Anda di halaman 1dari 17

Jurnalisme pada mulanya lahir untuk mewartakan kepentingan Julius Caesar

melalui catatan harian (acta diurna) di tembok kerajaan Romawi. Catatan itu
kemudian oleh rakyatnya dibaca dan dipercaya sebagai informasi yang benar karena
berperan penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Jurnalisme semakin
berkembang dengan beragam pandangan, panutan teoritis, dan kebutuhan pragmatis
yang menjadi landasan kegiatan jurnalisme tersebut. Karenanya kajian jurnalisme
harus mampu bergulat dengan fenomena sosial di mana jurnalisme itu hidup. Baik itu
dari struktur masyarakat, pola interaksi, perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, serta pelbagai elemen yang menjadi ruh kehidupan masyarakat tersebut.
Sebab kita mencari bagaimana jurnalisme mewartakan atau bahkan mengkonstruksi
fenomena sosial.

Kita tidak bisa secara komperhensif membahas mengenai jurnalisme gaya


hidup ataupun jurnalisme budaya tanpa mengetahui bagaimana kedua konsep itu
hidup di masyarakat. Perlu ditelaah terlebih dahulu apakah khalayak media mengerti
bahwa yang telah dikonsumsinya (dibaca, ditonton, didengar) itu produk jurnalisme
budaya atau jurnalisme gaya hidup. Atau mungkin masyarakat kita hanya mengenal
budaya, tetapi tidak mengenal gaya hidup; mengenal gaya hidup, tetapi tidak
mengenal budaya; atau konsep gaya hidup dan konsep budaya itu sendiri masih kabur
di masyarakat kita, hanya sebagai teknik jurnalisme semata.

Melacak Konsep Budaya dan Gaya Hidup serta Kaitannya dengan Jurnalisme

Manusia ditakdirkan untuk memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap apa
yang dilihatnya, atau bahkan terhadap apa yang dipikirkannya. Sebab ada dua
pendekatan para filsuf, yang menyatakan bahwa manusia lebih dahulu ‘melihat’ lalu
‘berpikir’ atau sebaliknya. Rasa penasaran yang tinggi (curiosity) itu mampu
menghasilkan ratusan pertanyaan yang terus menumpuk di kepala mereka sehingga
manusia membutuhkan jawaban atas pelbagai pertanyaan tersebut. Cara pemenuhan
jawaban itu memungkinkan dengan dua hal, yaitu aksi berspekulasi (act of
speculation) serta aksi mengimani (act of faith). Kedua aksi itu menentukan
bagaimana manusia bersikap atas pertanyaan mereka, kemudian diejawantahkan
dalam perilaku kehidupan mereka.

Perilaku itulah yang menghasilkan ciri khas tersendiri. Individu mengeluarkan


pertanyaan dan mencari jawaban tersebut berdasarkan apa yang ada di sekitar
mereka. Bukan berdasarkan apa yang tiada di lingkungan mereka, atau bahkan dalam
pikiran mereka. Sehingga, misalnya, tidak mungkin perilaku individu yang tinggal di
pegunungan Himalaya sama berpikirnya dengan individu yang sudah tinggal di kota
Yunani yang sudah memiliki sistem pemerintahan. Perilaku individu itupun tidak bisa
lepas dari keadaan kelompoknya, bagaimana ia berinteraksi, dan mengumpulkan
pertanyaan yang sama, serta menemukan jawaban yang sama. Budaya merupakan
hasil dari konvensi suatu kelompok masyarakat atas act of speculation dan act of faith
dalam pelbagai pertanyaan yang timbul di kelompoknya. Bahkan, kebudayaan pada
akhirnya mampu membuat individu tidak bertanya lagi. Kebudayaan bisa menjadi
suatu arahan bagaimana individu tersebut harus menyikapi keadaan dan harus tetap
hidup.

