Anda di halaman 1dari 16

Identitas Kelompok Penyuka Jepang (Wibu) di antara Mahasiswa Sastra Jerman UNPAD

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengkajian Budaya

Disusun Oleh:

1. Sayyidatunnisa Naurah (180810150017)


2. Rizki Ikhwan (180810150008)
3. Zaky Zulfahmi (180810160010)
4. Feisal Bhakti Prawira (180810150024)
5. Ahmad Zulkarnaen Harahap (180810150035)
6. Naila Salsabila (180810150036)
7. Farhan Faturrahman (180810160011)

Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Padjajaran
2019
ABSTRAK

Budaya merupakan suatu konsep pengenalan suatu identitas suatu bangsa atau suku satu
terhadap lainnya. Dengan adanya budaya kita dapat mengenal beraneka ragam bentuk, rupa,
suku, dan ras dari setiap budaya yang ada di dunia ini. Salah satunya di negara Jepang, terdapat
berbagai macam budaya yang dari dahulu turun temurun hingga menemukan budaya yang baru
yaitu wibu (weaboo). Wibu sendiri adalah sebutan orang yang menyukai budaya jepang yang
agak berlebihan. Biasanya para wibu ini menyukai budaya Jepang karena terinspirasi dari anime
atau kartun Jepang yang biasa di saksikan baik dalam tayangan televisi atau daring. Anime
sendiri merupakan kartun dari Jepang. Orang-orang yang terobsesi dengan anime jepang itu lah
yang membuat mereka menjadi seorang ‘wibu’. Oleh karena itu kami memilih untuk meneliti
apa yang menyebabkan orang-orang terinspirasi dan ambisius degan wibu, khusus nya mahasiwa
Sastra Jerman Unpad yang terinspirasi oleh wibu itu sendiri.

Kata kunci : Budaya, Wibu, Jepang, Anime


ABSTRACT

Culture is a concept of recognizing the identity of a nation or tribe from one another.
With the existence of culture we can get to know the various forms, forms, ethnicities, and races
of every culture that exists in this world. One of them in Japan, there are various kinds of
cultures that have been passed down through generations to find a new culture, namely Wibu
(Weaboo). Wibu itself is a term for people who like Japanese culture which is rather excessive.
Usually these women love Japanese culture because they are inspired by Japanese anime or
cartoons that are usually watched on television or online. Anime itself is a cartoon from Japan.
It's the people who are obsessed with Japanese anime that make them a 'wibu'. Therefore, we
chose to examine what caused people to be inspired and ambitious with Wibu, especially the
students of German Literature Unpad who were inspired by Wibu itself.

Keywords: Culture, Wibu, Japan, Anime


PENDAHULUAN

Weeaboo atau dalam bahasa indonesia diterjemahkan menjadi Japanofilia (Bahasa


Inggris: Weeaboo, dibaca: Wibu) adalah seseorang yang terobsesi dengan budaya Jepang, dan
mereka cenderung untuk bertingkah laku seperti orang Jepang, padahal mereka bukanlah orang
Jepang, bukan lahir di Jepang dan bukan warga negara Jepang. Weeboo memiliki ciri khas
dengan cara berpakaian mereka. Mereka identik dengan cosplay, atau biasa disebut dengan
cosplayer. Cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang (wasei-eigo) yang berasal dari
gabungan kata "costume" (kostum) dan "play" (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan
pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime,
manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun. Di kalangan
penggemar, cosplayer juga disingkat sebagai coser, salah satu cosplayer berbakat di Indonesia
adalah Yukitora Keiji.

Di Jepang, peserta permainan kostum bisa dijumpai dalam acara yang diadakan
perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser
dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar permainan kostum termasuk pemain
kostum maupun bukan pemain kostum sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika,
RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.

