Anda di halaman 1dari 203

ANALISIS PENERAPAN ACTOR NETWORK

THEORY (ANT) PADA CHATBOT SEBAGAI


LAYANAN FACT-CHECKING: STUDI KASUS
PADA CHATBOT MAFINDO

SKRIPSI

Diajukan guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)

Camellia Chandrawati
000 000 26459

PROGRAM STUDI JURNALISTIK


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
TANGERANG
2021
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa seminar proposal ini adalah karya

ilmiah saya sendiri, bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain

atau lembaga lain, dan semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang

dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan di

Daftar Pustaka.

Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan,

baik dalam pelaksanaan seminar proposal maupun dalam penulisan laporan

seminar proposal, saya bersedia menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK

LULUS untuk mata kuliah seminar proposal yang telah saya tempuh.

Tangerang, 2 Mei 2021

Camellia Chandrawati

ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul

“Analisis Penerapan Actor Network Theory (ANT) Pada Chatbot Sebagai


Layanan Fact-checking: Studi Kasus Pada Chatbot Mafindo”

Oleh

Camellia Chandrawati

Telah diujikan pada hari Kamis, 27 Mei 2021

pukul 08.30 s.d 10.00 dan dinyatakan lulus

Ketua Sidang Penguji Ahli

Taufan Wijaya, S. Sos., M.A. Veronika, S. Sos, M. Si.

Dosen Pembimbing
Digitally signed by Adi
Wibowo Octavianto
Date: 2021.06.10
10:30:04 +07'00'
Adobe Acrobat
version:
2021.005.20048
Adi Wibowo, S. Sos., M.Si.
Disahkan oleh
Ketua Program Studi Jurnalistik

F.X. Lilik Dwi Mardjianto, S. S., M.A.

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Matthew 6:33
But seek first his kingdom and his
righteousness, and all these things
will be given to you as well.

iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang selalu

memberikan hikmat dan penyertaan-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian

dengan judul “Analisis Penerapan Actor network theory (ANT) pada Chatbot

Sebagai Layanan Fact-checking: Studi Kasus pada Chatbot Mafindo”. Peneliti

berharap penelitian ini dapat digunakan untuk hal yang positif dan berguna bagi

kemajuan bangsa.

Penulis sadar bahwa proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Keluarga penulis atas segala dukungan yang diberikan selama

perkuliahan, khususnya selama penulisan skripsi ini.

2. Bapak Adi Wibowo Octavianto, S.Sos, M.Si., selaku dosen pembimbing

yang selalu sabar dalam membimbing penulis menyusun skripsi.

3. Para informan di Mafindo, Pak Harry, Pak Adi, Pak Fahmi, dan Pak

Gabriel yang sudah meluangkan waktu membantu penulis dalam

pengumpulan data.

4. Reynaldo Casenda, yang selalu siap sedia membantu dan mendukung

penulis dalam penyusunan skripsi ini.

v
5. Chicilia Inge, Cornel, dan Nadya yang sudah bersama-sama melewati

suka duka perkulahan ini. Terima kasih sudah mewarnai kehidupan

perkuliahan penulis, hingga akhir penulisan skripsi ini

6. Teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima

kasih banyak sudah mendukung.

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menyadari bahwa skripsi

ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis terbuka atas kritik

dan saran untuk menyempurnakan penelitian ini. Selain itu, besar harapan penulis

bahwa skripsi ini dapat diteliti lebih lanjut oleh adik-adik yang kelak akan

melakukan penelitian.

Tangerang, 2 Mei 2021

Camellia Chandrawati

vi
ANALISIS PENERAPAN ACTOR NETWORK
THEORY (ANT) PADA CHATBOT SEBAGAI
LAYANAN FACT-CHECKING: STUDI KASUS
PADA CHATBOT MAFINDO

ABSTRAK

Oleh: Camellia Chandrawati

Penelitian ini melihat adanya perkembangan teknologi dalam kegiatan


fact-checking dalam memerangi hoaks. Selain itu, adanya disinformasi yang saat
ini didorong oleh teknologi. Akibatnya, media sosial telah menjadi lahan subur
bagi propaganda yang terkomputasi. Banyak dari inisiatif organisasi pemeriksa
fakta di berbagai negara bergantung pada kecerdasan buatan yang merancang dan
mengembangkan bot yang tujuannya adalah untuk memerangi toksisitas
informasi. Di Indonesia, perkembangan ini sudah dilakukan oleh Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia (MAFINDO). Dengan adanya pengembangan perangkat lunak
Artificial Intelligence (AI) dalam layanan fact-checking yaitu “chatbot”. Melihat
chatbot digunakan untuk membantu masyarakat dalam memverifikasi hoaks,
penelitian ini berusaha mencari tahu tentang bagaimana penerapan Actor network
theory (ANT) dalam chatbot sebagai layanan fact-checking dalam memerangi
hoaks yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus oleh Stake dengan menggunakan
teknik paradigma penelitian konstruktivisme sebagai landasan berpikir untuk
merekap proses dari kegiatan yang dilakukan dalam organisasi.
Dengan melakukan wawancara yang mendalam, peneliti menemukan
bahwa selama proses chatbot terbentuk dan berlangsung, seluruh aktor dan aktan
yang terlibat memiliki peran dan kontribusinya masing-masing. Oleh karena itu,
apabila salah satu aktor yang diperlukan hilang, maka jaringan aktor dapat
mengalami perubahan. Proses yang terjadi pun dapat terhambat atau berhenti
sama sekali. Namun, jaringan aktor pada chatbot MAFINDO ini berhasil
menembus “kotak hitam” karena para aktor dan aktan selalu bersinergi untuk
mentranslasikan input-input yang ditemukannya.

Kata kunci: Fact-checking, chatbot, Actor network theory, disinformasi.

vii
ANALYSIS OF THE APPLICATION OF ACTOR
NETWORK THEORY (ANT) ON CHATBOTS AS A
FACT-CHECKING SERVICE: A CASE STUDY ON
CHATBOT MAFINDO

ABSTRACT

By: Camellia Chandrawati

This research perceives the development of technology in the activities of


fact-checking against hoax. In addition, there is a disinformation that currently
driven by technology. As a result, social media has become a fertile ground for
propaganda computed tomography. Many initiatives from the organization of fact-
checkers in the different countries rely on artificial intelligence who design and
develop a bot whose purpose is to combat toxicity information. In Indonesia, this
development has been done by the Masyarakat Anti Fitnah Indonesia
(MAFINDO). With its software development Artificial Intelligence (AI) in the
service of fact-checking that is “chatbot”. See the chatbot is used to help the
community to verify the hoax, this research attempted to find out about how the
application of Actor Network Theory (ANT) in the chatbot as a service fact-
checking against hoax made by the Community Anti Fitnah Indonesia
(MAFINDO). This research using the method of case study by Stake by using the
technique of research paradigm of constructivism as a basis for supporting the
process of the activities performed in the organization.
With do-depth interview, the researchers found that during the process of
chatbot formed and go on, the entire actors and aktan involved has a role and
contribution of each. Therefore, if one of the actors that is required is missing,
then the network actors can change. The process that occurs can be inhibited or
stopped altogether. However, the this network of actors in the MAFINDO chatbot
managed to penetrate the “black box” because the actors and aktan always work
together translation the inputs that they discovered.

Keywords: Fact-checking, chatbot, Actor network theory, disinformation.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN AWAL…………………………………………………….…………i
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR BAGAN............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 15
1.5 Kegunaan Penelitian ............................................................................... 16
a. Kegunaan Akademis ....................................................................... 16
b. Kegunaan Praktis ............................................................................ 16
c. Kegunaan Sosial .............................................................................. 17
1.6 Keterbatasan ........................................................................................... 17
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................... 18
2.1 Penelitian Terdahulu............................................................................... 18
2.2 Teori dan Konsep ................................................................................... 25
2.3 Alur Penelitian ........................................................................................ 40
BAB III METODELOGI PENELITIAN .............................................................. 42
3.1 Paradigma Penelitian .............................................................................. 42
3.2 Jenis dan Sifat Penelitian ........................................................................ 43
3.3 Metode Penelitian ................................................................................... 44
3.4 Key informan dan Informan ................................................................... 45
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 47
3.6 Keabsahan Data ...................................................................................... 48

ix
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................................. 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 53
4.1 Subjek/ Objek Penelitian ........................................................................ 53
4.2 Hasil Penelitian....................................................................................... 57
4.2.1 Peran dan Tanggung Jawab Tim Chatbot Kalimasada pada Proses
Chatbot sebagai Layanan Fact-checking di MAFINDO ............................... 57
4.2.2 Alat dan Aplikasi yang Digunakan dalam Proses Chatbot sebagai
Layanan Fact-checking di MAFINDO .......................................................... 68
4.2.3 Proses Chatbot Kalimasada di Mafindo.......................................... 73
4.3 Pembahasan .............................................................................................. 79
4.3.1 Analisis Teori Jaringan Aktor (ANT) dalam Praktik Chatbot
Kalimasada di Mafindo .................................................................................. 79
4.3.1.1 Aktor dan Aktan dalam Proses Chatbot Kalimasada ...................... 79
4.3.1.2 Jaringan Aktor Terbentuk Praktik Chatbot Kalimasada ................. 88
4.3.1.3 Proses Translasi dalam Proses Chatbot Kalimasada...................... 92
4.3.1.4 Proses Intermediary dalam Proses Chatbot Kalimasada ................ 99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 121
5.1 Simpulan ............................................................................................... 121
5.2 Saran ..................................................................................................... 123
5.2.1 Saran Akademis ............................................................................ 123
5.2.2 Saran Praktis.................................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 125
LAMPIRAN A .................................................................................................... 130
LAMPIRAN B…..……………………………………………………………...205

x
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Aktor-aktor dalam proses chatbot Kalimasada…………...83

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Chatbot IFCN di WhatsApp………………………………………….6

Gambar 1.2 Nomor WhatsApp Chatbot MAFINDO………………………………9

Gambar 4.1 Logo Masyarakat Anti Fitnah Indonesia……………………………55

Gambar 4.2 Aplikasi dan Media Sosial MAFINDO……………………………..56

Gambar 4.3 Output Chatbot Kalimasada………………...………………………80

Gambar 4.4 Daftar Task di Plan.io………………………………………………81

Gambar 4.5 Hasil Periksa Fakta Masuk ke Dalam Database Yudistira...…….....81

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Alur Penelitian……..…………………………………………………41

Bagan 4.1 Proses Automated Chatbot Kalimasada………………………………79

Bagan 4.2 Jaringan Aktor Tahap Proses Sistem Desain dan Manage Tim……....97

Bagan 4.3 Jaringan Aktor pada Tahap Eksekusi Chatbot Kalimasada…………101

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia terkenal keaktifannya dalam

menggunakan media sosial. Hal ini dibuktikan berdasarkan data

dari Wearesosial Hootsuite, pengguna media sosial di Indonesia

mencapai 150 juta atau sebesar 56 persen dari total populasi.

Sementara, pengguna media sosial yang menggunakan gawai

mencapai 130 juta atau sekitar 48 persen dari populasi (Berapa

Pengguna Media Sosial Indonesia?, 2019, para. 1). Media sosial

yang paling sering diakses adalah WhatsApp, persentasenya sebesar

84 persen. Kemudian, ada Facebook sebesar 82 persen dan

Instagram 79 persen (Jayani, 2020, para. 1). Bisa disimpulkan

bahwa WhatsApp menjadi media sosial yang menyediakan layanan

pesan instan dengan presentase tertinggi di Indonesia.

Banjir informasi yang diterima masyarakat di media sosial

sering kali tidak akurat dan yang lebih parahnya lagi mendapatkan

berita palsu atau informasi yang tidak diverifikasi. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa akses ke berita palsu lebih tinggi

daripada akses ke berita yang diverifikasi (Vivar, 2019, p. 1).

Alhasil, terkadang hoaks atau berita bohong dapat menimbulkan

1
konflik. Sebagai contoh yang dilansir dari artikel Remotivi, sebuah

video layanan masyarakat dari Pakistan, yang ditujukan untuk

mendidik masyarakat tentang bahaya penculikan, disunting dan

diceritakan ulang sebagai insiden penculikan nyata, kemudian

disebarkan melalui aplikasi pesan instan WhatsApp. Akibat dari

kejadian viral melalui media sosial ini, terdapat 20 orang tewas

dihakimi massa akibat pesan hoaks tentang ancaman penculikan

ini. Para korban yang dicurigai penculik ini ternyata hanyalah

orang-orang biasa yang menanyakan jalan atau sekedar menyapa

anak-anak (Imaduddin, 2018, para. 6). Pihak WhatsApp sendiri

telah mengakui bahwa aplikasi mereka menjadi lahan subur bagi

persebaran hoaks (Imaduddin, 2018, para. 9).

Fenomena hoaks atau berita bohong melalui media sosial

beberapa tahun ini marak terjadi di Indonesia. Pernyataan ini

dibuktikan oleh survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika

Indonesia (MASTEL) pada 2019, bahwa saluran penyebaran berita

hoaks di media sosial (Facebook, Instagram, Twitter) mencapai

87,50 persen dan penyebaran melalui aplikasi pesan instan (Line,

WhatsApp, Telegram) mencapai 67,00 persen (MASTEL, 2019,

slide 24). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)

juga menyebut bahwa terdapat 800 ribu situs di Indonesia yang

terindikasi menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian

(Yuliani, 2017, para. 6). Ada beberapa jenis hoaks yang tersebar di

2
masyarakat yaitu fake news, clickbait, confirmation bias,

misinformation, satire, post-truth dan propaganda (Rahadi, 2017, p.

62).

United Nations Educational, Scientific, and Cultural

Organization (UNESCO) (2019) menyebutkan bahwa kecepatan

dan akses terbuka yang dimiliki oleh media sosial membuat

masyarakat menjadi pembuat konten. Akan tetapi, kemudahan yang

ditawarkan ternyata juga membuka akses baru bagi penyebaran

misinformasi dan disinformasi. Hal ini kemudian disebut UNESCO

sebagai kekacauan informasi (information disorder). Sebutan

“kekacauan informasi” ini krisisnya jauh lebih kompleks daripada

istilah “berita palsu”. Kekacauan informasi ini pada akhirnya

mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam menanggapi realitas,

persetujuan bersama, partisipasi masyarakat, hingga berakibat pada

turunnya kepercayaan (UNESCO, 2019, p. 52).

Penyebaran berita palsu atau hoaks yang semakin masif di

media sosial merupakan ancaman nyata bagi siapa pun termasuk

sebuah negara. Seiring berkembangnya teknologi, berita palsu atau

hoaks menjelma lebih canggih seperti menggunakan kecerdasan

buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk memanipulasi

pembuatan audio dan video (Agung, 2019, para. 2).

3
Sebagai contoh yang dilansir pada artikel BBC pada tahun

2019, gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute

(ASPI) melakukan investigasi terkait keberadaan jaringan bot dan

informasi palsu dalam menyebarkan “propaganda pro-pemerintah”

mengenai isu Papua. Tujuan kampanye ini adalah untuk

mempengaruhi opini dunia internasional mengenai Papua. Melihat

konteks Papua yang hanya sedikit akses pada media yang

independen, kampanye ini seharusnya menjadi lebih efektif.

Melalui investigasi ini terungkap bahwa jaringan ratusan akun di

media sosial, perusahaan, dan individu terkait dengan kampanye

terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah. Penelusuran investigasi

bot ini berujung pada jaringan akun yang terlihat “tidak otentik dan

diotomatisasi” yang tersebar di setidaknya lima platform, yaitu

website, Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram. Mereka

mempublikasikan video berkualitas tinggi dalam bahasa Inggris

dan Indonesia, serta mempublikasikan konten dalam dua bahasa.

Seperti di Twitter, akun bot diotomasi dan digunakan untuk

mempromosikan dan membagikan konten palsu dari akun utama

(Strick & Syavira, 2019, para. 1-9). Dengan kata lain, berita palsu

atau tipuan disebarluaskan oleh suatu bentuk kecerdasan buatan,

seperti bot (akronim untuk robot) melalui berbagai media digital

untuk tujuan yang salah.

4
Dampak dari hal tersebut sangat berbahaya. Tidak hanya

peranti untuk membuat hoaks tapi juga bisa menjadi pemicu

kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap media-media yang

sah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis dan

organisasi media. Ashari (2017) juga mengatakan bahwa tantangan

terbesar di dunia saat ini adalah hoaks, berita bohong dan ujaran

kebencian yang beredar di masyarakat (para. 1).

Namun, seperti halnya kejahatan itu dibuat kecerdasan

buatan atau Artificial Intelligence (AI) ternyata juga merupakan

solusi untuk melawan berita palsu dan hoaks. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Vivar, bahwa kecerdasan buatan dapat membantu

masyarakat untuk menangkal disinformasi oleh berita palsu.

Strategi ini didasarkan pada pertempuran melawannya

menggunakan senjata yang sama (Vivar, 2019, p. 198).

Salah satu hal yang membuat penyebaran berita palsu atau

hoaks semakin viral biasanya karena masyarakat malas untuk

melakukan verifikasi (Herman, 2019, para. 3). Belum lama ini,

penerapan bot sebagai upaya melawan ribuan hoaks telah dilakukan

organisasi pemeriksa fakta diseluruh dunia.

Sebagai contoh yang dikutip dari artikel Poynter.org,

International Fact-checking Network (IFCN) meluncurkan

“chatbot” suatu layanan obrolan dengan kecerdasan buatan di

5
aplikasi pesan instan WhatsApp. Bot IFCN di WhatsApp dibuat

untuk mengatasi tantangan misinformasi, khususnya selama

pandemi COVID-19. Chatbot ini bergantung pada informasi yang

disediakan oleh lebih dari 100 pemeriksa fakta independen di lebih

dari 70 negara dan juga dengan basis data terbesar dari kepalsuan

yang berkaitan dengan virus corona. Hal ini merupakan kolaborasi

pemeriksa fakta terbesar yang pernah ada. Basis data diperbarui

setiap hari oleh IFCN sehingga pengguna chatbot IFCN di

WhatsApp dapat mengakses kontennya yang paling relevan dan

terkini. Siapa pun dapat mengirimkan informasi yang diragukan

untuk ditinjau langsung ke pemeriksa fakta sesuai negaranya (Grau,

2020, para. 1-4).

Melihat chatbot IFCN, tampilan chatbot memiliki menu

sederhana, pendek dan numerik. Pengguna hanya perlu nomor teks

untuk menavigasi itu. Contohnya seperti pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 Chatbot IFCN di WhatsApp

6
Sumber: WhatsApp/IFCN, 2020

Inovasi chatbot ini merupakan salah satu bentuk layanan

fact-checking dalam memerangi hoaks. Selain chatbot dari IFCN di

lingkup yang lebih kecil, beberapa negara telah memiliki chatbot

sebagai alat bantu periksa fakta otomatis. Dilansir dari Poynter.org,

enam bulan menjelang pemilihan umum di Brasil, pemeriksa fakta

telah menggunakan dukungan Facebook untuk menjangkau

pembaca mereka dengan lebih baik. Organisasi pengecekan fakta

asal Brasil bernama Agencia Lupa, membuat chatbot bernama

“Project Lupe!” yang memungkinkan orang untuk meminta

informasi yang diverifikasi tentang segala hal, mulai dari

pernyataan kandidat hingga berita palsu yang viral. Penerapan

chatbot dilakukan dengan hanya mengirim pesan ke Agencia Lupa

di Facebook, yang memiliki sekitar 125 juta pengguna bulanan di

Brasil (Funke, 2018, para. 1-6).

Fact-checking atau pemeriksaan fakta bukan isu baru dalam

perkembangan jurnalisme. Pada dasarnya, setiap proses jurnalisme

membutuhkan pemeriksaan fakta karena prinsip dasar jurnalisme

sendiri adalah faktualitas dan verifikasi (Nurlatifah & Irwansyah,

2019, p. 124). Fact-checking sendiri merupakan tindakan

memeriksa pernyataan faktual untuk menyatakan kebenaran yang

dapat dilakukan baik sebelum atau setelah berita diterbitkan atau

disebarluaskan. Menurut Amazeen, fact-checking atau periksa

7
fakta merupakan bentuk akuntabilitas jurnalisme. Pengecekan fakta

yang berdedikasi dan berkomitmen yang mempublikasikan

kesalahan atau kebohongan terlepas dari sumbernya (Amazeen,

2017, p. 5).

Penerapan chatbot sebagai layanan fact-checking juga

sudah dilakukan di Indonesia. Organisasi pemeriksa fakta yang

bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) hadir

sebagai komunitas yang bertugas dan berdedikasi untuk memerangi

kekacauan informasi yang tersebar. Pendiri dan anggota

MAFINDO datang dari berbagai macam latar belakang profesi.

Beberapa diantaranya merupakan penggiat Teknologi Informasi

(IT).

Dutton (2009) mengatakan bahwa kehadiran pengecek

fakta di luar institusi berita dan jurnalis dapat disebut sebagai “pilar

kelima” yang terdiri dari pengeblog dan aktor eksternal lain yang

mengoreksi kesalahan yang dibuat jurnalis (Berger, 2019, p. 11).

Hal tersebut, bukanlah sesuatu yang menguntungkan bagi jurnalis,

karena hal tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat

tehadap praktik jurnalisme oleh institusi media.

MAFINDO sebagai komunitas yang mempunyai peran

untuk menyaring suatu berita atau informasi yang diterima oleh

masyarakat, MAFINDO telah membuat chatbot untuk

8
memudahkan masyarakat dalam proses verifikasi informasi

terhadap foto, video, teks, atau audio yang memiliki potensi

misinformasi (Herman, 2019, para. 2). MAFINDO juga sudah

mendapatkan sertifikat fact-checking kelas internasional dari

International Fact-checking Network (IFCN) (Herman, 2019, para.

4). Dalam melakukan pengecekan fakta, MAFINDO bekerjasama

dengan berbagai lembaga pemerintah, lembaga negara, organisasi

masyarakat sipil, pengelola media sosial, dan berbagai organisasi

media yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) (Syafitrah, 2020, dalam

Webinar “Mengenal Profesi Fact Checker Lebih Dekat”).

Melihat platform WhatsApp menjadi wadah yang paling

banyak penyebaran berita hoaks, WhatsApp juga berupaya untuk

menggandeng MAFINDO untuk membuka hotline bagi masyarakat

untuk melaporkan hoaks (Yanuar, 2019, para. 1). MAFINDO

merupakan satu-satunya organisasi pengecekan fakta di Indonesia

yang digandeng oleh WhatsApp saat ini. Berikut sebagian besar

kumpulan nomor Organisasi Pemeriksa Fakta IFCN di WhatsApp

pada Gambar 1.2.

9
Gambar 1.2 Nomor WhatsApp Chatbot MAFINDO sebagai

Organisasi Pemeriksa Fakta di Indonesia

Sumber: faq.WhatsApp.com, 2020

Dalam penggunaannya, masyarakat hanya perlu mengirim

pesan mengenai berita atau informasi yang dicurigai sebagai hoaks

ke nomor WhatsApp MAFINDO, kemudian chatbot MAFINDO

secara “otomatis” akan memberikan verifikasi informasi yang

dipastikan keakuratan dan keaslian sesuai database yang dimiliki

(Suwanto, 2019, para. 12). MAFINDO sendiri sudah menggunakan

kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang bisa

langsung menentukan berita hoaks yang tersebar di aplikasi

percakapan (MAFINDO Siapkan Aplikasi Deteksi Hoaks

WhatsApp, 2018, para. 4).

Chatbot menjelma menjadi inovasi paling banyak diminati.

Chatbot sendiri bekerja untuk menggantikan peranan manusia

dalam melayani pembicaraan melalui aplikasi pesan. Chatterbot

10
atau chatbot adalah sebuah program komputer yang dirancang

untuk menstimulasikan percakapan intelektual dengan satu atau

lebih manusia baik secara audio maupun teks (Zaenudin, 2017,

para. 1). Chatbot dikembangkan untuk bisa mensimulasi

percakapan manusia sesungguhnya (Zaenudin, 2017, para. 7).

Menurut BotsCrew, salah satu pengembang chatbot yang

berlokasi di Inggris dan Ukraina, dalam mensimulasikan

percakapan, chatbot memiliki tiga jenis proses yaitu chatbot yang

berbasis aturan, chatbot yang mandiri secara intelektual, dan

chatbot yang bertenaga AI. Berdasarkan jenisnya, bot juga

menggunakan mekanisme Artificial Intelligence (AI), Machine

Learning (ML), dan Natural Language Procesing (NLP) (What

Are Bots? How Do Chatbots Work?, 2019, para. 34).

Secara sosial, kehadiran chatbot sebagai inovasi baru dalam

masyarakat luas juga mengajarkan konsep verifikasi fakta yang

lebih praktis, efisien dan efektif yang bertujuan untuk menghambat

dan menanggulangi penyebaran hoax bagi masyarakat luas lainnya.

Menurut survey yang dilakukan Masyarakat Telematika

Indonesia (MASTEL) pada tahun 2019, menunjukkan bahwa

82,80% masyarakat memeriksa kebenaran dari berita heboh melalui

internet (search engine). Sisanya menyatakan bahwa memeriksa

kebenaran berita heboh melalui media massa, menanyakan orang

11
yang dianggap tahu, dan melalui media sosial. Dalam survey ini

juga ditunjukkan masih adanya 27,4% responden yang tidak

mengetahui cara memeriksa kebenaran berita heboh (MASTEL,

2019, slide 14 & 16 ). Pada kenyataannya banyak masyarakat yang

masih belum mengetahui keberadaan chatbot MAFINDO ini,

karenanya banyak pula yang belum memeriksa kebenaran

menggunakan media sosial ataupun yang tidak mengetahui cara

memeriksa kebenaran berita heboh.

Melihat adanya sebuah ide dan teknologi baru yang tersebar

dalam kehidupan sosial. Peneliti akan mengimplementasikan

analisis Actor network theory (ANT) dalam menjabarkan proses

yang dilakukan selama mengoperasikan chatbot sebagai layanan

pada organisasi MAFINDO terhadap khalayak. Walaupun ANT

bukan teori yang spesifik dikembangkan untuk memahami chatbot,

tetapi teori ini membantu dalam memahami praktik teknologi

sebagai sebuah jaringan antar manusia dan antar aktor (Mustika,

2015, p. 39). Asumsi dari teori ini menyatakan bahwa segala hal

dapat dilihat sebagai keterkaitan antar aktor. Di dalam teori ini,

secara kasarnya, manusia maupun non-manusia (komputer atau

artefak teknologi lainnya) adalah sama (Mustika, 2015, p. 39).

Melihat penelitian terdahulu menggunakan teori ANT

untuk melihat inovasi baru di suatu organisasi, peneliti merasa teori

ini pantas menjadi acuan dari penelitian ini karena fokus yang

12
diteliti adalah mengenai praktik chatbot MAFINDO, di mana hasil

pengecekan fakta yang dipublikasikan melalui chatbot tidak hanya

berasal dari internal organisasi MAFINDO saja, tetapi ada

pengaruh eksternal, seperti teknologi pendukung, masyarakat,

organisasi lain yang terlibat, dan lainnya. Kemudian, jaringan yang

terbentuk dapat berpengaruh pada hasil akhir dari sebuah pemikiran

(Safitri, 2019, p. 11).

Penelitian ini dirasa penting untuk dilakukan dikarenakan

masih minimnya studi mengenai Actor network theory (ANT) di

Indonesia, khususnya pada praktik chatbot sebagai layanan fact-

checking di MAFINDO. Pada penelitian sebelumnya, penelitian

ANT ini digunakan untuk mempelajari berbagai pertanyaan dalam

media dan komunikasi seperti melihat perspektif baru dalam

penelitian komunikasi dengan berfokus pada peran teknologi dalam

komunikasi dan hubungan antara manusia dan non-manusia

(Waldherr, Geise, & Katzenbach, 2019, p. 3956).

Selain itu, penelitian ANT sebelumya juga menjabarkan

peran serta teknologi dalam praktik kerja jurnalisme untuk

membuktikan bahwa jurnalisme tidak hanya terdiri dari aspek

‘siapa’ merujuk pada manusia, melainkan ‘siapa dan apa’ yang

merujuk pada manusia dan non-manusia (Primo & Zago, 2015, p.

39). Maka dari itu, peneliti ingin memperluas penelitian ANT ini

dengan menjelaskan aspek-aspek yang masih belum disebutkan dan

13
dijelaskan seperti proses jaringan, proses translasi, dan proses

intermediari yang terjadi. Selain itu juga, belum ada yang melihat

praktik chatbot pengecekkan fakta ini melalui sudut pandang siapa

dan apa saja yang berperan penting dalam berkontribusi selama

proses hubungan jaringan terbentuk.

Penelitian ini juga melihat hubungan mesin dengan

manusia, dimana para aktor yang ada di dalam jaringan tersebut

bersinergi untuk menyukseskan proses chatbot sebagai layanan

fact-checking, terutama pada praktik chatbot MAFINDO.

1.2 Rumusan Masalah

Ada pun rumusan masalah yang dijadikan pokok bahasan

dalam penelitian ini adalah bagaimana pendekatan Actor network

theory (ANT) digunakan untuk menganalisis proses chatbot

sebagai layanan fact-checking di MAFINDO.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Dalam membantu peneliti menjawab rumusan masalah

yang telah dibuat, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan

menggunakan pisau analisis Actor Network Theory.

Vivar (2019) mengatakan bahwa teknologi chatbot sebagai

layanan verifikasi fakta yang masih dalam tahap awal ini masih

membutuhkan manusia dalam pengembangannya (p. 204).

14
Maka dari itu, peneliti menyusun beberapa pertanyaan

penelitian. Antara lain:

1. Siapa saja aktor dan aktan yang terlibat dalam praktik

chatbot sebagai layanan fact-checking pada chatbot

MAFINDO ?

2. Bagaimana jaringan yang terbentuk pada chatbot

MAFINDO ?

3. Bagaimana proses translasi yang terjadi pada chatbot

MAFINDO?

4. Bagaimana proses intermediari yang terjadi pada chatbot

MAFINDO ?

1.4 Tujuan Penelitian

Ada pun tujuan penelitian yang ingin dicapai melalui

penelitian ini. Antara lain:

1. Mengidentifikasi siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam

praktik chatbot sebagai layanan fact-checking ini.

2. Menjelaskan jaringan yang terbentuk selama proses chatbot

di MAFINDO ketika melakukan penyebaran konten

pemeriksaan fakta.

3. Menjelaskan proses pembentukan (translasi) pada chatbot

sebagai layanan fact-checking.

4. Menjelaskan proses sirkulasi antar aktor (intermediari) pada

chatbot sebagai layanan fact-checking.

15
1.5 Kegunaan Penelitian

Peneliti sangat berharap kajian ini dapat memberi manfaat

bagi pembaca yang memiliki keingintahuan atau minat terhadap

penerapan chatbot sebagai layanan fact-checking.

a. Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan mengenai pembentukan chatbot mulai dari

proses terbentuknya hingga proses berlangsungnya

khususnya dalam layanan chatbot sebagai pemeriksaan

fakta. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas

penelitian lain mengenai penerapan chatbot dalam

jurnalistik serta pengimplementasian Actor Network

Theory (ANT), dan dapat dikembangkan untuk

memperkaya penelitian selanjutnya dalam aspek teknologi

dan jurnalistik.

b. Kegunaan Praktis

Peneliti berharap melalui penelitian ini ke depannya

banyak dimanfaatkan oleh media dan khalayak untuk

mengetahui chatbot lebih dalam. Seperti cara penggunaan

chatbot untuk memeriksa fakta. Pemaparan ini juga

diharapkan dapat menjadi bahan kajian baru yang dapat

dikaji lebih luas lagi dan diharapkan hasil penelitian ini

16
dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam

meningkatkan kualitas pemeriksaan fakta di suatu

organisasi asosiasi atau media.

c. Kegunaan Sosial

Peneliti berharap kajian ini dapat memberikan

dampak yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena pada

zaman sekarang yang serba teknologi ini, berita tersebar

dengan sangat cepat, sehingga masyarakat hanya

menerima berita yang belum tentu benar faktanya, maka

diharapkan masyarakat menggunakan chatbot pemeriksa

fakta sebagai alat bantu untuk memeriksa kebenaran berita

atau informasi yang diragukan, sehingga tidak langsung

menyebarkan berita.