Bikhu Parekh, 1997 (dalam Burton, 2012: 32) mendeskripsikan lima


komponen yang mendefinisikan gagasan tentang budaya bagi anggota suatu
kelompok budaya yang diakui : (1) Suatu khazanah kepercayaan yang melaluinya
anggota kelompok tersebut memahami diri mereka sendiri dan dunia, serta
menerapkan makna terhadap perilaku dan hubungan sosialnya; (2) Pelbagai nilai dan
norma perilaku yang mengatur hubungan sosial, menginformasikan ide-ide tentang
‘kebaikan’, dan ada di belakang peristiwa kehidupan yang pokok seperti kelahiran,
pernikahan, dan kematian; (3) Pelbagai ritual seni ekspresif yang
mengkonumikasikan pemahaman diri, pengalaman, dan emosi kolektif; (4)Pelbagai
konsepsi tentang sejarah yang berbeda dan tentang perbedaan dari kelompok-
kelompok lain; (5) Pengembangan karkater sosial bersama (termasuk unsur-unsur
seperti motivasi dan tempramen).

Sebagai kumpulan ide, nilai, dan persepsi yang dibagikan, dan standar tingkah
laku, budaya merupakan denominator utama yang membuat tindakan suatu individu
cerdas bagi anggota lain dari masyarakat tersebut. Hal ini memungkinkan mereka
untuk memprediksi bagaimana anggota lainnya cenderung berperilaku dalam suatu
kesempatan dan bagaimana seharusnya berperilaku (Havilland, dalam Samovar et.al,
2010: 42). Di sinilah kedudukan komunikasi sangat penting. Komunikasi merupakan
alat enkulturasi dengan pelbagai media yang dimilikinya.

Masyarakat Indonesia pada masa agraris adalah masyarakat berbudaya oral, di


mana narasi disampaikan secara bertutur, dan tidak melalui tulisan. Sehingga media
komunikasi yang dibutuhkan adalah udara dan melalui komunikasi dalam konteks
kelompok (meso). Tetapi masyarakat terus berkembang dengan latar belakang
penyebabnya tersendiri (bukan secara alami) menjadi masyarakat industrialis dan kini
berada dalam suatu peradaban masyarakat informatif. Masyarakat informatif adalah
masyarakat di mana informasi menjadi sangat penting nilainya. Jika pada masyarakat
agraris “yang menguasai ladang ia adalah pemenang”, maka jargon masyarakat
informatif adalah “siapa yang menguasai informasi, maka dunia ia kuasai”. Sehingga
waktu pun semakin penting. Jika kehilangan satu detik saja, kita telah kehilangan
berjuta informasi. Paling penting kita sepakati di sini adalah bahwa media untuk
enkulturasi tidak lagi mengandalkan oral, tetapi kepada media massa, di mana dia
menjadi agama masyarakat ini, menjadi penerpa utama kehidupan budaya mereka. Di
sini kegiatan jurnalisme semakin penting posisinya.

Kita telusuri kembali, apakah yang sebenarnya ideal diajarkan media massa
kepada khalayak berkaitan dengan isu budaya. Sowell (dalam Samovar, et.al, 2010 :
28) menjawab dengan mengatakan bahwa budaya ada untuk melayani kebutuhan vital
dan praktis manusia—untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies,
menurunkan pengetahuan dan pengalaman berhaga ke generasi berikutnya, untuk
menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari
kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal. Dari pernyataan itu
kita mendapatkan bahwa budaya merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan
hidup manusia. Bukan kebudayaan yang dibangun secara mistifikasi (kesadaran
palsu) dengan angan-angan hidup ideal malah sebenarnya menyengsarakan mereka.
Justru ada penekanan kuat bahwa fungsi dari budaya dan peran pentingnya untuk
diajarkan adalah bahwa budaya dapat menghemat biaya kehidupan suatu individu
atau kelompok masyarakat. Karenanya, budaya yang seharusnya diangkat dalam
kegiatan jurnalisme adalah bukan budaya yang melahirkan suatu sikap konsumtif
bagi masyarakat.

