Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936) adalah
seorang Orientalis (ilmuwan budaya Timur) dari Belanda. Snouck Hurgronje memiliki pengaruh besar dalam sejarah Indonesia atas perannya membantu Pemerintah Belanda menaklukkan Aceh. Snouck Hurgronje memperoleh pengetahuan mendalam tentang Islam dan masyarakat Muslim, berdasarkan penelitiannya, termasuk di Mekah, dimana Snouck Hurgronje menyamar sebagai seorang Muslim dengan nama “Haji Abdul Ghaffar”. Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, Snouck Hurgronje membantu pemerintah Belanda memenangi Perang Aceh (1873-1913). Penelitian dan kebijakan terhadap Aceh ditulisnya dalam buku De Atjehers (1893). Ia menulis De Atjehers dalam dua jilid pada 1893-1894. Kerangka konseptual Snouck dalam memahami Aceh bertumpu pada Splitsingstheori, yakni pemisahan tiga kategori yang terdiri dari Islam, institusi sosial kemasyarakatan, dan politik. Kerangka ini tampaknya mengadopsi pandangan Durkheim dalam melihat agama dalam fungsinya bagi institusi sosial kemasyarakatan. Buku De Atjehers tampak memperlihatkan kecenderungan ini ketika melihat masyarakat sebagai lokus pembentukan ilmu pengetahuan, seni, juga agama. Bagian pertama De Atjehers membahas mengenai meukuta alam/qanun al-‘asyi, yang dijelaskan oleh Snouck sebagai tata kenegaraan yang merupakan bagian dari adat Aceh yang dapat diubah. Bagi Snouck, meskipun dipuja dan ditaati, adat tidak selalu berdasarkan alasan logis. Arah penjelasan Snouck tampak jelas bahwa adat lebih mirip seperti bentuk kebiasaan saja. Dari buku De Atjehers inilah mulai tampak upaya memisahkan adat dari agama. Jika mengikuti nalar Snouck, perlawanan orang Aceh pada imperialisme bukanlah berasas dari Islam itu sendiri, melainkan dari spirit adat yang diakomodasi Islam. Maka, setelah memisahkan adat dari agama, Snouck memberikan pemahaman bahwa hukum Islamlah yang harus menyesuaikan dengan adat. Tren semacam ini sebenarnya cukup lumrah dalam upaya penggiringan daerah jajahan menuju modernisasi seturut kepentingan kolonial. Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan peran tokoh pemimpinnya. la menegaskan pada bagian ini bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu karena mereka hanya memikirkan bisnisnya. Pada bagian kedua adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut di sini bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen/mata-mata dari kalangan pribumi. Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membela dan membantunya baik dari tokoh/aktifis/umat muslim berasumsi bahwa Snouck saat itu adalah seorang saudara seagama yang sedang berjuang membela Islam. Snouck melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Noeldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi. la menulis, "Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satunya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik”. Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sama, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan "pembersihan" ulama dari tengah masyarakat, Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah. Dengan kata lain, Snouck Hurgronje merekomendasikan adanya politik Devide et Impera (pecah belah, atau adu domba), dengan memecah rakat Aceh agar mudah ditaklukkan dan dikuasai oleh Belanda