1.6 Keterbatasan

Pada penelitian ini, tentu ada beberapa keterbatasan yang

dimiliki. Peneliti mengalami keterbatasan penelitian dalam mencari

penelitian terdahulu mengenai chatbot khususnya chatbot sebagai

layanan fact-checking, serta penelitannya di Indonesia.

Dikarenakan, layanan chatbot sebagai alat bentuk untuk

menyebarkan periksa fakta masih sedikit di Indonesia.

17
BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian Terdahulu

Berbagai pengertian mengenai teori dan konsep diperlukan

bagi peneliti sebagai dasar dari kajian penelitian. Oleh karena itu, peneliti

melakukan kajian terhadap beberapa jurnal yang sesuai dan mendukung

penelitian yang disusun peneliti.

A. Artificial intelligence and journalism: diluting the impact of

disinformation and fake news through bots

Penelitian ini terbit pada tahun 2019 ini ditulis oleh Jesus

Miguel Flores Vivar dan diterbitkan oleh ResearchGate. Dalam

penelitian ini Vivar (2019) menganalisis perkembangan utama bot

yang digunakan untuk mengurangi dampak berita palsu. Vivar juga

membahas tentang disinformasi sebagai fenomena yang jauh

melampaui istilah ‘berita palsu’, sehingga menimbulkan penurunan

tajam kredibilitas organisasi berita (p. 197). Selain itu, Vivar juga

melihat bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menerima

informasi yang berkualitas, dan media harus memastikan bahwa

informasi yang diterima warga benar. Namun kenyataannya warga

tidak selalu memiliki akses ke informasi yang akurat (p. 198).

18
Menurutnya, fenomena berita palsu yang berasal dari

teknologi baru yang mengganggu, hal yang sama juga dapat kita

gunakan untuk mencegah berita palsu. Melalui inovasi yang telah

terjadi di bidang Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan,

kita dapat menggunakan senjata yang sama untuk melawan hoaks.

Dalam penelitian ini dikatakan bahwa kecerdasan buatan telah

digunakan untuk membantu warga menangkal disinformasi dari

berita yang tidak diverifikasi dalam beberapa tahun terakhir.

Penelitian ini menganalisis beberapa jenis kecerdasan

buatan seperti bot yang dirancang dan dibuat untuk membantu

organisasi berita dalam memverfikasi informasi dan memastikan

bahwa pembaca yang menerima informasi yang andal dan kredibel

(Vivar, 2019, p. 198).

Vivar (2019) menjelaskan dua konsep dalam penelitiannya

yakni membahas model informasi yang muncul berdasarkan

algoritma dan kecerdasan buatan di dalamnya membahas kerusakan

berita palsu, disinformasi, dan pasca-kebenaran dan juga

membahas ekosistem kecerdasan buatan, algoritme dan bot (p. 199-

204). Konsep yang kedua membahas pemeriksa fakta dan algoritma

yang memverifikasi informasi di dalamnya membahas institusi

akademik dan profesional berjuang melawan berita palsu (p. 205-

206).

19
Vivar menganalisis enam jenis chatbot verifikasi informasi

yakni, Fatima de Aosfatos, TruthBuzz, Facterbot, Fake News

Detector, Projeto Lupe (Agência Lupa!), Les Décodeurs (Le

Monde) (Vivar, 2019, p. 207-208). Dalam analisisnya, Vivar

menjelaskan inovasi dan tujuan terbentuknya dari masing-masing

chatbot verifikasi informasi tersebut.

Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan Vivar (2019)

adalah deskriptif-eksploratif. Vivar juga menggunakan triangulasi

teknik kualitatif dan kuantitatif. Dalam melakukan analisis data,

Vivar menggunakan analisis longitudinal dari berbagai teks ilmiah

(artikel, laporan, makalah, dan buku). Metode kedua yang

digunakan adalah pemilihan dan analisis berbagai aplikasi bot

kecerdasan buatan (p. 208-209).

Vivar (2019) memberikan kesimpulan dalam penelitian ini

bahwa kapasitas jurnalis untuk mendeteksi berita palsu, dan literasi

pengguna perlu ditingkatkan. Meskipun penyebaran diferensial dari

kebenaran dan kebohongan adalah penting dengan atau tanpa

kegiatan bot, Vivar khawatir bahwa penilaian manusia mungkin

bias oleh bot berbahaya (p. 209).

Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang

disusun oleh penulis. Kesamaan terletak pada topik penelitian yang

membicarakan chatbot sebagai alat bantu untuk verifikasi

20
informasi, yang menjadi perbedaan adalah penelitian yang disusun

penulis hanya menganalisis satu organisasi pengecekan fakta yaitu

MAFINDO, dikarenakan MAFINDO memiliki chatbot yang sama

fungsinya untuk memverifikasi informasi. Penelitian Vivar

menggunakan mixed method sedangkan penulis hanya fokus satu

metode saja yaitu studi kasus kualitatif. Peneliti menggunakan

metode kualitatif karena untuk mengeksplorasi lebih dalam terkait

penerapan chatbot sebagai alat memerangi hoaks.

Penelitian Vivar lebih menjelaskan inovasi dan tujuan

terbentuknya dari masing-masing chatbot yang ia analisis. Berbeda

dengan penelitian yang penulis akan teliti, peneliti ingin

memaparkan hal-hal kompleks terkait penerapan chatbot sendiri

dengan menggunakan pendekatan konsep dari Actor network

theory (ANT), dengan pendekatan ini penulis berharap bisa

menemukan prinsip dan konsep baru dalam ranah jurnalisme.

B. Who and What Do Journalism?

Penelitian yang terbit pada tahun 2015 ini ditulis oleh Alex

Primo & Gabriela Zago dan diterbitkan oleh Routledge Taylor &

Francis Group. Dalam jurnal ini Primo & Zago (2015)

menganalisis adanya aktor lain yang tersembunyi di dalam praktik

jurnalistik (p. 38). Prima & Zago juga mengkritisi adanya

pandangan konservatif terkait jurnalisme, menurutnya pertanyaan

21
“siapa yang melakukan” sekarang menunjukkan keterbatasannya.

Mereka berpendapat bahwa jurnalisme tidak hanya diproduksi oleh

“hubungan sosial” antara editor, jurnalis, dan narasumber, tetapi

juga oleh pelaku non-manusia (seperti jaringan komputer) yang

berpartisipasi dalam proses tersebut. Oleh karena itu, Prima &

Zago merumuskan pertanyaan kembali seperti “siapa dan apa yang

dilakukan jurnalisme?” (p. 39).

Dalam penelitiannya, Prima & Zago menggunakan Actor

network theory (ANT) sebagai kontribusi ontologis dalam

pembahasannya. Menurutnya, perspektif ANT melibatkan aktor

manusia dan non-manusia, serta tidak hanya menilai pandangan

terkait aspek ‘siapa yang melakukan’ melainkan adanya aspek

‘apa’ yang juga tidak kalah pentingnya. Prima & Zago (2015)

memusatkan upaya penelitiannya pada aspek aktor jurnalisme,

mereka fokus pada peran yang dimainkan oleh artefak teknologi

sebagai aktor sosial penuh dengan peran yang berubah kemudian

mereka mendapatkan bukti bahwa jurnalisme hari ini akan berbeda

tanpa adanya teknologi digital. Maka dari itu, Prima & Zago

melihat adanya teori jurnalisme yang perlu mempertimbangkan

artefak tersebut sama pentingnya dengan pelaku lain (aktan) dalam

proses produksi, sirkulasi, dan konsumsi berita yang sedang

berlangsung (p. 39).

22
Prima & Zago menyimpulkan bahwa jurnalisme dapat

terjadi akibat adanya penggabungan peran dan kontribusi dari aktor

manusia dan non-manusia (teknologi). Hal tersebut sesuai dengan

pandangan ANT.

Penelitian Primo & Zago memiliki persamaan dengan

penelitian penulis. Kesamaan terletak pada perspektif atau teori

yang digunakan, yaitu Actor network theory (ANT). Perbedaan

penelitian Primo & Zago dengan peneliti terletak pada objek yang

diteliti. Objek penelitian Primo & Zago merupakan praktik

jurnalisme secara umum, sedangkan objek peneliti yaitu spesifik

kepada praktik chatbot sebagai layanan fact-checking di

MAFINDO. Selain itu, penelitian Primo & Zago hanya

memfokuskan pada aspek aktor saja sedangkan penelitian yang

dilakukan peneliti mencakup empat aspek yaitu aktor, aktan,

translasi, dan intermediari.

C. Inovasi Teknologi Portal Intranet Kominfo: Perspektif Actor

network theory

Jurnal yang terbit pada tahun 2015 ini ditulis oleh Rieka

Mustika dan diterbitkan oleh Jurnal Komunikasi Indonesia. Dalam

jurnal ini Mustika (2015) melihat bagaimana proses translasi yang

terjadi ketika inovasi teknologi portal intranet diterapkan di

Kementerian Kominfo (p. 38). Penelitian ini melihat adanya

23
teknologi komunikasi berupa “portal intranet” yang merupakan

pilihan untuk membuat akses informasi dan komunikasi di internal

organisasi menjadi lebih ekfektif dan efisien. Portal intranet

tersebut dapat juga digunakan sebagai penyedia informasi untuk

masyarakat.

Melihat adanya difusi inovasi dalam suatu organisasi

tersebut, penelitian ini menggunakan Actor network theory (ANT)

dalam menjelaskan hal tersebut. Teori ANT membantu penelitian

ini dalam memahami praktik teknologi sebagai sebuah jaringan

antar manusia dan antar aktor. Penelitian ini menggunakan konsep

difusi inovasi dan Actor network theory. Pendekatannya adalah

kualitatif, dengan metode studi kasus.

Dalam penelitiannya, Mustika memfokuskan penelitiannya

pada aspek translasi dari Actor network theory (ANT) dengan

tujuan untuk mengungkap fase-fase yang terjadi ketika penerapan

inovasi portal intranet dilakukan.

Mustika (2015) menjelaskan bahwa translasi adalah cara

untuk menggambarkan gerakan tidak hanya dari praktek

pengetahuan dan budaya, tetapi juga teknologi dan artefak.

Terdapat empat proses yang terjadi antara lain problematisation,

interressement, enrollment, dan mobilisasi (p. 39). ANT dalam

penelitian ini dapat mengungkap relasi persoalan antar aktor,

24
memfokuskan translasi dalam proses terbentuknya jaringan

(network).

Meskipun penelitian Mustika bukan dalam ranah

jurnalistik, akan tetapi konsep dari penelitian ini membantu peneliti

untuk memahami dan memperluas detail dari aspek translasi dalam

konsep ANT.

2.2 Teori dan Konsep

2.2.1 Actor network theory (ANT)

Actor network theory (ANT) adalah sebuah teori yang

memandang bahwa segala sesuatu tidak ada yang berdiri sendiri,

segala sesuatu hidup dalam sebuah jaringan. ANT

dikembangkan oleh Michel Callon, Bruno Latour, dan John Law

(dalam Wulandari, 2018, p. 2).

Pada awalnya ANT dipakai dalam studi Science

Technology Society (STS), salah satu kajian multidisiplin dan

transdisiplin yang meneliti tentang cara teknologi memengaruhi

perubahan sistem politik, ekonomi, dan perilaku masyarakat

(PCBM, 2017, para. 3). Figueiredo (2008) mengatakan konsep

utama dari ANT adalah sosioteknis, dimana konstruksi realitas

dibangun oleh penggabungan antara sosial (manusia) dan

teknologi (dalam Safitri, 2019, p. 22).

25
Dalam perkembangannya, ANT tidak hanya dipakai dalam

studi STS, tetapi sudah banyak dipakai dalam studi lingkungan,

sejarah dan ilmu pengetahuan medis, budaya populer, dan

infrastruktur. ANT juga merupakan pendekatan interdisipliner

pada studi ilmu-ilmu sosial dan studi teknologi (Mustika, 2015,

p. 40).

Menurut Figueiredo, asumsi dasar dari ANT adalah dalam

sebuah proses yang berlangsung, adanya kedudukan manusia

dan non-manusia (teknologi) sama pentingnya sebagai agen

perubahan (dalam Safitri, 2019, p. 22) . Kekuatan besar dari

perspektif ANT sendiri adalah ‘hubungan’, artinya jaringan

interaksi itu terdiri dari hubungan yang kompleks (Safitri, 2019,

p. 22). Ketika proses jaringan interaksi melibatkan manusia,

bukan hanya manusia saja yang dapat mempengaruhi perilaku

manusia lainnya, melainkan banyaknya aspek lain yang juga

bisa mempengaruhi seperti teknologi, budaya, dan lainnya.

Begitu pula sebaliknya, ketika proses jaringan interaksi

melibatkan teknologi sebagai agen perubahan, dalam prosesnya

kita tidak bisa menghilangkan peran manusia yang akan selalu

ada di setiap perkembangannya.

Dalam bukunya, Yuliar (2009) mengatakan prinsip simetri

umum dalam ANT menyatakan bahwa dalam suatu analisis atas

jaringan heterogen, entitas manusia dan entitas non-manusia

26
diperlakukan secara simetris. Prinsip simetri umum berimplikasi

pada penolakan terhadap berbagai pendekatan deterministis

(determinisme teknologi, determinisme sosial, determinisme

struktur ataupun determinisme individual) (p. 105).

Umumnya, ANT mengembangkan empat konsep penting,

yaitu aktor/aktan, jaringan, translasi, dan intermediari. Latour

(2005) mendefinisikan aktor sebagai segala sesuatu yang

membuat perbedaan dalam tindakan yang sedang berlangsung,

seperti melakukan aksi transformasi pada sebuah pesan (Primo

& Zago, 2015, p. 41). Hemmingway (2007) juga mendefinisikan

aktor sebagai elemen apapun dalam jaringan yang memperoleh

kekuatan dalam hubungannya dengan orang lain (Primo &

Zago, 2015, p. 41). Walsham & Sahay (1999) mengatakan aktor

biasanya ditemukan dalam bentuk teks, artefak teknis, uang,

atau keterampilan manusia (dalam Dewi, 2013, p. 94).

Sementara itu, aktor yang mampu mengontrol aktor lain

sehingga mampu membuat perubahan dalam sebuah situasi

disebut sebagai aktan (Safitri, 2019, p. 23).

Dalam peranannya aktan memiliki kemampuan untuk

bergerak masuk dan keluar suatu jaringan berdasarkan kemauan

dan kepentingannya (Pratama, Gustomy, & Rahman, 2017, p.

28). Saat memasuki jaringan, aktan mempengaruhi jaringan

tersebut serta memberikan identitas serta peranannya dalam

27
jaringan. Dapat disimpulkan aktan adalah penggerak utama

dalam jaringan aktor.

Latour (2005) mendefinisikan jaringan (network) sebagai

keterkaitan hubungan yang terbentuk antara aktor dan aktan

yang dapat memberikan pengaruh kepada satu dan lainnya

(dalam Safitri, 2019, p. 25). Dalam hal ini, jaringan merupakan

sesuatu yang menghubungkan banyak aktor maupun satu atau

lebih aktan. Aktan yang menjadi penggerak utama adalah alasan

terbentuk dan rusaknya jaringan (Pratama, Gustomy, &

Rahman, 2017, p. 28).

Jaringan memungkinkan aktor untuk menerjemahkan

tujuan mereka, baik itu pilihan manusia atau dari suatu obyek.

Maka dari itu, proses hadirnya jaringan aktor diuraikan oleh

Callon (1991) dengan bertumpu pada translasi (dalam Yuliar,

2009, p. 112).

Translasi dimaknai sebagai proses bagi aktor untuk

bersekutu atau terhubung dalam sebuah jaringan aktor. Latour

(2005) mendefinisikan translasi sebagai penerjemahan aksi

terhadap proses interaksi para aktor (mediator) yang sukses

mendorong aktor lainnya (manusia atau non-manusia) untuk

melakukan sesuatu tanpa mengarahkannya kepada sebab-akibat

(dalam Safitri, 2019, p. 27).

28
Dalam buku yang ditulis Yuliar (2009), terdapat

pengelompokkan aspek translasi menurut Callon (1991) yang

menguraikan empat ‘momen’ dalam proses translasi, yaitu

momen problematisasi merupakan momen ketika suatu isu atau

masalah tertentu dihadirkan oleh sebuah aktor. Apabila momen

problematisasi berhasil, para aktor yang terstimulasi mungkin

saja mengikuti inisiasi tersebut dalam beragam cara, termasuk

menolak hal-hal yang diinisiasi, momen ini disebut momen

penarikan. Bila momen penarikan berhasil, para aktor akan

saling medelegasikan satu sama lain, saling menjajaki berbagai

kompetensi, momen ini disebut momen pelibatan. Bila momen

ini berhasil, aktor-aktor saling berperan satu sama lain sebagai

penerus pesan. Selanjutnya momen mobilisasi, momen ini terjadi

ketika berbagai kompetensi yang baru mulai dilaksanakan.

Suatu solusi yang diusulkan untuk memperoleh penerimaan

sehingga jaringan lebih luas dan aktor-aktor saling menjadi

‘penerus pesan’ satu bagi yang lainnya (Yuliar, 2009, p. 112-

113).

Selanjutnya adalah aspek Intermediari, aspek ini dapat

diartikan sebagai suatu perantara. Intermediari adalah sebuah

perantara yang berperan sebagai penghubung antara pihak aktor

atau sekumpulan aktor (Pratama, Gustomy, & Rahman, 2017, p.

27). Callon (1991) mendefinisikan intermediari sebagai apa pun

29
yang dilewatkan melalui aktor-aktor dan yang mendefinisikan

relasi-relasi di antara mereka (dalam Yuliar, 2009, p.79).

Untuk memudahkan pemahaman mengenai konsep

intermediari, Yuliar (2009) menganalogikan cara kerja

intermediari seperti ‘teks’. Sebagai contoh, kutipan-kutipan

dalam sebuah makalah dan teks pada daftar pustaka menjalin

keterpautan antara satu makalah dengan makalah lainnya, dan

hubungan yang baru antara para penulis. Dengan perkataan lain,

sebuah makalah ilmiah merupakan bagian dari jaringan teks,

gagasan, laboratorium, pelaku riset, dan organisasi. Kumpulan

teks mendefinisikan suatu jaringan dengan menjalin koneksi

dengan berbagai unsur yang heterogen. Dengan cara seperti ini,

teks berperan sebagai intermediari (Yuliar, 2009, p. 79).

Latour dan Akrich (1992) mengatakan intermediari dapat

dimetaforakan sebagai aktor yang bersikulasi di antara aktor-

aktor, menjadi objek-objek batas dan memelihara relasi di antara

mereka. Aksi dari intermediari ini membuat para aktor dapat

mendelegasikan aksinya satu sama lain (dalam Yuliar, 2009, p.

126).

Dalam pemaparan di atas, ANT menyediakan sarana

analitik untuk menelusuri semua aktor yang berpartisipasi dalam

proses konsepsi dan adopsi teknologi. Sebagaimana teori

30
lainnya, ANT pun memiliki keterbatasan. Prinsip utama ANT

adalah ANT melarang keras adanya dominasi khusus yang

ditujukan pada aktor tertentu. Perspektif ANT bukanlah

pandangan yang tepat apabila digunakan sebagai pengontrol

yang bisa mengawasi semua fenomena, hal ini dikarenakan

ANT menerima semua perbedaan perspektif yang mungkin saja

terjadi.

Figueiredo (2008) mengatakan belum ada jawaban yang

tepat mengenai kritik dari ANT yaitu adanya pertanyaan dan

pendapat yang menolak untuk menyamaratakan kedudukan

manusia dengan artefak teknologi. Namun, ia menegaskan

bahwa ANT bukan pandangan yang berfokus pada entitas atau

wujud-wujud dari para aktor yang terlibat, baik manusia maupun

non-manusia, tetapi ANT adalah pandangan yang berfokus

kepada aksi, perilaku, dan hubungan yang terjalain di antara

para aktor (dalam Safitri, 2019, p. 29).

2.2.2 Chatbot dalam Jurnalistik

Chatbot mulai dikembangkan sekitar dekade 1960-an,

chatbot merupakan program komputer yang berinteraksi dengan

pengguna memanfaatkan bahasa yang natural atau singkatnya

chatbot merupakan mesin sistem percakapan. Bot dalam kata

chatbot merupakan kata yang diambil dari “robot” (Zaenudin,

2017, para. 3). Hal ini menjadi penanda era baru di dunia

31
teknologi dalam menyongsong dunia Artificial Intelligence (AI)

alias kecerdasan buatan. Semakin berjalannya waktu, chatbot

terus mengalami kemajuan. Awalnya, chatbot merupakan

program komputer coba-coba tujuannya untuk memperdaya

orang yang chatting seolah-olah dengan manusia padahal

sesungguhnya dengan mesin (Zaenudin, 2017, para. 5).

Mengikuti pertumbuhan pesat dalam pengembangan

perangkat lunak otomatis membuat segalanya menjadi mudah.

Perangkat lunak otomatis yang dikenal sebagai bot sejak 2016,

membuat industri berita semakin mengeksplorasi bagaimana

chatbot dimasukkan dan digunakan untuk produksi dan

distribusi berita (Jones & Rhianne, 2019, p. 1). Bot hanyalah

salah satu dari banyak contoh perangkat lunak otomatis dalam

jurnalisme yang membuka peluang untuk membuat konten pada

skala dan pada kecepatan yang sebelumnya tidak dicapai (Jones

& Rhianne, 2019, p. 1).

Dengan demikian, bentuk baru dari jurnalisme muncul

membuka jalan bagi implementasi proses komputasi dan

otomatisasi dalam semua aspek komunikasi massa dan hanya

masalah waktu bagi bot beradaptasi dalam platform media

berita, serta membawa serangkaian masalah dan efek pada

narasi jurnalistik, konten dan praktiknya (Veglis & Maniou,

2019, p. 1).

32
Eksperimen chatbot ini sudah berkembang di beberapa

media di luar negeri. Salah satu media luar yang diteliti

menggunakan chatbot adalah media British Broadcasting

Corporation (BBC), salah satu organisasi berita siaran terbesar

di Inggris yang dinamai BBC News bot. Sejauh ini masih pada

tahap pengembangan yang telah diukur dan menunjukkan

keinginan untuk menguasai kemampuan dasar sebelum bergegas

untuk mengikuti dorongan industri terhadap Artificial

Intelligence (AI) di pasar media (Jones & Rhianne, 2019, p. 16).

BBC memiliki chatbot dalam artikelnya, dengan harapan

memberi pembaca kemampuan untuk mencari tahu lebih banyak

tentang suatu topik dengan gaya percakapan. BBC

menambahkan bot explainer ke artikel dimana pembaca bisa

menanyakan lebih kompleks terhadap materi berita yang

dibacanya (Jones & Rhianne, 2019, p. 18).

Otomasi awalnya bertujuan mengurangi upaya manusia

dan memfasilitasi pekerjaan jurnalis yang harus berusaha untuk

menyampaikan berita kepada publik di era big data ini. Chatbot

dalam jurnalisme telah menampilkan bahwa mereka dapat

melepaskan beban jurnalis dari pekerjaan rutin sehari-hari,

mengurangi tekanan untuk menghasilkan jumlah berita dan

sebaliknya (Veglis & Maniou, 2019, p. 4).

33
Chatbot dapat digunakan untuk mendukung cara baru

pelaporan berita, terutama dalam mengatasi informasi dan berita

bohong. Pengguna dapat menggunakan chatbot untuk bertanya

tentang keraguan informasi atau berita (Veglis & Maniou, 2019,

p. 3). Disisi lain, jurnalis dapat menyelidiki aduan-aduan dari

pengguna yang bertanya dan dapat mengidentifikasi dengan cara

memeriksa fakta.

Chatbot sebagai layanan fact-checking telah di terapkan

di beberapa organisasi pemeriksa fakta di luar Indonesia. Vivar

(2019, p. 209) dalam penelitiannya memaparkan bagaimana

chatbot melawan hoaks dengan kecerdasan buatan. Bot dibuat

dan berkembang pesat di era yang ditandai oleh kedekatan

proses informasi. Hal ini berawal dari kompleksitas berita palsu

dan masalah disinformasi. Maka dari itu, solusi ini melibatkan

penguatan kecerdasan buatan untuk memajukan pengembangan

bot yang semakin canggih yang dapat mencegah penyebaran

berita palsu. Namun, dapat merusak kredibilitas media dan

jurnalis. Dalam hal ini, kapasitas jurnalis untuk mendeteksi

berita palsu, dan literasi pengguna perlu ditingkatkan.

Contoh lain dari bot pendeteksi berita palsu melalui

kecerdasan buatan adalah sistem yang didasarkan pada

pembelajaran mendalam yang dikembangkan oleh startup

Inggris bernama Fabula. Dalam hal ini, tipuan tidak

34
diidentifikasi dengan menganalisis teks, tetapi dengan

mempelajari bagaimana cerita dibagikan, untuk mengenali pola

difusi yang hanya bisa sesuai dengan berita palsu (Vivar, 2019,

p. 206).

Chatbot sebagai layanan fact-checking diterapkan

menggunakan aplikasi pesan instan yang mempercepat khalayak

dalam memverifikasi berita yang meragukan. Dalam hal ini,

chatbot sebagai layanan fact-checking cukup terbilang baru,

khususnya di Indonesia. Penerapan chatbot sudah banyak

dilakukan di luar Indonesia, dengan berbagai jenis bentuk

penerapan. Tidak hanya chatbot sebagai layanan fact-checking

saja.

2.2.3 Fact-checking Journalism

Fact-checking bukan hal baru dalam perkembangan

jurnalisme. Pada dasarnya proses produksi berita membutuhkan

pemeriksaan fakta terlebih dahulu. Dasar dari jurnalisme sendiri

adalah faktualitas dan verifikasi. Pemeriksaan fakta dan

verifikasi data lebih kompleks dilakukan sejak berkembangnya

jurnalisme digital (Nurlatifah & Irwansyah, 2019, p. 124).

Praktik jurnalisme pemeriksa fakta mulai berkembang

sejak era Ad-Watch Advertising dimana format yang di

dedikasikan untuk menilai keakuratan iklan politik yang

mendapatkan popularitas di tahun 1990-an (Graves, Brendan, &

35
Jason, 2016, p. 106). Pada prinsipnya setiap jurnalis berpegang

erat dengan nilai-nilai jurnalisme yang bertujuan memberikan

informasi yang akurat kepada masyarakat (Graves, Brendan, &

Jason, 2016, p. 123).

Adanya fact-checking ini merupakan salah satu

fenomena yang diprediksi oleh UNESCO (2018) dan Freedom

House (2017) sebagai jawaban atas post-truth (Nurlatifah &

Irwansyah, 2019, p. 122). Pada tahun 2015, sebuah survei lebih

dari sepuluh ribu lulusan jurnalistik di Amerika Serikat, dimana

yang diantara mereka bekerja sebagai jurnalis, 11 persen

mengatakan organisasi berita mereka memiliki fitur pengecekan

fakta permanen kedepannya dan 6 persen lainnya melaporkan

pengecekan fakta dilakukan hanya selama pemilihan (Elizabeth,

et al., 2015, para 5-8).

Praktik pemeriksaan fakta telah dilakukan di Indonesia,

kategori pertama adalah organisasi media yang melakukan

pemeriksaan fakta dengan menyediakan kanal khusus untuk

fact-checking dan kategori yang kedua adalah organisasi

asosiasi, baik dari media maupun non-media (Nurlatifah &

Irwansyah, 2019, p. 122). Organisasi MAFINDO termasuk pada

golongan organisasi asosiasi, dikarenakan MAFINDO

organisasi non-media.

36
Jurnalisme pemeriksa fakta menampilkan narasi isu

politik dan isu publik, rumor dan hoaks, serta kontroversi dan

konflik dengan membangun narasi yang komprehensif. Tujuan

dari jurnalisme pemeriksa fakta adalah membuktikan fakta yang

sebenarnya dengan cara menampilkan sumber utama yang

menjadi dasar klaim yang menjadi acuan untuk melakukan

verifikasi (Nurlatifah & Irwansyah, 2019, p. 125).

Seiring bergeliatnya periode politik, pada tahun 2018,

peluncuran Cekfakta.com dan tersertifikasinya empat media

daring di Indonesia yang resmi sebagai fact-checking oleh

International Fact-checking Network (IFCN), membuat aktivitas

pemeriksaan fakta meningkat seiring meningkatnya ketegangan

politik di ruang publik (Nurlatifah & Irwansyah, 2019, p. 123).

Sepanjang pemilihan umum 2019, Cekfakta.com

melakukan verifikasi secara langsung pada saat debat antar

calon presiden dan wakil presiden yang ditayangkan di televisi

(Dhyatmika, 2019, para. 34). Hal ini di upayakan untuk

memastikan tak ada calon presiden dan wakil presiden yang

bicara awuran tanpa data.

Fact-checking mulai terdengar ketika musim kampanye

tiba pada pemilu dan pemilihan presiden 2019. Para jurnalisme

pemeriksa fakta melakukan penyisiran di semua media sosial

dan mencari informasi yang terkait hoaks atau disinformasi.

37
Dengan melakukan verifikasi dan menyebarkan kembali

hasilnya ke media sosial, para jurnalisme pemeriksa fakta

mencoba membersihkan percakapan dunia maya dari kabar

bohong dan manipulasi konten (Winarno, 2019, para. 36).

Pada awalnya kegiatan fact-checking dinilai hanya

berfokus untuk mengklarifikasi konten politik, namun seiring

berjalannya waktu, konsep ini mengalami perkembangan. Fact-

checking kini berusaha memeriksa informasi yang diindikasikan

sebagai information disorder (kekacauan informasi). Kekacauan

informasi yang dimaksud adalah ragam informasi atau berita

yang disebarkan melalui media sosial untuk disalahgunakan oleh

pihak tertentu, namun menjadi hangat dibicarakan masyarakat

(UNESCO, 2019, p. 87).

Proses pengecekan bukanlah hal yang mudah.

Pengecekan fakta bukan hanya sekedar memperbaiki kesalahan-

kesalahan minor saja, tetapi para fact-checker juga dituntut

untuk bisa membuktikan klaim tersebut salah atau benar

berdasarkan data-data atau pernyataan narasumber ahli sebagai

bukti-bukti pendukung yang konkrit. Mantzarlis menjelaskan

secara umum proses pengecekan fakta yang dilakukan melalui

tiga tahapan (Safitri, 2019, p. 34), yaitu:

1. Mencari klaim atau informasi yang bisa dicek

kebenarannya. Klaim atau informasi bisa dicari

38
melalui dokumen-dokumen pemerintahan,

pernyataan-pernyataan para politisi, atau kiriman dari

media sosial;

2. Menemukan bukti yang mendukung pengecekan

klaim atau informasi. Bukti harus didapatkan dari

sumber resmi dan terbukti kredibilitasnya; dan

3. Mengoreksikan klaim atau informasi yang memang

tidak terbukti keakuratannya, serta memberikan

kesimpulan yang konklusif.

Maka dari itu aspek pengecekkan fakta menjadi penting

dalam ranah jurnalistik yang selalu dinamis. Jurnalisme

pemeriksa fakta membantu masyarakat memberikan informasi

yang relevan dan mengurangi klaim palsu atau ketidakakuratan

yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu, terutama politisi

(Nurlatifah & Irwansyah, 2019, p. 126).

Berdasarkan konsep fact-checking journalism, maka

dapat ditarik benang merah bahwa fact-checking merupakan

konsep medium baru dalam jurnalisme. Lebih jauh lagi, fact-

checking dapat membuktikan fakta yang tertera dalam berita

sehingga kepercayaan publik terhadap suatu berita dapat

terpenuhi.

39
2.3 Alur Penelitian

Penelitian ini diawali dari sebuah fenomena adanya chatbot

yang bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan masyarakat

mengenai informasi atau berita yang masih diragukan

kebenarannya. Hal ini berawal dari banyaknya hoaks yang tak

terbendung sehingga khalayak membutuhkan verifikasi cepat atas

informasi yang didapatnya. Berawal dari fenomena tersebut,

muncul sebuah pertanyaan bahwa bagaimana penerapan chatbot

sebagai layanan fact-checking ini digunakan sebagai alat untuk

memerangi hoaks. Oleh karena itu, peran fact-checker sangat

diperlukan untuk membantu memverifikasi dengan cepat

informasi yang menyimpang.