Dengan adanya penjelasan di atas, identitas perkumpulan weeboo menarik untuk dibahas
oleh mahasiswa sastra jerman Unpad. Pembahasan ini menarik karena adanya ciri khas yang
berada pada kehidupan mereka, seperti gaya berpakaian, cara berbicara yang selalu membahas
budaya jepang dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan seperti adanya Cosplay yang
biasanya selalu diadakan setiap tahun di tempat yang berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA

Budaya populer (dikenal juga sebagai budaya pop atau kultur populer) adalah totalitas
ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus
informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga
pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal
abad ke-21. Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan
masyarakat.

Budaya populer dipandang sebagai sesuatu yang sepele dalam rangka mencari
penerimaan konsensual melalui yang arus utama. Akibatnya, budaya populer muncul dari balik
kritisisme sengit dari berbagai sumber nonarus utama (khususnya kelompok-kelompok agama
dan kelompok kontra budaya) yang menganggapnya
sebagai superfisial, konsumeris, sensasionalis, dan rusak.

Istilah "budaya populer" muncul pada abad ke-19 atau lebih awal untuk merujuk pada
pendidikan dan "culturedness" pada kelas bawah. Istilah tersebut mulai menganggap pengertian
budaya kelas bawah terpisah (dan terkadang bertentangan dengan) "pendidikan sejati" menuju
akhir abad, penggunaan yang kemudian menjadi mapan ketika periode antar perang. Pengertian
saat ini atas istilah tersebut, budaya untuk konsumsi massa, khususnya bermula di Amerika
Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II. Bentuk singkatnya "budaya pop" berawal dari
tahun 1960-an.

Budaya populer awalnya berkembang di Eropa, lebih banyak diasumsikan dengan budaya
yang melekat dengan kelas sosial bawah yang membedakannya dengan budaya tinggi dari kelas
yang elit. Budaya populer juga sering kali didekatkan dengan istilah 'mass culture' atau budaya
massa, yang diproduksi secara masal dan dikonsumsi secara masal juga. Jadi, budaya lokal
adalah produk budaya yang bersifat pabrikan, yang ada di mana-mana dan tidak memerlukan
usaha untuk mengkonsumsinya.

Budaya pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu.
Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual
yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan
berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng
menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop
mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas
menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.

Menurut William kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams
memberikan empat makna yakni:

1. Banyak disukai orang;


2. jenis kerja rendahan;
3. karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang;
4. budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah
yaitu ”budaya” dan ”populer”. Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi
secara komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa
yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audiens pop menciptakan makna mereka sendiri
malalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif
mereka sendiri.

Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audiens pop
pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia digunakan.
Argumen-argumen ini menunjukan adanya pengulangan pertanyaan tradisional tentang
bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang pada komoditas yang mengabdi kepada
kepentingannya dan lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri
menjadi kebudayaan pop yang mengabdi kepada kepentingannya (dalam Chris Barker, 2004).

Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh
semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion,
model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan
masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai unsure
utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai
penyebaran pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin,2009:100).

Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh
semua orang atau kalangan orang tertentu seperti idol, kendaraan pribadi, fashion, arsitekur,
perawatan kulit, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia
hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya.
Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai
penyebaran pengaruh di masyarakat (Bungin, 2009).

Menurut Lull, budaya popular tidak hanya budaya yang mengikuti arus-utama, dominan,
atau sukses secara komersial, sebagaimana sering dipahami oleh kebanyakan orang. Lebih dari
itu, ia menanggap bahwa budaya popular berupa 'artefak-artefak dan gaya-gaya ekspresi manusia
berkembang dari kreatifitas orang kebanyakan, dan beredar dikalangan orang-orang menurut
minat, preferensi, dan selera mereka (Lull, 2000).

Membangun budaya pop merupakan cara pelaksanaan kekuasaan budaya (Lull, 2000).
Hebidge menyatakan bahwa budaya populer adalah sekumpulan artefak yang telah ada, seperti
film, kaset, pakaian, sacara televisi. Alat transportasi, dan sebagainya (Hebdige, 1988.).