Isu lain yang sering diperdebatkan adalah yang budaya yang seharusnya
diangkat itu adalah budaya tradisi (budaya yang asli tanpa pembaharuan) atau budaya
yang sudah mengalami pembaharuan? Isu ini sebenarnya tidak menjauhkan makna
budaya ideal seperti dipaparkan di atas, ini hanya berkaitan dengan idealisme dan
kepentingan. Tentu, kaum tradisionalis mengatakan bahwa budaya yang diajarkan
adalah budaya yang asli, tetapi, kaum transformasif mengatakan bahwa budaya yang
diajarkan itu harus disesuaikan dengan konteks zaman dan terus diperbaharui tetapi
tetap mengakar kepada budaya tradisi. Pada pengertian paling murninya pun
sebenarnya kedua hal itu merupakan sesuatu yang wajar adanya. Kebudayaan adalah
suatu daya yang sekaligus tersimpan yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata
(actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai
daya yang cenderung melestarikan dan daya yang cenderung berkembang atas
kemekarannya sendiri (Hassan, 2001 : 144).

Karena itu, hemat kami bahwa kegiatan jurnalisme budaya adalah suatu
kegiatan peliputan budaya, diolah untuk kepentingan enkulturasi tanpa adanya proses
komodifikasi, serta disampaikan dengan harapan bahwa masyarakatnya dapat
memiliki ide, sikap, dan alat untuk menyelesaikan kehidupan mereka secara sadar dan
tidak jadi objek yang dirugikan oleh segelintir kaum yang memiliki kepentingan.
Contohnya adalah dengan membuat suatu tayangan musik tradisional tanpa
mengharapkan bahwa musik tradisional itu akan menjadi industri yang digarap oleh
suatu korporasi tertentu. Bahkan, dengan tayangan itu diharapkan masyarakat mampu
menyadari bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan itu tidak perlu menonton konser
musik yang mewah, bahkan cukup dengan menggunakan alat musik tradisi yang
sederhana. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jurnalisme budaya adalah jurnalisme
yang memiliki niat mulia untuk kepentingan kehidupan masyarakat.

Melihat peranan penting media massa di era informasi dan kaitannya dengan
budaya, sebenarnya secara jujur dan sadar kita dihadapkan setidaknya pada dua
pertanyaan mendasar. Budaya manakah yang harus kita sampaikan kepada khalayak
yang heterogen, anonim, dan menyebar? Apakah seluruh entitas budaya memiliki
media massa untuk mengajarkan pelbagai nilai budayanya sehingga adanya keadilan
penerpaan informasi? Selanjutnya, pertanyaan ini akan dijawab dalam pelacakan
mengenai konsep gaya hidup.

San Binkley (dalam Ritzer; 2011: 2646), mengartikulasikan gaya hidup


sebagai symbolically embellished ways of living. Sociologically, they serve two
important functions: they classify or categorize the practitioner within a broader
sosial matrix, and in so doing offer practitioners a unique sense of self and identity.
Thus, lifestyles combine material and symbolic processes: they are practical ways of
providing for basic needs and requirements such as food, clothing, and shelter, but
also aesthetic and symbolic expressions of one’s sense of self and of one’s
membership among certain sosial groups.

Dari pengertian itu, dipahami bahwa gaya hidup adalah pilihan (preferensi)
inidividu dalam memenuhi sesuatu yang dianggapnya paling mendasar. Tetapi
penulis tegaskan, pilihan individu itu sangat dipengaruhi oleh eksistensi
keberadaannya dalam lingkungan sosial. Sehingga individu mengidentifikasi
“kebutuhan hidup” yang diinginkan, serta mencari “gaya” pemenuhan itu agar
mendapat penerimaan di lingkungan sosial.