Dalam proses penelitian ini, terdapat banyak peran antara

manusia dan teknologi yang bersatu untuk mewujudkan chatbot

sebagai alat untuk memerangi hoaks. Dalam melihat latar belakang

tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan Actor network

theory (ANT) dalam penerapan chatbot sebagai layanan fact-

checking yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia

(MAFINDO).

40
Bagan 2.1 Alur Penelitian

Banyaknya Hoaks yang Tak


Terbendung dan Dibutuhkan
Kecepatan dalam Verifikasi
Informasi

Muncul Chatbot sebagai Layanan


Fact-checking

Penerapan Actor network theory


(ANT) pada chatbot MAFINDO

Aktor/Aktan Jaringan Translasi Intermediari

Sumber: olahan penulis

41
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis.

Menurut Stake, paradigma konstruktivis meyakini realitas itu

subjektif, dan subjektivitas adalah suatu aspek penting dari

pemahaman (Stake, 1995, p. 45).

Dalam paradigma ini, peneliti harus dekat dengan siapa dan

apa yang sedang diteliti. Menurut Mustika, paradigma konstruktivis

membutuhkan kerangka kerja, namun bersifat fleksibel. Selain itu,

paradigma ini juga diwajibkan untuk memahami kejadian, bukan

mencari sebab akibatnya (Mustika, 2018, p. 34). Tujuan utama dari

paradigma konstruktivis yaitu memahami dan interpretasi yang

menjadi alat utama untuk mendapatkan pemahaman tersebut

(Stake,1995, p. 102).

Hal ini mendorong peneliti menggunakan pandangan

konstruktivis dikarenakan pandangan ini mendorong pembaca

untuk menginterpretasikan sendiri hasil dari penelitian yang

dilakukan. Paradigma konstruktivis membantu penelitian studi

kasus untuk membenarkan isi dari laporan akhir penelitian (Stake,

1995, p. 102).

42
Di lain sisi, paradigma konstruktivis membantu peneliti

untuk mengidentifikasi kebiasaan dari suatu komunitas dan

mempelajari bagaimana suatu kebiasaan tersebut dilakukan.

Secara garis besar, dari beberapa sumber rujukan yang

digunakan, peneliti mengasumsikan bahwa penelitian yang sedang

dilakukan ini tepat menggunakan paradigma secara konstruktivis.

3.2 Jenis dan Sifat Penelitian

Setiap penelitian memiliki jenis dan sifatnya masing-

masing, jenis penelitian ini kualitatif dan bersifat deskriptif.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretatif (Mustika,

2018, p. 35).

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena sumber

data yang dikumpulkan dengan metode-metode kualitatif. Artinya,

tidak ada perbandingan antara dua variabel yang harus diuji

menggunakan data-data numerik.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud

untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu

(Sulipan, 2007, p. 3). Menurut Bungin, format deskriptif ini tepat

digunakan untuk penelitian sosial yang bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan kondisi, situasi atau berbagai

variabel yang timbul dalam masyarakat (Bungin, 2013, p. 48)

43
Hal ini peneliti adopsi dalam penelitian yang dilakukan,

karena rumusan masalah dari penelitian ini menggambarkan sebuah

fenomena yang berkembang di kalangan organisasi berita, jurnalis,

dan masyarakat.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Metode

studi kasus yang dipakai di penelitian ini adalah versi Robert Stake.

Dalam hal ini, stake mengungkapkan bahwa penggunaan metode

studi kasus ini diharapkan dapat menangkap unsur kompleksitas

dari sebuah kasus tunggal (Stake, 1995, p. 7). Lewat studi kasus,

diharapkan peneliti dapat memperoleh jawaban yang lebih

mendalam daripada menggunakan metode kuantitatif.

Menurut Stake (1995, pp. 3-7), ada dua jenis studi kasus

yang diangkat yaitu studi kasus instrumental dan studi kasus

intrinsik. Studi kasus instrumental berfungsi membantu peneliti

memahami mengapa sebuah kasus yang diteliti dapat terjadi.

Dalam mengidentifikasi dan fokus terhadap pertanyaan penelitian,

studi kasus instrumental bersifat interpretasi langsung yang artinya

peneliti bisa memiliki rasa keingintahuan yang tidak

dibatasi. Selain itu, terdapat penelitian studi kasus yang

mengharuskan peneliti menetapkan suatu kasus yang ingin diteliti.

Tujuan utamanya adalah mengetahui lebih detail tentang masalah

44
yang ada. Penelitian studi kasus jenis ini disebut studi kasus

intrinsik.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus

jenis instrumental. Dikarenakan, peneliti mengawalinya dari sebuah

pertanyaan penelitian dan peneliti ingin mengkaji kasus dan

digambarkan secara terperinci (Stake, 1995, p. 3). Lewat studi

kasus instrumental, peneliti berharap konsep atau teori dapat

diperkaya lewat kasus yang telah dipilih.

3.4 Key informan dan Informan

Menurut Stake, informan dapat memberikan informasi

berdasarkan observasi (Stake, 1995, p. 67). Artinya, key informan

dan informan menjadi narasumber wawancara dalam penelitian.

Maka dari itu, pemilihan key informan atau informan utama dipilih

berdasarkan kriteria kasus yang ingin dikaji, serta mendapatkan

informasi secara intensif.

Dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling.

Menurut Sugiyono (2016), purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu

(Putri, 2017. p. 56). Alasan menggunakan teknik ini adalah karena

tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena

yang diteliti.

45
Snowball sampling merupakan teknik pengambilan satu

narasumber sebagai key informan yang sesuai dengan pertanyaan

penelitian kemudian peneliti mendapat rekomendasi narasumber

lainnya (Stefanus, 2019, p. 40). Nantinya key informan tersebut

akan mengarahkan peneliti kepada informan lainnya yang tepat dan

memiliki pengalaman relevan dengan penelitian yang dikerjakan.

Teknik ini diibaratkan seperti bola salju yang menggelinding,

makin lama semakin besar.

Informan dan key informan yang bisa menjadi rujukan

dalam pembuatan penelitian ini, antara lain:

No. Nama Informan Alasan Pemilihan

1. Harry Sufehmi Team Leader chatbot

Kalimasada

MAFINDO

2. Adi Syafitrah Supervisi chatbot

Kalimasada

MAFINDO

3. Gabriel Stefano Software Enginner

(Eksekutor Chatbot)

Kalimasada)

4. Muhammad Fahmi Programmer

(Eksekutor Chatbot

Kalimasada)

46
Informan yang direncanakan ini dapat berkurang dan

bertambah sewaktu-waktu. Hal tersebut merupakan salah satu

keunggulan metode studi kasus yang jumlah informannya dapat

disesuaikan dengan kebutuhan data yang dibutuhkan oleh peneliti.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Stake (1995, pp. 60-68), terdapat empat teknik

pengumpulan data dalam melakukan penelitian studi kasus, yaitu

observasi, interview, deskripsi konsep, dan analisis dokumen. Stake

menjelaskan bahwa peneliti harus sesuai dengan jalur pertanyaan

penelitian agar mengetahui instrumen yang sesuai untuk

menemukan jawaban pertanyaan penelitian (Stake, 1995, p. 68).

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang

dipakai adalah wawancara mendalam. Hal ini sejalan dengan

metode penelitian yang mengharuskan peneliti menjadi key

instrument penelitian itu sendiri. Stake menjelaskan bahwa salah

satu dasar kualifikasi dalam melakukan riset kualitatif didasarkan

terhadap pengalaman yang ditemukan dari lapangan (Stake, 1995,

p. 62).

Stake mengatakan bahwa untuk mendapatkan dekripsi dan

juga interpretasi dari pihak lain yang berkaitan dengan penelitian,

peneliti dapat menggunakan wawancara mendalam (Stake, 1995, p.

64). Wawancara adalah jalan utama menuju berbagai realitas.

47
Dalam melakukan wawancara yang baik, peneliti perlu memiliki

rencana awal yang kuat (Stake, 1995, p. 64). Hal tersebut seperti,

menyiapkan pertanyaan kepada informan yang berorientasi pada

isu dan juga memastikan informan yang paling informatif pada isu

yang dibahas. Lebih lanjut, Stake (1995, p. 65) menjelaskan bahwa

wawancara mendalam bukanlah untuk mendapatkan jawaban ya

atau tidak, melainkan deskripsi, keterkaitan, dan penjelasan. Oleh

sebab itu, peneliti menyiapkan sejumlah pertanyaan namun

pertanyaan tersebut sifatnya tidak kaku. Dengan wawancara yang

sifatnya tidak kaku, akan muncul pertanyaan-pertanyaan tidak

terduga dengan harapan dapat menggali data sebanyak-banyaknya

untuk memperkaya penelitian ini. Selain itu, dalam melakukan

wawancara peneliti perlu lebih banyak mendengarkan sambil

mencatat poin penting. Dalam proses wawancara, peneliti perlu

menyimpan rekaman wawancara (Stake, 1995, p. 66).

3.6 Keabsahan Data

Keabsahan data diuji ketika data telah terkumpul semua.

Berbeda dengan kuantitatif, yang membutuhkan uji realibilitas dan

uji validitas. Studi kualitatif ini memiliki standar kepercayaan yang

berbeda, untuk memeriksa keabsahan datanya dibutuhkan tahap

pemeriksaan.

Stake memberikan saran untuk melakukan triangulasi, yang

membantu peneliti untuk memeriksa keabsahan data melalui

48
pengecekan dan pembandingan terhadap data (Stake, 1995, p. 112).

Stake menjelaskan protokol triangulasi yang memiliki beberapa

teknik yaitu melakukan triangulasi sumber data, triangulasi

investigator, triangulasi teori, dan triangulasi metodologi (Stake,

1995, p. 113).

Protokol pertama yaitu triangulasi sumber data dimana

peneliti melakukan pengecekan ulang akan suatu fenomena yang

sama pada waktu, ruang, keadaan atau pihak yang berbeda (Stake,

1995, p. 113). Sehingga meminimalisir adanya kesalahan untuk hal

selanjutnya yang akan dilakukan, yaitu interpretasi data (Stake,

1995, p. 113). Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara

mencari data dari berbagai informan yang berbeda dengan metode

yang sama.

Triangulasi investigator adalah proses pengecekan kembali

akan suatu fenomena yang diteliti oleh peneliti lainnya (Stake,

1995, p. 113). Selanjutnya, triangulasi teori adalah ketika suatu

fenomena yang dapat diinterpretasikan berbeda oleh sejumlah

investigator (Stake, 1995, p. 113). Protokol terakhir adalah

triangulasi metodologi dimana beragam metodologi digunakan

untuk mengkonfirmasi informasi tertentu, contohnya seperti

observasi, wawancara, dan pengulasan dokumen (Stake, 1995, p.

114).

49
Maka dari itu, peneliti akan menggunakan dua bentuk

triangulasi dalam penelitian ini, yaitu triangulasi sumber data dan

triangulasi metode. Triangulasi sumber data dilakukan dengan

wawancara beberapa informan dengan metode yang sama.

Sementara itu, triangulasi metode dilakukan dengan mengecek

metode yang telah digunakan peneliti, yaitu wawancara mendalam

dan tinjauan dokumen.

3.7 Teknik Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti melakukan proses analisis yang

nantinya akan menjadi interpretasi peneliti dalam laporan akhir

penelitian. Stake mengemukakan analisis data adalah tentang

memberi makna pada kesan pertama maupun kompilasi akhir

(Stake, 1995, p. 71).

Stake mengungkapkan empat bentuk analisis data beserta

interpretasinya dalam penelitian studi kasus (Stake, 1995, 74-88),

yaitu:

1. Agregasi kategori (categorical aggregation), dimana

peneliti mencari suatu kumpulan dari contoh-contoh data

serta berharap menemukan makna yang relevan dengan

isu yang akan muncul.

2. Interpretasi langsung (direct interpretation), dimana

peneliti melihat pada satu contoh serta menarik makna

50
darinya tanpa mencari banyak contoh dan mengungkapkan

makna data tersebut.

3. Peneliti membentuk pola dan mencari kesepadanan antara

dua atau lebih kategori (establishes patterns and looks for

a correspondence between two or more categories),

dimana peneliti mencari korespondensi antara kategori-

kategori data tersebut.

4. Generalisasi naturalistik (naturalistic generalizations),

dimana peneliti menganalisis data dengan menggali

sejumlah kasus lain yang terkait.

Dari penjelasan diatas, peneliti akan menganalisis data

dengan agregasi kategori dan interpretasi langsung. Dengan

interpretasi langsung, peneliti akan lebih berkonsentrasi pada

contoh kasus yang nyata terjadi, hal ini biasanya dilakukan oleh

peneliti yang mencoba memisahkan dan juga menyatukan kasus

tersebut kembali untuk memberikan makna tertentu (Stake, 1995, p.

74). Peneliti juga melakukan agregasi kategori seperti menganalisis

hasil transkrip wawancara yang nantinya akan di agregasi ke

sejumlah kategori. Dalam hal ini, peneliti akan memberikan kode

pada rekaman wawancara, kemudian memasukannya ke dalam

kategori. Creswell (2015, p.257) mengatakan pengelompokkan data

teks atau visual ke dalam kelompok yang lebih kecil dan diberi

kode disebut coding. Dalam Creswell (2015, p. 399), ada tiga

51
langkah dalam melakukan coding yaitu open coding, axial coding,

dan selective coding. Pertama, pada tahap open coding peneliti

mengumpulkan data-data seperti hasil wawancara, kemudian hasil

wawancara tersebut ditranskrip dan diberikan label. Kemudian,

peneliti melakukan identifikasi kategori pada tahap axial coding.

Pada tahap terakhir yaitu selective coding, peneliti menyeleksi

fenomena utama yang diteliti, kemudian secara sistematis

menghubungkan fenomena utama tersebut pada kategori lainnya.

52
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Subjek/ Objek Penelitian

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) merupakan

salah satu institusi yang melawan hoaks yang berada di tengah

masyarakat. Perkumpulan organisasi ini didirikan pada tanggal 19

November 2016. Mafindo telah mempelopori banyak inisiatif anti

hoaks, seperti crowdsourced hoax busting, literasi digital untuk

publik, CekFakta.com, dan kampanye publik untuk meningkatkan

kesadaran tentang hoaks dan bahayanya (MAFINDO, 2019, para.

1).

Awal mulanya MAFINDO adalah gerakan masyarakat yang

dimulai dari forum di Facebook yang bernama Forum Anti Fitnah,

Hasut, dan Hoax (FAFHH) yang dibuat oleh Harry Sufehmi pada

tahun 2015 sebagai tanggapan terhadap munculnya fitnah, hoaks,

hasutan, dan juga ujaran kebencian di media sosial (Sufehmi,

Wawancara, 2020). Kemudian terbentuklah institusi pada tahun

2016.

53
MAFINDO memiliki visi dan misi yang dijelaskan dalam

dokumen profil organisasi MAFINDO. Visi MAFINDO adalah

sebagai berikut:

1) Organisasi sosial mandiri dan dinamis yang secara aktif

turut serta membentuk masyarakat Indonesia yang cerdas

dan kritis.

2) Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk menolak

fitnah, hasut/provokasi, dan hoaks.

3) Ikut berperan serta dalam mewujudkan tatanan sosial dan

masyarakat agar lebih dapat berdaya guna, tentram, dan

sejahtera

Sedangkan, misi MAFINDO adalah sebagai berikut:

1) Mewujudkan kerjasama dengan semua pihak dalam

masyarakat agara dapat berbagi usaha dan kegiatan

melawan fitnah, hasut/provokasi, dan hoaks.

2) Membangun organisasi yang kuat, serta mempunyai

kredibilitas dan akuntabilitas terhadap publik, sehingga

dapat tercapai tujuan-tujuan sosial dengan visi dan misi

serta nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan.

3) Mengintegrasikan seluruh aspek sosial secara

berkesinambungan, menghasilkan lingkungan masyarakat

54
yang cerdas, kritis, dan kebal terhadap serangan fitnah,

hasut/provokasi, dan hoaks.

Gambar 4.1 Logo Masyarakat Anti Fitnah Indonesia

Sumber: https://mafindo.or.id/about/

Adi Syafitrah yang merupakan salah satu pengecek fakta si

MAFINDO sekaligus supervisi dalam proyek chatbot Kalimasada

mengatakan bahwa yang berkontribusi pada pemeriksaan fakta di

MAFINDO bukan hanya karyawan dari MAFINDO saja,

melainkan banyaknya relawan diberbagai daerah yang ikut

berkontribusi untuk melakukan pemeriksaan fakta.

Harry Sufehmi yang merupakan pendiri MAFINDO juga

mengatakan bahwa MAFINDO merupakan organisasi pemeriksa

fakta pertama yang berbasis komunitas dan juga memiliki

kemampuan untuk membuat berbagai produk atau teknologi anti-

55
hoax. Ada beberapa kegiatan daring yang dilakukan oleh

MAFINDO dalam melakukan pemantauan internet atas penyebaran

misinformasi/disinformasi, diantaranya adalah mengembangkan

aplikasi dan mesin untuk mendukung program kerja di MAFINDO

seperti; Hoax buster Tools untuk Android, Hoax buster Tools untuk

iOS, Yudistira untuk pangkalan data hoaks yang beredar

(digunakan oleh CekFakta.com), dan Kalimasada sebagai

WhatsApp Hoax buster Tools.

Selain itu MAFINDO juga melakukan pendidikan dan

sosialisasi publik secara daring seperti menggunakan berbagai

platform media sosial, seperti Facebook Forum, Twitter, dan

Instagram. Berbagai kampanye daring juga dilakukan dan berfokus

pada kebiasaan internet yang sehat melalui platform media sosial

Youtuber, Twitter, dan Instagram.

Gambar 4.2 Aplikasi dan Media Sosial MAFINDO

Sumber: profil organisasi/MAFINDO

56
4.2 Hasil Penelitian

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang sudah

dijelaskan sebelumnya dalam BAB III, yaitu wawancara

mendalam. Dalam penelitian ini peneliti mewawancarai empat

orang informan yang berasal dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia

(MAFINDO). Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara

mendalam jarak jauh via aplikasi Zoom dan WhatsApp.

Peneliti melakukan wawancara mendalam pada akhir

Desember 2020 hinggal awal Januari 2021. Selanjutnya, peneliti

mengolah hasil wawancara menjadi transkrip dan melakukan

coding. Berikut adalah pemaparan data-data yang telah ditemukan.

4.2.1 Peran dan Tanggung Jawab Tim Chatbot Kalimasada

pada Proses Chatbot sebagai Layanan Fact-checking di

MAFINDO

Pada praktiknya, chatbot Kalimasada di MAFINDO

melibatkan sejumlah pihak yang memiliki peran dan tanggung

jawab yang berbeda. Walaupun begitu, mereka memiliki

tujuan yang sama dan bersinergi untuk dapat mempermudah

masyarakat dalam memeriksa fakta. Tentunya setiap peran

berpengaruh dalam setiap proses chatbot Kalimasada. Setiap

peran juga akan memastikan bahwa proses chatbot Kalimasada

sesuai dengan data-data yang jelas dan tepat. Peneliti

57
menjadikan pihak-pihak ini sebagai narasumber utama guna

memperkuat argumen penelitian serta hasil pengamatan. Para

informan tersebut, diantaranya yaitu Adi Syafitrah selaku

supervisi chatbot Kalimasada, Harry Sufehmi selaku team

leader proyek chatbot Kalimasada, Muhammad Fahmi dan

Gabriel Stefano selaku eksekutor chatbot Kalimasada

MAFINDO. Keempatnya sangat berperan penting dalam

proses chatbot Kalimasada sehingga chatbot dapat

mendapatkan pembaharuan yang akurat dan konklusif.

Dalam melakukan pembaharuanya, chatbot Kalimasada

sudah memiliki beberapa versi. Masing-masing versi dibuat

oleh tim eksekutor chatbot Kalimasada. Setiap versi selalu

dilakukan pembaharuan atau penambahan pada chatbot

Kalimasada.

Pihak pertama yang peneliti wawancarai adalah Harry

Sufehmi selaku team leader berperan sebagai penanggung

jawab dari proyek Chatbot Kalimasada ini.

Awal mula terbentuknya chatbot Kalimasada dikarenakan

terlalu merajalelanya hoax di WhatsApp. Harry menjelaskan

bahwa WhatsApp itu semacam ‘black box’ yang tidak bisa

dilihat apa isinya. Sehingga dari MAFINDO mempunyai solusi

untuk bisa menembus ‘black box’ itu tanpa mengorbankan

58
privacy pengguna WhatsApp yaitu chatbot Kalimasada. Harry

menuturkan,

“..karena WhatsApp claim ada hand-to-hand


encryption, jadi di encrypt dari ujung sampai ke ujung,
sehingga kita perlu solusi untuk menembus black box
itu tanpa mengorbankan privacy pengguna WhatsApp-
nya itu sendiri. Jadi kemudian kita membuat chatbot
interaktif sehingga penggunaannya itu opt-in bukan
opt-out…” (Harry Sufehmi, wawancara, 22 Desember
2020).
Harry Sufehmi mendefinisikan chatbot Kalimasada sebagai

sesuatu yang sifatnya otomatis dan minim intervensi manusia,

hal tersebut dikarenakan minimnya sumber daya di MAFINDO

sedangkan jumlah hoaks yang terlalu banyak. Namun, semua

proses yang diotomatisasikan terkadang mendapatkan

hambatan atau kendala dalam prosesnya. Oleh karena itu,

Harry melakukan beberapa cara untuk meminimalisir kendala

yang akan terjadi.

Ada beberapa tugas yang Harry lakukan dalam proses

chatbot Kalimasada. Harry bertugas membuat sistem desain

chatbot dan mengelola tim proyek chatbot Kalimasada. Dalam

melakukan sistem desain, Harry memikirkan segala komponen

yang akan berjalan pada proses pembentukkan chatbot

Kalimasada.

“..jadi saya melakukan desain sistem seperti apa


input-nya? Apa prosesnya? Apa output-nya? Lalu
bagaimana proses tersebut bisa berjalan? Apa saja
komponen (software) yang dibutuhkan? Lalu

59
bagaimana agar komponen-komponen tersebut bisa
saling berinteraksi dan bekerjasama? apa saja yang
perlu dikerjakan dan disiapkan? lalu hardware
perangkat keras apa yang diperlukan, agar semua
komponen software tersebut bisa berfungsi dengan
baik? Kira-kira demikian..” (Harry Sufehmi,
wawancara, 22 Desember 2020).
Dalam mengatur jalannya chatbot, Harry sufehmi membagi

beberapa tugas ke anggotanya. Awalnya, Harry memberi tugas

kepada Gabriel dan Fahmi untuk eksekusi chatbot Kalimasada

sesuai dengan sistem desain yang telah Harry buat. Namun,

seiring berjalannya waktu Harry, Gabriel, dan Fahmi saling

berdiskusi untuk pembaharuan chatbot Kalimasada. Apabila

dalam proses terbentuknya chatbot ada penambahan services

atau pembaharuan, maka dari itu disebut dengan adanya

kenaikan versi. Jika dalam beberapa versi ditemukan hambatan

baik teknis maupun non-teknis, Harry harus segera membantu

anggotanya dan harus memastikan bahwa anggotanya tidak

terganggu dengan masalah non-teknis.

Harry mengatakan bahwa chatbot Kalimasada sempat

mendapatkan beberapa larangan dari pihak WhatsApp.

Larangan tersebut berdasarkan kebijakan dari WhatsApp untuk

tidak boleh merespon user setelah 1 kali 24 jam, hal tersebut

masih belum diketahui apa alasannya dari pihak WhatsApp.

“Maka kalau kita baru selesai debunk lebih dari satu


kali 24 jam, maka kita nggak bisa mengirim balik
jawaban itu ke penanya tadi di Kalimasada, karena

60
sudah diblokir secara otomatis oleh WhatsApp. Jadi
sistemnya WhatsApp itu pengguna mengirimkan
pertanyaan, baru Kalimasada boleh mengirimkan balik
jawaban, dalam tempo waktu 1 kali 24 jam. Kalau
dalam jarak tempo 1 kali 24 jam itu Kalimasada nggak
memberi jawaban terhadap pertanyaan tadi maka nggak
boleh lagi kita ngontak penanya tersebut, harus penanya
tersebut ngontak kita lagi baru kita boleh respon balik
lagi. Itu, itu aturan mainnya di sistem WhatsApp, dan
kita belum nemu solusinya gimana” (Harry Sufehmi,
wawancara, 22 Desember 2020).
Maka dari itu ia berusaha untuk negosiasi dengan pihak

WhatsApp di Singapura dikarenakan WhatsApp tidak

mempunyai kantor di Indonesia.

“….. jadi saya nego, “ini boleh dong, masa enggak


boleh sih? Ini, ini,” gitu lho. Jadi tim bisa fokus ke
kerjaanya aja enggak terganggu oleh masalah-masalah
non-teknis.” (Harry Sufehmi, wawancara, 22
Desember 2020).
Beberapa larangan dari pihak WhatsApp membuat chatbot

Kalimasada sedikit terhambat. Harry juga menegaskan bahwa

WhatsApp merupakan peran penting dalam proses chatbot

Kalimasada ini. Chatbot Kalimasada mendapatkan izin dari

pihak WhatsApp dikarenakan bisa mengikuti aturan keras

mengenai privacy dan anti-spam di aplikasi WhatsApp.

“…salah satu yang berperan paling penting adalah


WhatsApp. Kita mendapat izin dari WhatsApp untuk
membuat chatbot ini, karena WhatsApp itu dia sangat
keras soal privacy dan anti-spam. Jadi setelah kita
jelaskan bahwa chatbot kita tidak merugikan
pengguna WhatsApp dari sisi privacy dan spam, baru
kita mendapat izin dan mendapat dukungan…” (Harry
Sufehmi, wawancara, 22 Desember 2020).

61
Maka dari itu, Harry menjaga hubungan dengan WhatsApp

dengan baik dan juga Harry memastikan tidak adanya kendala

dalam masalah operasional WhatsApp.

Chatbot Kalimasada juga mendapat rujukan dari WhatsApp

untuk menggunakan jasa perusahaan bernama Kata.AI. Mesin

ini menjadi jembatan antara chatbot Kalimasada dengan sistem

internal WhatsApp. Dalam prosesnya, Harry harus memastikan

data chatbot Kalimasada sudah ditaruh di Google Cloud.

Dikarenakan pemindahan datanya menggunakan perantara

Google Cloud yang sama sama menggunakan internet untuk

saling terhubung dengan Kata.AI. Dalam setiap tugasnya Harry

harus selalu memastikan tidak adanya kendala non-teknis bagi

para anggotanya dan juga memastikan bahwa server yang

digunakan tidak down. Dengan demikian, itulah peran dan

tugas yang dimiliki oleh Harry Sufehmi dalam proyek chatbot

Kalimasada ini.

Dalam proses chatbot ini, Gabriel berperan sebagai

eksekutor dalam proyek chatbot Kalimasada. Posisi Gabriel

berada dibawah tanggung jawab Harry Sufehmi, keduanya

memang memiliki tujuan yang sama untuk menyukseskan

chatbot Kalimasada ini. Oleh karena itu, dalam peranannya

sebagai software engineer di proyek chatbot Kalimasada,

62
Gabriel memiliki tugas sebagai pengembang perangkat lunak

(software developer) dari chatbot Kalimasada.

Dalam pengembangannya, Gabriel membuat dan

mempersiapkan infrastruktur yang berkaitan dengan teknologi

yang digunakan untuk menjalankan chatbot Kalimasada.

Gabriel sendiri telah membuat chatbot Kalimasada versi satu

dan dua. Pada awalnya chatbot kalimasada versi satu

tujuannya hanya untuk melihat apakah chatbot kalimasada

berguna atau tidak, dan juga melihat apakah ada orang yang

tertarik menggunakannya atau tidak. Setelah melihat itu

semua, Gabriel membuat versi dua dengan lebih sistematis dan

bisa di maintenance. Selain itu, adanya ide pengembangan

diantaranya seperti implementasi kecerdasan buatan, melalui

ini chatbot kalimasada versi kedua memiliki core system yaitu

dimana chatbot dapat melayani kebutuhan pengguna melalui

digitalisasi. Kemudian, Gabriel juga menjelaskan mengenai

versi ketiga. Dimana chatbot kalimasada mendapatkan

pembaharuan penambahan channel dan interface-nya.

Menurut Gabriel, sistem yang baik adalah sistem yang

selalu berubah. Maka dari itu, selalu adanya pembaharuan dari

chatbot Kalimasada sampai ada beberapa versi. Adanya

beberapa versi, dikarenakan untuk membuat chatbot lebih baik

lagi, dengan memperbaiki dari sisi penggunaan dan kebutuhan.

63
“…jadi kalau berhadapan dengan sistem apapun
sistemnya, sistem yang baik itu adalah sistem yang
selalu berubah. Jadi tergantung dari penggunanya,
kalau memang penggunanya itu maunya itu efisiennya
operation-nya itu dengan cara A, terus kita ubah ke B
dan lebih bagus lagi, itu bagus. Tapi kalau diubah ke
B malah lebih buruk sebaiknya dihindari. Kayak gitu
sih..” (Gabriel, wawancara, 31 Desember 2020).
Pada versi pertama ini chatbot Kalimasada hanya untuk

Proof of Concept (N) saja atau bisa dibilang hanya untuk tes

keamanan sistem saja. sistem chatbot versi pertama ini dibuat

dengan cepat dengan versi yang paling minim agar chatbot

Kalimasada dapat segera dijangkau oleh masyarakat luas.

Selanjutnya pada versi kedua, Gabriel mencoba menstabilkan

proses dari logic-nya, seperti memperbaiki proses pengolahan

kode atau yang disebut coding. Pada versi kedua ini

pembaharuan terletak pada streamline information-nya.

Misalnya, ketika khalayak menggunakan chatbot Kalimasada

dan menanyakan informasi yang bisa berupa pertanyaan atau

aduan, nantinya chatbot akan secara langsung menjawab

informasi yang dibutuhkan berikut dengan pelaporannya. Pada

versi ini, Gabriel melakukan pengkodean agar chatbot dapat

menjawab input dari pengguna. Berbeda dengan versi pertama,

chatbot Kalimasada hanya bisa merespons dengan data atau

informasi yang dipunya saja.

“…kalau yang versi 1 itu lebih ini sih dari informasi


yang kita punya, kita respon gitu cara kerjanya.
Punya, direspon, punya, direspon. Kalau yang versi

64
kedua itu kita perbaiki lagi streamline information-
nya nggak sekedar orang tanya informasi terus kita
kasih, tapi ada pelaporannya...” (Gabriel, wawancara,
31 Desember 2020).
Dalam proses eksekusi chatbot Kalimasada, Muhammad

Fahmi selaku programmer MAFINDO juga ikut serta dalam

proyek chatbot Kalimasada. Posisi Fahmi juga berada di

bawah tanggung jawab Harry Sufehmi. Dalam melakukan

tugasnya sebagai programmer Fahmi mengatur sistem data

yang ada di balik chatbot Kalimasada ini.

Fahmi menjelaskan bahwa sebenarnya chatbot itu hanya

sebagian kecil dari sistem yang ada. Ia juga menjelaskan

bahwa chatbot memiliki beberapa komponen. Fahmi sendiri

bertugas dalam komponen data untuk chatbot Kalimasada.

Dalam prosesnya, Fahmi memegang sistem back-end dimana

setiap data-data disimpan di dalam database harus di

klasifikasi. Dalam konteks ini, Fahmi memberi contoh.