Leavis dan Mazhab Frankfurt menganggap baik terhadap perkembangan budaya populer
konteporer karena mereka berpendapat bahwa budaya pop adalah budaya berbasis komoditas
dan suatu yang tidak autentik, manipulatif dan tidak memuaskan. Mereka bergumen adalah
'budaya massa' dipengaruhi oleh kapitalis yang terkomodifikasi tidak autentik karena tidak
dihasilkanoleh 'masyarakat’, manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar dibeli, dan
tidakmemuaskan karena selain mudah dikonsumsi, ia pun tidak mensyaratkan terlalubanyak
kerja dan gagal memperkaya konsumennya (Barker, 2000).

Kemunculan budaya populer Jepang tidak berhenti berkembang hanya dalam dunia
komik atau manga maupun dunia pertelevisian. Budaya populer Jepang kini juga menjadi
peluang untuk berwirausaha bagi kalangan subkultur (kaum muda). Salah satu contohnya yaitu
munculnya makanan khas negeri matahari terbit seperti ramen, sushi, dan lain-lain, menjadi
aspek kuliner yang dapat membuka peluang usaha di Indonesia. Anime yang disuguhkan melalui
televisi rupa-rupanya diterima dengan baik di Indonesia sejak awal kemunculannya (1990-an).
Pada masa sekarang ini pun mulai berkembang dan bermunculan ajang lomba cosplay sebagai
pengembangan hegemoni anime dalam serial layar kaca. Cosplay kini merupakan ajang
bergengsi bagi masyarakat yang menyukai budaya pop Jepang.

Manga juga tidak kalah menariknya sebagai produk budaya populer Jepang. Manga yang
merupakan hegemoni budaya populer Jepang kini sudah mulai berkembang di Indonesia.
Kemunculannya juga sering dijadikan ajang lomba di berbagai acara. Masyarakat Indonesia pun
kini juga sudah ada yang merintis usaha kecil menjadi pengarang manga (mangaka) sebagai mata
pencahariannya.

Otaku dan wibu sering dianggap sebagai hal yang sama, padahal keduanya memiliki
makna berbeda, ada sisi-sisi yang membuat perbedaan tersebut cenderung mencolok, istilah
otaku dan wibu itu sangat populer di kalangan penggemar game dan anime. Kebanyakan kedua
kubu tersebut muncul karena mereka sangat menghayati sebuah peran dalam game atau anime.
Banyak yang menganggap menjadi otaku atau wibu adalah hal yang keren, apalagi di tengah
kaum pecinta jejepangan, namun karena gayanya kadang terlalu nyentrik, maka anggapan aneh
pun (weird) disematkan kepada kalangan otaku serta wibu.

Definisi dari otaku dan wibu sebenarnya sedikit jauh dari pemahaman para pencandu
game dan pecinta anime. Otaku sebenarnya memiliki makna seseorang yang sungguh-sungguh
menekuni hobinya, jadi kurang lebih otaku adalah orang yang menekuni passionnya. Contohnya,
seseorang yang sangat menyukai gambar lalu menekuni hobi menggambarnya sampai menjadi
desainer profesional bisa juga disebut sebagai otaku. Begitu pula dengan hobi-hobi lain seperti
menulis yang benar-benar ditekuni sampai menjadi seorang penulis hebat juga bisa disebut
sebagai otaku. Orang–orang yang menyeriusi hobinya (tak hanya soal anime dan game) sampai
menjadi sesuatu adalah sisi positif yang sesungguhnya bisa diambil dari seorang otaku.

