melalui catatan harian (acta diurna) di tembok kerajaan Romawi. Catatan itu
kemudian oleh rakyatnya dibaca dan dipercaya sebagai informasi yang benar karena
berperan penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Jurnalisme semakin
berkembang dengan beragam pandangan, panutan teoritis, dan kebutuhan pragmatis
yang menjadi landasan kegiatan jurnalisme tersebut. Karenanya kajian jurnalisme
harus mampu bergulat dengan fenomena sosial di mana jurnalisme itu hidup. Baik itu
dari struktur masyarakat, pola interaksi, perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, serta pelbagai elemen yang menjadi ruh kehidupan masyarakat tersebut.
Sebab kita mencari bagaimana jurnalisme mewartakan atau bahkan mengkonstruksi
fenomena sosial.
Melacak Konsep Budaya dan Gaya Hidup serta Kaitannya dengan Jurnalisme
Manusia ditakdirkan untuk memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap apa
yang dilihatnya, atau bahkan terhadap apa yang dipikirkannya. Sebab ada dua
pendekatan para filsuf, yang menyatakan bahwa manusia lebih dahulu ‘melihat’ lalu
‘berpikir’ atau sebaliknya. Rasa penasaran yang tinggi (curiosity) itu mampu
menghasilkan ratusan pertanyaan yang terus menumpuk di kepala mereka sehingga
manusia membutuhkan jawaban atas pelbagai pertanyaan tersebut. Cara pemenuhan
jawaban itu memungkinkan dengan dua hal, yaitu aksi berspekulasi (act of
speculation) serta aksi mengimani (act of faith). Kedua aksi itu menentukan
bagaimana manusia bersikap atas pertanyaan mereka, kemudian diejawantahkan
dalam perilaku kehidupan mereka.
Sebagai kumpulan ide, nilai, dan persepsi yang dibagikan, dan standar tingkah
laku, budaya merupakan denominator utama yang membuat tindakan suatu individu
cerdas bagi anggota lain dari masyarakat tersebut. Hal ini memungkinkan mereka
untuk memprediksi bagaimana anggota lainnya cenderung berperilaku dalam suatu
kesempatan dan bagaimana seharusnya berperilaku (Havilland, dalam Samovar et.al,
2010: 42). Di sinilah kedudukan komunikasi sangat penting. Komunikasi merupakan
alat enkulturasi dengan pelbagai media yang dimilikinya.
Kita telusuri kembali, apakah yang sebenarnya ideal diajarkan media massa
kepada khalayak berkaitan dengan isu budaya. Sowell (dalam Samovar, et.al, 2010 :
28) menjawab dengan mengatakan bahwa budaya ada untuk melayani kebutuhan vital
dan praktis manusia—untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies,
menurunkan pengetahuan dan pengalaman berhaga ke generasi berikutnya, untuk
menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari
kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal. Dari pernyataan itu
kita mendapatkan bahwa budaya merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan
hidup manusia. Bukan kebudayaan yang dibangun secara mistifikasi (kesadaran
palsu) dengan angan-angan hidup ideal malah sebenarnya menyengsarakan mereka.
Justru ada penekanan kuat bahwa fungsi dari budaya dan peran pentingnya untuk
diajarkan adalah bahwa budaya dapat menghemat biaya kehidupan suatu individu
atau kelompok masyarakat. Karenanya, budaya yang seharusnya diangkat dalam
kegiatan jurnalisme adalah bukan budaya yang melahirkan suatu sikap konsumtif
bagi masyarakat.
Isu lain yang sering diperdebatkan adalah yang budaya yang seharusnya
diangkat itu adalah budaya tradisi (budaya yang asli tanpa pembaharuan) atau budaya
yang sudah mengalami pembaharuan? Isu ini sebenarnya tidak menjauhkan makna
budaya ideal seperti dipaparkan di atas, ini hanya berkaitan dengan idealisme dan
kepentingan. Tentu, kaum tradisionalis mengatakan bahwa budaya yang diajarkan
adalah budaya yang asli, tetapi, kaum transformasif mengatakan bahwa budaya yang
diajarkan itu harus disesuaikan dengan konteks zaman dan terus diperbaharui tetapi
tetap mengakar kepada budaya tradisi. Pada pengertian paling murninya pun
sebenarnya kedua hal itu merupakan sesuatu yang wajar adanya. Kebudayaan adalah
suatu daya yang sekaligus tersimpan yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata
(actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai
daya yang cenderung melestarikan dan daya yang cenderung berkembang atas
kemekarannya sendiri (Hassan, 2001 : 144).