“…Jadi kan di chatbot itu kan ada sistem lain yang


dimana berfungsi untuk melakukan klasifikasi berita
yang masuk, Mbak. Jadi misalnya ada suatu berita,
nanti ada tim khusus yang menganalisis berita
tersebut apakah itu hoax atau tidak, kayak gitu—Nah,
saya membantu di aplikasi yang mengakomodir di
itu.. sistem pengklasifikasian hoax itu. Nah dari
aplikasi yang saya bikin, membangun sebuah istilanya
service lah yang bisa di consume oleh chatbot yang
digunakan oleh pengguna, gitu” (Fahmi, wawancara,
24 Desember 2020).
Selain itu, Fahmi juga membantu Gabriel dalam versi

kedua chatbot Kalimasada. Fahmi mengembangkan beberapa

65
sistem untuk versi kedua, seperti mengembangkan fitur search,

dikarenakan pada versi pertama tidak ada fitur search. Dalam

wawancara, Fahmi juga mengatakan chatbot Kalimasada

masih dalam tahap pengembangan. Ia juga menegaskan bahwa

chatbot Kalimasada tidak berfokus pada versi yang ada.

Apabila adanya kekurangan, tim eksekutor pun akan langsung

tambahkan.

Sementara itu, Adi Syafitrah, selaku supervisi dari proyek

chatbot Kalimasada di MAFINDO, bertanggung jawab

menyusun output berupa artikel untuk menjawab input yang

masuk dari pengguna. Dalam proses melakukan tugasnya, Adi

harus menjawab setiap laporan yang masuk dari pelapor

(khalayak), laporan yang masuk dalam artian laporan itu belum

ada di database chatbot. Laporan yang belum ada di database

chatbot artinya masuk ke dalam database laporan. Dalam

melakukan hal ini, Adi syafitrah selalu berkomunikasi dengan

Harry Sufehmi khususnya untuk urusan teknis chatbot

Kalimasada.

“…sebenarnya baik kebagian ngurusin untuk


menjawab, laporan yang masuk. Laporan yang masuk
dalam artian, laporan itu belum ada di database
chatbot, jadi itu masuknya ke database laporan gitu.
Nah dari laporan yang kita jawab, itu nanti akan
dikirimkan kembali ke pelapor, kemudian nanti kalau
ada pelapor lain yang menanyakan hal yang sama. Nah,
itu sudah otomatis dijawab oleh chatbot, tapi kalau
belum, belum ada di database itu biasanya masuk dulu

66
ke database laporan. Nah saya kebagian untuk
biasanya, sebagai orang yang menyusun artikel untuk
menjawab laporan tersebut” (Syafitrah, wawancara, 13
Januari 2021).

Selain menyusun artikel untuk menjawab laporan, Adi

bersama dengan Harry juga berdiskusi apabila adanya

pembaruan dari chatbot. Setelah pembaruan selesai, Adi

meminta Harry untuk memeriksa chatbot apakah berfungsi

dengan baik atau tidak.

Terkadang, chatbot juga mengalami beberapa kendala.

Dalam hal ini, Adi dan Harry saling berdiskusi untuk

mengatasinya. Misalnya saja, ketika ada pengguna yang

mengirimkan gambar ke chatbot Kalimasada di WhatsApp

untuk diverifikasi, akan tetapi chatbot tidak dapat

meresponnya. Dalam hal ini, tim chatbot Kalimasaada masih

mediskusikannya. Bahkan, terkadang teks yang dikirimkan

juga tidak dapat terjawab dikarenakan ada huruf besar-kecil,

panjang-pendek, atau ada yang hanya satu kalimat. Kendala-

kendala seperti itulah yang dialami chatbot Kalimasada.

Dalam melakukan tugasnya di proyek chatbot Kalimasada

ini, Adi tidak hanya menyusun artikel dan mengatasi kendala

saja, tetapi ia juga menjembatani komunikasi antara

pemeriksaan fakta dengan proyek chatbot. Sedangkan, Harry

Sufehmi juga menjembatani antara teknis dengan Adi

67
Syafitrah dan teknis dengan bagian IT (eksekutor) chatbot

Kalimasada.

4.2.2 Alat dan Aplikasi yang Digunakan dalam Proses Chatbot

sebagai Layanan Fact-checking di MAFINDO

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti dapat

mengetahui bahwa selama proses chatbot Kalimasada

berlangsung, dari versi awal sampai versi akhir, ada banyak

teknologi yang terlibat di dalamnya. Teknologi yang

digunakan tidak luput dari jenis perangkat keras (hardware)

atau pun perangkat lunak (software). Alat dan aplikasi ini

sengaja digunakan untuk membantu mengumpulkan data,

menyusun struktur chatbot, dan berkomunikasi. Selain itu,

teknologi-teknologi ini juga mampu membantu tim chatbot

Kalimasada untuk mempermudah pembaharuan dari versi ke

versi.

Jika dimulai dari perangkat keras (hardware) yang

digunakan dalam proses chatbot Kalimasada, Gabriel

menjelaskan bahwa seluruh tim hanya menggunakan laptop

dan handphone saja selama proses penyusunan chatbot

Kalimasada.

Kemudian untuk software yang digunakan, Harry

menggunakkan Word sebagai alat bantu untuk membuat sistem

desain chatbot. Kemudian, adanya penghubung antara aplikasi

68
pesan instan WhatsApp dengan pengguna. Dalam meneruskan

permintaan pengguna berupa pesan yang dikirimkan melalui

aplikasi pesan instan WhatsApp, chatbot Kalimasada memiliki

gateway WhatsApp yang disediakan oleh pihak ketiga yang

bernama Kata.AI. Chatbot Kalimasada mendapatkan rujukan

dari WhatsApp untuk menggunakan jasa pihak ketiga ini,

dikarenakan chatbot Kalimasada tidak bisa langsung connect

ke platform WhatsApp. Kata.AI adalah jembatan antara chatbot

Kalimasada dengan sistem internal WhatsApp. Menurut situs

resminya, Kata.AI merupakan platform kecerdasan buatan

percakapan Indonesia, yang menawarkan Natural Language

Processing (NLP) yang memungkinkan perusahaan untuk

membangun chatbot dengan berbagai macam aktivitas

percakapan (“Kata.AI”, n.d.).

“Jadi Kata.AI ini perusahaan di Indonesia, jadi kita


enggak langsung nyantol ke mesinnya WhatsApp di
Amerika, tapi kita melalui perantara yaitu pihak
Kata.AI…” (Harry Sufehmi, wawancara, 22 Desember
2020).

Setelah Kata.AI menjadi jembatan antara pengguna dengan

chatbot Kalimasada. Fitur kedua yang disebutkan Harry

kepada peneliti adalah server Cloud. Mesin chatbot

Kalimasada disimpan di Cloud dengan platform Google Cloud.

Harry menjelaskan bahwa software dari chatbot Kalimasada

69
ini hanya bisa berjalan di internet, maka dari itu Kalimasada

menggunakan jasa Google Cloud.

“Iya, karena enggak bisa kalau di laptop saya kan


kadang-kadang laptop saya mati, koneksi internetnya
masalah. Jadi harus ditaruh di satu tempat yang selalu
terkoneksi dan komputernya kualitasnya bagus, terjaga,
secure, Google Cloud punya fasilitas itu dan udah
terbukti—teruji banget ya. Google-lah! Kapan sih
Google down-nya gitu kan? Jarang-jarang haha. Jadi
kita titipkan Kalimasada di situ..” (Harry Sufehmi,
wawancara, 22 Desember 2020).
Sementara itu, aplikasi atau perangkat lunak yang

digunakan selama proses chatbot berlangsung ada berbagai

macam. Dimulai dari penyimpanan data yang dikelola oleh

Fahmi selaku programmer dari MAFINDO dan juga salah satu

anggota tim proyek chatbot Kalimasada. Penyimpanan data

tersebut bernama Yudistira, yang merupakan sistem back-end

yaitu dimana segala hal yang berhubungan dengan server

(Cloud) dan database. Fahmi sendiri menjelaskan bahwa

chatbot itu tidak menyimpan data dan semua data yang ada di

Yudistira ada di Google Cloud. “Yudistira, kemudian

cekfakta.com, kemudian chatbot-nya Kalimasada itu sendiri itu

sebenarnya lokasi server-nya itu ada di Google Cloud” tutur

Fahmi, saat diwawancarai pada 24 Desember 2020.

Yudistira adalah suatu layanan penyimpanan data yang

dikumpulkan oleh tim MAFINDO, yang berisi data berita yang

telah di klasifikasi seperti pengelompokkan berita hoaks atau

tidak. Dalam konteks ini, Fahmi menjelaskan,

70
“Jadi Yudistira itu sebenarnya bentuknya aplikasi
website..aplikasi website dimana apa ya.. semua tim
yang berhubungan dengan berita itu tadi bisa
mengakses ke Yudistira. Itu untuk apa? Untuk meng-
update datanya, menganalisis datanya,
menglasifikasikan apakah berita tersebut hoax atau
tidak. Jadi di belakang layar kayak gitu. Nah, Yudistira
ini datanya itu diakses oleh banyak aplikasi, salah
satunya chatbot tadi, selain chatbot diakses juga oleh
website lain untuk ditampilkan datanya, misalnya
cekfakta.com. Cekfakta.com itu mengambil datanya
dari Yudistira” (Fahmi, wawancara, 24 Desember
2020).
Fahmi menjelaskan bahwa Yudistira dapat diakses oleh

siapa saja selama orang tersebut memiliki akses untuk masuk

ke database Yudistira. Akses tersebut berupa username dan

password. Maka dari itu, MAFINDO hanya mengizinkan

orang-orang yang memiliki akses, agar data tersebut tidak

disalahgunakan serta mencegah adanya hacker di website

Yudistira.

Kemudian, terdapat web services bernama API atau

Application Programming Interface dimana database

Yudistira memberikan suatu layanan agar chatbot bisa

mengakses dan mengambil data. Sebagai contoh, Fahmi

menjelaskan,

“..misalnya Mbak mau menggunakan chatbot—kan


kirim pesan ke WA-nya misalnya apa ya kita sekarang,
misalnya kabinet baru.. apa? Korupsi.. misalnya ya—
Nah kan, si chatbot kan memproses data itu. Nah dia
akan mengakses ke sistem back-end (yudistira) tadi
melalui API yang saya buat, dan mencari apakah berita
dengan kategori dengan pencarian kabinet baru korupsi
itu ada atau tidak gitu..kemudian nanti chatbot

71
merespon data tersebut hoax atau tidak” (Gabriel,
wawancara, 31 Desember 2020).

API Yudistira menggunakan perangkat lunak atau software

dari MySQL dan PHP. Gabriel menyatakan “sebenarnya,

MySQL dan PHP hanya bahasa pemrograman saja sih. Jadi

enggak ada sesuatu yang spesifik sih”, tutur Gabriel saat

diwawancarai pada 31 Desember 2020. Harry menjelaskan

bahwa PHP adalah software yang dipakai untuk membuat

chatbot Kalimasada. Gabriel juga menjelaskan MySQL

digunakan untuk sistem manajemen back-end yang telah

dikoneksikan ke database (Yudistira). Dalam konteks ini,

Harry juga menjelaskan bahwa MySQL berguna untuk

melacak interaksi user dalam chatbot Kalimasada dan juga

memberikan contoh penggunaan MySQL,

“MySQL itu database tetapi penggunaan kita


minim, Cuma sekedar untuk merekam posisi istilahnya
saja saya jadi usernya. Jadi di Kalimasada itu kan ada
menu-menu, kita bisa tekan angka 1 atau angka 2 atau
angka 3 gitu—nah, MySQL itu Cuma mencatat, si
Harry sekarang lagi di posisi, di menu berapa sih? Jadi
supaya enggak kehilangan kontak aja gitu, hahah—jadi
gunanya ” (Harry Sufehmi, wawancara, 22 Desember
2020).

Dalam memetakkan MySQL dan PHP, dibutuhkan satu

aplikasi untuk memasukkan kode-kode bahasa pemrograman

tersebut, aplikasi itu bernama Visual Studio Code (VSC).

Gabriel mengatakan dalam melakukan pengkodean untuk

membangun perangkat lunak atau tool development yang

72
digunakan adalah Visual Studio Code (VSC). Dilansir dari

website resmi Visual Studio Code (VSC), aplikasi ini

digunakan untuk editor kode dalam mengoptimalkan dan

membangun serta mendeteksi adanya bug atau error dalam

suatu modern web dan aplikasi Cloud (“Visual Studio Code”,

n.d.).

Kemudian, adanya website pihak ketiga bernama Plan.io

yang berguna untuk membuat manajemen proyek berbasis web

menjadi lebih efisien. Harry menjelaskan bahwa Plan.io

menyaring hoaks yang masuk, apabila ketika pengguna

menanyakan informasi dan tidak ditemukan di Yudistira, hoax

tersebut akan tercatat. Artinya, ketika server chatbot

Kalimasada merespons adanya data (berita) yang belum ada di

database Yudistira, data tersebut langsung tercatat di Plan.io

untuk segera diperiksa oleh tim pemeriksa fakta di MAFINDO.

Dalam mengakses Kata.AI, Google Cloud, Yudistira

database, dan Plan.io tim proyek chatbot Kalimasada harus

tersambung ke internet dan menggunakan lintasan Google

Chrome yang merupakan browser/peramban web.

4.2.3 Proses Pembentukan dan Berlangsungnya Chatbot

Kalimasada di Mafindo

Dalam subbab ini, peneliti akan menjabarkan secara rinci

bagaimana terjadinya proses chatbot Kalimasada yang

73
dilakukan tim chatbot Kalimasada di MAFINDO. Dalam

melakukan prosesnya, Harry Sufehmi mengatakan bahwa,

chatbot Kalimasada belum ada struktur atau bagan

rangkaiannya. Hal tersebut dikarenakan, tim proyek

Kalimasada sendiri sibuk untuk implementasi. Menurutnya,

hal ini juga dikarenakan melawan hoaks yang berpacu pada

waktu.

Proses chatbot Kalimasada di MAFINDO dimulai ketika

Adi Syafitrah dan Harry Sufehmi berdiskusi mengenai

jalannya chatbot. Kemudian Harry memonitor dan me-manage

tim proyek chatbot Kalimasada, dengan memberi tugas kepada

eksekutor untuk memulai membuat chatbot. Sebelum itu, tim

hoax buster MAFINDO melakukan debunk dan hasil klaim

periksa fakta tersebut dipublikasikan ke seluruh media sosial

MAFINDO dan juga di publikasikan ke database Yudistira.

Pada tahap ini pula, Fahmi menuturkan, bahwa ia memegang

sistem back-end (Yudistira), dimana Fahmi membantu

mengakomodir sistem pengklasifikasian hoax dan menyimpan

data-data yang sudah di periksa faktanya.

Setelah data-data sudah di-debunk dan sudah di publikasi

ke database Yudistira. Gabriel membuat versi pertama chatbot

Kalimasada dengan menggunakan laptop yang tersambung

dengan Internet, Gabriel akan membuat versi awal hanya untuk

74
melihat apakah chatbot berguna atau tidak bagi masyarakat.

Tahap awal ini disebut Proof of Concept (POC). Dalam

melakukan coding pada versi pertama Gabriel mengerjakan

dengan keterbatasan code yang tidak rapih (dalam

pemrograman), akan tetapi chatbot Kalimasada tetap berjalan.

Kemudian pada versi kedua Gabriel mengerjakan lebih rapih

dan bisa di maintain. Pada versi kedua juga adanya ide

pengembangan diantaranya adalah implementasi kecerdasan

buatan. Pada akhirnya, versi kedua dijadikan sebagai core

system-nya, dimana chatbot dapat melayani kebutuhan

konsumen melalui digitalisasi.

Selanjutnya, pada tahap eksekusi chatbot Kalimasada, PHP

dan MySQL berperan untu menghubungkan database dengan

server chatbot Kalimasada. Server chatbot Kalimasada sendiri

menggunakan Cloud server.

Setelah semua rangkaian selesai, chatbot Kalimasada tak

akan berjalan apabila tidak bekerja sama dengan WhatsApp.

Maka dari itu, Kata.AI menjadi jembatan antara pengguna

chatbot dengan WhatsApp. Dalam hal ini, Gabriel menjelaskan

dan memberi contoh kepada peneliti,

“..sama kemarin itu kami kerja sama dengan


Kata.AI untuk channel WhatsApp nya jadi mereka yang
menyediakan integrasinya. Ibaratnya itu Facebook itu
menyediakan service ‘ini integrasiin.’ nah sebagai
integratornya itu si Kata.AI. Kata.AI sebagai integrator,
kemudian kami pake service-nya Kata.AI untuk

75
channel-nya WhatsApp itu. Gitu. Jadi mereka yang
manage.. manage apa ya manage channel
WhatsAppnya kemudian dari situ misalkan ada pesan
masuk dari sistemnya Kata.AI itu akan ngirimin ke
kami ‘eh ini ada pesan masuk.’ kayak gitu sih.”

Setelah itu, nantinya dari sistem chatbot Kalimasada akan

merespons berupa laporan. Gabriel juga menegaskan bahwa

Kata.AI sebagai integrator antara chatbot dengan WhatsApp

dan tidak bisa mengirimkan langsung ke WhatsAppnya.

Menurutnya, hal tersebut secara birokrasinya harus demikian.

Sampai saat ini chatbot Kalimasada masih berjalan. Jika

dilihat dari sisi proses terbentuknya, chatbot Kalimasada masih

banyak intervensi manusia. Mulai dari tahap sistem desain

sampai pada tahap klasifikasi database. Namun, apabila

chatbot sudah berlangsung dan digunakan oleh pengguna

(user), tidak akan ada lagi intervensi dari manusia. Berikut

adalah gambaran apabila chatbot berjalan otomatis tanpa

intervensi manusia (fully automated),

Bagan 4.1 Proses Automated Chatbot Kalimasada

………………

76
Sumber: Olahan Peneliti

Penjelasan sebelum bagan 4.1 adalah proses dari

development chatbot Kalimasada. Pada bagan 4.1, peneliti

akan menjelaskan dari sudut pandang awal yaitu sebagai user

(pengguna chatbot). Dimulai dari user yang memberikan berita

(input) yang harus diverifikasi kepada aplikasi pesan instan

WhatsApp. Kemudian, aplikasi WhatsApp menerima dan

mengintegrasikannya ke layanan platform Kata.AI kemudian

Kata.AI akan tersambung pada database Yudistira dan akan

mencari hal yang terkait ditanyakan. Ketika pertanyaan dari

user ditemukan di dalam database Yudistira, chatbot

Kalimasada akan memberikan temuan berita yang relevan

(output), sebanyaknya lima berita relevan atau kurang dari

lima. Isi berita yang dikirimkan berisi klaim yang berupa status

jenis hoaks dari berita tersebut. Kemudian, apabila pesan yang

ditanyakan user tersebut tidak ada di database Yudistira,

chatbot Kalimasada akan memberikan pesan ‘permohonan

maaf’ kepada user (output). Contoh pesan tersebut seperti,

77
Gambar 4.3 Jawaban Pesan Chatbot Kalimasada di WhatsApp

Sumber: Olahan Peneliti

Pertanyaan yang tidak ditemukan akan langsung masuk ke

dalam daftar task di aplikasi Plan.io. task tersebut nantinya

akan dikerjakan oleh tim hoax buster dan setelah selesai

melakukan pemeriksaan fakta, tim hoax buster akan langsung

menginput hasil tersebut ke dalam database Yudistira dengan

catatan harus mempunyai akses masuk Yudistira.

Gambar 4.4 Daftar Task di Plan.io

Sumber: Harry Sufehmi, 2021.

78
Gambar 4.5 Hasil Periksa Fakta Sudah Masuk ke
Dalam Database Yudistira

Sumber: Harry Sufehmi, 2021.

4.3 Pembahasan

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana

proses chatbot jika dilihat dari actor network theory (ANT).

Penelitian ini ingin menjawab hubungan yang terjadi dalam proses

chatbot sebagai layanan fact-checking di MAFINDO. Berikut

adalah pembahasan atas temuan peneliti.

4.3.1 Analisis Teori Jaringan Aktor (ANT) dalam Praktik

Chatbot Kalimasada di Mafindo

4.3.1.1 Aktor dan Aktan dalam Proses Chatbot

Kalimasada

Menurut Figueiredo, dalam sebuah proses

yang berlangsung asumsi dasar dari ANT adalah

adanya kedudukan manusia dan non-manusia

(ateknologi) yang sama pentingnya sebagai agen

79
perubahan (dalam Safitri, 2019, p. 22). Artinya,

seluruh entitas yang terlibat dalam proses chatbot

Kalimasada akan diidentifikasikan sebagai ‘Aktor’.

Latour (2005) juga mendefinisikan aktor sebagai

segala sesuatu yang membuat perbedaan saat sebuah

proses sedang berlangsung, seperti melakukan aksi

transformasi dari sebuah pesan (Primo & Zago, 2015,

p. 41). Artinya dalam ANT, semua entitas baik itu

manusia dan non-manusia yang terlibat dalam sebuah

proses berlangsung melakukan sebuah perubahan

terhadap pesan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka aktor-

aktor yang terlibat dalam proses chatbot Kalimasada

di MAFINDO akan diklasifikasikan pada tabel di

bawah ini:

Tabel 4.1 Aktor-aktor dalam proses chatbot


Kalimasada

Aktor Manusia Tugas Utama

➢ Harry Sufehmi, ➢ Penanggung jawab proyek


selaku team chatbot Kalimasada,
leader chatbot mengelola tim proyek
Kalimasada chatbot, membuat desain
sistem chatbot Kalimasada,
dan mengatasi
kendala/masalah dalam
chatbot Kalimasada.
➢ Adi Syafitrah, ➢ Penanggung jawab untuk
selaku supervisi menyusun artikel dalam

80
chatbot menjawab laporan yang
Kalimasada masuk dari pelapor
(pengguna chatbot
Kalimasada).
➢ Gabriel, selaku ➢ Sebagai eksekutor chatbot
eksekutor chatbot yang berperan sebagai
Kalimasada programmer. Memiliki tugas
sebagai pengembang
perangkat lunak chatbot
Kalimasada.
➢ Fahmi, selaku ➢ Sebagai eksekutor chatbot
eksekutor chatbot yang berperan sebagai
Kalimasada programmer. Memiliki tugas
sebagai mengatur sistem
back-end (database
Yudistira).
➢ Tim Hoax buster ➢ Melakukan debunk dan
mempublikasikan hasil
periksa fakta ke seluruh
sosial media MAFINDO dan
database Yudistira.
➢ User/Pengguna ➢ Menanyakan kebenaran
Chatbot berita untuk memeriksa hoax
Kalimasada atau fakta, melalui chatbot
Kalimasada di WhatsApp

Aktor Teknologi Fungsi Utama

➢ Laptop ➢ Sebagai media yang


(hardware) membantu untuk
mengakses dan membuka
aplikasi dan software
➢ Internet ➢ Sebagai sistem komunikasi
yang menghubungkan
jaringan laptop dengan
media lainnya seperti
fasilitas yang ada di dalam
internet.
➢ Word ➢ Membuat sistem desain

81
➢ Smartphone ➢ Alat komunikasi atau
perantara untuk mengakses
WhatsApp dan aplikasi
Hoax buster Tool
➢ Google Chrome ➢ Software untuk mengakses
(Browser) situs-situs di Internet
➢ Google Cloud ➢ Menyimpan seluruh server
(Platform) Chatbot, server Yudistira,
dan semua database.
➢ Yudistira ➢ Kumpulan data-data untuk
database membuktikan klaim yang
telah diuji kebenarannya
dan sudah diklasifikasi.
➢ WhatsApp ➢ Medium untuk
(Aplikasi menghubungkan chatbot
chatting) Kalimasada dengan
pengguna begitupun
sebaliknya
➢ Kata.AI ➢ Platform chatbot, sebagai
(Integrated medium untuk
Conversational menghubungkan server
Platform) chatbot Kalimasada ke
pihak WhatsApp
➢ Plan.io (aplikasi ➢ Mencatat hoax yang
hosting) ditanyakan oleh pengguna
tetapi belum ada di
Yudistira dengan rapih dan
berurut
➢ Visual Studio ➢ Merupakan editor kode
Code (VSC) untuk membuat dan
mengembangkan perangkat
lunak
➢ PHP dan MySQL ➢ Membuat chatbot
(Software) Kalimasada, melacak
interaksi user dalam chatbot
Kalimasada
Sumber: Olahan Peneliti

Figueiredo juga menegaskan bahwa aktor

adalah sesuatu yang bertindak dan memiliki identitas

82
(Figueiredo, 2008, p. 1376). Dalam tabel diatas

dijelaskan aktor manusia yang memiliki identitas

yaitu, Harry Sufehmi selaku team leader, Adi

Syafitrah sebagai supervisi, Gabriel dan Fahmi selaku

eksekutor, Tim Hoax Buster sebagai tim pemeriksa

fakta, dan user chatbot sebagai pengguna yang

menanyakan kebenaran informasi.

Ketika aktor manusia memulai aksi, unsur-

unsur lain seperti aktor non-manusia mulai dilibatkan

(Yuliar, 2009, p. 107). Selain aktor manusia, banyak

aktor teknologi yang ikut serta membantu dalam

proses chatbot Kalimasada. Aktor teknologi tersebut

seperti: laptop, internet, browser, aplikasi (Kata.AI,

Plan.io), smartphone, Google Cloud, aplikasi chatting

WhatsApp, PHP dan MySQL (software), dan database

Yudistira. Peran dan fungsi aktor non-manusia ini

telah peneliti jabarkan pada tabel di atas. Semua aktor

teknologi ini terlibat dalam proses chatbot ketika

chatbot melakukan layanan pengecekkan fakta.

Dalam penelitian terdahulu, menurut Callon

(1991) perspektif ANT ini memahami sosial sebagai

jaringan hubungan antara aktor sosial manusia dan

aktor teknis non-manusia secara fundamental simetris

83
dalam kontribusi mereka terhadap masyarakat dan

perubahan sosial (Waldherr, Geise, & Katzenbach,

2019, p. 3956). Berdasarkan pemikiran tersebut,

menurut peneliti hubungan aktor manusia dan non-

manusia dalam proses chatbot kalimasada keduanya

secara inheren saling terkait dan juga saling

membangun untuk menstabilkan chatbot Kalimasada.

Delapan belas aktor tersebut saling bereaksi sehingga

terjalin relasi.

Dalam prosesnya, penetapan aktor manusia

dan aktor non-manusia diidentifikasi sebagai aktor

sesuai dengan strategi yang berlaku pada sebuah

interaksi, meliputi identitas dan kualitas aktor. Dalam

perspektif ini, gambaran aktor dipahami sebagai

proses pendelegasian (Tjang, n.d., p. 16). Melalui

pemikiran tersebut, peneliti mengasumsi bahwa

adanya utusan untuk memilih aktor agar aktor tersebut

diakui. Jika dilihat dari objek penelitian, peneliti

melihat bahwa organisasi MAFINDO termasuk dalam

kategori organisasi asosiasi non-media dimana aktor

manusia dalam proses chatbot ini tidak semua

memiliki latar belakang jurnalis. Tim hoax buster

dalam melakukan pemeriksaan fakta dilakukan oleh

84
aktor manusia yaitu pemeriksa fakta dari MAFINDO

yang telah bekerja sama dengan beberapa media

online yang tergabung Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)

dan juga relawan pemeriksa fakta di berbagai kota di

Indonesia (MAFINDO, 2020, p. 9-10). Melalui

pengamatan dokumen profil organisasi MAFINDO,

meskipun bukan dari kalangan jurnalis, akan tetapi

para pemeriksa fakta tersebut telah melakukan

pelatihan periksa fakta secara luring.

Kemudian, berdasarkan penjabaran yang

peneliti paparkan dalam proses chatbot Kalimasada di

MAFINDO dan aktor mana saja yang terlibat dalam

prosesnya, peneliti jadi bisa mengidentifikasi aktor

mana saja yang berperan sebagai aktor pengendali

atau yang disebut aktan.

Latour (2005) mengatakan aktor adalah segala

sesuatu yang mengubah keadaan dengan membuat

perbedaan. Ia juga mengatakan bahwa aktor tidak

harus sosial, tetapi bisa menjadi apa saja asalkan

memberi ‘tindakan’. Hal-hal ‘bertindak’ akan

memiliki dampak bagi orang lain. Latour menjelaskan

hal ‘bertindak’ sebagai hal-hal seperti mengizinkan,

85
mendorong,menyarankan, mempengaruhi, memblokir,

memungkinkan, melarang, dan sebagainya. Definisi

tersebut juga berlaku untuk istilah aktan untuk

menunjukkan tindakan apa pun, terutama dalam tahap

sebelum terjadinya aksi, yaitu tindakan sebelum

menjadi jaringan aktor (Waldherr, Geise, &

Katzenbach, 2019, p. 3957). Berangkat dari pemikiran

Latour, peneliti mengasumsikan aktan inilah yang

menjadi elemen utama penggerak dalam jaringan dan

ketika aktan memasuki suatu jaringan maka jaringan

tersebut akan memberi nama serta peranan dalam

jaringan tersebut. Sebagai contoh, ketika Harry

‘mengoperasikan‘ laptop untuk membuat sistem

desain. Pada aksi ini, Harry sebagai aktan mampu

mengendalikan aktor lainnya yaitu aktor teknologi

laptop untuk mencapai tujuan kepentingannya yaitu

sistem desain.

Menurut Tjang, aktor adalah semua entitas

yang terhubung dalam sistem yang nantinya akan

membentuk jaringan. Aktor yang mampu

mengendalikan aktor lain disebut sebagai aktan.

Namun, tidak semua aktor dapat menjadi aktan. Maka

dari itu, aktan disebut sebagai “aktor pengendali”.

86
Aktan dapat berupa aktor manusia maupun aktor non-

manusia. Aktan memiliki kemampuan untuk bergerak

masuk dan keluar pada suatu jaringan berdasarkan

kemauan dan kepentingannya (n.d., p. 4-5).

Melalui pemaparan diatas, peneliti mengetahui

bahwa salah satu aktan dalam proses chatbot

terbentuk ini adalah Harry. Karena secara garis besar,

semua aktivitas yang dilakukan oleh semua aktor lain

berhubungan dengan Harry. Semua aktor dapat

menunjukkan aksi yang bersumber dari aksi Harry.

Begitupula Harry, yang mampu mengontrol

aktor lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuliar

(2009) aktan adalah aktor yang berdaya, yaitu mampu

mengontrol dan menjadi sumber aksi aktor lain (p.

119). Harry juga memiliki kemampuan untuk masuk

dan keluar dalam jaringan. Sebagai contoh, ketika

chatbot mengalami masalah dan tim eksekutor

melibatkan Harry untuk mengatasinya. Aksi tersebut

adalah kemampuan aksi aktan dalam proses

terbentuknya suatu jaringan.

87
4.3.1.2 Jaringan Aktor yang Terbentuk dalam Praktik

Chatbot Kalimasada

Istilah jaringan aktor dalam perspektif ANT

memiliki arti tertentu. Latour mendefinisikan

jaringan sebagai keterkaitan hubungan antara aktor

manusia, aktor non-manusia dan aktan yang dapat

memberi pengaruh satu dengan yang lainnya

sehingga membuat jaringan lain (dalam Primo &

Zago, 2014, p. 45). Artinya, dalam ANT keterkaitan

hubungan jaringan interaksi antara aktor dan aktan

yang kompleks menjadi kekuatan terbesar. Dalam

ANT juga, jaringan aktor bersifat heterogenitas.

Semua tindakan yang terhubung bersama-sama, atau

faktor-faktor yang mempengaruhi aktor dan aktan,

akan menghasilkan jaringan.

Dimulai dari tahap awal, pembentukan

jaringan aktor proses chatbot Kalimasada terbentuk

dimulai ketika Harry Sufehmi menyiapkan sistem

desain chatbot dan mengatur dari tim teknis dan tim

non-teknis. Berikut adalah gambaran jaringan aktor

yang terbentuk selama proses sistem desain dan me-

manage tim:

88
Bagan 4.2 Jaringan Aktor pada Tahap

Proses Sistem Desain dan Manage Tim

Sumber: Olahan Peneliti

Peneliti meggambarkan jaringan interaksi

utama dengan garis penuh (─) yang mewakilkan

sebagai jaringan aktor yang kuat. Hal tersebut

dikarenakan, jaringan aktor inilah yang akan selalu

ada dan terbentuk pada tahap awal proses chatbot

Kalimasada. Jaringan interaksi ini bersifat tetap atau

permanen. Pada tahap ini, hasil akhirnya adalah

mendapatkan sistem desain utama yang berhasil

89
dibuat. Setelah Harry selesai membuat sistem

desain, ia akan menyerahkan kepada tim eksekutor

dan mengatur pembagian tugas.