Idi Subandy Ibrahim dalam buku “Kritik Budaya Komunikasi” (2011: 306)
mengutip pelbagai pandangan mengenai konsep gaya hidup dan kaitannya dengan
media massa dan budaya sebagai berikut :

Sebagai satu konsep dalam kajian budaya dan media, istilah


gaya hidup telah dimaknai sebagai konsep yang kompleks.
Sebagai satu bentuk pembedaan sosial, gaya hidup dimaknai
dengan cara berbeda-beda, sehingga tak heran kalau gaya hidup
menjadi “sumber penafsiran” yang terbuka (Chaney, 1996). Oleh
Featherstone (1987), gaya hidup dilihat mencakup praktik-
praktik, citarasa, perilaku konsumsi, aktivitas waktu luang,
modus bicara dan busana orang sehari-hari--“Individualitas,
ekspresi-diri, dan kesadaran-diri yang bersifat stilistik” dari
seseorang (Featherstone, 1987;55). Sementara Chaney
menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara, atau cara
menggunakan barang, tempat, dan waktu, khas kelompok
masyarakat tertentu, yang sangat bergantung pada bentuk-
bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas
pengalaman sosial (1996;5). Oleh Bourdieu (1984), gaya hidup
dilukiskan sebagai ruang, atau persisnya ruang gaya hidup,
yang bersigat plural, yang di dalamnya para anggota kelompok
sosial membangun kebiasaan sosial mereka. Bourdieu menyebut
gaya hidup terbentuk sebagai produk sistematis dari kebiasaan,
atau yang disebutnya “habitus”.

Di sinilah kita menemukan titik temu antara gaya hidup dan jurnalisme. Ketika
seseorang mempunyai kesadaran akan kebutuhan terpentingnya, maka dia
membutuhkan preferensi (atau setidaknya referensi/informasi) agar dia dapat diterima
di lingkungan sosial. Seperti yang dipaparkan di atas, individu di era masyarakat
informatif mengurangi disonansi kognitifnya (ketidak-nyamanan sosial karena
informasi yang tidak terkonfirmasi lingkungan) melalui media massa. Karena, media
massa adalah acuan utama bagaimana indiviu memandang dunia, bahkan berlanjut
pada bagaimana individu menafsirkan dunia itu sendiri.

Giddens berpandangan bahwa individu lahir sebagai agen yang aktif dan
berpengetahuan dalam mengkonstruksi identitas diri dan identitas sosialnya (Wardi,
2006 : 124). Dalam proses aktif dan berpengetahuan itu, individu mendapatkan
sebagian besar identitasnya dari konstruksi yang ditawarkan dari pelbagai kelompok
sosial di mana individu menjadi bagian di dalamnya (Morissan, 2013 : 130). Di
wilayah konstruksi identitas itulah media massa hadir sebagai kebaikan atau bahkan
sebagai suatu ancaman. Komunikasi penting bagi identitas, dan media massa
(termasuk internet) dapat berbahaya, sebagaimana pula berguna bagi identitas (Mc.
Quail, 2010 : 125).

Ketika gaya hidup dikonsepsikan demikian, maka jurnalisme gaya hidup pada
dasarnya adalah suatu media bagi individu untuk mengetahui apa yang sedang
menjadi pilihan orang banyak (common choices) sehingga individu dapat yakin
terhadap gaya pemenuhan hidup mendasarnya. Perbedaannya, jurnalisme budaya
tidak mewartakan kepada individu apa yang menjadi pilihan umum, tetapi jurnalisme
budaya secara langsung dan tegas memberikan referensi nilai-nilai yang agung dan
luhur kepada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

Di sinilah awal bagaimana jurnalisme gaya hidup menyamarkan jurnalisme


budaya. Karena dalam jurnalisme gaya hidup, budaya sering dikatakan apa yang
sedang berlaku saat ini di masyarakat, maka seringkali kita mendengar budaya terkini
atau budaya populer. Alhasil, jurnalisme gaya hidup seolah menjadi malaikat
pembisik yang kita panuti setiap anjurannya. Di sinilah terjadi komodifikasi budaya,
yaitu kebutuhan yang seharusnya dipenuhi secara cukup dan mendasar, dirubah
sedemikian rupa seolah menjadi apa yang sedang booming di pasaran sehingga
individu mengkonsumsinya secara tidak sadar. Selanjutnya, topik ini akan dipaparkan
dalam sub-judul berikutnya.