Arti dari wibu adalah sebuah istilah yang diberikan untuk orang-orang asing dan tinggal
diluar Jepang yang sangat menggemari sampai seolah terobsesi dengan segala hal berbau Jepang.
Istilah wibu sendiri tidak ada yang tahu dari mana awal mulanya, namun perkembangannya di
internet sangatlah pesat. Para wibu menganggap jika budaya Jepang dan segala bentuk
kehidupan disana adalah bentuk budaya yang paling baik, bahkan ia akan mengkritisi budayanya
sendiri. Contohnya, seorang pemuda Indonesia yang mungkin tak suka baca komik atau tak hobi
menonton kartun, namun bercita-cita untuk tinggal di Jepang. Ia sangat mengidolakan budaya
Jepang dan tiap perkataannya selalu ada unsur kata Jepangnya meski masih tinggal di Indonesia,
pada tahap yang lebih parah mereka bahkan tidak suka/membenci budaya tradisional Indonesia.
Jika dilihat, wibu itu lebih ekstrim daripada otaku.

Seseorang yang sudah mengidentifikasi atau mengkonfirmasi dirinya sebagai seorang


otaku, tidak selalu memamerkan pada orang lain jika dirinya memang menekuni atau menggilai
sesuatu. Seorang otaku biasanya akan dilabeli anti sosial karena mereka akan lebih fokus pada
hobinya ketimbang bersosialisasi dengan orang lain sehingga sering disebut juga sebagai nerd.
Beda halnya dengan wibu, seorang wibu akan berkoar-koar di hadapan orang lain atau media
sosial seolah dia tahu segalanya soal Jepang, padahal bisa jadi mereka hanya asal tahu dan
memiliki wawasan yang sedikit.

HASIL DAN ANALISIS

Pokok dari budaya populer adalah untuk hiburan dan wujud dominasi dari musik, komik,
fashion, olahraga, dan film. Menurut Sullivan, dkk. (1996) dalam Helmi (2008) segala produk
budaya yang secara sengaja dibuat sesuai dengan selera orang banyak dan dapat diartikan
sebagai budaya yang banyak disukai oleh orang. Indonesia merupakan fandom budaya populer
Jepang terbesar di Asia. Atau bisa juga diartikan sebagai Japanofilia yang dimana ini merupakan
isitilah untuk menyebut orang-orang yang terlalu terobsesi terhadap budaya Jepang. atau mereka
bisa melakukan aktivitas yang sering dilakukan orang Jepang. Wibu sendiri sering dianggap
sebagai suatu penyimpangan karena mereka dianggap tidak menghargai budaya bangsa sendiri.

Akibat adanya globalilsasi budaya, di Indonesia terdapat budaya populer dari Jepang
seperti dorama, japan music, manga, cosplay, dan anime. Dari semua ini yang paling populer
adalah cosplay, manga dan anime atau kartun Jepang. Anime mulai masuk Indonesia pada 1990-
an melalui stasiun-stasiun televisi, anime seperti Saint Seiya, Sailor Moon, Dragon Ball, dan
masih banyak judul lainnya yang pernah ditayang mendapat respon positif dari penggemarnya.

Anime mampu menarik perhatian banyak masyarakat Indonesia dari kalangan anak-anak
bahkan orang dewasa, sebagai salah satu budaya populer, anime memiliki faktor-faktor yang
melatarbelakanginya menjadi populer. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Pengaruh media massa

Pada prosesnya, media massa membawa, mengenalkan dan menanamkan ideologi anime
kepada masyarakat berupa image positif. Image positif ini berupa makna-makna yang
terkandung dalam anime, seperti sikap pemberani, pantang menyerah, maupun persahabatan. Hal
tersebut yang menjadikan anime menarik dan membuat penggemar merasa kagum. Rasa kagum
ini merupakan efek dari hegemoni. Kekaguman adalah rasa yang secara tidak langsung menjerat
penggemar anime terhadap kesadaran mereka. Penggemar mengganggap anime adalah suatu
kebenaran dan tidak ada yang salah dengannya. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan
anime itu positif dan banyak hal positif yang dapat diambil dari mengkonsumsi anime. Hal
tersebut seperti yang dikatakan Gramsi (dalam Amroshy: 2014) tentang hegemoni, bagaimana
menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, dianggap benar sementara
wacana lain dianggap salah sehingga yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai
suatu kebenaran, apa adanya, logis, dan bernalar (common sense) dan semua orang menganggap
sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. media massa menjadi faktor penting budaya
populer tersebar dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