Selain jaringan aktor kuat, peneliti juga

menggambarkan perluasan jaringan aktor dengan

garis putus-putus (---) dan menyebutnya sebagai

jaringan aktor yang lemah. Hal ini terjadi ketika,

jaringan aktor mengalami perluasan seperti ketika

Adi berdiskusi dengan Harry. Jaringan interaksi

yang terjadi bersifat revesible (bolak-balik) selama

percakapan antara keduanya terjadi, baik secara

langsung maupun melalui perantara. Jaringan

interaksi ini tidak selalu terjadi, sehingga pada satu

waktu jaringan aktor ini dapat terbentuk, tetapi di

waktu yang lain bisa jadi jaringan ini tidak terbentuk

sama sekali.

Pada tahap selanjutnya, proses eksekusi oleh

tim eksekutor dimulai. Pada tahap ini, Harry

Sufehmi telah menyelesaikan sistem desain yang

telah dibuat yang siap untuk di eksekusi. Berikut ini

adalah jaringan aktor yang terbentuk selama tahap

eksekusi chatbot Kalimasada:

90
Bagan 4.3 Jaringan Aktor pada Tahap Eksekusi

Chatbot Kalimasada

Sumber: Olahan Peneliti

Ketika sistem desain terbentuk, Harry

bersama tim eksekutor melibatkan aktor-aktor lain,

yakni aktor teknologi. Jaringan aktor yang

terbentuk terdiri dari jaringan bersama baik elemen

tekis dan non-teknis (Tjang, n.d., p. 4). Harry

sebagai aktan mendominasi seluruh aktor lain

sehingga ia juga yang merekatkan keseluruhan

menjadi satu dan terbentuklah suatu jaringan.

Meskipun demikian, semua faktor-faktor

yang mempengaruhi jaringan harus

91
dipertimbangkan bersama-sama (Tjang, n.d., p. 4).

Maka dari itu, sebelum tim ekskutor menetapkan

aktor teknologi mana saja yang ia gunakan, ia

melakukan pertimbangan terlebih dahulu dengan

Harry. Semua faktor ini terhubung yang

menyebabkan bagaimana aktor bertindak (Tjang,

n.d., p. 4). Sebagai contoh, ketika mengoperasikan

aktor teknologi database Yudistira, banyak faktor-

faktor yang mempengaruhi misalnya tim eksekutor

dipengaruhi oleh peraturan klasifikasi hasil

debunk, diproses pengalaman dan kemampuan dari

tim eksekutor sendiri dalam mengklasifikasi data

tersebut. Semua tindakan yang berhubung

bersama-sama, segala faktor-faktor yang

mempengaruhi dan terhubung akan menghasilkan

jaringan.

4.3.1.3 Proses Translasi dalam Chatbot Kalimasada

Kehadiran jaringan aktor dapat dianalisis ke

dalam serangkaian translasi. Callon (1991)

mengelompokkan translasi ke dalam empat momen,

berikut adalah empat momen dari proses translasi

yang terjadi pada chatbot Kalimasada:

92
A. Problematisasi

Yuliar (2009) mendefinisikan

momen problematisasi sebagai momen ketika

suatu isu atau masalah tertentu dihadirkan

oleh sebuah aktor (p. 113). Momen

problematisasi dalam proses chatbot ini

adalah pemunculan awal masalah yang

ditranslasikan oleh aktan, yaitu Harry kepada

aktor-aktor lain untuk menarik aksi dalam

menyelesaikan masalah tersebut. Masalah di

momen inilah yang melatarbelakangi

munculnya aksi dari para aktor lain. Masalah

tersebut adalah merajalelanya hoaks di

WhatsApp. Harry memiliki inisiasi untuk

menanggulangi penyebaran hoaks dengan

menggunakan chatbot.

Dalam hal ini inisiator aksi menjadi

perhatian aktor-aktor lain (Yuliar, 2009, p.

113). Harry sebagai inisiator aksi

menawarkan inisiasi tersebut kepada aktor-

aktor lain. Harry memaparkan masalah-

masalah yang ada antara lain hoaks yang

terlalu banyak, sehingga proses butuh

93
diotomatisasikan ke mesin. Inisiasi ini berupa

pembuatan chatbot dengan data yang

bersumber dari hasil verifikasi fakta yang

didapat dari kolaborasi media, verifikator,

dan jurnalis. Selain itu juga MAFINDO telah

bergabung dan bekerja sama dengan AJI dan

Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI)

dengan harapan dapat memperbaiki

kredibilitas institusi pers di Indonesia

(Williem, 2020, p. 7).

Masalah yang dipaparkan Harry

membuat aktor lain beraksi. Hal tersebut

dibuktikan dengan adanya Gabriel dan Fahmi

dalam tim chatbot ini.

Jadi, dapat dikatakan bahwa Harry

sebagai aktan telah berhasil

mentransformasikan suatu isu atau masalah

ke para aktor.

B. Interressement (penarikan)

Setelah inisiasi berupa pembentukan

chatbot telah ditransformasikan ke aktor-

aktor lain, muncullah respons yang

ditunjukkan dengan aksi para aktor terhadap

94
masalah tersebut. Yuliar (2009) mengatakan

pada momen penarikan, para aktor yang

terstimulasi mungkin saja mengikuti inisiasi

tersebut atau bahkan menolaknya (p. 133).

Dalam momen ini, inisiasi

pembentukan chatbot diterima baik oleh para

aktor sehingga aksi tersebut menimbulkan

masalah baru dengan menarik aktor-aktor

lainnya. Masalah selanjutnya adalah

perancangan sistem chatbot dengan menarik

aktor-aktor lain seperti aktor manusia lain

dan aktor teknologi. Hal ini dibuktikan ketika

Harry dan para aktor lain mengendalikan

aktor-aktor lainnya untuk melakukan

penyesuaian pada chatbot Kalimasada.

Penggunaan peralatan teknis yang berperan

sebagai antarmuka (interface) juga

membantu penyesuaian artefak-artefak teknis

(Yuliar, 2009, p. 113).

Aksi yang ditunjukkan oleh Harry

dan para aktor lainnya adalah aksi yang

muncul dari respons inisiasi aksi. Respons-

respons tersebut menunjukkan bahwa Harry

95
dan para aktor telah memasuki momen

penarikan.

C. Enrollment (pelibatan)

Momen ini merupakan lanjutan dari

momen penarikan. Dalam momen ini, para

aktor mulai saling mendelegasikan satu

terhadap yang lain (Yuliar, 2009, p. 113).

Pada momen ini Harry dan para aktor

beraksi, sehingga pendelegasian aksi

antaraktor tersebut membentuk masalah-

masalah baru. Sebagai contoh, ketika Harry

mengutus tim eksekutor untuk memperbaiki

tampilan dari chatbot, maka tim eksekutor

ketika melakukan aksi akan melibatkan aktor

teknologi.

Pada tahap ini juga, masalah satu per

satu muncul diiringi dengan kemunculan

aktor-aktor yang beraksi (Wulandari, 2018,

p. 7). Salah satu contoh hambatan pada

momen pelibatan adalah ketika metode

pencarian database sedang trouble.

Hambatan ini membuka segala kemungkinan

dalam pelibatannya. Bisa terjadi karena

96
database Yudistira ataupun server dari

chatbot Kalimasadanya. Hambatan ini

melibatkan berbagai aktor baik itu aktor

manusia maupun aktor non-manusia

(teknologi). Hal ini menunjukkan adanya

aktor teknologi yang tidak selalu stabil.

Menurut penjelasan di atas, artinya

tidak semua momen pelibatan berjalan

dengan baik dan dapat disimpulkan bahwa

hubungan Harry dengan tim eksekutor dari

awal hingga akhir melibatkan aktor-aktor lain

dan aksi-aksinya.

D. Mobilisasi

Pembuatan chatbot Kalimasada ini

dikembangkan oleh MAFINDO untuk

membantu masyarakat dalam memverifikasi

berita atau informasi yang belum jelas

kebenarannya. Pada momen mobilisasi ini,

terjadi ketika berbagai kompetensi yang baru

mulai dilaksanakan , aksi-aksi bersirkulasi

secara stabil dan aktor-aktor saling menjadi

“juru bicara”, satu bagi yang lainnya (Yuliar,

2009, p. 113). Dalam momen ini, terjadi

97
ketika para pengguna yang aktif untuk

memverifikasi fakta menggunakan chatbot,

membuat agar masyarakat lain juga

melakukan pengecekkan fakta menggunakan

chatbot Kalimasada. Alhasil, masyarakat

yang lain pun tergerak untuk aktif di chatbot

Kalimasada.

Pada momen ini juga para aktor

saling memberikan solusi dan dukungan

kepada aktor lain yang terlibat dalam

jaringan (Yuliar, 2009, p. 113). Ketika

pengguna aktif memverifikasi fakta

menggunakan chatbot, pengguna akan

memiliki keinginan agar chatbot dapat

menjadi lebih baik. Maka dari itu, sudah

selayaknya dalam organisasi mengikuti kritik

dan saran dari pengguna dan mengerti apa

yang sebenarnya dibutuhkan oleh pengguna.

Jaringan aktor ini telah mendapatkan

wujudnya dan menghasilkan efek durable

dan ekstensi spasial (Yuliar, 2009, p. 114).

Artinya untuk menciptakan jaringan jangka

panjang dan konsisten relasi antar aktor harus

98
dilakukan secara terus-menerus dan

keterlibatan aktor lain harus diterima baik.

Dengan adanya chatbot untuk

memverifikasi fakta memungkinkan

masyarakat untuk memverifikasi kembali

kebenaran berita atau informasi yang didapat.

Masyarakat bisa lebih mudah mendapatkan

fakta dari informasi yang masih

dipertanyakan kebenarannya.

4.3.1.4 Proses Intermediary dalam Proses Chatbot

Kalimasada

Dalam perspektif ANT, Latour (2005)

menjelaskan bahwa mediator adalah aktor yang

berperan sebagai perantara dengan tujuan membuat

perbedaan dalam proses yang sedang berlangsung,

mentransformasikan, dan menerjemahkan makna

dalam pesan sehingga bentuk input tidak sama

dengan output. Sementara itu, Latour

mendefinisikan intermediary (perantara) sebagai

sesuatu yang mengangkut makna dan kekuatan tanpa

adanya transformasi, mendefinisikan input-nya

cukup untuk menentukan output-nya (dalam Primo

& Zago, 2015, p. 43).

99
Melalui penjabaran hasil penelitian yang

peneliti paparkan dalam proses chatbot Kalimasada

dan aktor mana saja yang terlibat di dalamnya,

peneliti mencoba megidentifikasi beberapa aktor

manusia dan non-manusia ke dalam kategori

mediator atau intermediary.

Dalam prosesnya, peneliti melihat sebagian

besar para aktor memiliki peran sebagai mediator.

Bermula, ketika Harry mendiskusikan sistem desain

yang ia telah buat kepada Adi Syafitrah. Setelah itu

ia harus mentransformasikan sistem desain yang

telah ia diskusikan dengan cara menambahkan,

mengurangi, atau mengatur ulang desain chatbot.

Sementara itu, Gabriel dan Fahmi juga berperan

sebagai mediator untuk melakukan tugas yang diberi

oleh Harry. Gabriel dan Fahmi

mengimplementasikan sistem desain ke dalam

wujud berupa chatbot Kalimasada. Pada proses

tersebut diketahui wujud input akan berbeda dengan

output yang diberikan. Dalam proses ini, input yang

diberikan Harry berupa draft diagram hasil sistem

desain yang telah ia kerjakan. Ketika ia berikan

kepada Gabriel dan Fahmi, keduanya akan

100
mentransformasikan draft tersebut dengan memilih,

mewujudkan, dan mengeksekusi kedalam bentuk

bahasa pemrograman sehingga output yang

dikeluarkan berupa services atau layanan pada

chatbot Kalimasada.

Peran mediator pada aktor teknologi yang

paling menonjol adalah WhatsApp. Berdasarkan

hasil wawancara seluruh informan, peneliti menarik

kesimpulan bahwa peran WhatsApp sebagai

mediator sangatlah penting bagi proses chatbot

Kalimasada ini. Pada tahap pengguna menanyakan

isu, WhatsApp mengubah wujud keyword pertanyaan

pengguna mengenai berita yang diragukan (input)

dan mentransformasikannya menjadi hasil debunk

seperti artikel-artikel yang telah diverifikasi

kebenarannya (output).

Dengan demikian, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa aktor manusia Harry Sufehmi,

Gabriel, dan Fahmi, serta beberapa aktor teknologi

seperti WhatsApp, Internet, Plan.io, VSC, dan PHP

dan MySQL merupakan aktor yang mendapatkan

peran sebagai mediator dalam proses chatbot

Kalimasada.

101
Sementara itu, berdasarkan definisi

intermediary yang Latour berikan, peneliti melihat

adanya aktor yang dapat menjadi intermediary akan

tetapi bisa juga peranannya berubah menjadi

mediator. Seperti Harry Sufehmi yang berperan

sebagai mediator ternyata juga bisa beperan sebagai

intermediary, Harry menyerahkan sistem desain

yang dibuat kepada tim eksekutor chatbot

Kalimasada, dalam konteks ini Harry tidak merubah

atau mentransformasikan pesan yang disampaikan.

Dalam hal ini, tergantung pada konteks yang

dijalankan. Adi syafitrah juga menegaskan bahwa

peran Harry Sufehmi sebagai jembatan antara Adi

Syafitrah bersama tim debunk dengan tim eksekutor

chatbot Kalimasada. Selain aktor manusia, peneliti

juga melihat bahwa adanya aktor teknologi yang

berperan sebagai intermediary, yaitu laptop atau

komputer. Peneliti melihat peran laptop atau

komputer bisa menjadi penyalur intermediary dan

juga bisa menjadi mediator, dalam konteks ini

tergantung pengoperasiannya. Sebuah laptop atau

komputer bisa menjadi mediator ketika ia digunakan

untuk mengolah sesuatu, misalnya ketika Harry

102
memasukkan Harddisk Drive (HDD) (input), maka

laptop tersebut memuat dan mentransformasikan

menjadi tayangan sesuai dengan isi HDD tersebut.

Dalam konteks chatbot Kalimasada, peneliti

menilai laptop atau komputer yang digunakan lebih

cenderung bertindak sebagai aktor intermediary. Hal

ini berdasarkan penjelasan dari beberapa informan,

bahwa pekerjaan yang dilakukan semua berpusat

dengan internet. Oleh karena itu, jaringan interaksi

aktor laptop hanya digunakan sebagai perantara atau

jembatan yang menghubungkan tim chatbot

Kalimasada dengan internet. Maka dari itu, peneliti

menyimpulkan bahwa perangkat keras seperti laptop

atau komputer, dalam proses chatbot Kalimasada

berada dalam posisi intermediary. Dalam prosesnya

pun, kontribusi laptop tidak bisa dihindari atau

dihilangkan sama sekali. Hal ini pun sesuai dengan

konsep intermediary dalam Actor network theory

(ANT).

103
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah

dijabarkan di bab sebelumnya, berikut adalah simpulan dari analisis ANT

dalam proses chatbot Kalimasada MAFINDO.

1 . Aktor/Aktan

Dalam proses chatbot Kalimasada, aktor manusia dan aktor

non-manusia memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing.

Aktor manusia dalam proses chatbot ini secara konseptual juga

merupakan aktan (aktor pengendali). Mereka memiliki tanggung

jawab untuk menjalankan semua proses chatbot dimulai pada saat

chatbot terbentuk dan saat proses chatbot berlangsung. Baik aktor

manusia maupun aktor teknologi sama pentingnya karena harus

saling berkaitan.

Berdasarkan pandangan ANT, peneliti menilai bahwa

Harry Sufehmi memiliki keterlibatan paling kuat dari jaringan

aktor yang terbentuk selama proses chatbot Kalimasada. Harry

dengan peranannya sebagai aktor pengendali ini dapat

mengendalikan, memengaruhi, dan menginisiasi aktor-aktor lain

121
yang terlibat untuk bertindak sesuai dengan ekspektasi yang

diharapkan.

2 . Jaringan yang Terbentuk

Terkait dengan jaringan yang terbentuk maka dapat

disimpulkan bahwa proses terbentuknya chatbot Kalimasada tidak

dilakukan secara otomatis (not automated), sehingga aktor manusia

dan aktor teknologi saling membutuhkan. Maka dari itu, jika salah

satu elemen tidak ada proses chatbot Kalimasada ini bisa dengan

mudahnya terhambat atau bahkan berhenti sama sekali. Apabila,

semua proses chatbot telah berhasil terbentuk, maka ketika proses

chatbot Kalimasada berlangsung proses akan berjalan otomatis

tanpa adanya intervensi manusia (fully automated).

3 . Translasi

Melihat empat momen translasi yang terbentuk, peneliti

melihat bentuk relasi pada translasi ini yaitu berupa kerja sama

yang dilakukan antara Harry, dan tim eksekutor yang memiliki

pola hubungan dua arah berdasarkan koordinasi yang dijalankan.

Sehingga proses translasi yang terjadi pada chatbot Kalimasada

mengalami kestabilan dan sampai pada tahap terbentuknya sebuah

perangkat lunak chatbot Kalimasada.

122
4 . Intermediary

Intermediary pada proses chatbot ini dimulai dari Harry

yang menjadi perantara hasil sistem desain kepada tim eksekutor.

Dalam hal ini, Harry juga menjaga kestabilan relasi di antara aktor-

aktor lain.

Dalam hal ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Actor network

theory (ANT) dapat digunakan untuk memahami kegiatan jurnalistik lebih

luas lagi pada praktik chatbot sebagai layanan fact-checking karena pada

dasarnya praktik jurnalistik dan teknologi memang berkaitan erat.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Akademis

Penelitian ini tidak luput dari keterbatasan. Penelitian ini

lebih menjelaskan bagaimana chatbot terbentuk, sehingga masih

kurang dalam menjelaskan proses chatbot saat berlangsung. Selain

itu, penelitian ini hanya melihat proses dari sisi pengembang

chatbot Kalimasada saja, sehingga hasil penelitian ini kurangnya

perspektif dari pengguna (user) chatbot Kalimasada sendiri.

Penelitian selanjutnya dapat melihat perspektif dari pengguna

seperti meneliti tingkat kepuasan pengguna saat menggunakan

chatbot Kalimasada dan melihat tingkat kepercayaan pengguna

terhadap chatbot sebagai layanan pemeriksa fakta.

123
Selain itu, peneliti menyarankan penelitian lanjutan dapat

meneliti chatbot dengan layanan yang berbeda di ranah jurnalistik.

Karena penelitian ini hanya menganalisis chatbot sebagai layanan

pemeriksa fakta saja. Beberapa perusahaan media sedang mulai

mengembangkan chatbot dengan fungsi dan layanan yang berbeda.

Media tersebut seperti Tempo.co dan BBC.

5.2.2 Saran Praktis

Melalui penelitian ini, peneliti melihat bahwa akan lebih

baik pembuatan chatbot memiliki gambar struktur atau chatbot

architecture yang lebih jelas dan detail, agar apabila adanya

pembaharuan/problem dalam chatbot Kalimasada. Tim eksekutor

dapat segera melihat dan menemukan solusi untuk kendala dan

menemukan hal yang ingin diperbaharui.

124
DAFTAR PUSTAKA

“Kata.AI”. (n.d.). Kata.AI. About Us. Retrieved from Kata.AI:


https://Kata.AI/company/about

“Visual Studio Code”. (n.d.). code.visualstudio.com. Retrieved from Visual Studio


Code FAQ: https://code.visualstudio.com/docs/supporting/faq diakses
pada 22 April 2021.

Agung, B. (2019, September 3). Saat Hoaks yang Dibuat Makin Canggih,
Kecerdasan Buatan Jadi Harapan Melawannya. Retrieved from
DailySocial.id: https://dailysocial.id/post/saat-hoaks-yang-dibuat-makin-
canggih-kecerdasan-buatan-jadi-harapan-melawannya
Amazeen, M. A. (2017). Journalistic interventions: The structural factors. SAGE.
Berapa Pengguna Media Sosial Indonesia? (2019, Febuari 8). Databoks. Retrieved
from Katadata.co.id:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-
media-sosial-indonesia

Brandtzaeg, P. B., Chapparo, M. A., & Folstad, A. (2017). How Journalists and
Social Media Users Perceive Online Fact-checking and Verification
Service. ResearchGate.

Bungin, B. (2013). Metode penelitian sosial & ekonomi: format-format kuantitatif


dan kualitatif untuk studi sosiologi, kebijakan, publik, komunikasi,
manajemen, dan pemasaran edisi pertama. . Jakarta: kencana prenada
media goup.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Jakarta: Pustaka
Pelajar.

Dewi, A. S. (2013). Membuat E-Goverment Bekerja di Desa: Analisis Actor


network theory Terhadap Sistem Informasi Desa dan Gerakan Desa
Membangun. Journal Mandatory Vol. 10(2).

Eka, R. (2017, December 7). 4 Penyebab Utama Inovasi Tidak Berkembang.


Retrieved from DailySocial.id: https://dailysocial.id/post/4-penyebab-
utama-inovasi-tidak-berkembang

125
Elizabeth, J., Rosenstiel, T., Ivancin, M., Loker, K., Lacy, S., Sonderman, J., &
Yaeger, K. (2015, October 27). American Press Institute. Retrieved from
americanpressinstituteorg:
https://www.americanpressinstitute.org/publications/reports/survey-
research/fact-checking-journalists-survey/

Fahmi. (2020, Desember 24). Wawancara. (C. Chandrawati, Interviewer).

Figueiredo, J. (2008). Reviewing the Actor-Network Theory. Technical University


of Lisbon.

Funke, D. (2018, April 3). With money from Facebook, this Brazilian fact-checker
created a Messenger bot for the election. Retrieved from Poynter.:
https://www.poynter.org/fact-checking/2018/with-money-from-facebook-
this-brazilian-fact-checker-created-a-messenger-bot-for-the-election/

Gabriel. (2020, Desember 31). Wawancara by Zoom. (C. Chandrawati,


Interviewer).

Grau, M. (2020, Mei 4). New WhatsApp chatbot unleashes power of worldwide
fact-checking organizations to fight COVID-19 misinformation on the
platform. Retrieved from Poynter.: https://www.poynter.org/fact-
checking/2020/poynters-international-fact-checking-network-launches-
WhatsApp-chatbot-to-fight-covid-19-misinformation-leveraging-database-
of-more-than-4000-hoaxes/

Herman. (2019, April 8). Mafindo Buka Kanal Pelaporan Hoax Lewat WhatsApp.
Retrieved from BeritaSatu: https://www.beritasatu.com/nasional/547524-
mafindo-buka-kanal-pelaporan-hoax-lewat-WhatsApp

Imaduddin, F. (2018, November 10). Kenapa WhatsApp Menjadi Lahan Subur


Bagi Hoaks? Retrieved from Remotivi:
http://www.remotivi.or.id/amatan/496/kenapa-WhatsApp-menjadi-lahan-
subur-bagi-hoaks
Jayani, D. H. (2020, Febuari 26). 10 Media Sosial yang Paling Sering Digunakan
di Indonesia. Retrieved from databoks.katadata.co.id:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/26/10-media-sosial-
yang-paling-sering-digunakan-di-indonesia

126
Jones, B., & R. J. (2019). Public Service Chatbots: Automating Conversation with
BBC News. Digital Journalism, 1.

MAFINDO. (2020, Juni 2). Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. Retrieved from
mafindo.or.id: https://www.mafindo.or.id/about/
Mafindo Siapkan Aplikasi Deteksi Hoaks WhatsApp. (2018, Oktober 17). CNN
Indonesia. Retrieved from cnnindonesia.com:
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20181016234150-185-
339051/mafindo-siapkan-aplikasi-deteksi-hoaks-WhatsApp

MASTEL. (2019, April 10). Hasil Survey Wabah Hoax Nasional 2019. Retrieved
from mastel.id: https://mastel.id/wp-content/uploads/2019/04/Survey-
Hoax-Mastel-2019-10-April-2019.pdf

Mustika, F. X. (2018). Pemanfaatan Robot Jurnalistik Dalam Produksi Konten


Jurnalisme Data Beritagar:Id: Studi Kasus Dengan Analisis Social
Construction of Technology. Universitas Multimedia Nusantara.

Mustika, R. (2015). Inovasi Teknologi Portal Intranet Kominfo: Perspektif Actor


network theory. Jurnal Komunikasi Indonesia.
Nurlatifah, M., & Irwansyah. (2019). Fact-checking Journalism sebagai Platform
Kolaborasi Human and Machine pada Jurnalisme Digital. Jurnal
Komunikasi, 123.

PCBM, D. (2017, Agustus 21). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Direktorat Jenderal Kebudayaan. Retrieved from kemdikbud.go.id.
Pratama, R., Gustomy, R., & Rahman, F. (2017). ANALISIS JARINGAN
AKTOR MENGENAI PEMBERITAAN PEMBANGUNAN DKI
JAKARTA MASA KEPEMIMPINAN AHOK TAHUN 2015-2016.
Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Vol. 3(1).
Primo, A., & Zago, G. (2015). Who And What Do Journalism? Digital
Journalism.
Putri, W. Y. (2017). Pengaruh Regulator, Kepemilikan Institusional, Ukuran
Perusahaan, dan Profitabilitas Terhadap Carbon Emission Disclosure.
Universitas Pasundan Bandung.
Rahadi, D. R. (2017). Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial.
Universitas Presiden.

127
Safitri, F. F. (2019). Periksa Fakta dan Kekacauan Informasi pada Pilpres
Indonesia 2019: Studi Kasus Praktik Fact-checking di Media Tirto.id.
Universitas Multimedia Nusantara.
Stake, R. E. (1995). The Art of Case Study. Thousand Oaks: SAGE Publications.
Stefanus, M. J. (2019). Hirarki Pengaruh Pada Produksi Berita Infografik
Berbasiskan Jurnalisme Data: Studi Kasus Infografis CNNIndonesia.com.
Universitas Multimedia Nusantara.
Strick, B., & Syavira, F. (2019, Oktober 9). Papua: Cara kerja jaringan bot
penyebar hoaks soal Papua dengan biaya miliaran rupiah. Retrieved from
BBC: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49969337
Sufehmi, H. (2020, Desember 22). Wawancara by Zoom. (C. Chandrawati,
Interviewer)
Sulipan, D. (2007, Agustus 16). Penelitian Deskriptif Analitis. Retrieved from
Academia.edu:
https://www.academia.edu/7215999/Penelitian_Deskriptif_Analitis
Suwanto, I. (2019, November 13). Mengetahui cara kerja hoax agar terhindar
dari pusarannya. Retrieved from Beritagar.id:
https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/mengetahui-cara-kerja-hoax-agar-
terhindar-dari-pusarannya

Syafitrah, A. (2021, Januari 13). Wawancara. (C. Chandrawati, Interviewer)

Syafitrah, A. (2020). Mengenal Profesi Fact Checker Lebih Dekat. WEBINAR


Literasi Digital. Bogor: Mafindo.

Tjang, T. (n.d.). Teori ANT Bruno Latour . Academia..

UNESCO. (2019). Jurnalisme, "Berita Palsu" , & Disinformasi. Paris: UNESCO.

Veglis, A., & Maniou, T. A. (2019, January 22). Chatbots on the Rise: A New
Narrative in Journalism. Retrieved from RedFame:
http://redfame.com/journal/index.php/smc/article/view/3986/4158

Vivar, J. M. (2019). Artificial Intelligence and Journalism: diluting the impact of


disinformation and fake news through bots. ResearchGate.

128
Waldherr, A., Geise, S., & Katzenbach, C. (2019). Because Technology Matters:
Theorizing Interdependencies in Computational Communication Science
With Actor-Network Theory. International Journal of Communication.

What Are Bots? How Do Chatbots Work?. (2019, Desember 30). BotsCrew.
Retrieved from BotsCrew.com: https://botscrew.com/blog/what-are-bots/

Williem, S. P. (2020). Peran Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Sebagai


Jembatan Reciprocal Journalism Dalam Area Fact Checking. Universitas
Multimedia Nusantara.

Wulandari, I. (2018). Representasi Jaringan Dalam Novel Nadira Karya Leila S.


Chudori (Kajian Teori Jaringan Aktor Michel Callon). Universitas Negeri
Surabaya.

Yanuar, Y. (2019, April 7). WhatsApp dan Mafindo Buka Hotline Pengaduan
Hoaks, Ini Nomornya. Retrieved from Tempo.co:
https://tekno.tempo.co/read/1193318/WhatsApp-dan-mafindo-buka-
hotline-pengaduan-hoaks-ini-nomornya/full&view=ok

Yuliani, A. (2017, Desember 13). Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia.
Retrieved from Kominfo: https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-
800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media
Yuliar, S. (2009). Tata Kelola Teknologi Perspektif: Teori Jaringan Aktor.
Bandung: Penerbit ITB.
Zaenudin, A. (2017, September 6). Chatbot, Era Manusia Bercakap-cakap
dengan Komputer. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/chatbot-era-
manusia-bercakap-cakap-dengan-komputer-cv1D.