Jurnalisme Gaya Hidup: Globalisasi, Budaya Populer, Komodifikasi Pesan

Ketika ditemukan bagaimana urgensi gaya hidup bagi kehidupan individu, ini
menjadi celah utama bagi kebutuhan penetrasi perusahaan global (multi-national
corporation). Dalilnya adalah bahwa setiap individu di seluruh dunia, di manapun
mereka berada pasti membutuhkan referensi lingkungan sosial sekitarnya untuk
dijadikan alasan penguat pilihan, atau lebih tegasnya, alasan untuk memilih dalam
pembelian pelbagai produk (aktivitas konsumsi). Karenanya, perusahaan global itu
melihat ini sebagai target utama komunikasi pemasaran produk mereka. Sebab kita
sudah memahami (terlepas dari menerima atau menolak) bahwa salah satu daya gerak
perusahaan di zaman sekarang adalah menguasai pasar sebanyak-banyaknya, dan
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Idi Subandy Ibrahim (2011: 305) dengan sangat lantang menyatakan bahwa
dalam konteks Indonesia, perubahan arus budaya sosial yang terjadi dipengaruhi oleh
globalisasi. Globalisasi yang menimbulkan kecenderungan mendukung pasar bebas
untuk mendorong liberalisasi pasar berkembang dengan bebas, tanpa memastikan apa
hal yang akan terjadi. Mengingat sifat perekonomian Indonesia yang semakin terbuka
dikhawatirkan globalisasi bukan hanya menimbulkan "global village" (dusun dunia),
tetapi juga "global pillage" (perampasan dunia).

Bila disarikan, menurut Roach (dalam Heryanto; Sutrisno, 2000: 56),


pemikiran para tokoh penganut tesis imperialisme kultural ini ada tida : pertama,
perusahaan-perusahaan komunikasi dan industri kebudayaan ini mendukung ekspansi
dari perusahaan transnasional secara umum; kedua, para perusahaan ini memang
merupakan perusahaan-perusahaan penting di dunia; dan ketiga, perusahaan-
perusahaan yang sama ini adalah merupakan bagian dari a military-industrial-
communication complex, yang telah melakukan ekspansi sejak tahun 1960-an.
Pendeknya, struktur ekonomi kapitalisme juga dilengkapi dengan struktur
komunikasi dan industri-industri kebudayaan.

Jurnalisme gaya hidup sering hadir untuk memenuhi suatu korporasi


mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Apalagi di era konglomerasi media,
kita tidak bisa menutup mata bahwa perusahaan media sudah merambah ke pelbagai
usaha di bidang lainnya. Secara singkat, jurnalisme menjadi alat bantu untuk
mengkonstruksi masyarakat agar menjadi individu konsumtif yang gigih dan
terjerembab dalam mistifikasi. Masyarakat dirugikan, sementara perusahaan-
perusahaan semakin diuntungkan. Contohnya saja, suatu produk gadget yang terus
merekonstruksi calon konsumennya melalui pelbagai tulisan ahli teknologi, ahli gaya
hidup di pelbagai media massa, yang membuat individu berpikir bahwa itulah yang
sedang trend di pasar yang harus dicapai (dikonsumsi) untuk memenuhi
kebutuhannya dalam berkomunikasi.