2. Mudahnya mendapatkan konten anime melalui website

Media online didefinisikan sebagai produk dari komunikasi yang terdimensi teknologi yang
terdapat bersama dengan komputer digital (Creeber & Martin, dalam Mayendra: 2013). Media
online memiliki jangkauan yang luas yaitu menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses
internet. Hal ini memiliki arti bahwa konten-konten yang terdapat dalam media online seperti
anime dapat dengan mudah disebarkan dan dipertukarkan antar pengguna melalui jaringan
internet yang tersedia. Pada saat ini banyak website yang menyediakan konten-konten yang
berkaitan dengan anime, mulai dari wallpaper hingga dalam berbagai bentuk dan format video,
dan kebanyakan konten tersebut dapat dengan mudah diunduh oleh penggemarnya secara gratis
melalui internet, sebut saja website-website populer yang sering dikunjungi oleh penggemar
anime.

3. Pengaruh Teman

Memiliki teman yang mempunyai kesamaan hobi membuat seseorang merasa lebih nyaman,
begitu juga dengan penggemar anime. Teman sebagai salah satu agen sosialisasi yang berperan
besar ikut menyebarkan budaya populer anime selain melalui media massa. SebagaiSebagai
penggemar anime yang tergabung kedalam komunitas, tentu memiliki banyak teman di dalam
komunitas tersebut, melalui hal tersebut terjadi proses sosialisasi. Proses sosialisasi menurut
Suyanto (dalam Laila: 2014, 72) adalah proses dimana individu mempelajari norma-norma yang
ada dalam masyarakat. Menurut pengertian di atas, penggemar anime sebagai seorang individu
mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelompoknya.

4. Anime merupakan hiburan yang murah

Anime menarik begitu banyak penggemar diseluruh dunia, seperti yang telah dikatakan oleh
Jean Marie Bouissou bahwa anime dan manga sangat menarik karena untuk mereka adalah
produk kesenangan murni yang merupakan bentuk hiburan tidak mahal untuk dinikmati
(William: 2008). Anime merupakan budaya populer yang dapat dikatakan murah karena tidak
perlu memerlukan banyak uang untuk memilikinya, bahkan dapat dikatakan gratis untuk sekedar
menontonnya di laptop atau pun televisi. Penggemar anime juga bisa mendapatkan anime secara
“cuma-cuma” melalui website-website anime.

5. Karakter dalam anime

Anime merupakan salah satu contoh dari kebebasan berekspresi, kebebasan berekspresi
seorang mangaka yang dituangkan dalam media cetak dan elektronik (Wulansuci: 2010).
Kebebasan berekspresi ini dapat dilihat dari banyaknya tema anime dengan berbagai karakter
tokoh yang ada didalamnya. AnimeAnime memiliki daya tarik tersendiri jika dibanding dengan
animasi atau kartun lainnya dari berbagai belahan dunia. Daya tarik anime pertama adalah
penggambaran karakter yang unik, karakter yang digambarkan secara detail termasuk
ekspresinya dan eksplorasi dari latar belakang karakter itu sendiri. Budaya populer merupakan
budaya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Williams: 1983). Dari pengertian tersebut
melalui karakter dari tokoh-tokoh, anime mampu menarik perhatian penggemarnya. Penggemar
anime menunjukan rasa “suka” dengan cara mengidolakan salah satu atau beberapa tokoh dalam
anime. Bahkan mereka tidak jarang menganggap karakter-karakter tersebut lebih dari sekedar
gambar dan merujuk pada fanatisme.