Karena itu, hemat kami bahwa kegiatan jurnalisme budaya adalah suatu
kegiatan peliputan budaya, diolah untuk kepentingan enkulturasi tanpa adanya proses
komodifikasi, serta disampaikan dengan harapan bahwa masyarakatnya dapat
memiliki ide, sikap, dan alat untuk menyelesaikan kehidupan mereka secara sadar dan
tidak jadi objek yang dirugikan oleh segelintir kaum yang memiliki kepentingan.
Contohnya adalah dengan membuat suatu tayangan musik tradisional tanpa
mengharapkan bahwa musik tradisional itu akan menjadi industri yang digarap oleh
suatu korporasi tertentu. Bahkan, dengan tayangan itu diharapkan masyarakat mampu
menyadari bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan itu tidak perlu menonton konser
musik yang mewah, bahkan cukup dengan menggunakan alat musik tradisi yang
sederhana. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jurnalisme budaya adalah jurnalisme
yang memiliki niat mulia untuk kepentingan kehidupan masyarakat.
Melihat peranan penting media massa di era informasi dan kaitannya dengan
budaya, sebenarnya secara jujur dan sadar kita dihadapkan setidaknya pada dua
pertanyaan mendasar. Budaya manakah yang harus kita sampaikan kepada khalayak
yang heterogen, anonim, dan menyebar? Apakah seluruh entitas budaya memiliki
media massa untuk mengajarkan pelbagai nilai budayanya sehingga adanya keadilan
penerpaan informasi? Selanjutnya, pertanyaan ini akan dijawab dalam pelacakan
mengenai konsep gaya hidup.
Dari pengertian itu, dipahami bahwa gaya hidup adalah pilihan (preferensi)
inidividu dalam memenuhi sesuatu yang dianggapnya paling mendasar. Tetapi
penulis tegaskan, pilihan individu itu sangat dipengaruhi oleh eksistensi
keberadaannya dalam lingkungan sosial. Sehingga individu mengidentifikasi
“kebutuhan hidup” yang diinginkan, serta mencari “gaya” pemenuhan itu agar
mendapat penerimaan di lingkungan sosial.
Idi Subandy Ibrahim dalam buku “Kritik Budaya Komunikasi” (2011: 306)
mengutip pelbagai pandangan mengenai konsep gaya hidup dan kaitannya dengan
media massa dan budaya sebagai berikut :
Di sinilah kita menemukan titik temu antara gaya hidup dan jurnalisme. Ketika
seseorang mempunyai kesadaran akan kebutuhan terpentingnya, maka dia
membutuhkan preferensi (atau setidaknya referensi/informasi) agar dia dapat diterima
di lingkungan sosial. Seperti yang dipaparkan di atas, individu di era masyarakat
informatif mengurangi disonansi kognitifnya (ketidak-nyamanan sosial karena
informasi yang tidak terkonfirmasi lingkungan) melalui media massa. Karena, media
massa adalah acuan utama bagaimana indiviu memandang dunia, bahkan berlanjut
pada bagaimana individu menafsirkan dunia itu sendiri.
Giddens berpandangan bahwa individu lahir sebagai agen yang aktif dan
berpengetahuan dalam mengkonstruksi identitas diri dan identitas sosialnya (Wardi,
2006 : 124). Dalam proses aktif dan berpengetahuan itu, individu mendapatkan
sebagian besar identitasnya dari konstruksi yang ditawarkan dari pelbagai kelompok
sosial di mana individu menjadi bagian di dalamnya (Morissan, 2013 : 130). Di
wilayah konstruksi identitas itulah media massa hadir sebagai kebaikan atau bahkan
sebagai suatu ancaman. Komunikasi penting bagi identitas, dan media massa
(termasuk internet) dapat berbahaya, sebagaimana pula berguna bagi identitas (Mc.
Quail, 2010 : 125).