129
LAMPIRAN A

130
Open Coding Informan
Harry Sufehmi

Waktu Pelaksanaan : 22 Desember 2020

Tempat Pelaksanaan: Video Call (Zoom)

No. Pertanyaan Jawaban Kategori


1. Sebelumnya, boleh Iya. Nama saya Harry Sufehmi. Aktor
engga dari Bapak Saya pendiri Mafindo,
untuk perkenalkan Masyarakat Anti Fitnah
diri dulu? Indonesia, tahun 2016. Awalnya
Mafindo ini adalah gerakan
masyarakat, start-nya dari forum
di Facebook tahun 2015, grup di
Facebook. Kemudian kami
mendapat saran untuk membuat
institusi, maka 2016 kami
mendirikan Mafindo. Sekilas
kira-kira seperti itu, makasih.
2. Kalau jabatan Awalnya pendiri sekarang saya Aktor
Bapak di Mafindo di presidium sama ketua komite
itu sekarang apa?” IT.”
3. Itu Bapak anggap “Iya ketertarikan dan keperluan, Translasi
project itu memang hahaha. Jadi kalau hoax yang lain
tertarik dengan kan pada ini apa, pada di ruang
chatbot ya? publik ya, misalnya di Facebook
Memang ada atau Twitter. Tetapi WhatsApp
ketertarikan untuk-” ini tantangan karena di- dia di
ruang privat, tertutup. Grup-grup
WhatsApp itu engga terbuka
untuk publik, jadi… Dan banyak
usaha untuk menekan agar
WhatsApp mengompromikan
privasinya itu. Saya engga
pengen itu terjadi jadi saya mikir,
gimana kira-kira solusinya agar
privacy tetap terjaga tapi hoax
juga bisa tetep dilawan. Jadi
kemudian saya pikir chatbot ini
adalah jalan tengahnya yang

131
cukup bagus, gitu, maka karena
itu kami kemudian membuat
chatbot Kalimasada ini.”
4. He eh, jadi “Chatbot itu sifatnya otomatis, Jaringan
pertanyaan yang minim intervensi manusia.
pertama Pak, Karena kita- tim kita kecil, kita
bagaimana Bapak minim sumber daya sedangkan
mendefinisikan jumlah hoax terlalu banyak, jadi
chatbot Kalimasada sebisa mungkin- sebanyak
Mafindo ini?” mungkin proses kita
otomatisasikan. Kita offload, kita
oper ke mesin, gitu. Kemudian
sifatnya interaktif jadi dua arah,
pengguna mengirim kontak
kemudian chatbot harus
merespon ke dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Kemudian
scope-nya pada saat ini di
Whatsapp, tapi mudah-mudahan
kelak kami juga bisa
kembangkan untuk platform
lainnya juga. Um… Mungkin
sekilas seperti itu ya kali ya,
hahaha.”
5. Oh, oke… Lalu Iya, karena terlalu merajalelanya Translasi
awal mula dan hoax di WhatsApp. Jadi
motivasi WhatsApp tuh seperti semacam
terbentuknya black box lah, kotak hitam kita
project chatbot ini, engga bisa lihat isinya apa,
kenapa tuh Pak?” karena WhatsApp claim ada
hand-to-hand encryption, jadi di
encrypt dari ujung sampai ke
ujung, sehingga kita perlu solusi
untuk menembus black box itu
tanpa mengorbankan privacy
pengguna WhatsApp-nya itu
sendiri. Jadi kemudian kita
membuat chatbot interaktif
sehingga penggunaannya itu op-
in bukan op-out. Op-in berarti
user harus secara sengaja
menggunakan sistem tersebut,

132
jadi sukarela sifatnya beda
dengan sistem op-out misalnya
seperti SMS spam kita tahu-tahu
udah dikirim SMS engga jelas,
iklan, segala macam, kita harus
keluar dengan mengirim pesan.
Kalau mau keluar kita harus
kirim pesan gitu, kita engga
pernah mendaftar atau apa, tahu-
tahu udah kebanjiran SMS
sampah aja atau email sampah
gitu. Nah kalau ini sistemnya
sifatnya op-in jadi user yang
menginisiasi bahwa dia memang
ingin menggunakan sistem
sehingga privacy terjaga dan
kedua juga tidak melanggar hak
privasinya, dan dengan
melakukan spamming atau- kita
engga ada seperti itu, iya.”
6. Oh, oke baik Pak. Iya, he’eh.”
Uh… Kalau dari
nama chatbot
sendiri tadi
Kalimasada ya Pak,
ya?”
7. Itu dinamain itu “Ahaha ini aja sih sebetulnya, Translasi
kenapa, Pak? karena Mafindo ini ternyata
Kalimasada? Ada, cukup unik di dunia kita mungkin
ada kilas baliknya satu-satunya komuni- apa,
apa gimana, Pak?” institusi anti-hoax pertama,
berbasis komunitas, kedua punya
kemampuan untuk membuat
berbagai produk atau teknologi
anti-hoax. Rata-rata institusi anti-
hoax lainnya itu bukan berbasis
komunitas, jadi mereka top
down. Ada orang yang pengin
bikin, dia siapin duit, lalu
kemudian dibuatlah institusi anti-
hoax tersebut gitu, atau donor-
donor lainnya. Kalau kita

133
kebalikannya, kita bottom-up,
dari komunitas baru belakangan
menjadi institusi begitu. Dan
kemudian komunitas ini ternyata,
alhamdulillah punya kemampuan
untuk bikin berbagai teknologi
anti-hoax. Nah, teknologi anti-
hoax ini kita beri nama dengan-
sesuai dengan legenda
Mahabrata, misalnya core-nya
teknologi anti-hoax kita itu kita
beri nama Yudhistira, jadi itu
semuanya tersambung ke
Yudhistira itu. Kemudian kita
punya teknologi A.I, artificial
intelligence yang lagi kita
develop namanya Sadewa, lalu
kita punya teknologi untuk
mendeteksi hoax di media sosial
kita beri nama Barata. Nah,
Kalimasada ini dia bisa
beroperasi otomatis karena dia
tersambung ke Yudhistira, jadi
kita pikir. “Namanya apa ya?”
terus ternyata senjatanya
Yudhistira namanya adalah
Kalimasada. Jadi ya udah kita
kasih nama itu, hahaha.”
8. Oke. Kalau untuk Uh… Tim kita cuma 3 orang sih, Aktor
divisi Pak, berapa tim kecil aja ahahaha.”
banyak divisi yang
terlibat dalam
proses chatbot?”
9. 1 tim 3 orang, kalau Um… Ada namanya Gabriel, lalu Aktor
boleh tahu siapa aja ada Bambang, satu lagi… Fahmi.
ya Pak, ya?” Saya team leader-nya.”
10. Uh… Boleh Iya, jadi um… Kalimasada nih Aktor/Aktan
dijabarkan Pak sebetulnya udah 4 versi hahaha
peran setiap dan tiap anggota tim itu
anggotanya, Pak?” kerjaannya bukan cuma
Kalimasada, mereka juga

134
mengerjakan hal-hal lainnya
seperti cekfakta.com, itu juga
mereka bikin, Yudhistira juga
mereka yang bikin. Jadi mereka
selang-seling, ya Kalimasada
versi 1 itu yang bikin Mas
Gabriel, lalu yang versi 2 Mas
Fahmi kalau engga salah, nah
versi 3 Gabriel lagi, lalu versi 4
ini yang mengerjakan Bambang.”
11. Oh begitu. Berarti Iya, jadi ke- mana yang lagi free Aktor
masuknya tim itu maka dia yang saya kasih tugas
gitu, untuk ketika perlu bikin
tuh, jadi mereka versi 4 ternyata Bambang yang
buat, buat versi- lagi agak lowong waktunya, jadi
saya assign dia. Sementara
versinya aja ya Pak Gabriel lagi ada tugas
ya? Engga ada maintenance untuk Yudhistira,
maka bukan dia yang
yang-”
mengerjakan versi 4. Versi 3
Gabriel yang lagi agak lowong,
maka dia yang saya kasih tugas
gitu.”
12. “Kalau untuk “Um saya melakukan system Aktor
peranan dari Bapak design jadi seperti sistem analis,
Harry sendiri peran kemudian saya juga me-manage
dan tanggung tim, kemudian kalau tim
jawabnya apa, menemukan hambatan teknis
Pak?” ataupun non-teknis, maka itu
tugasnya saya. Misalnya kita
sempat mendapat beberapa
larangan dari pihak WhatsApp,
maka kemudian saya yang nego
dengan pihak WhatsApp di
Singapura karena mereka engga
punya kantor di Indonesia.

135
Ketika itu, he’eh. Jadi saya nego,
“Ini boleh dong, masa engga
boleh sih? Ini, ini,” gitu lho. Jadi
tim bisa fokus ke kerjaannya aja
engga terganggu oleh masalah-
masalah non-teknis, he’eh.”

13. Oh begitu. Selama “Betul sekali. Tim Hoax Buster- Intermediary


ini kan, ini kan nya kita istilahnya, mereka setiap
chatbot sebagai
layanan pemeriksa kali melakukan debunking hoax,
fakta, Pak? Uhh, kemudian mereka melakukan
ya, itu ada yang
berperan lagi engga publikasi, melakukan diseminasi
Pak? Selain dari 4 hasil debunking tersebut, ke
termasuk Bapak ini,
kanal-kanal kita misalnya di
4 orang termasuk
Bapak, pemeriksa Facebook, website kita sendiri,
faktanya juga Twitter, Instagram, dan
ikutan atau gimana
gitu maksudnya?” Yudhistira jadi mereka input juga
ke Yudhistira. Maka apa yang
ada di Yudhistira otomatis bisa
diakses oleh Kalimasada. Jadi
misalnya kalau kita search di
Kalimasada ‘Jokowi spasi PKI’
maka Kalimasada akan
memeriksa database Yudhistira.
Dia akan memeriksa semua hoax
yang mengandung kata-kata
Jokowi dan PKI, dan lalu
ditampilkan semua di- ke
pengguna Kalimasada tadi gitu.
Jadi kira-kira alurnya seperti itu,
he eh.”

136
14. Berarti semuanya Yudhistira, iya betul sekali, iya.” Aktor/aktan
jadi numpunya ke si
Yudhistira gitu ya
Pak, ya?”
15. Oh berarti sampai Betul, menggunakan database Aktor/aktan
saat ini chatbot Yudhistira, iya, he’eh.”
masih dalam
database
Yudhistira?”
16. Oh begitu, oke “Ya… Baik, salah satu yang Aktor
baik. Uh… Kalau
berperan paling penting adalah Jaringan
untuk orang yang
berperan penting WhatsApp. Kita mendapat izin Intermediary
Pak, di chatbot ini. dari WhatsApp untuk membuat
Itu… Siapa ya Pak
ya? Yang berperan chatbot ini, karena WhatsApp itu
penting di dalam dia sangat keras soal privacy dan
chatbot ini? Bukan,
anti-spam. Jadi setelah kita
maksudnya maupun
itu manusia ataupun jelaskan bahwa chatbot kita ini
bukan manusia Pak, tidak merugikan pengguna
jadi mau teknologi
atau… Whatsapp dari sisi privacy dan
spam, baru kita mendapat izin
dan mendapat dukungan. Kita
mendapat rujukan dari WhatsApp
untuk menggunakan jasa
perusahaan bernama Kata.AI.
Kata.AI ini menjadi jembatan
antara chatbot Kalimasada
dengan sistem internal
WhatsApp. Jadi Kata.AI ini
perusahaan di Indonesia, jadi kita
engga langsung nyantol ke
mesinnya WhatsApp di Amerika,
tapi kita melalui perantara yaitu

137
pihak Kata.AI. Jadi Kata.AI,
WhatsApp, kemudian mesin
Kalimasada kita taruh di Google
Cloud. Jadi Google juga turut
menjadi aktor di sini kemudian
juga ada para pemeriksa fakta
tadi, kemudian tentu juga yang
paling penting adalah para
penggunanya Kalimasada.
Karena berkat para pengguna ini
maka, misalnya mereka
melakukan pencarian fakta lalu
hasilnya mereka sebarkan di
grup-grup WhatsApp mereka,
maka dengan itu mereka telah
membantu untuk menembus
black box yang bernama
WhatsApp ini gitu. Jadi
pengguna Kalimasada juga
sangat penting, mereka
membantu menyebarkan hasil,
apa, narasi kontra hoax-nya di
platform WhatsApp. Karena kita,
Mafindo, tidak bisa melakukan
itu maka kita memberikan
fasilitas dan kemudian pengguna
WhatsApp yang memanfaatkan
fasilitas bernama Kalimasada
tersebut untuk melawan hoax di
WhatsApp. Mungkin kira-kira itu

138
ya, aktor-aktornya ya, he’eh.”

17. “Oke, uh… Dari “Sangat penting karena kuncinya Aktor


database di situ, hahaha. Kalau us- kalau
Yudhistira-nya
sendiri itu termasuk pengguna Kalimasada memas-
penting atau engga, mencari sesuatu yang belum ada
Pak?”
di database Yudhistira, maka itu
kemudian dieskalasi ke manusia,
ke tim pemeriksa fakta supaya
bisa mereka periksa gitu.
Misalnya vaksin Sinovac
berbahaya gitu misalnya ya,
ternyata itu belum ada di
Yudhistira maka kemudian itu
akan dioper ke tim pemeriksa
fakta. Ada yang pengguna
Kalimasada yang menanyakan ini
gitu, nah kemudian tim
pemeriksa fakta bergerak untuk
memeriksa, kalau ternyata hoax
maka dibuat debunk-nya dan
kemudian jadi di-input juga ke
database Yudhistira sehingga
orang berikutnya yang bertanya
mengenai hal yang sama jadi
sudah mendapat jawabannya.
Kira-kira kayak gitu.”

18. Kalau… Kalau- Ke.. Di Kalimasada aja, jadi Intermediary


berarti nanti otomatis kalau engga ketemu di
masyarakatnya Yudhistira langsung otomatis tim
yang mengajukan… pemeriksa fakta kita dikasih tahu
Ada hal yang belum sama Kalimasada hahaha.”

139
dicari itu ke mana
ya Pak, ya?”
19. Jadi- iya saya juga Iya… Itu yang kalau engga ada Jaringan
pernah nyobain sih itu dia minta maaf dan di balik
sebelumnya pakai layar dia langsung nyolek tim
WA yang chatbot pemeriksa faktanya kita, hahaha,
itu. Jadi ada yang… secara otomatis iya.”
Ada yang belum
ada gitu ya,
maksudnya ya Pak,
ya?”
20 “Ohh gitu, he’eh… “Ohh… Belum ada.”
Kalau boleh tahu
Pak, ini untuk dari
proyek chatbot
sendiri, peran dan
nama, jabatan dan
peran ini ada
strukturnya engga
ya, Pak?
Maksudnya ada
dokumennya engga
ya?”
21. Oh belum ada ya?” Karena kita ngelawan hoax ini Translasi
betul-betul berpacu waktu, jadi
segi dokumentasi kita memang
kedodoran sih, jujur. Hahaha…”
22. Ya, alat dan Oke. Kalau alat tadi kita butuh Aktor/aktan a
aplikasi apa saja gateway WhatsApp itu
Pak yang disediakan oleh pihak ketiga,
digunakan untuk Kata.AI tadi. Lalu server-nya
chatbot ini?” Kalimasada kita ada di Google
Cloud tadi ya, Google Cloud…
Kemudian kita meng- untuk
mencatat hoax yang dicari oleh
pengguna, tapi belum ada di
Yudhistira itu kita menggunakan
jasa dari website plan.io
namanya, ‘plan dot io’.

140
23. Plan dot io ya?” Iya, he’eh, dia otomatis oleh Aktor/aktan
Kalimasada langsung akan
dicatatkan di situ dengan rapi dan
berurut, sehingga kemudian tim
pemeriksa fakta bisa
memeriksanya dengan mudah.
Kalau dilempar misalnya ke
WhatsApp, timnya kita kan bisa
mabok karena bisa banyak
banget! Susah manage-nya gitu,
hahaha—Jadi itu nama istilahnya
issue tracker, jadi dia bisa
membantu kita untuk me-manage
masukan-masukannya tersebut.
Kemudian… Untuk software-nya
kita menggunakan open source
semuanya, namanya PHP,
database-nya MySQL.”
24. “Apa, apa? “Iya… Software PHP, database aktor/aktan
Database-nya?” MySQL, ya.”

25. Oh itu aja ya? Iya, platformnya kita Aktor


Kalau untuk menggunakan WhatsApp,
platformnya Pak? kemudian juga- so- kelupaan.
Paling WA aja ya Kalimasada tersambung ke
Pak, ya?” platform Yudhistira, iya.”

26. “Oh, oke. Uh… Iya kalau gateway yang Aktor/aktan


disediakan Kata.AI itu untuk
Lalu saya boleh
menyambungkan Kalimasada
nanya engga nih dengan platformnya WhatsApp.
Pak? Dari masing- Jadi karena kita engga boleh
langsung connect ke platformnya
masing ini nih, WhatsApp jadi pakai penengah
masing-masing alat gateway disediakan oleh Kata.AI.
Um, software Kalimasada ini
dan aplikasinya ini
perlu jalan di mesin di internet,
peranannya apa saja jadi kita menggunakan jasanya
Google Cloud karena—Iya,

141
gitu, digunakannya karena engga bisa kalau di laptop
untuk apa saja saya kan- kadang-kadang laptop
saya mati, koneksi internetnya
gitu?” masalah. Jadi harus ditaruh di
satu tempat yang selalu
terkoneksi dan komputernya
kualitasnya bagus, terjaga,
secure, Google Cloud punya
fasilitas itu dan udah terbukti-
teruji banget ya. Google-lah!
Kapan sih Google down-nya gitu
kan? Jarang-jarang, hahaha. Jadi
kita titipkan Kalimasada di situ.
MySQL itu database tetapi
penggunaan kita minim, cuma
sekadar untuk merekam posisi
istilahnya saya. Jadi di
Kalimasada itu kan ada menu-
menu, kita bisa tekan angka 1
atau angka 2 atau angka 3 gitu—
Nah, MySQL itu cuma mencatat,
si Harry sekarang lagi di posisi,
di menu berapa sih? Jadi supaya
engga kehilangan kontak aja gitu,
hahaha—Jadi, supaya nyambung
terus gitu jangan sampai kita
pencet menu nomor 5, terus
Kalimasada malah ngerespon
menu nomor 8 karena engga
kelacak sama dia hahaha. Jadi
gunanya untuk melacak interaksi
user dalam Kalimasada. PHP itu
adalah software-nya yang kita
pakai untuk membuat
Kalimasada
27. Kalau yang Plan.io untuk mencatat Aktor/aktan
plan.io?” pertanyaan-pertanyaan dari
pengguna yang belum terjawab.
Jadi itu tercatat kayak di
semacam daftar yang panjang,
kemudian karena tercatat jadi
kita bisa tangani dengan rapi.
“Oh yang nomor 10 ini dioper ke

142
si anu aja! Yang nomor 11 ini
biar si Ari Bowo yang ngerjain,
nomor 12 ini si Adi yang
ngerjain, nomor 13- oh ini
sampah nih! Hapus aja gitu.” Jadi
kita bisa bekerja dengan rapi, itu
begitu.”
28. “He’eh, kalau untuk Iya, team leader-nya pemeriksa Intermediary
pembagian itu fakta yang me-manage itu, iya.”
artinya
pembagiannya itu
nantinya ke
pemeriksa fakta,
ya?”

29. Oh gitu, berarti Betul, iya he’eh.”


kalau dari Bapak
hanya memasukkan
ke database?”

30. Um… Kalau untuk “Jadi gunanya yang paling utama Aktor/aktan
database Yudhistira adalah untuk merekam konten-
ini bisa engga
Bapak definisikan konten anti-hoax. Jadi terkumpul
sedikit, Pak?” di satu tempat sehingga bisa
digunakan ulang dengan mudah,
karena selain tersimpan juga
terstruktur. Jadi tiap konten itu
kita kasih tambahan metadata
istilahnya, metadatanya itu
misalnya, “Ini kita kasih
tagging,” misalnya hashtag, “Oh
yang hoax yang ini kita kasih
hashtag JokowiPKI karena isinya

143
menuduh Jokowi adalah PKI,
gitu lho.” Maka kemudian tim
litbang kita bisa mengakses
Yudhistira, dengan misalnya,
“Cari PKI.” maka semua konten
yang mengandung hashtag PKI
akan ketemu gitu, atau cari
semua posting konten hoax tahun
2018. Sehingga jadi datanya itu
bisa diolah oleh tim litbang kita,
selain itu juga bisa dipublikasi
ulang oleh pihak-pihak lainnya,
salah satunya Kominfo. Kominfo
itu mengambil database dari kita,
Yudhistira, salah satu sumbernya
juga situs covidplusme
pemerintah, covid19.go.id itu
juga mengambil- itu ada menu
namanya Hoax Buster di website
tersebut, itu sebetulnya sumber
datanya dari Yudhistira juga.
Kemudian juga dan berbagai
situs-situs lainnya seperti
cekfakta.com, cekfakta.com ini
aliansi dari 24 media online yang
berkomitmen untuk melawan
hoax. Jadi mereka semuanya
bekerja di Yudhistira, kemudian
oleh- jadi kalau mereka kerja di
Yudhistira, nginput itu mereka
kasih hashtag juga cekfakta akan

144
muncul di cekfakta.com. Jadi
seperti gitu ahaha—Jadi, manfaat
banget, dan juga banyak sekali
akademisi, temen-temen
mahasiswa yang mendapat akses
ke Yudhistira sehingga bisa
memanfaatkan database-nya itu
untuk riset mereka sendiri.
Misalnya mereka lagi pengin
riset mengenai hoax yang
bertopik gender misalnya, maka
itu mereka jadi bisa lakukan
karena mereka punya akses ke
database Yudhistira kita gitu
atau topik-topik riset lainnya
yang bahkan engga terpikir sama
kita, gitu. Kita cuma ngasih akses
saja lalu sama mereka, mereka
berkreasi sendiri gitu, hahaha”

31. “Oh gitu jadi bisa Bisa, tapi harus minta, istilahnya,
publika- buat kuncinya dulu ke kita karena
semuanya Pak ya? kalau terbuka gitu aja, itu rentan
Umum ya Pak, ya?” di-abuse atau malah di-hack. Kan
sayang banget! Kita udah capek-
capek bikin, di-hack kan
hahaha… Ngenes juga.”
32. Oh gitu… Kalau “Ya, laptop pasti perlu tapi kita Aktor/aktan
untuk Pak… Dalam juga membuat aplikasi bernama
proses chatbot ini
orangnya itu yang Hoax Buster Tool, itu ada di
dibutuhkan tuh Android dan di iPhone, di iPad
laptop udah pasti ya
Pak, ya? Atau juga ada. Dari situ maka kita bisa
komputer dari melakukan periksa fakta dari

145
Bapak atau gimana, handphone, karena mayoritas
Pak?” relawan kita engga punya laptop,
hahaha. Jadi dengan Mafindo
membuatkan aplikasi Hoax
Buster Tool, maka mereka semua
jadi bisa ikut membantu periksa
fakta dan termasuk
melaporkannya ke kita, ke tim
pemeriksa fakta. Jadi mereka
menemukan hoax yang kita
belum temukan, mereka
debunking sendiri, kemudian
dikirim ke kita, semuanya bisa
melalui aplikasi tersebut. Jadi itu
juga cukup lumayan menolong
hahaha.”

33. Oke… Kalau untuk Iya, jadi dalam menangani hoax


Bapak sendiri, itu kita melakukan dua skala
untuk- misalnya prioritas, pertama severity, jadi
ada kendala nih ini hoax-nya critical apa engga?
apa, itu kan pasti Atau hoax ecek-ecek atau cemen
buru-buru tuh Pak. atau gimana, kita rating
Nah itu Bapak bisa berdasarkan itu, kemudian kedua
mengerjakan di urgency ini perlu buru-buru kita
hape apa harus di tanganin apa engga, gitu. Hoax
mana, Pak? yang critical dan urgent langsung
kita keroyok ramai-ramai, kita
langsung panggil tim semua,
“Harus kelar sekarang nih dalam
waktu berapa menit ke depan.”
misalnya. Kalau engga ya kita,
kita kerjakan sesuai urutan aja
gitu, mana yang masuk kita
kerjakan gitu. Tapi begitu ada
emergency misalnya yang
berpotensi menyebabkan

146
kerusuhan atau, apa, massa jadi
bakar-bakaran di jalanan
misalnya bisa memicu kayak
gitu, itu langsung. Kita drop
semua kerjaan langsung fokus ke
situ, hahaha, kira-kira seperti
itu.”
34. “Oh gitu, berarti ya Iya, he’eh kalau yang sangat
Bapak juga turun critical seperti itu ya saya harus
tangan juga ya Pak, langsung pantau juga, hahaha,
ya?” ikut bantu juga— “Misalnya
waktu kemarin Mei kemarin itu,
Mei tahun lalu itu, hoax-nya itu
betul-betul parah sampai
misalnya ada… Apa, atau…
Kadang-kadang kita juga
membantu untuk konten-konten
yang extreme violance gitu
istilahnya. Jadi memicu
kekerasan misalnya ada yang
bilang bahwa, “Ini, muslim di
daerah sini lagi dibunuh-bunuhin
gitu.” Lalu kita akan minta
tolong ke temen-temen kita,
misalnya jurnalis yang di
lapangan atau polisi yang di
lapangan, dan lalu kita langsung
buru-buru buat kontra narasinya,
dan langsung disemenasikan ke
semua pusat- semua pihak,
termasuk temen-temen jurnalis
dan media massa juga. Ya
contohnya cara kerjanya kayak
gitu, haha.”
35. Oh… oke Pak. “Karakteristiknya… Pertama dia Translasi
Kalau untuk interaktif, jadi dua arah. Kedua
karakteristik Pak
dari chatbot responsif, jadi dia harus
Mafindo sendiri, itu merespon kontak dari
bagaimana ya Pak,
karakteristiknya?” penggunanya dengan cukup
cepat. Ketiga gratis, kita tidak

147
mengenakan biaya sama sekali.
Keempat apa ya kira-kira ya….
Hm… Apa namanya, dia itu
sifatnya, apa ya- extensible,
sorry, karakteristiknya adalah
extensible. Extensible itu
maksudnya bisa dikembangkan
dengan mudah. Jadi saat ini
Kalimasada baru memeriksa ke
database Yudhistira, tapi di masa
depan dia bisa kita sambungkan
dengan modul A.I, artificial
intelligence. Sehingga kemudian,
walaupun belum ada di database,
modul A.I-nya bisa menilai
sendiri, “Ah ini hoax nih! Karena
ini, ini, ini.” Gitu, atau kemudian
kita bisa cantolkan juga ke modul
Bayesian. Bayesian itu semacam
semi-AI, tapi agak lebih robust
gitu dan kita bisa terus
kembangkan juga—Jadi, ya
palingan itu sih. Tadi terakhir
extensible, bisa dikembangkan
dan disambung-sambungkan
dengan modul-modul yang
lainnya dengan mudah

148
36. Bagaimana proses- “Jadi pertama kali kami Jaringan
proses dari praktik mendapat laporan tentang konten
chatbot Mafindo ini
dalam mendeteksi yang berpotensi hoax maka
hoax?” kemudian itu masuk ke antrian
kerjaannya tim pemeriksa fakta
kita. Lalu ini ditugaskan ke salah
satu pemeriksa fakta untuk di-
debunk, jika memang hoax.
Kemudian setelah selesai di-
debunk, konten debunk tadi,
kontra narasinya tersebut itu kita
input ke kanal-kanal kita. Ya itu
ada di Facebook, website kita
sendiri, Twitter, Instagram dan
terakhir di Yudhistira. Nah yang
di-input di Yudhistira itu
otomatis masuk ke database-nya
Yudhistira sehingga kemudian itu
bisa digunakan oleh banyak
pihak termasuk oleh chatbot
Kalimasada ini. Ketika mendapat
pertanyaan dari penggunanya
maka chatbot Kalimasada akan
mengontak Yudhistira untuk
memeriksa apakah sudah ada di
database-nya ini apa belum.
Kalau sudah ada maka
Kalimasada akan menyampaikan
balasan dari Yudhistira, jika
belum ada maka Kalimasada
akan mengontak tim pemeriksa

149
fakta agar pertanyaan tersebut
bisa diperiksa apakah memang
hoax atau bukan. Jadi alurnya itu
aja sih, simpel.”

37. “Kalau, kalau untuk Di, kita taruh di Google Cloud— Jaringan
apa sih e.. yang tadi Jadi, kalau kita bicara
Kalimasada itu sebetulnya adalah
Pak, yang software PHP dan MySQL yang lagi
yang MySQL sama bekerja.”
PHP-nya itu, itu
terletaknya di mana
tuh?”

38. Ohh. Kalau “Betul, iya he’eh. Dan mereka Jaringan


berbicara chatbot
berdua itu berjalannya di atas
Kalimasada berarti
MySQL sama PHP- Google Cloud—Iya, Kalau
nya yang lagi Google Cloud-nya mati ya
bekerja gitu ya?”
Kalimasada langsung bisu itu.”

39. Dia berperan Iya. Ini dia adalah intinya dari Jaringan
penting juga ya.” Kalimasada sih, he eh. PHP dan
MySQL ini.”

40. Apa saja sih yang “Mempengaruhi, mempengaruhi Jaringan


mempengaruhi
ya, mempengaruhi. Oh iya. Jadi
chatbot selama
berlangsung, alurnya itu Kalimasada itu
selama prosesnya pengguna, lalu WhatsApp, lalu
itu berlangsung
tuh?” gateway, gateway yang Kata.AI
tadi, lalu dia nyampe ke Google
Cloud Kalimasada, Kalimasada
yang di Google Cloud. Lalu
Kalimasada merespon balik

150
alurnya adalah Kalimasada di
Google Cloud itu mengontak
gateway, lalu gateway itu
menyampaikan ke WhatsApp,
lalu WhatsApp menyambungkan
ke pengguna, jadi kira-kira
jalurnya seperti itu.”

41. “Ohh gitu. Ini, ini Iya. Kalau ada yang terputus di Jaringan
alurnya ya Pak ya?” tengahnya misalnya gateway-nya
pernah bermasalah ya udah
Kalimasada-nya kayak lagi tidur
gitu nggak ada respon apa-apa.
Pernah juga—Harus lancar
semua. Pernah juga gateway-nya
problem sehingga kalau kita
nanya ke Kalimasada itu
responnya bisa bermenit-menit.
Jadi orang udah bete duluan, “Ini
kok nggak dapat jawaban juga.”
gitu, padahal nyangkut di
gateway. Kalimasada-nya sendiri
sih lancar-lancar aja nggak ada
apa-apa.”
42. “Ohh gitu. Berarti Bisa. Atau misalnya, pernah oh Jaringan
di sini yang iya pernah juga ada user
Kalimasada yang komplain,
termasuk ya, ya kita “Kalimasada lambat.” katanya.
bisa bilang jaringan Terus langsung saya cek,
“Enggak tuh responnya cepat.”
lemah gitu, di gitu. Terus, “Loh terus kok saya
gateway juga bisa lambat?” gitu. Pas kita cek
ternyata provider-nya dia yang
ada problem ya Pak
lagi bermasalah misalnya XL
ya?” atau Telkomsel gitu—Di sisi dia
jadi Kalimasada terkesan lambat
padahal bukan Kalimasada-nya
lambat tapi provider-nya dia.
Begitu kita coba dari provider
yang lain misalnya Firstmedia

151
atau apa, “Enggak kok,
kenceng.”. Jadi sepanjang
jalurnya itu harus lancar semua
memang

43. Jadi dari sisi “Bisa. Bisa banget betul.”


pengguna juga bisa
bermasalah juga ya
Pak ya?”

44. “Kemudian, kalau Nggak ada, full otomatis.”


selama proses
berlangsungnya
chatbot nih, selama
ada yang
memeriksa gitu
untuk otomatisasi
gitu, peran manusia
nih, peran dari tim
mungkin, ada
campur tangan
nggak Pak?”
45. Selama berlangsung Nggak ada intervensi manusia Jaringan
berarti nggak ada, sama sekali. Karena itu
nggak ada peran WhatsApp memberi kita izin
manusia ya?” karena kita nggak bisa
mengganggu, atau
menginterupsi, atau
mengintervensi, atau menyadap
interaksi pengguna dengan
Kalimasada. Itu semuanya full
otomatis, kita nggak bisa sadap
atau intervensi sama sekali. Kira-
kira kayak gitu.”

152
46. Ohh begitu. Berarti Betul. Kalau ada masalah baru Jaringan
tetapi perannya tim kita segera berusaha selesaikan
nih datang ketika secepat mungkin, atau kalau ada
apa nih Pak, ketika pertanyaan yang belum terjawab
ada masalah aja oleh Kalimasada, maka itu
atau pembaruan dieskalasi oleh Kalimasada
konfigurasi apa gitu secara otomatis ke tim pemeriksa
Pak?” fakta. Cuma itu aja sih.
47. Kalau untuk Ya. Itu alhamdulillah dari sisi Jaringan
menjaga stabilitas kita, kita istilahnya bisa lepas
dari chatbot sendiri tangan karena itu sudah diurus
nih Pak, seperti apa oleh timnya Google Cloud. Jadi
sih?” kita nggak tau apa-apa soal itu.
Itu sudah diurus sama tim Google
Cloud di Google Cloud. Yang
lain-lainnya misalnya stabilitas
gateway, Internet Provider
Indonesia ya itu udah, udah di
luar tangan kita, kita nggak bisa
ngapa-ngapain—Tetapi, kalau
untuk sisi Kalimasada sendiri
alhamdulillah kita dapat banyak
bantuan dari timnya Google
Cloud. Jadi mereka yang kerja
keras untuk memastikan stabilitas
Kalimasada. He eh. Kayak gitu.”

