ikatan budaya.
 Ruang privat: ruang yang disediakan untuk
mewadahi dan merawat spesifikasi ikatan budaya
di dalam masing-masing keluarga atau
komunitas yang berbeda-beda.
 Ternyata perspektif ini juga rapuh dan tak
memuaskan, karena mengandaikan dapat
memisahkan sepenuhnya antara ruang publik
dan ruang privat. Pula, mengandaikan wilayah
non-budaya terlepas dari wilayah budaya di
dalam ruang publik.
MULTICULTURALISM
 Diperkenalkan tahun 1980-an,
sebagai upaya memperoleh
kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi di ruang publik, dan
selanjutnya juga mengritisi jalinan
hubungan kekuasaan yang ada agar
menjamin hak, keadilan dan
kesempatan yang sama bagi semua
WN yang dihormati latar belakang
ikatan budayanya.
REAKSI TERHADAP
MULTIKULTURALISME
 Bergerak dlm spektrum: mendukung –
mengkritisi – menolak.
 Kelompok mayoritas dan atau yang
diuntungkan dengan statusquo, umumnya
menolak perspektif multikulturalisme.
 Kelompok minoritas dan atau yang
termajinalkan, umumnya mendambakan
multikulturalisme.
 Kelompok intelektual sosial, umumnya
mengambil sikap kritikal terhadap
multikulturalisme.
BEST-PRACTICES BEBERAPA
NEGARA
 AS: masyarakat aktif melakukan gerakan sosial-
budaya memajukan multikulturalisme.
 Inggris: pemerintah aktif mengadopsi kebijakan
promultikulturalisme, antara lain program
“pendidikan untuk semua” serta pengakuan
keragaman budaya dan agama dlm teks dan
kurikulum sekolah.
 Kanada: pemerintah aktif dgn membentuk
“Departemen Multikulturalisme dan
Kewarganegaraan”, serta membuat UU
Multikulturali.
 Australia: pemerintah aktif dgn membentuk
“Kantor Urusan Multikultural”, dan
mencanangkan agenda khusus tentang
multikulturalisme dlm perwakilan di parlemen.
PREMIS MULTIKULTURALISME
(Leonie Sandercock, 2003)
1. Ketertambatan manusia pada
kebudayaan memang tak terhindarkan.
Setiap kita tumbuh di dunia yang
terstruktur secara kultural, dibentuk
melalui budaya itu, dan memandang dunia
dari sudut budaya spesifik. Kita juga
punya kemampuan mengevaluasi secara
kritis keyakinan dan tindakan sendiri,
serta mampu memahami dan
mengapresiasi budaya lain dengan sama
kritisnya. Tapi, adanya identitas kultural
tertentu dan yang tampak kita miliki, tak
terelakkan.
LANJUTAN PREMIS
2. “Budaya” tak boleh dipahami sebagai statis,
kodrati, dan esensialis.
3. Keanekaragaman budaya merupakan sesuatu
yang positif, dan dialog antarbudaya
merupakan unsur penting dari masyarakat
dengan beragam budaya. Semua budaya
memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan
dan dipelajari dari budaya lain.
4. Kontestasi politik multikulturalisme tampaknya
tak terelakkan. Untuk sebagian barangkali ini
merupakan bagian warisan masalah masa lalu
yang belum tuntas.
LANJUTAN PREMIS
5. Inti multikulturalisme sbg praktik politik
sehari-hari mencakup dua hak: hak untuk
berbeda dan hak untuk hadir memperoleh
tempat di ruang publik, dan berpartisipasi
secara setara dalam urusan publik.
6. “Hak untuk berbeda” di jantung
multikulturalisme harus secara terus
menerus dihadaptandingkan dengan hak-
hak lain (mis: HAM) dan diredefinisi
menurut pertimbangan dan formula baru.
LANJUTAN PREMIS
7.Kontestasi multikulturalisme menyebabkan politik
demokratis menderita yang menuntut kewargaan
yang aktif dan setiap hari menegosiasikan
perbedaan dalam wilayah interaksi antarbudaya
yang dangkal-dangkal.
8. Rasa memiliki dlm sebuah masyarakat
multikultural tak dapat didasarkan pada ras,
agama, atau etnisitas, melainkan perlu
didasarkan pada komitmen bersama untuk
komunitas politik. Komitmen seperti ini perlu
pemberdayaan kewarganegaraan.
9. Mengurangi ketaktoleranan dan rasa takut hanya
bisa dicapai melalui perbaikan (distribusi)
material sebagaimana penghargaan pada
dimensi-dimensi kultural.
MASALAH POTENSIAL DAN
AKTUAL
 Dapat berupa: clash of civilization,
culture war, konflik etnis, perlakuan
dan atau kebijakan diskriminatif,
hubungan eksploitatif, bias
(perlakuan tak fair atau tak adil yang
tak disengaja), prasangka negatif,
kesalahpahaman, marjinalisasi,
kekerasan fisik/simbolik, serta
ketimpangan dan kesenjangan yang
tajam.
TINDAKAN PRO-
MULTIKULTURALISME
 Menerima, toleran, simpati, empati, dan
peduli terhadap keanekaragaman kultural;
serta bersedia hidup bersama, saling
percaya dan saling mendukung (ko-
eksistensi dan pro-eksistensi).
 Melakukan prakarsa pemajuan kehidupan
multikultural yang lebih damai;
merumuskan dan menegakkan aturan
yang fair-adil; mengurangi kesenjangan
dan meningkatkan keadilan secara
konsisten berkesinambungan.
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
 Pemajuan multikulturalisme menuntut
kepekaan, kepedulian, dan tanggung
jawab kemanusiaan bersama untuk
memperhatikan yang berbeda dan
membantu yang lemah.
 Masing-masing kita harus menjadi bagian
dari solusi, bukan justru menimbulkan
masalah. Untuk ini, kadang
mengharuskan kesediaan dan keberanian
kita melakukan pelintasan batas-batas
kultural.

Anda mungkin juga menyukai