Tetapi, konstruksi pasar itu tidak akan menjadi kuat jika tidak ada jurnalisme
gaya hidup, bahkan jurnalisme sebenarnya mempunyai kekuatan besar untuk
membedah bahwa keadaan sosial yang sering dijadikan referensi adalah telah
dikonstruksi. Pembedahan realitas sosial itu adalah dengan jurnalisme budaya. yaitu
jurnalisme yang menekankan proses penyebaran nilai-nilai kearifan yang bijaksana.
Misalnya saja, jurnalisme budaya menjelaskan bahwa pakaian yang dibutuhkan setiap
individu pada hakikatnya untuk menjadi fungsi pelindung tubuh dan pentutup aurat;
karenanya sejak dari leluhur, pakaian selalu dirancang sederhana, dengan nilai rendah
hati kepada Illahi dan memikirkan saling pengertian sesama manusia. Tetapi, kita
tidak bisa langsung bereaksi bahagia, tentu korporasi menyadari ini. Dengan pelbagai
teori dari banyak ahlinya, maka disamarkanlah budaya itu menjadi budaya populer.
Termasuk pelumpuhan jurnalisme budaya agar semakin melanggengkan jurnalisme
gaya hidup.

Kaplan (dalam Damono, 2013: 29) menyatakan bahwa seni populer


merupakan hiburan bagi khalayak karena ia dibiarkannya asyik dengan dirinya
sendiri dan segala sesuatu yang telah dikenalnya. Adegan-adegan dalam novel
populer misalkan, merupakan isyarat bagi pembaca untuk menenggelamkan dirinya
dalam kenangan lama yang kini diaduk kembali, bukan merupakan pengalaman segar
yang memerlukan keberanian untuk menghayatinya. Sehingga khalayak hanya
mengulangi, dan tidak menemukan inti kesenangan apa yang sedang ia gali.

Kedua kebudayaan populer mengahancurkan nilai budaya tradisional. Selalu


ada pertentangan kepentingan antara budaya populer dan budaya tinggi. Budaya
populer yang dibangun dari budaya massa, dianggap tidak mengangkat budaya
tradisional kepada budaya massa tersebut. Sehingga dengan budaya populer, budaya
yang dibangun adalah budaya hasil produksi yang tidak substansial dan berakar dari
tradisi, sehingga asal bagaimana massa bisa menyenangi dan menjadikan budaya
yang disebarkan adalah budaya yang hidup ngetren untuk mereka.
Ketiga, kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx
Kapitalis. Marx yang menyatakan bahwa objek dimodifikasi dengan memeroleh nilai
tukar, daripada hanya memiliki nilai guna secara intrinsik. Dengan cara yang serupa,
produk budaya (dalam bentuk gambaran, ide, dan simbol) diproduksi dan dijual di
pasar media sebagai sebuah komoditas (Mc Quail, 2010 : 126). Di poin inilah media
massa berperan penting dalam merusak budaya menjadi komoditas ekonomi tidak
peduli bagaimana jadinya, bagaimana keberadaan masyarakatnya.

Keempat kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.


Budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu umumnya
menempatkan unsur populer sebagai unsur utama. Ini sejalan dengan konsep
kapitalisme, khususnya terjadi dalam kaitannya dengan media massa. Di mana
masyarakat tidak bisa menunjukkan dengan leluasa bagaimana bentuk kebudayaan
yang mereka kehendaki, karena mereka tidak memiliki alat produksi informasi.
Tetapi masyarakat hanya menjadi khalayak yang tengadah menerima bagaimana
budaya yang diciptakan oleh para penguasa media. Sehingga dikatakan bahwa budaya
populer itu menetes dari atas, tidak dua arah.

Lalu bagaimana budaya populer yang menunjang gaya hidup itu diagungkan?
Kuncinya adalah dengan komodifikasi pesan komunikasi atau komodifikasi budaya
dengan pelbagai teknik ajaib dan mujarab bagi para kapitalis. Contohnya adalah
peliputan terhadap suatu etnis di pedalaman Indonesia dengan mengharapkan banyak
pengiklan, atau bahkan lebih jelas lagi, bahwa proses jurnalisme itu melibatkan pihak
travel yang disebutkan. Hal ini relevan dengan Marx yang menyatakan bahwa objek
dimodifikasi dengan memeroleh nilai tukar, daripada hanya memiliki nilai guna
secara intrinsik. Dengan cara yang serupa, produk budaya (dalam bentuk gambaran,
ide, dan simbol) diproduksi dan dijual di pasar media sebagai sebuah komoditas (Mc
Quail, 2010 : 126).