Ketika gaya hidup dikonsepsikan demikian, maka jurnalisme gaya hidup pada
dasarnya adalah suatu media bagi individu untuk mengetahui apa yang sedang
menjadi pilihan orang banyak (common choices) sehingga individu dapat yakin
terhadap gaya pemenuhan hidup mendasarnya. Perbedaannya, jurnalisme budaya
tidak mewartakan kepada individu apa yang menjadi pilihan umum, tetapi jurnalisme
budaya secara langsung dan tegas memberikan referensi nilai-nilai yang agung dan
luhur kepada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketika ditemukan bagaimana urgensi gaya hidup bagi kehidupan individu, ini
menjadi celah utama bagi kebutuhan penetrasi perusahaan global (multi-national
corporation). Dalilnya adalah bahwa setiap individu di seluruh dunia, di manapun
mereka berada pasti membutuhkan referensi lingkungan sosial sekitarnya untuk
dijadikan alasan penguat pilihan, atau lebih tegasnya, alasan untuk memilih dalam
pembelian pelbagai produk (aktivitas konsumsi). Karenanya, perusahaan global itu
melihat ini sebagai target utama komunikasi pemasaran produk mereka. Sebab kita
sudah memahami (terlepas dari menerima atau menolak) bahwa salah satu daya gerak
perusahaan di zaman sekarang adalah menguasai pasar sebanyak-banyaknya, dan
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Idi Subandy Ibrahim (2011: 305) dengan sangat lantang menyatakan bahwa
dalam konteks Indonesia, perubahan arus budaya sosial yang terjadi dipengaruhi oleh
globalisasi. Globalisasi yang menimbulkan kecenderungan mendukung pasar bebas
untuk mendorong liberalisasi pasar berkembang dengan bebas, tanpa memastikan apa
hal yang akan terjadi. Mengingat sifat perekonomian Indonesia yang semakin terbuka
dikhawatirkan globalisasi bukan hanya menimbulkan "global village" (dusun dunia),
tetapi juga "global pillage" (perampasan dunia).
Tetapi, konstruksi pasar itu tidak akan menjadi kuat jika tidak ada jurnalisme
gaya hidup, bahkan jurnalisme sebenarnya mempunyai kekuatan besar untuk
membedah bahwa keadaan sosial yang sering dijadikan referensi adalah telah
dikonstruksi. Pembedahan realitas sosial itu adalah dengan jurnalisme budaya. yaitu
jurnalisme yang menekankan proses penyebaran nilai-nilai kearifan yang bijaksana.
Misalnya saja, jurnalisme budaya menjelaskan bahwa pakaian yang dibutuhkan setiap
individu pada hakikatnya untuk menjadi fungsi pelindung tubuh dan pentutup aurat;
karenanya sejak dari leluhur, pakaian selalu dirancang sederhana, dengan nilai rendah
hati kepada Illahi dan memikirkan saling pengertian sesama manusia. Tetapi, kita
tidak bisa langsung bereaksi bahagia, tentu korporasi menyadari ini. Dengan pelbagai
teori dari banyak ahlinya, maka disamarkanlah budaya itu menjadi budaya populer.
Termasuk pelumpuhan jurnalisme budaya agar semakin melanggengkan jurnalisme
gaya hidup.
Lalu bagaimana budaya populer yang menunjang gaya hidup itu diagungkan?
Kuncinya adalah dengan komodifikasi pesan komunikasi atau komodifikasi budaya
dengan pelbagai teknik ajaib dan mujarab bagi para kapitalis. Contohnya adalah
peliputan terhadap suatu etnis di pedalaman Indonesia dengan mengharapkan banyak
pengiklan, atau bahkan lebih jelas lagi, bahwa proses jurnalisme itu melibatkan pihak
travel yang disebutkan. Hal ini relevan dengan Marx yang menyatakan bahwa objek
dimodifikasi dengan memeroleh nilai tukar, daripada hanya memiliki nilai guna
secara intrinsik. Dengan cara yang serupa, produk budaya (dalam bentuk gambaran,
ide, dan simbol) diproduksi dan dijual di pasar media sebagai sebuah komoditas (Mc
Quail, 2010 : 126).
Damono, Djoko Sapardi. (2013). Kebudayaan (Populer) (Di Sekitar) Kita. Bandung:
editum
Ibrahim, Subandy Idi. (2011) Kritik Budaya Komunikasi : Budaya, Media, dan Gaya
Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta : Jalasutra
Quail, Mc. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Samovar A., Larry et.al. (2010). Komunikasi Lintas Budaya, Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Salemba Humanika.
Email : m.fasha.rouf@gmail.com
Email : okkyardiansyah2@gmail.com
Alamat : Cimahi
Email : tresnayulianti@gmail.com
Anggota 1
Anggota 2
Anggota 3
Statement of Aut horship
“ Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa esai ini adalah murni
hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan
tanpa menyebut sumbernya.
Esai ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk esai pada
ajang kompetisi lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami
menggunakannya. “
Tanda Tangan 1 :
Tanda Tangan 2 :
Tanda Tangan 3 :