6. Fashion dalam anime


Budaya populer adalah budaya yang bersifat produksi, artistik dan komersial, diciptakan
sebagai konsumsi massa dan dapat diproduksi kembali serta dapat digunakan untuk
mengekspresikan dan memahami selera masyarakat luas. Salah satu elemen budaya populer
Jepang adalah fashion (Sugimoto: 2003).

7. Alur cerita yang menarik dalam anime

Anime menyuguhkan suatu cerita yang dekat dengan kehidupan manusia dan masyarakat,
walaupun kadang sering digambarkan tidak terlihat realistis. Anime mengangkat suatu tema yang
memiliki keunikan tersendiri dan memberikan hiburan tersendiri bagi para penontonnya. Anime
tidak hanya sekedar hiburan, selain anime dapat menginspirasi masyarakat dari segi cerita dan
budaya, tidak sedikit dari anime yang berisikan tentang nilai-nilai moral dan pelajaran-pelajaran
yang dapat dijadikan contoh dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Wibu adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu Weeaboo. Maknanya adalah orang-
orang yang sangat terobsesi pada Kebudayaan Jepang dan berperilaku seolah mereka sendiri
adalah orang Jepang yang lahir dan tinggal di negara itu. Singkatnya, Weeaboo adalah orang
non-Jepang yang merasa lebih Jepang dari mereka yang warga negara aslinya. Parahnya lagi,
para Weeaboo ini justru tidak menghargai kebudayaan mereka sendiri.

Dalam Urban Dictionary, arti kata Weeaboo dijabarkan cukup panjang dan menyebalkan.
Kira-kira begini terjemahannya:

“Seseorang yang memiliki obsesi tidak sehat terhadap Jepang dan budayanya, biasanya
mengabaikan atau bahkan menyembunyikan identitas ras dan budaya mereka sendiri.
Kebanyakan Weeaboo bicara memakai 8 atau lebih diksi Bahasa Jepang yang mereka tahu
(misalnya kawaii, desu, ni chan). Weeaboo mengklaim bahwa mereka mencintai dan mendukung
Budaya Jepang, namun tanpa sadar melakukan stereotyping Budaya Jepang berdasarkan anime
favorit mereka dan justru bisa menyinggung orang-orang Jepang asli. JikaJika kamu mencintai
dan menghormati Budaya Jepang dan budayamu sendiri, kamu bukanlah Weeaboo. Hanya
menyukai anime atau ingin belajar Bahasa Jepang tidak akan membuatmu menjadi Weeaboo”.
Ada beberapa hal yang menjadi indikator untuk mengidentifikasi seorang Wibu :

Pertama, punya obsesi gila-gilaan dengan Budaya Jepang, dan seperti yang telah
disinggung tadi, beranggapan bahwa Budaya Jepang yang ia cintai itu lebih mulia dan unggul
dibandingkan budaya bangsanya sendiri. Untuk membuktikan hal ini, seorang Wibu bisa sampai
mengenakan baju-baju khas Jepang atau yang paling tidak menyiratkan bahwa ia seorang Jepang
asli.

Kedua, semua hal yang berkaitan dengan Budaya Pop Jepang disukainya, mulai dari
anime, manga, tokusatsu, drama, cosplay, game, musik, film, dan sebagainya. Yah, mungkin
tidak semuanya sih, tapi saat kamu berhadapan dengan seorang Wibu dan ia sedang mengoceh
tentang hal-hal yang disukainya tersebut, seolah kamu sedang menyaksikan siaran berita
berbahasa Planet Namex.

Ketiga, terlalu sering memakai istilah-istilah Bahasa Jepang dalam keseharian dan belum
tentu penggunaannya benar dan tepat. Pokoknya asal berceloteh dan terdengar seperti Bahasa
Jepang. Kamu mungkin sering berjumpa orang-orang yang memakai kata Ohayou, Gomenasai,
Arigatou, dan sebagainya. Tapi bedakan juga dari mereka yang memang sedang serius belajar
Bahasa Jepang.