48. Ohh. Kalau dari Untuk membantu dalam chatbot. Aktor


Mafindo sendiri nih Em.. iya, kita beberapa kali
Pak, ada nggak banyak pertanyaan yang masuk
teknologi yang ke Kalimasada itu dalam bentuk
dikembangkan istilahnya natural language.
untuk membantu Natural language itu maksudnya
dalam chatbot?” adalah perkataan manusia sehari-
hari, jadi misalnya, “Bener nggak
sih Jokowi itu PKI?” gitu. Ya
otomatis nggak ketemu di
Yudhistira—Karena, Yudhistira
itu dia memeriksa konten utuh
atau keyword. Keyword itu

153
misalnya Jokowi spasi PKI, nah
itu ketemu gitu. Tetapi kalau ada
orang nanya, “Bener nggak sih
Jokowi itu PKI?”. Itu nggak
ketemu karena Kalimasada nggak
ngerti natural language. Nah itu
ada beberapa teman-teman yang
bisa membuatkan, membantu
membuatkan modul, istilahnya
NLP, Natural Language
Processing. Nah kalau modul itu
sudah terpasang maka Yudhistira
jadi bisa ngerti ocehan-ocehan
kita gitu. “Eh bener nggak sih
vaksin itu bikin kita jadi
lumpuh?” gitu, nah itu jadi bisa
ngerti Kalimasada. Tetapi
sekarang belum.
49. Kemudian ini Pak, “Oh iya. Kita kemarin itu, Jaringan
bagaimana cara beberapa minggu yang lalu
Mafindo membuat
masyarakat tuh WhatsApp membuat press
aware sih dengan release, press conference
chatbot ini? Gitu.”
mengenai Kalimasada. Ya
alhamdulillah jadi mereka juga
senang karena merasa terbantu
gitu ya, ada pihak yang mau
berusaha melawan hoax di
platform mereka, Jadi mereka
melakukan press conference
tentang Kalimasada ini full
semuanya gratis biayanya mereka
yang nanggung semua.
Kemudian juga di kegiatan-
kegiatan Mafindo sendiri, kita
selalu menyampaikan ke

154
audience bahwa kita punya, “Ini
loh, fasilitas ini loh, kita punya
aplikasi Hoax Buster Tool di
handphone, kita punya
cekfakta.com, kita punya chatbot
Kalimasada.”. Jadi kita juga
selalu publikasikan di kegiatan-
kegiatan kita juga. Kita juga
sampaikan ke teman-teman kita,
rekan-rekan kita. Salah satu yang
mempromosikan Kalimasada
adalah UNICEF, karena mereka
senang banget kita melawan hoax
terkait wabah Covid ini karena
hoax tentang Covid atau
vaksinasi Covid itu berbahaya
buat anak-anak, bisa mengancam
nyawa mereka. Jadi mereka
saking senangnya juga turut me-
apa, mempromosikan. Kominfo
juga dan teman-teman lainnya
jadi ya, ya kira-kira kayak gitu
caranya.”

50. Kalau dari menurut “Yang paling sulit, em.. jadi yang Translasi
Bapak, Pak, paling sulit itu, apa ya. Kita, kita
kendala, kendala
dan masalah apa saat ini masih ada larangan dari
yang paling tersulit WhatsApp untuk respon setelah 1
Pak di chatbot ini
Pak? Yang pernah kali 24 jam, itu policy-nya
dialamin gitu Pak?” WhatsApp, kita nggak tahu
alasannya apa. Jadi kalau

155
misalnya ada orang bertanya lalu
jawaban, jawabannya belum ada
maka kan dioper ke manusia.
Tetapi kadang-kadang fact
checking ini nggak bisa sebentar.
Pernah ada teman wartawan yang
mengeluh ada satu hoax ternyata
dia butuh 3 hari untuk kerjainnya
gitu, untuk bisa debunk hoax
tersebut. 3 hari ini padahal ini
wartawan. Nah tim pemeriksa
fakta kita alhamdulillah biasanya
sih jauh lebih cepat dari itu,
kadang-kadang hitungan jam atau
menit. Tetapi kadang-kadang ada
juga hoax yang butuh waktu lama
karena butuh konfirmasi.
Misalnya ada hoax yang
kontesnya adalah konteks Papua,
maka kita harus ngecek dulu ke
teman kita yang di Papua, karena
kita nggak paham konteksnya.
Nah itu kadang-kadang
responnya nggak bisa cepet gitu.
Maka kalau kita baru selesai
debunk lebih dari satu kali 24
jam, maka kita nggak bisa
mengirim balik jawaban itu ke
penanya tadi di Kalimasada,
karena sudah diblokir secara
otomatis oleh WhatsApp. Jadi

156
sistemnya WhatsApp itu
pengguna mengirimkan
pertanyaan, baru Kalimasada
boleh mengirimkan balik
jawaban, dalam tempo waktu 1
kali 24 jam. Kalau dalam jarak
tempo 1 kali 24 jam itu
Kalimasada nggak memberi
jawaban terhadap pertanyaan tadi
maka nggak boleh lagi kita
ngontak penanya tersebut, harus
penanya tersebut ngontak kita
lagi baru kita boleh respon balik
lagi. Itu, itu aturan mainnya di
sistem WhatsApp, dan kita belum
nemu solusinya gimana.—Ya,
paling solusinya berusaha
debunking secepat mungkin
tetapi itu nggak selalu juga
memungkinkan gitu, jadi ya
udah. Lagi ada limitasi itu saat
itu he eh, saat ini.”

51. Memangnya Pak “Iya. Jadi tadi kan pengguna Jaringan


kalau untuk dari Kalimasada mengirim pertanyaan
kontakan untuk
WhatsApp gitu Pak, ke kita. Itu pertanyaan itu
untuk ngurusin terkirim dari hp-nya dia ke
WhatsApp sendiri
itu, itu maksudnya internet provider dia, lalu ke
prosesnya gimana WhatsApp, lalu dari WhatsApp
untuk tektokannya
ke gateway, dari gateway baru ke
gitu?”
Kalimasada. Nah kalau di

157
Kalimasada nggak ketemu
jawabannya, ya eskalasi ke
manusia, tim pemeriksa fakta.
Kalau tim pemeriksa fakta ini
baru berhasil debunking hoax-
nya misalnya dalam waktu 48
jam, maka ketika Kalimasada
memberitahu penggunanya
bahwa ini udah ada jawabannya,
dari Kalimasada ke gateway, dari
gateway ke WhatsApp,
WhatsApp mendeteksi, “Oh ini
Kalimasada mengontak si Joko
nih. Tetapi Joko ngontak dia
udah 48 jam yang lalu. Nggak
boleh ini dia ngontak lagi.”, ya
dijegal di WhatsApp-nya.”

52. Karena terlalu lama “Iya. Mereka khawatir kalau Jaringan


juga ya Pak ya?”
terlalu lama itu nanti kita salah
gunakan untuk melakukan
spamming atau lainnya. Bukan
khawatir Mafindo tapi pengguna
sistem WhatsApp secara umum
gitu, jadi itu peraturannya
berlaku universal. WhatsApp-nya
sih percaya sama Mafindo tetapi
mereka nggak mampu membuat
pengecualian. Jadi, “Kecuali
Mafindo boleh.” gitu. Mereka
ternyata belum bisa melakukan

158
itu. Jadi kita kena peraturan yang
sama dengan semua pengguna
istilahnya WhatsApp for
business.—Kita kena aturan yang
sama jadinya.”

53. Oke. Oke baik. Em.. sebetulnya kita juga punya Aktor
Tadi kalau kontak baik dengan WhatsApp
WhatsApp-nya tuh Amerika, tetapi kita ada tim
dari WhatsApp alhamdulillah ada tim support
Singapura ya Pak yang siap membantu kita di
ya, bukan? Singapura. Tetapi ketika
diperlukan maka mereka akan
eskalasi ke WhatsApp di
Amerika. Tetapi kalau nggak ya
mereka di Singapura aja gitu,
he’eh.”
54. Oh iya Pak, kalau “Sayangnya belum ada, sorry.. Translasi
untuk chatbot ini Kita terlalu sibuk langsung
sendiri ada chatbot implementasi. Karena banyak
arsitekturnya nggak banget yang kita masih mesti
ya? Kayak pra- kerjakan. Karena tim kita kan
proses, ini, ini gitu, kecil nih cuma 4 orang—Jadi
alurnya gitu?” jarang yang bisa ngerjain
dokumentasi.””

159
Open Coding Informan

Gabriel Stefano

Waktu Pelaksanaan: 31 Desember 2020

Tempat Pelaksanaan : Video Call (Zoom)

No. Pertanyaan Jawaban Kategori

1. “Iya, sebelumnya “Oke iya, sorry sebelumnya. E.. Aktor


boleh perkenalkan nama saya Gabriel.
memperkenalkan Saya di sini sebagai software
diri dulu Pak? Dari engineer-nya yang handling di
sisi Bapak.” Mafindo, secara organisasi ada
di Mafindo. Itu.. aduh apa ya
kepanjangannya Mafindo itu..
jadi kita di sini berupaya untuk
apa ya.. mengurangi impact dari
berita-berita palsu yang
beredar. Jadi berita palsu itu
kan ada banyak ya ada yang
hoax, ada yang fake news, ada
yang satir, ada yang.. macem-
macem, ada yang
misinformation, ada yang
misleading, hal-hal kayak
begitu-gitu yang berusaha di-
reduce impact-nya sama temen-
temen di Mafindo. Kayak gitu.
Nah kalau saya sendiri kayak
gitu di bagian tech-nya sih.”

2. “He eh. Kalau untuk “E.. saya developer-nya sih as Aktor

160
di bagian project software engineer-nya.”
chatbot-nya Bapak
sebagai apa?”

3. Gabriel Stefano ya? E.. sebetulnya kemarin itu.. Aktor


Emmm kalau untuk saya lebih ke volunteer sih, jadi
ketertarikan chatbot karena saya punya.. ya bisa lah
memang ini Bapak sedikit gitu lah bikin apa.. IT
ditugaskan atau ini things gitu ya udah saya bantu
dari pengajuan diri sama Pak Harry sih kayak gitu.
Pak?” Itu “Mas kita mau bikin
chatbot..” jadi sebetulnya
otaknya ada di Pak Harry, saya
sebenernya lebih ke eksekutor
sih.”

4. “Iya. E.. berapa “Oke. Secara divisi ya, yang Aktor


banyak sih Pak saya tahu ya? yang saya tahu itu
divisi yang terlibat kebetulan lead saya, head saya
dalam proses itu Pak Harry, itu kita dari tech-
chatbot ini?” nya lah. Kemudian ada juga tim
yang apa ya istilahnya..
mungkin ini harusnya
pertanyaan ini tepatnya itu
nanyanya ke Pak Harry sih, Pak
Harry dan e.. Mas siapa sih
namanya.. Mas Adi ya
sebetulnya. Nah itu Mas Adi itu
yang bagian dia yang
mengorganisir kayak
pengecekan fakta, segala

161
macem itu dari dia. Jadi kalau
misalkan ada, “Mas ini ada
bugs, Mas ini kita bisa nggak
bikin kayak gini.”, dan
sebagainya, itu dia itu customer
saya gitu ibaratnya. Jadi
kebutuhan dia saya harus
penuhi seperti itu sih.”

5. “Ohh gitu. Ya. Kalau saat ini fasenya ya kita Aktor


Kemudian Pak, belum sampe di mana kita
sebenarnya Pak dari punya sistem itu pinter banget,
sisi manusia nggak. Jadi secara data itu
maupun non validasinya itu dilakukan oleh
manusia Pak di manusia. Nah cuma kalau untuk
dalam chatbot ini gimana proses validasinya,
yang sangat mencari faktanya seperti apa…
berperan penting itu saya pernah ikut salah satu
siapa, Pak?” training-nya kebetulan itu
dibahas di situ kayak misalnya
ada foto nih ada foto, foto ini
diambil di mana, jam berapa,
itu ada cara untuk mengetahui
‘beneran nggak sih?’ gitu. Ada
caranya. Jadi itu lebih banyak
di Mas Adi. Nah kalau sekarang
yang terjadi di kami itu lebih
banyak manusia yang
melakukan validasi berita itu
atau narasinya itu kita validasi
itu akan disimpan di sistem dan

162
itu akan di-serve untuk public.
Kayak gitu.”

6. Ohh kebetulan saya Versi 1 he eh. Versi 3 itu ada di


kan tahu dari Pak Pak Bambang, kebetulan saya
Harry, Bapak yang di versi 1 dan 2 sebetulnya.”
membuat versi 1- eh
versi 3.. 1 dan 3
ya?”

7. Oh 1 dan 2. He eh. E.. jadi gini, yang pertama Jaringan


Memang apa sih waktu itu memang kita bikin
Pak yang versi awal buat POC gitu kan,
diperbaharui, yang sebenernya bisa nggak sih…
e.. kenapa ada ada nggak sih yang make, dan
beberapa versi itu ini berguna apa nggak. Ya udah
kenapa, Pak?” kita buat dengan cepet, dengan
keterbatasannya mungkin code-
nya nggak rapi dan sebagainya
terbuat, ternyata itu udah jalan,
dibuatlah versi 2 yang lebih
rapih dan bisa di-maintain.
Sebenernya kayak gitu sih. Nah
dari situ ada banyak ide
pengembangan yang di
antaranya adalah implementasi
kecerdasan buatan dan
sebagainya, jadi akhirnya versi
2 ini dibuat sebagai core
system-nya, kayak gitu sih yang
saya tahu kemarin. Kemudian
ketika ada versi 3 itu lebih

163
channel-nya atau interface-nya.
Jadi kami coba di kavling di
beberapa bagian lain, kayak
gitu sih. Jadi kalau kita
ngomong software-nya ya.. apa
pun software-nya buat e… sori
panggilnya siapa? Amel ya?—
Mbak Amel jadi kalau
berhadapan sama sistem apa
pun sistemnya, sistem yang
baik itu adalah sistem yang
selalu berubah. Nah gitu sih.
Jadi tergantung dari
penggunanya. Kalau memang
penggunanya itu maunya itu
efisiennya operation-nya itu
dengan cara A, terus kita ubah
ke B dan lebih bagus lagi, itu
bagus. Tapi kalau diubah ke B,
lebih buruk, nah itu sebaiknya
dihindari. Kayak gitu sih. Jadi
kalau pertanyaannya kenapa
dan beberapa versi, jawabannya
adalah kita ada improvement,
kita ada perbaikan dari sisi
penggunaan dan kebutuhan.
Kayak gitu.”

8. Ohh gitu. E.. Oke, misalkan dari versi 1, Jaringan


kemudian itu yang versi 1 itu karena POC kita
diperbaharui yang bikin ya agak cepet-cepetan sih

164
berubah itu ya versi paling minim lah yang
kebanyakan dari sisi penting bisa jalan. Nah begitu
apanya tuh Pak? ke versi 2, kita coba stabilin
Maksudnya yang kayak prosesnya, proses dari
kekurangannya logic-nya sendiri itu kita
biasanya apa gitu” perbaikin kan kayak arsitektur
e.. apa ya bukan arsitektur sih
sebenernya.. cara kita
menuliskan code itu kita
perbaiki, seperti itu. Terus
kalau yang ke versi 3 itu ada
penambahan menu kemarin.
Jadi ada channel terus kita
buatin semacam menu dia buat
WA nya kayak menu 1,2,3 itu
dari yang versi 3 gitu ya yang
dibuat sama Pak Bambang di
depan. Kalau yang versi 2 itu
ini.. Sorry aku agak maju
mundur ceritanya—di versi 2
itu lebih ke streamline
information-nya. Jadi misalkan
dapat information entah itu
pertanyaan, entah itu aduan,
kayak gitu itu.. ini cara meng-
handling-nya gimana, gitu kan.
Kalau yang versi 1 itu lebih ini
sih dari informasi yang kita
punya, kita respon gitu cara
kerjanya. Punya, direspon,
punya, direspon. Kalau yang

165
versi 2 itu kita perbaiki lagi
streamline information-nya
nggak sekedar orang tanya
informasi terus kita kasih, tapi
ada pelaporannya. Kayak
gitu.—Fitur sih jatuhnya baik
itu minor atau major pasti ada
perubahan disitu

9. Ohh gitu. He eh. Alat? E… kalau untuk server- Aktor


Kemudian Pak, itu nya kita masih pakai di cloud,
dalam proses cloud server gitu ya jadi
chatbot ini alat dan mungkin kalau di kebanyakan
aplikasi apa aja ya orang kenalnya VPS atau apa,
yang digunakan? kita pake itu, ada rencana
Maupun itu dari mindahin ke Gedung Cyber
hardware sama kata Pak Harry, tapi saya nggak
software.” tahu kapan dan itu udah
dilaksanakan atau belum. Itu
mengenai alat ya—Kalau dari
spesifikasinya.. Pak Harry lebih
paham sebetulnya, karena dia
yang langsung berinteraksi
langsung sebenernya dengan
temen-temen yang di eksternal,
kayak gitu. Jadi lebih saya itu
lebih kayak ke eksekutornya
Pak Harry aja sebenernya.
Kemudian kalau untuk software
kemarin itu kita pake GO ya
bikin back-end aja biasa back-

166
end system dikonekkin ke
database, standar sih
sebetulnya. MySQL, GO sama
kemarin itu kami kerja sama
dengan Kata.ai untuk channel
WhatsApp nya jadi mereka
yang menyediakan integrasinya.
Ibaratnya itu Facebook itu
menyediakan service ‘ini
integrasiin.’ nah sebagai
integratornya itu si Kata.ai.
Kata.ai sebagai integrator,
kemudian kami pake service-
nya Kata.ai untuk channel-nya
WhatsApp itu. Gitu. Jadi
mereka yang manage.. manage
apa ya manage channel
WhatsAppnya kemudian dari
situ misalkan ada pesan masuk
dari sistemnya Kata.ai itu akan
ngirimin ke kami ‘eh ini ada
pesan masuk.’ kayak gitu sih—
Nah, ada pesan masuk, dari
sistem kami itu nanti akan
ngerespon ini berupa laporan,
ini dibales seperti apa, dan
sebagainya. Jadi yang manage
channel itu ada di Kata, kita
pake integrator, nggak langsung
ke WhatsApp-nya gitu yak
arena memang rule-nya seperti

167
itu sih secara birokrasinya.
Harus ada ijin intinya.”

10. Pak, kemarin saya Oh iya. Iya jadi itu salah satu Aktor/aktan
wawancara dengan versinya kita pake node. Itu
Pak Fahmi, disuruh hanya bahasa pemrograman
konfirmasi terkait saja sih, jadi yang disebutkan
Node JS.. kayak node JS, GO, PHP itu
yang dipake itu cuma bahasa
pemrogramannya saja. Jadi
nggak ada sesuatu yang spesifik
sih.”

11. “Ohh berarti itu Itu open source ya, jadi bahasa Aktor/aktan
bukan teknologi dari pemrograman itu open source,
Mafindo sendiri kita pake, kita bikin aplikasi,
ya?” aplikasi ini yang dipake publik.
Itu sih.”

12. Ohh gitu. E… Ohh untuk alat kerja ya? Nggak Aktor/aktan
Bapak setiap kali ada sih, laptop aja.”
untuk membuat
chatbot.. maksudnya
untuk memperbaiki
chatbot untuk dari
versi ke versi itu e..
hardware-nya yang
digunakan selain
laptop?”

13. Kalau untuk Harus laptop, HP paling saya Aktor/aktan


misalnya ada buat tes doang. Maksudnya

168
kendala gitu Pak, itu pake nomor WA saya—Iya,
bisa dari HP atau kalau mau tes langsung di HP
harus laptop?” juga bisa sih. Hanya ngetes ya
tapi.. kalau untuk
troubleshooting, atau apa itu
tetep harus pake laptop sih,
nggak bisa kalau di HP.”

14. “..kalau dari proses “Nah itu.. itu harus ke Pak Adi Jaringan
dari chatbot sih, saya nggak bisa jawab
Mafindo sendiri terlalu banyak kalau untuk
dalam mendeteksi proses operasional. Cuma kalau
hoax, Bapak bisa di sistem sih e.. ada pesan
ceritakan nggak masuk, kemudian kita cari ke
alurnya? Alur dari database kita, ke sistem kita,
Bapak pertama kali datanya ada nggak? Kalau
membuat yang versi nggak ada ya kita balikin
1 itu apa aja yang ‘nggak ada.’. Artinya ya ‘nggak
Bapak persiapkan ada’ ini maksudnya akan
sampai terjadi dilakukan pengecekan, kalau
chatbot versi 1 itu.” misalnya ‘ada’ ya akan kita
respon dengan data yang kita
punya. Gitu aja sih sebenernya
database-nya secara umum
ya—Jadi, nggak ada sesuatu
yang spesifik. Sebetulnya apa
ya.. hubungan interaksi manusia
dan sistemnya itu udah
difasilitasi dengan admin
dashboard itu untuk input data-

169
data fakta yang beredar gitu. Di
situ doang mungkin kalau aku
bilang.. apa ya istilahnya..
hubungan interaksi sistem dan
manusianya.”

15. Iya. Selama e.. Tidak ada, hanya- ada nya itu Jaringan
proses chatbot ini hanya pada validasi data fakta
berlangsung ini tadi.”
berarti tidak ada
sama sekali campur
tangan manusia ya,
Pak?”

16. Kalau untuk faktor- E… yang sering terjadi ya? Translasi


faktor Pak yang Biasanya itu masalah pencarian
mempengaruhi di database sih, jadi e…
chatbot itu ada metode pencariannya masih apa
kendalanya itu yang ya… as is. Jadi kemarin itu- as
paling sering apa?” is itu maksudnya gini,
customer- eh sorry bukan
customer, user-nya.. user
chatbot memberikan laporan
misalkan A gitu ya.—Nah,
kemudian kita cari itu nggak
ada, nggak ketemu gitu kan..
nah sempet ada beberapa yang
ini tuh harusnya ada, tapi kita
laporkan nggak ketemu. Jadi itu
sebenernya value utamanya ada
di situ yang kita e… lagi coba
solve sih. Paling itu sih, kalau

170
untuk yang lain-lain misalkan
ada error atau apa.. sejauh ini
sih kita udah coba handle ya,
jadi seharusnya nggak ada
masalah di situ. Kalau untuk
kapasitas pun masih cukup
untuk sekarang dari
aplikasinya. Jadi nggak terlalu
yang harus gimana.”

17. E… tapi dari tim Emm… ndak secara- Jaringan


project chatbot maksudnya ngetes ya kalau
sendiri setiap untuk monitoring sih kita cuma
harinya mengecek lihat di server aja –-Iya,
nggak stabilitas biasanya kita.. ehh.. seharusnya
chatbot gitu?” sih pasang aplikasi untuk
monitoring, cuma di kita
sekarang masih manual sih.
Maksudnya masih manual itu
kita masuk ke server terus cek
servisnya jalan, ya udah gitu
aja.—Nggak ada yang khusus
karena penggunanya juga e…
apa ya masih.. nggak ada issue
sih selama ini nggak ada issue,
belum yang traffic-nya itu yang
tinggi banget yang tiap hari itu
sampe berapa itu belum sih.
Mungkin kalau udah sampe ke
sana, nah itu baru monitoring
segala macam akan coba di…

171
lebih di apa ya… lebih
dipersiapkan lebih bagus lagi.”

18. “Oh gitu. Kemudian Ohh jadi kalau dibilang seperti Aktor/aktan
Pak kalau untuk dari itu, chatbot pun punya
Mafindo sendiri Mafindo.”—Cuma kita pake
yang memang punya proprietary apa ya istilahnya..
Mafindo itu ada kita pake service-service orang
teknologi yang lain juga dalam hal itu, jadi
dikembangkan nggak bener-bener murni ‘ini
nggak? Untuk punya Mafindo gitu.’ ya ada
membantu dalam cost ada, kita bayar atau sewa di
chatbot.— situ.”
Teknologi yang
memang punya
Mafindo, kayak
seperti database
Yudhistira itu
memang punya
Mafindo kan ya Pak
ya?”

19. Ohh gitu. Kalau Iya, itu service yang kita pake, Aktor/aktan
untuk Kata.ai dan jadi kalau Kata.ai itu untuk
plan.io itu berbayar channel-nya kayak channel
ya Pak ya?” sebagai integrator dengan
WhatsAppnya sebetulnya.
Terus kalau yang plan.io itu
lebih buat pelaporannya kami
aja sih untuk ada berita yang
masuk, ‘ini udah di-debunk

172
belom?’ jadi lebih kayak tools
aja buat teman-teman yang
ngerjain di timnya Mas Adi
gitu.”

20. “Ohh gitu. E.. Kebanyakan begitu.”


selama Bapak di tim
project chatbot ini
e.. Bapak hanya
berdiskusi dengan
Pak Harry.. eh- Pak
Harry Sufahmi ya?”

21. Ohh berarti Bapak “Oh ada.. ada.. itu masih satu Intermediary
nggak ada tim, kita nyebutnya tim
komunikasi dengan teknologi ya..—jadi Mas
Pak Fahmi atau Pak Fahmi, terus Pak Bambang,
Bambang gitu nggak saya, Pak Harry, sama Mas Adi
ada ya Pak ya?” yang ada di grup itu. Mas Adi
ini sebagai yang mewakili
penggunanya atau user-nya. Ya
itu tadi kontributor tadi itu
diwakili sama Mas Adi
sebetulnya. Ada kalo itu.”

22. Ohh gitu. Berarti “E.. biasanya sih di level Jaringan


kira-kira untuk ke implementasi, jadi misalkan
Mas Fahmi nya itu- kayak report-nya gimana, nanti
ke Mas Fahmi dan saya harus respon kayak
Pak Bambang, gimana, seperti gitu sih. Gitu-
Bapak gitu aja sih. Lebih ke hal-hal

173
membicarakan apa teknisnya aja. Kalau untuk
tuh? Berdiskusi planning ‘kita mau bikin apa
tentang apa?” ya’ itu banyak di Pak Harry
sebenernya.”

23. Oh gitu. Berarti Jadi sebetulnya kalau mau Jaringan


pembagian tugas ngobrolin implementasi bisa ke
juga dari Pak Harry kami bertiga, kalau untuk high
ya Pak ya?” level-nya Pak Harry punya data
lebih banyak, kalau untuk
operasionalnya bisa ke Pak
Adi."

24. “E.. saya masih Iya pihak ketiga.—E..gini.. tadi Aktor/aktan


kurang ngerti sih saya sempet singgung di awal
e… database ya? Facebook itu platform
Yudhistira saya WhatsApp-nya punya service,
udah ngerti, cuma nah nggak semuanya bisa
untuk Kata.ai ini.. masuk ke situ, harus perusahaan
ini tuh pihak ketiga atau ya integrator tadi yang
ya Pak ya?” saya bilang—jadi kalau
misalkan Kata masuk di situ
sebagai integrator, kalau ada
pihak yang pengen
menggunakan WhatsApp, bisa
pakai jasanya Kata, bukan ke
Facebook langsung— Kayak
gitu sih posisinya dia.”

174
25. Menyediakan jasa… Bukan. Bukan… dia hanya Aktor/aktan
sistem chatbot-nya sebagai integrasi dengan
itu ya?” WhatsApp-nya saja. Supaya
Mafindo bisa menggunakan
WhatsApp sebagai media e..
channel kita ke public,
maksudnya gitu. Tapi kalau
untuk logic-nya itu di Mafindo
pasti, masih jatuh di ranahnya
Mafindo.”

26. “Ohh. E…. kalau E.. apa ya.. kesulitannya paling Translasi
untuk Bapak selama ya kalau sebagai teknisi gitu ya
dalam proses ibaratnya ya teknisi lah ya, ya
chatbot, kesulitan paling masalah ketika kita tidak
yang Bapak hadapi menemukan sebuah solusi
ada nggak Pak? untuk masalah, kita mesti cari
Selama dulu atau belajar dulu. Gitu aja
mengoperasikan sih. Selebihnya nggak ada
atau.. membuat versi sih.—Jadi mungkin butuh
baru itu… refresh dulu, nyoba dulu ‘oh ini
kesulitannya.” bisa.’ ya udah kita
implementasikan, gitu doang
paling

27. Kemarin sih “E… kalau kayak gini saya Translasi


berbicara dengan nggak berani konfirmasi yang
Pak Harry juga mananya ya.—Cuma kalau dari
ternyata masalah WhatsApp-nya waktu itu
terbesarnya tuh sempet ada.. jadi ada limitasi
cuma ada di untuk balas message itu ada

175
WhatsApp ya Pak limit 1024 karakter ketika
ya. Dia ngejelasin sesinya lebih dari 1x24 jam. Itu
dari WhatsApp-nya doang sih yang pernah terjadi
susah. Tapi saya ya yang saya tahu. Cuma kalau
kurang paham sih, yang dimaksud Pak Harry yang
e.. kira-kira Bapak mana, kurang tahu juga sih.
tahu nggak yang Harus ada orangnya ya, saya
dimaksud Pak nggak berani konfirmasi.”
Harry?”

176
Open Coding Informan

Muhammad Fahmi

Waktu Pelaksanaan: 24 Desember 2020

Tempat Pelaksanaan : Video Call (Zoom)

No. Pertanyaan Jawaban Kategori

1. Bapak boleh Oh gitu.. iya nggak Papa. Jadi Aktor


ceritain sedikit sebetulnya di chatbot itu kan ada
nggak Pak e.. banyak komponen ya Mbak, saya
tentang kebetulan bukan handle di chatbot-
perkenalan diri nya. Jadi chatbot itu hanya sebagai
tentang Bapak?” kecil dari apa ya.. sistem yang ada
gitu. Saya lebih memegang ke
sistem back-end. Jadi yang
menyimpan data-datanya,
kemudian sistem di belakang
chatbot itu sendiri sebagian ada
saya yang handle gitu. Nah nanti
untuk yang khusus ke chatbot-nya
Mas Gabriel yang bisa jelasin.”

2. E.. jabatan Bapak “E.. jabatannya programmer— Aktor


di Mafindo?” Programmer aja, ndak ada jabatan
khususnya sih, yang penting saya

177
bantu-bantu di bagian aplikasi
program.”

3. Oh iya. Sudah Di Mafindo sudah dari.. aduh saya Aktor


berapa lama lupa, kayaknya udah dari 2017
Bapak berprofesi mungkin, Mbak. Saya lupa
sebagai pastinya.”
programmer di
Mafindo?”

4. Oke. E… kalo Jadi itu awalnya itu saya diminta Translasi


untuk Bapak Pak Heri untuk itu membantu
masuk ke project supporting di bidang apa namanya..
chatbot ini, aplikasi back-end. Jadi kan di
memang dipilih chatbot itu kan ada sistem lain yang
atau ada dimana berfungsi untuk melakukan
ketertarikan atau klasifikasi berita yang masuk,
gimana Pak?” Mbak. Jadi misalnya ada suatu
berita, nanti ada tim khusus yang
menganalisis berita tersebut apakah
itu hoax atau tidak, kayak gitu.—
Nah saya membantu di aplikasi
yang mengakomodir di itu.. sistem
pengklasifikasian hoax itu. Nah dari
aplikasi yang saya bikin, saya apa
ya.. membangun sebuah istilahnya
service lah yang bisa di-consume
oleh chatbot yang digunakan oleh
pengguna, gitu.”

178
5. Ohh iya. Kemarin Iya saya bikin versi 2. Jadi dulu tuh Aktor
Pak Hari juga sudah ada versi awal, gitu kan—
cerita sih bahwa Tetapi karena kita saat kekurangan
bapak membuat kemudian butuh pengembangan
versi 2 ya Pak jadi saya melanjutkan untuk
ya?” membuat versi 2-nya

6. “Ohh gitu. Kalau “Yang kurang itu misalnya di versi Aktor


boleh tahu Pak, 1 itu e.. apa namanya.. ada service
memangnya apa yang kurang API. Jadi kan chatbot
yang kurang dari itu server chatbot itu kan memang
versi 1-nya itu mengambil data chat data hoax atau
Pak?” tidak hoax itu kan melalui sebuah
servis namanya API. Nah, di versi
1, API tersebut masih ada
kekurangan, jadi misalnya tidak ada
2.07 misalnya kayak gitu. Nah di
versi 2 saya mengembangkan fitur
search itu menjadi lebih detail.
Kurang lebih kayak gitu—Tapi
memang dalam pengembangan itu
ini.. apa namanya berkelanjutan
gitu Mbak jadi tidak berfokus pada
versi berapa, tapi ketika ada yang
kurang langsung kita tambahin
gitu.”

7. Ohh gitu. E.. maaf API itu singkatan dari Application Aktor/aktan
Pak boleh Programming Interface, nanti
dijelasin sedikit Mbak bisa Googling sendiri, ini
nggak Pak, tadi agak teknis.”
Bapak bilang ada

179
API ya Pak ya?

8. “Oh iya maksud Oh iya.. jadi kan ketika ini ya.. jadi Aktor/aktan
saya untuk dari kan ada sistem back-end, back-end
chatbot itu kita namain dengan nama
Mafindonya, Yudistira. Jadi Yudistira itu
Pak.” menyimpan semua data dari apa ya
namanya…berita data yang
dikumpulkan oleh tim ini lah
pengumpul berita lah ya katakan
lah ya.—Itu, ya kemudian ada
sistem lain namanya chatbot itu
sendiri misalnya. Chatbot itu kan
chatbot itu tidak menyimpan data,
Mbak—Datanya kan ada di tempat
yang saya kelola di Yudistira, nah
untuk- supaya chatbot itu bisa
mengambil data, berarti Yudistira
itu harus apa ya memberikan suatu
layanan yang dimana chatbot itu
bisa mengakses. Nah itu istilahnya
API itu tadi, web service
namanya.—Gitu. Jadi dengan web
service itu chatbot bisa
berkomunikasi dengan back-end
yang saya kelola. Kurang lebih
seperti itu sih.”