Karenanya, kami secara jelas menyatakan bahwa jurnalisme gaya hidup


sangat berbeda dengan jurnalisme budaya. Secara singkat, perbedaan itu adalah di
akhir hasil yang diharapkan setelah produk jurnalisme itu dilemparkan ke khalayak.
Jurnalisme budaya mengharapkan adanya proses penerimaan nilai-nilai budaya
(enkulturasi), sementara jurnalisme gaya hidup lebih mengharapkan khalayak
menjadi konsumtif sesuai dengan agenda media dan korporasi, dengan dalil bahwa
individu bisa eksis dan di terima di lingkungan sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA

Burton, Graeme. (2012) Media dan Budaya Populer, Yogyakarta : Jalasutra

Damono, Djoko Sapardi. (2013). Kebudayaan (Populer) (Di Sekitar) Kita. Bandung:
editum

Hassan, Fuad. (2001) Studium Generale, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya

Ibrahim, Subandy Idi ; Akhmad, Ali Bachrudin. (2014) Komunikasi dan


Komodifikasi : Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika
Globalisasi, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Ibrahim, Subandy Idi. (2011) Kritik Budaya Komunikasi : Budaya, Media, dan Gaya
Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta : Jalasutra

Littlejohn, W. Stephen & Karen A. Foss. (2009). Theories of Human


Communication, edisi ke 9. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.

Morissan. (2013). Teori Komunikasi : Individu Hingga Massa. Jakarta : Kencana.

Mulhern, Francis. (2010) Budaya Metabudaya, Yogyakarta : Jalasutra

Quail, Mc. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.

Ritzer, George (editor). (2009). The Blackweell Encyclopedia of Sociology. USA :


Blackwell Publishing.

Rogers, F Mary. (2003) Barbie Culture, Jogjakarta : Bentang Budaya

Samovar A., Larry et.al. (2010). Komunikasi Lintas Budaya, Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Salemba Humanika.

Sutrino, Mudji. (2006) Cultural Studies : Tantangan Bagi Teori-Teori Besar


Kebudayaan, Depok : Koekoesan
LAMPIRAN

Judul Esai : Jurnalisme Gaya Hidup : Jurnalisme Budaya yang Disamarkan

Nama Perguruan Tinggi : Universitas Pendidikan Indonesia

Tim : Communication Magazine

Nama Anggota 1 : Muhammad Fasha Rouf

Tempat Tanggal Lahir : Cianjur, 20 April 1995

Alamat : Jalan Cilimus no.04

Email : m.fasha.rouf@gmail.com

No. Ponsel : 089686891832

Nama Anggota 2 : Okky Ardiansyah

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 22 Oktober 1994

Alamat : Jalan Baranangsiang no.33/34a.

Email : okkyardiansyah2@gmail.com

No. Ponsel : 081322909241

Nama Anggota 3 : Tresna Yulianti

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 16 Juli 1995

Alamat : Cimahi

Email : tresnayulianti@gmail.com

No. Ponsel : 085720358698


Tanda Pengenal

Anggota 1

Anggota 2

Anggota 3
Statement of Aut horship
“ Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa esai ini adalah murni
hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan
tanpa menyebut sumbernya.

Esai ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk esai pada
ajang kompetisi lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami
menggunakannya. “

Judul Esai : Jurnalisme Gaya Hidup : Jurnalisme Budaya yang Disamarkan

Tanggal : 6 Maret 2015

Nama Organisasi Pers : Communication Magazine

Nama Peserta 1 : Muhammad Fasha Rouf

Nomor Induk Mahasiswa : 1304776

Nama Peserta 2 : Okky Ardiansyah

Nomor Induk Mahasiswa : 1304110

Nama Peserta 3 : Tresna Yulianti

Nomor Induk Mahasiswa : 1407212

Tanda Tangan 1 :
Tanda Tangan 2 :

Tanda Tangan 3 :

Anda mungkin juga menyukai