Keempat, terkesan memiliki wawasan dan pengetahuan yang sangat luas perihal Budaya
dan Bahasa Jepang, padahal referensinya dari Budaya Pop Jepang seperti anime, manga, dan
sejenisnya.

Kelima, cenderung asosial, dianggap aneh oleh lingkungan terdekatnya. Kebanyakan


yang disebut sebagai apa itu wibu cenderung menutup diri dari pergaulan pada umumnya dan
lebih suka berada dalam kamarnya. Interaksi yang dilakukan biasanya mengikuti acara-acara
festival bertemakan Jepang, menjadi cosplayer, atau semua jenis kegiatan asalkan berbau Jepang.

Keenam, gemar mengoleksi merchandise bernuansa hal-hal yang disukainya, dan


biasanya memperlakukannya secara berlebihan, menganggapnya lebih penting dari keselamatan
hidupnya dan orang lain.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang disebut sebagai Wibu. Berikut ciri-ciri
seseorang disebut sebagai Wibu:
1. Suka menonton Anime hingga lupa waktu.

2. Mengoleksi berbagai merchandise Anime.

3. Suka menghadiri berbagai event Jejepangan.

4. Suka mempelajari budaya Jepang (Dibandingkan budaya sendiri).

5. Mengidolakan karakter Anime (Biasa disebut Waifu/Husbando).

Golongan atau Tingkatan Wibu, sebagai berikut :

1. Wibu Akut

Jenis wibu yang satu ini menganggap bahwa Jepang adalah sega-galanya. Mereka akan
menganggap bahwa Jepang selalu diatas negaranya sendiri. Mereka akan mengoleksi berbagai
merchandise dan berbagai pengetahuan tentang Jepang.

2. Wibu di Social Media

Jenis wibu yang satu ini hanya memperlihatkan diri mereka di social media yang ada.
Mereka akan menggunakan foto profil anime (Tidak semuanya bisa dikatakan Wibu) baik di
Facebook atau di Instagram. Mereka juga biasanya sering tergabung ke dalam group Facebook
yang berisikan anime.

3. Wibu Suka Menghayal

Wibu yang satu ini bisa dikatakan sebagai Wibu akut level atas. Mereka akan sering
menghayal mengenai apa yang bisa ia lakukan ketika berada di anime. Salah satu saran saya,
kalian bisa menyukai anime atau sesuatu yang berbau Jepang namun tetap ingat kepada budaya
sendiri.
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang sering ‘‘ berala
ala jejepengan’’ itu disebut otaku atau weeaboo, mulai dari menonton anime, mengoleksi
merchandise, terlampau mengidolakan karakter anime berlebihan dan suka menghadiri event
event jepang yang bernuansa anime. Weeaboo cenderung asosial, dianggap aneh oleh lingkungan
terdekatnya. Kebanyakan yang disebut sebagai apa itu wibu cenderung menutup diri dari
pergaulan pada umumnya dan lebih suka berada dalam kamarnya. Weeaboo punya obsesi gila-
gilaan dengan Budaya Jepang, dan seperti yang telah disinggung tadi, beranggapan bahwa
Budaya Jepang yang ia cintai itu lebih mulia dan unggul dibandingkan budaya bangsanya
sendiri. Untuk membuktikan hal ini, seorang Wibu bisa sampai mengenakan baju-baju khas
Jepang atau yang paling tidak menyiratkan bahwa ia seorang Jepang asli.
DAFTAR PUSTAKA

https://sosiologibudaya.wordpress.com/2013/04/25/budaya-populer-2/

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_populer

https://www.kompasiana.com/matapanda/57a4a2922123bd9912f4ef0a/budaya-populer-jepang-yang-
kian-marak

https://solusik.com/apa-itu-wibu-otaku/

Anda mungkin juga menyukai