9. Ohh gitu. Di versi 1.. saya lupa.. banyak sih Jaringan


Memangnya yang Mbak, kalau dari perbedaannya
di versi 1 yang banyak. Jadi versi 1 itu apa ya dari
paling signifikan service yang tersedia itu juga

180
Pak bedanya jumlahnya sudah jauh berbeda,
dengan versi 2 itu cuma detailnya saya lupa. Bentar
apa, Pak?” saya buka dulu.—Yang jelas dari
teknis apa ya pembuatan services-
nya, teknologi yang digunakan
sudah agak berbeda. Kemudian ada
istilahnya apa namanya.. dari sisi
keamanan juga diperkuat.
Kemudian kalau data pasti beda,
misalnya versi 1 tuh dulu hanya
bisa mengambil berita saja. Jadi
berita yang masuk tuh bisa diambil
oleh chatbot, tapi belum ada
misalnya untuk mengambil e.. apa
namanya.. kategori atau author-nya,
semacam itu

10. Ohh gitu.. itu Oleh ini.. oleh server chatbot-nya


kalau diambilnya itu
itu tuh maksudnya
oleh siapa ya Pak?
Maksudnya atau
ada aplikasi
pendukung atau
gimana, Pak?
Atau software?

11. Oh oleh server Jadi.. kan misalnya ya misalnya Jaringan


chatbot-nya terus ada- misalnya Mbak mau
kemana tuh Pak menggunakan chatbot itu..—Kan
datanya itu?” kirim pesan ke WA-nya misalnya
apa ya kita sekarang, misalnya

181
“Kabinet baru..” apa? “Korupsi.”
misalnya ya—Nah kan si chatbot
kan akan memproses data itu. Nah
dia akan mengakses ke sistem back-
end tadi melalui API yang saya
buat, dan mencari apakah berita
dengan kategori- dengan pencarian
kabinet baru korupsi itu ada atau
tidak. Gitu. Kalau tidak ada nanti
chatbot-nya bilang “Data tidak
ditemukan.” kayak gitu, jika
datanya ditemukan, nanti akan
dicari lagi berita itu hoax atau tidak,
jika hoax dikembalikan, jika tidak
hoax juga diinfokan gitu apakah
data itu hoax atau tidak.—Cara
kerjanya kayak gitu sih secara
simple gitu.”

12. E.. Kalau yang “Iya punya Mafindo kalau itu. Jadi Jaringan
Yudistira itu Yudistira itu seperti yang saya
punyanya bilang tadi Mbak, semua data-data
Mafindo sendiri itu masuknya ke Yudistira. Jadi
atau gimana, Pak? Yudistira itu sebenernya bentuknya
aplikasi website.. aplikasi web
dimana apa ya.. semua tim yang
berhubungan dengan berita itu tadi
bisa mengakses ke Yudistira. Itu
untuk apa? untuk meng-update
datanya, menganalisis datanya,
menglasifikasikan apakah berita

182
tersebut hoax atau tidak. Jadi
dibelakang layar itu Yudistira ini
yang apa ya istilahnya.. sistem
utamanya, gitu, di belakang layar.
Kayak gitu. Nah Yudistira ini
datanya itu diakses oleh banyak
aplikasi, salah satunya adalah
chatbot tadi, selain chatbot diakses
juga oleh website lain untuk
ditampilkan datanya. Misalnya e..
cekfakta.com. Cekfakta.com itu
mengambil data dari Yudistira.—
Selain cekfakta.com ada juga
website lain gitu saya juga nggak
hafal, banyak sekali.”

13. Ohh gitu. Berarti Iya bisa digunakan untuk semua, Jaringan
memang bisa selama e.. punya akses untuk
digunakan untuk mengakses datanya.”
semua ya Pak
ya?”

14 “Oh untuk “Iya ada semacam password. Jadi Jaringan


mengakses di Yudistiranya sendiri jika yang
Yudistira tuh mengakses adalah apa ya.. orang
mesti gimana Pak? atau personal itu membutuhkan
Apa punya username dan password, tapi jika
password kah apa yang mengakses adalah sistem atau
gimana?” aplikasi atau website atau chatbot
itu membutuhkan namanya key
token, ada token untuk bisa

183
mengakses datanya.”

15 Ohh gitu. Oke. E.. Kalau Kata.ai itu punya pihak Aktor/aktan
untuk peran ketiga.—Jadi Mafindo
selanjutnya Pak, menggunakan Kata.ai untuk sistem
kalau untuk apa namanya.. WhatsApp-nya
Kata.ai dia punya supaya bisa.. bisa apa namanya
Mafindo apa untuk chatbot itu tadi supaya bisa
gimana, Pak? terhubung dengan WhatsApp.
Kata.ai.” Mungkin untuk Kata.ai, Plan.io
nanti Mas Gabriel Mbak yang bisa
lebih detail.”

16 “Oh Plan.io juga Iya, Plan.io juga pihak ketiga, Aktor/aktan


e.. pihak ketiga ya Mafindo pake untuk melakukan apa
Pak ya?” ya.. data ini.. juga untuk melakukan
klasifikasi beritanya. Semacan apa

184
ya daftar task oleh apa ya.. daftar
task yang harus diselesaikan oleh
tim ini.. berita.””

17 Oh gitu. E. untuk Untuk yang Kata.ai itu Aktor/aktan


kata.ai dan Plan.io berlangganan, kalau yang plan.io
ini Mafindo saya kurang tahu, sih. Kurang tahu
berarti kalau yang Plan.io nya.”
berlangganan kah,
apa memang free
atau gimana,
Pak?”

18 “E.. kemudian E.. ya server semua server yang Aktor/aktana


kalau untuk server semua ini Mafindo gunakan itu
Kalimasada lokasinya ada di Google Cloud. Jadi
sendiri nih, server Google itu punya layanan Cloud..”
chatbot
Kalimasada, itu
katanya Google
Cloud, maksudnya
gimana ya, Pak?”

19 Oh iya saya tahu E.. semuanya, kita simpan Aktor/aktan


maksudnya semuanya di Google Cloud
Google Cloud-nya sekarang. Jadi Yudistira tadi data-
itu untuk datanaya itu ada di Google Cloud
menyimpan apa semua.
aja gitu itu di
situ?”

185
20 Ohh isinya Iya jadi kalau diakses misalnya apa Aktor/aktan
Yudistira dan ya.. Yudistira, web-nya Yudistira,
semua data-data di kemudian Cekfakta.com, kemudian
situ gitu ya Pak chatbot-nya Kalimasada itu sendiri
ya?” itu sebenernya lokasi server-nya itu
ada di Google Cloud.”

21. Ohh berarti E…bukan, memang Yudistira itu Aktor/aktan


sebelum masuk ke posisinya ada di Google Cloud,
website Yudistira, mbak.—He eh sama, jadi
masuk data- semuanya ada di Google Cloud,
datanya itu ke kita punya ada beberapa server ada
Google Cloud server chatbot, server Yudistira
dulu ya Pak ya?” gitu gitu semuanya di Google
Cloud. gitu

22. Kalau untuk yang E.. jadi kita pakenya ini ya tadi kan Aktor/aktan
dimaksud MySQL ada PHP, MySQL, kemudian ada
dan PHP gimana juga untuk chatbot-nya ada juga
ya Pak? sendiri nanti teknologinya, itu kita
install di server Yudistira, Mbak.
Kita install di server Yudistira. Jadi
kalo untuk Yudistira yang pake
PHP dan MySQL ya kita install-
nya di server-nya Yudistira.”

23. Ohh gitu. Kalau E.. Mafindo hanya menggunakan Jaringan


chatbot teknologi yang sudah ada, Mbak.
MAFINDO ada Jadi kita install terus kita bikin
teknologinya menggunakan teknologi itu gitu.”
sendiri ya Pak
ya?”

186
24. Ohh gitu. Berarti Iya, semuanya sudah by system, Intermediari
e.. selama chatbot kecuali itu tadi Mbak yang
menglasifikasi sesuatu di belakang
berlangsung itu layar itu manusia.—Gitu tapi kalau
tidak ada peran apa ya sebagai pengguna, ketika
berinteraksi dengan chatbot sudah
manusia ya Pak tidak ada campur tangan manusia,
ya?” gitu

25. Ohh.. Iya, jadi misalnya ada berita masuk, Aktor/aktan


menglasifikasinya ada berita masuk itu kan kita.. ada
itu ini ya yang tim sendiri yang melakukan
untuk pengecekkan apakah itu hoax apa
mencocokkan bukan hoax, nah itu ada sendiri
database gitu ya timnya. Itu saya juga kurang tahu
Pak ya?” juga detailnya gimana, bagaimana
mereka memeriksa itu saya kurang
paham.”

26. “Oke. Ee… kalau “Untuk chatbot yang jelas saya Aktor
untuk sekarang sekarang ini e.. mengelola itu tadi
berarti Bapak Mbak Yudistira, kemudian API
jobdesc-nya yang dimiliki oleh Yudistira. Itu
ngapain, Pak kan API dipake terus oleh chatbot
untuk bagian jadi setiap ada pesan masuk pasti
chatbot-nya?” pake API tersebut, nah saya
melakukan apa namanya ya
pemantauan kemudian maintenance
jika sewaktu-waktu butuh update
software, kayak gitu. Update system
juga saya juga yang ikut melakukan
itu gitu.”

27. Ohhh gitu. Itu “Iya jika misalnya suatu ketika ada Translasi

187
update software kendala, biasanya.. misalnya
ketika ada chatbotnya nggak jalan nih..—
pemberi tahuan biasanya Mas Gabriel itu nanti akan
aja atau ketika kontak ke tim tuh saya juga
chatbot-nya termasuk di antaranya, jadi apa…
kenapa apa kita cek sama-sama yang masalah
gimana Pak? Apa ada dimana? Apakah di server-nya
ada kendala?” atau kah di API Yudistiranya nah
itu kita cek. Kalau ketika
melakukan pengecekkan API
Yudistira itu saya yang melakukan,
nanti saya tes misalnya “Keyword
tertentu nggak bisa dicari Mas
Fahmi.” “Oke saya cek, Mas.” saya
coba langsung mengecek API yang
saya bangun tadi dengan meng-
input-kan keyword yang tidak bisa
dicek tadi. Nah dari situ tadi saya
bisa melakukan identifikasi itu
masalahnya ada dimana. Kayak
gitu.”

28. Ohh gitu.. berarti Kalau sekarang.. kalau hardware Aktor/aktan


itu kalau boleh sebagian besar karena kita sudah
tahu hardware apa pake Google Cloud jadi tidak ada
aja Pak yang hardware yang kita gunakan. Cuma
digunakan, Pak?” untuk chatbot sendiri sepertinya ada
yang perlu dipake deh, nanti bisa
tanya ke Mas Gabriel untuk
chatbot-nya.”

188
29. “Hmm e… kalau Ohh semuanya penting sih, karena Jaringan
yang berperan kan tidak bisa kita lihat dari satu
penting Pak di sisi saja ya karena semua
chatbot ini dilihat instrument yang ada, semua
dari itu manusia komponen itu penting—Misalnya
atau pun non dari hulu ke hilirnya apakah itu
manusia itu siapa chatbot, apakah itu Yudistira, atau
Pak menurut tim yang berupa manusia itu tadi
Bapak ya?” yang melakukan apa namanya
pengecekkan berita, itu semuanya
penting sih, karena kalau salah satu
tidak jalan, pasti semuanya nggak
jalan juga

30. Ohh gitu. Berarti Iya. Kalau kata.ai nya down, atau Jaringan
kalau e.. dari nggak jalan, otomatis chatbot-nya
kata.ai misalnya nggak akan bisa dipakai, kayak
itu nggak ini, juga gitu.—Begitu Plan.io, Plan.io nya
semua nggak ini nggak jalan, otomatis tidak akan
ya Pak ya?” ada berita yang masuk nanti,
akhirnya di chatbot-nya beritanya
jadi nggak update.”

31. peran manusia kan Monitoring juga monitoring— Jaringan


hanya itu pas ada Iya..jadi kan apa ya.. tim Mafindo

189
kendala atau juga ikut melakukan monitoring
update ya? apakah chat-nya berjalan dengan
normal atau tidak, gitu

32. “Ohh gitu. E.. Hmm kendalanya.. ya mungkin Translasi


kalau tadi kan kendalanya kalau ada ini sih
teknisnya nih Pak, personil tim yang sibuk gitu kan ya
kalau misalnya kita harus cari waktu ya pas untuk
dari sisi non meeting misalnya. Jadi ketika ada
teknis, Pak kira- yang sibuk ya otomatis kita harus
kira kendalanya menyesuaikan, kayak gitu sih. Tapi
apa, Pak dari non nggak banyak sih kendala non
teknis?” teknis

33. Bagaimana proses Iya. Jadi awalnya kan kirim WA ke Jaringan


chatbot berjalan? nomor apa namanya.. tadi ya,
Mafindo—Setelah kirim WA kan
itu pesan WA nya akan diproses
oleh server chatbot-nya—Nah si
server chatbot itu tadi akan
mengakses API Yudhistra.—Dari
API Yudistira itu tadi nanti akan
dicari tuh datanya dari database
yang ada dicari, terus kemudian di..
kan dapat tuh hasilnya apakah
ketemu apa tidak itu kan nanti akan
dikembalikan lagi ke API tadi ke
server Kalimasada—Iya itu dengan
membawa info apakah ditemukan
atau tidak, hoax atau tidak, kayak

190
gitu. Nah setelah itu baru dikirim
balik ke yang mengirim pesan tadi.
Kurang lebih seperti itu sih alurnya

34. Kemudian selama Oh iya kalau diskusi itu selalu ada Jaringan
melakukan Mbak, jadi dari tim kami sendiri
praktek chatbot yang Pak Hari, saya, Mas Gabriel,
atau membuat dan ada juga Mas Adi namanya gitu
chatbot apa Mbak, itu diskusi terus tuh intens.
gimana, itu ada Nah biasanya kita jadwalin diskusi
diskusi nggak Pak itu seminggu sekali gitu kan. Tapi
dengan divisi lain sekarang ini kayaknya lagi agak
gitu?” selow jadi agak ini lah apa
namanya.. jarang juga diskusi gitu.
Tapi biasanya memang kita rutin
diskusi. Kemudian untuk diskusi
dengan tim lain biasanya Pak Heri
sendiri yang diskusi, nanti hasil
diskusi itu dibahasa di tim internal
kami gitu. Bagian IT.”

35. biasanya itu Setahu saya sih tentang ini Jaringan


diskusi itu untuk misalnya ada kendala di chatbot,
mendiskusikan apa untuk keyword tertentu tidak
apa, Pak?” ada hasilnya padahal sebenernya
beritanya sudah masuk, kayak

191
gitu.—Iyaa, kemudian kadang juga
ada semacam penambahan fitur.
Misalnya- atau pengen request ini..
request web baru untuk
menampilkan data dengan kategori
tertentu. Misalnya kan ada
cekfakta.com, nah kemudian ingin
dibikinkan lagi misalnya yang lain,
tapi data dengan kategori tertentu
saja… itu bisa juga. Kadang juga
pernah ada gitu

36. Ohh gituu.. dan Belum, kita masih pake Jaringan


chatbot ini database.—Sebenarnya kalau
sistemnya bicara AI sih ya udah setengah AI
database ya Pak? sih sebetulnya, kalau dari saya
Belum artificial melihat ya. Sudah setengah AI sih.
intelligence.” Karena kan ketika pengguna ngetik-
ngetik, sistem kan udah bisa
mendeteksi dia ingin data apa.

192
Open Coding Infroman

Adi Syafitrah

Tempat/ Tanggal : 13 Januari 2021

Tempat pelaksanaan: Video Call(Zoom)

No. Pertanyaan Jawaban Kategori

1. Oh iya Pak, maaf Oh iya. Saya Adi Syafitrah. Aktor


sebelumnya. Untuk Nama saya Adi Syafitrah. Saya
kepentingan di Mafindo sebagai salah satu
wawancara Pak, pemeriksa fakta, dan juga di,
boleh ditugaskan untuk mengurusi
memperkenalkan Chatbot Kalimasada milik
diri dulu? Mapindo, seperti itu.

2. Kalau untuk di Saya tuh sebenarnya, saat ini, Aktor


Chatbot sendiri, dari awal sih, dari awal sampai
Bapak sebagai saat ini, sebenarnya baik
apanya? kebagian ngurusin untuk
menjawab, laporan yang
masuk. Laporan yang masuk
dalam artian, laporan itu belum
ada di database Chatbot, jadi
itu masuknya ke database
laporan gitu.

193
Nah dari laporan yang kita Translasi
jawab, itu nanti akan
dikirimkan kembali ke pelapor,
kemudian nanti kalau ada
pelapor lain yang menanyakan
hal yang sama. Nah itu sudah
otomatis dijawab oleh Chatbot,
tapi kalau belum, belum ada di
database, itu biasanya masuk
dulu ke database laporan. Nah
saya kebagian untuk biasanya,
sebagai orang yang menyusun
artikel untuk menjawab laporan
tersebut.

3 Oh begitu, kemaren Iya, kalau untuk urusan teknis, Intermediari


terutama di bagian penjawaban
saya sempat
apa namanya tuh laporan
mewawancarai memang, tektokannya antara
Bapak Gabriel ya, saya dengan Pak Hari, karena
kalau mas Gabriel itu lebih ke
yang katanya, back-end atau IT nya,
Bapak Hari Supeni
dan Bapak Adi
Syafitra ini, kadang
suka tektokannya
gitu sama Bapak
gitu ya?

4 Gitu berarti, kalau Betul dia bagian programnya Intermediari


untuk Pak Gabriel programmingnya dan lain-lain,
itu sebagai terkait masalah IT nya
eksekutornya ya

194
pak ya?

5 Iya beliau kan Biasanya kita, diskusi soal Jaringan


bilang katanya, kendala, terutama memang kan
kalau ingin kadang, seperti yang kita tau di
menanyakan WA itu kan orang tidak hanya
Chatbot dari sisi mengirimkan teks ya, kadang
operasionalnya bisa juga mereka mengirimkan
ditanyakan ke Pak gambar. Nah dulu Kalimasada
Adi Syafitra ya. itu juga di buat, respon
Iya, boleh tau ngga terhadap kiriman gambar. Nah
pak, kira-kira yang kadang kita diskusi soal
didiskusikan kendala ketika Kalimasada itu
dengan Pak Hari tidak bisa menjawab, gambar
Supeni itu terkait yang dikirimkan atau bahkan
hal apa saja? teks yang dikirimkan itu
kadang teksnya ada huruf
besar-kecil, panjang-pendek
atau ada yang cuman satu
kalimat, tapi ada juga yang satu
paragraf gitu, nah yang seperti
itu. Kendala-kendala seperti itu
sih. Jadi lebih diskusinya itu
lebih banyak kendala apa yang
dialami oleh Chatbot kita.

6. Oh begitu, berarti Betul betul, kebanyakan Jaringan


hanya memang diskusi kalau dengan
membicarakan Pak Hari, saya dengan Pak Hari
ketika terjadinya itu, ketika ada kendala aja sih.
kendala ya maupun Ataupun, kalaupun lancar ya
itu teknis atau non tinggal, Pak tadi sudah dites

195
teknis ya? dan ternyata lancar, paling
seperti itu.

7. Kalau gak salah Iya karena kalau setiap ada Jaringan


sering ada pembaharuan apa,
pembaharuan untuk pembaharuan, itu kan berarti
versi selanjutnya harus ada tes terlebih dahulu
ya. Nah apakah itu kan. Nah itu pasti di minta Pak
diskusinya juga ke Hari untuk test terlebih dahulu.
Pak Adi Syafitra ? Sebelum dipublikasikan ke
masyarakat.

8. Oh gitu. Ya Pak Iya, karena itu biasanya itu Intermediari


kalau terkait langsung, terutama untuk saat
pemeriksaan
faktanya Pak, Pak ini, itu lebih ke saya sih, yang
Hari Supeni itu bagian mengurusi itu. Jadi Pak
berarti tidak
berkomunikasi Hari itu kadang lebih ke arah
dengan, ngecek menjadi jembatan, antara teknis
faktanya lagi ya
yang disaya dengan teknis yang
Pak?
di IT.

9 Oh gitu. Kalau dari Iya, untuk saat ini kebetulan Aktan


saya di tanggung jawabi untuk,
Bapak sendiri,
membantu ada team, di Solo,
Bapak mengurusi mereka yang mengurusi
yang pemeriksa, database, cek faktanya. Jadi,
setiap hari memang, database
apa, hasil cek fakta ini selalu diperbaharui sesuai,
yang untuk ke artikel periksa fakta yang sudah
dibuat teman-teman pemeriksa
Chatbot ngga ini
fakta di, baik di Jakarta
Pak? maupun saya sendiri, seperti
itu.
10. Oh gitu, kalau Kalau untuk Chatbot Aktan
boleh tau Pak, Kalimasada, karena kita itu

196
untuk pemeriksa bukan, apa namanya itu bukan
faktanya sendiri itu hanya Mafindo, jadi untuk
ada kontributor, database artikel itu juga ada
atau memang hanya yang dari teman – teman
dari Mafindo saja Journalist yang mengisi ke cek
ya? fakta dot com. Nah, artikel
yang di input ke cek fakta.com,
itu otomatis menjadi database
di Kalimasada tentunya. Jadi
bukan hanya dari Mafindo.

11 Oh, bukan hanya Saat ini kita tuh ada kolaborasi Intermediari
dari Mafindo, kalau dengan teman-teman media
boleh tau itu jadi yang tergabung di Aliansi
bekerja sama Journalist Indonesia, dan
dengan siapa aja Asosiasi Media Cyber
tuh Pak? Indonesia, itu ya, yang saya
sebut tadi cek fakta dot com.
Nah, melalui kolaborasi ini
teman-teman Journalist, itu bisa
input artikel, yang akan
nantinya akan ditampilkan
dicek fakta dot com, juga
ditampilkan di Kalimasada,
seperti itu.”

12 Gitu berarti Lebih tepatnya, cek fakta dot Intermediari


berpusatnya juga com itu kan hanya website
dengan website cek
fakta.com juga ya penampil ya, front-end. Nah di
Pak ya? back end-nya itu ada yang
namanya Yudhistira. Nah
Yudhistira ini adalah pusat dari

197
cek fakta.com, Kalimasada, dan
beberapa situs lain yang
memang mengambil database
dari Yudhistira.

13 Okey Pak, maaf ini Ini dari pribadi aja sih, tapi Jaringan
Pak rada kembali mungkin sama kaya Pak Hari
ke belakang. Kalau dan teman – teman yang lain.
untuk yang apa, Yang jelas, karena kita tau
yang motivasi Whatsapp itu adalah
untuk membuat sebenernya platform yang
Chatbot ini sendiri terbatas, terbatas dalam artian,
Pak? Awal mula sebelum ada kebijakan baru
dan motivasi dari Facebook ya, Whatsapp ini
terbentuknya adalah platform yang
project Chatbot ini penyebaran informasinya itu,
kenapa ya Pak? hanya terbatas, di sana saja
gitu, didalam Whatsapp ini
sendiri, gitu. Jadi, kadang kita
tidak pernah tau gitu ada, ada
info apa aja yang tersebar baik
di grup keluarga, grup-grup,
grup apa lah, banyak lah grup-
grup WA gitu. Nah terkadang,
berbeda dengan kaya di
Facebook yang mungkin ketika
kita bikin status, yang di
publikasi setting-nya dibuat
publik, itu mungkin ada orang
lain yang kalau status itu ada
kesalahan, itu ada orang lain

198
yang bisa membenarkan gitu.
Nah tapi kalau Whatsapp yang
hanya berputar kaya di grup-
grupnya itu sangat jarang, kita
bisa ikut membenarkan itu. Nah
tujuan pembuatan Chatbot ini
memudahkan masyarakat,
terutama masyarakat yang
mungkin tidak bermain media
sosial lain seperti Facebook,
Instagram dan lain-lain, untuk
mencari tahu atas kebenaran
isu-isu yang mereka terima di
lingkungan Whatsapp ini, gitu.
Jadi mereka tidak perlu lagi
cape-cape kaya buka Facebook,
harus buka Google dan lain-
lain. Pada intinya sih mencoba
memudahkan masyarakat
ketika mencari kebenaran dari
suatu isu.

14 Oke baik Pak, Iya betul. Yudhistira itu kan, Aktan


berarti kan, kalau berisi artikel-artikel yang
udah ada chat, berasal dari Mafindo yaitu dari
sudah adanya turnbackhoax.id kemudian
Chatbot ini kan, seperti yang saya sebutkan dari
tadi Bapak kan teman-teman journalist yang
bilang ada berkenan ikut input artikel, ke
Yudhistira kan ya Yudhistira yang nantinya akan
pak. Itu isinya itu ditampilkan di Jakarta.com dan

199
hasil periksa fakta lain-lain Jadi isinya itu bukan
yang sudah ada di hanya dari Mafindo database
database itu ya Pak itu.
ya?

15 Gitu, kalau untuk Iya di Mafindo sendiri selain Intermediari


orang yang pemeriksa fakta-fakta
memeriksa profesional seperti saya. Kita
faktanya itu selain juga menerima artikel-artikel
jurnalis, memang yang dibuat oleh teman-teman
ada relawan ya Pak relawan. Relawan Mafindo
ya? tentunya.

16 Gitu, hasilnya juga Iya, karena memang artikel Translasi


ditampilkan di yang dibuat oleh relawan, itu
Chatbot juga Pak? nanti akan di periksa kembali
oleh teman-teman pemeriksa
fakta profesional, baru
kemudian ditampilkan di
turnbackhoax.id, setelah itu
dipindahkan ke Yudhistira
untuk menjadi database
Kalimasada dan lain – lain.

17 Kalau boleh tau nih, Apa ya? Ya relawan sih, teman


relawannya ini tuh. – teman yang relawan yang
Maksudnya title berasal dari berbagai daerah.
nya apa dan Kemudian mereka punya
maksudnya rolenya concern khusus untuk
apa gitu ya pak ya membantu pemeriksaan fakta di
di Mafindo? Mafindo sih. Jadi, kayanya
kalau tittle itu kayanya ngga

200
ngga terlalu ini sih di Mafindo.

18 Oke. Dalam proses Kalau untuk Chatbot ini, yang Jaringan


Chatbot ini, hanya, jelas, seperti yang saya
biasanya dari Pak sebutkan tadi, Pak Hari itu
Adi ke Pak Hari kadang menjadi jembatan.
yang Jembatan antara saya dan team,
berkomunikasi atau ke team IT. Team IT ini adalah
Bapak ternyata ada mereka yang mengurusi
yang disuruh lagi, pemprograman dan lain-lain ya.
maksudnya ada Kalau yang team disaya, itu
yang nyuruh Bapak lebih ke team yang membuat
lagi gitu? database gitu, membuat,
memasukan menginput artikel
dan lain-lain.

19 Berarti bapak lebih Betul.


ke database
Yudhistiranya ya?

20 Oke. Selama Bapak Kendala mungkin, Translasi


mengurusi database menyesuaikan sih, karena kan
itu ada kendala Whatsapp itu kan dia di
ngga Pak? deskripsi ya setiap pesan yang
keluar masuk itu di enkripsi
sama dia. Jadi kita harus benar-
benar tahu, bagaimana caranya
mengelola pesan yang
dikirimkan pelapor itu masuk
ke database laporan.
Bagaimana caranya pesan yang
sama ini ketika dikirimkan

201
orang lagi gitu, sudah otomatis
terjawab oleh Kalimasada. Nah
kendalanya kadang- kadang
disitu, kadang seperti yang saya
sebut tadi. Besar kecil huruf,
kadang ada yang ternyata
issuenya sama ternyata yang
pertama itu kalimat lengkap,
kemudian yang kedua itu
ternyata ada singkat-
singkatnya, nah seperti itu
seperti itu yang kadang menjadi
kendala begitu.

21. Oh gitu. Kalau Ini harusnya yang pertanyaan Jaringan


untuk rencana ke Pak Hari sih. Kalau untuk
Chatbot Pak ke pembaharuan dan lain lain,
depannya? karena Pak Hari yang lebih tau.
Tapi untuk saat ini, ini yang,
sudah versi keempat kalau
tidak salah. Memang yang saat
ini tuh adalah versi yang
terbaru, yang dimana Chatbot
Kalimasada saat ini sudah ada
menu- menunya tersendiri ya.
Kalau dulu kan, Kalimasada itu
hanya, yang versi pertama sih
bahkan, dia cuman, tidak ada
menu sama sekali. Jadi cuman
ada menu kirim pertanyaan.
Kalau sekarang itu sudah ada

202
beberapa menu lain, seperti
informasi, cek fakta terbaru,
kemudian trick dan lain-lain.

22. Oh iya Pak. Terus Iya beda beda. Beda dari,


saya kan kebetulan tampilannya sama dengan cek
juga sudah fakta.com, tapi secara URL nya
mencoba ya, itu beda.
Chatbotnya
Kalimasada sendiri.
Saya melihat itu
website, kan
dibawahnya itu ada
website
Kalimasadanya
langsung ya Pak
ya? Itu kan bukan
website cek fakta
kan Pak ya?

23. Berarti cara buat Iya, ini yang kita sebut tadi Jaringan
orang untuk diawal. Bagian kami, saya dan
melaporkan, team. Itu adalah, karena setiap
melaporkan data kali laporan yang belum ada di
yang belum ada itu database. Itu dikirimkan oleh
Pak, itu gimana nih, pelapor ke Kalimasada. Itu
ngga bisa dari nanti akan masuk ke ada yang
Whatsapp kan ya? namanya plan.io. plan.io ini
yang menjadi pusat database
laporan gitu. Laporan yang
artikel apa, isu-isu yang belum
ada di Kalimasada, gitu. Nah

203
dari database laporan ini nanti
dikelola oleh teman-teman
team teknis dari Kalimasada.
Kemudian menjadi data apa
namanya tuh, database baru,
yang diharapkan ketika ada
laporan yang sama kembali,
masuk, Kalimasada ini sudah
bisa otomatis menjawab.

24. Oh gitu. Iya, Betul. Jaringan


seharusnya itu,
seharusnya itu
ketika ada orang
yang menanyakan
kan, dia kadang
kalau misalnya
belum bisa bales itu
dia balesnya “maaf”
ya Pak ya?

25. Tapi kemudian itu Iya jadi ketika itu sudah Translasi
jika memang sudah dikelola oleh teman – teman,
sudah jadi artikel, artinya
ada beritanya, diinput ke Yudhistira. Itu
langsung harusnya secara otomatis, itu
akan langsung dikirimkan
dikirimkan ke orang kembali ke pelapor. Artikel
itu Pak? jawaban itu langsung
dikirimkan ke pelapor.

204
LAMPIRAN B

205
FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

Nim Mahasiswa :
Nama Mahasiswa :
Program Studi :
Nama Dosen Pembimbing :

TANDA TANGAN
NO TANGGAL BIMBINGAN CATATAN BIMBINGAN
PEMBIMBING

Cat:
Minimal bimbingan Skripsi/TA adalah 8 kali, Form wajib dilampirkan di laporan Skripsi
Tanda Tangan Pembimbing

(___________________)
Adi Wibowo Octavianto
Nama Dosen Pembimbing
FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

Nim Mahasiswa :
Nama Mahasiswa :
Program Studi :
Nama Dosen Pembimbing :

TANDA TANGAN
NO TANGGAL BIMBINGAN CATATAN BIMBINGAN
PEMBIMBING

Cat:
Minimal bimbingan Skripsi/TA adalah 8 kali, Form wajib dilampirkan di laporan Skripsi
Tanda Tangan Pembimbing

(___________________)
Adi Wibowo Octavianto
Nama Dosen Pembimbing

Anda mungkin juga menyukai