Anda di halaman 1dari 11

A. Pendahuluan 1.

Latar Belakang Masalah Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran (ilmu pengetahuan) atau interpretasi dari agama. Pada aspek realisasi, terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan sains. Sihir, santet, karomah, dan mujizat seringkali dihubung-hubungkan. Batas antara sihir dan karomah (kekuatan supernatural) sangat tipis sekali. Dalam batas pandangan ini, seringkali muncul masalah magisme keagamaan. Umumnya magisme itu timbul karena adanya harapan seseorang kepada kejadian supernatural untuk diri sendiri atau orang lain, sebagai cara tepat memperoleh suatu manfaat seperti kesembuhan, keamanan, kekayaan, dan sebagainya. Sebagai contoh, sihir mampu menciptakan keajaiban di luar logika hukum alam sehari-hari, misalnya tubuh tidak mempan dibacok pedang. Tapi, karomah, yang biasa dimiliki para wali dan kaum sufi, juga mampu menciptakan keajaiban yang sama. Oleh karena itu, pangkal magisme itu adalah kepercayaan tentang mu'jizat atau keramat, sebab kedua hal ini oleh agama memang diakui adanya.1 Apakah sihir dan karomah adalah sesuatu yang murni dari agama (sakral) atau hasil pemikiran (ilmu pengetahuan) atau interpretasi dari agama (profan) ataukah dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Untuk itu perlu mencermati konsep Brosnilow Malinowski tentang magic, science, and religion, sebab pandangan agama baginya tidak lepas dari argumentasinya tentang agama sebagai sihir yang harus diikuti untuk mencapai tujuan tertentu. Sihir dan ilmu pengetahuan keduanya didasarkan pada ilmu pengetahuan. Sihir adalah pengetahuan tentang diri dan emosi, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan alam. Selain itu, Brosnilow Malinowski, telah melakukan riset dan refleksi tentang agama di Kepulauan Trobriand dan telah menghasilkan pemikiran genius dalan bidang antropologi agama, sehingga ia menempati posisi penting dan dipandang sebagai tokoh penting dalam perkembangan antropologi sebagai suatu disiplin akademik. B. Sekilas Tentang Malinowski Brosnilow Malinowski (1884-1942-ditulis Malinowski), seorang ilmuan yang terkenal sebagai antropolog agama dan banyak disebut-sebut sebagai salah satu dari pendiri utama antropologi agama. Dalam ilmu antropologi terkenal dengan teori fungsionalismenya. Ia lahir
1

Nur Kholis Majid, Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah Religio-Magisme, Paramadina Press, Jakarta, 2002.

di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan 2 . Ayahnya seorang guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Tidak mengherankan kalau ia mendapatkan dasar-dasar akademik yanag bagus. Ia adalah lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dari Universitas Cracow. Ia sangat gemar sekali membaca buku mengenai folklor dan dongengdongeng rakyat, yang kemudian membawanya menyenangi psikologi, terutama karya-karya W. Wundt, Leipzig, Jerman (R. Firth,1957: 1-14). Ia kenal J.G. Frazer lewat bukunya, The Golden Bough, sebuah studi tentang ilmu gaib yang pada bahasan selanjutnya menariknya pada ilmu etnologi. Di tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu sosiologi empiris, dan menyerahkan dua karangan sebagai pengganti disertasinya, yaitu The Family Among the Australian Aborigines (1913) dan Native of Mailu (1913). Kedua karangannya itu ditulis tanpa sekalipun melakukan penelitian lapangan di daerah-daerah yang disebutkannya. Lewat berpuluh-puluh buku yang dibacanya tentang penduduk Mailu di Papua Nugini, menyebabkan ia tertarik pada penelitian lapangan di sana. Dengan bantuan Seligman, ia berangkat ke kepulauan Trobriand di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Nugini untuk melakukan penelitian pada tahun 1914. Atas rekomendasi dari Seligman, ia diperkenankan tinggal di Kepulauan Trobriand, bahkan beberapa kali diperkenankan pergi ke Australia. Dengan demikian ia dapat meneliti dan melakukan observasi orang Trobriand selama lebih dua tahun. Sedikit sekali tulisan tentang magi dan agama yang mengurai sangat jelas dengan mendasarkan pada berbagai studi mengenai keduanya seperti Malinowski. Mula-mula tulisan pertamanya tentang magi dan agama dieditori oleh James Needham, Science, Religion and Reality (1925). Tulisannya itu kemudian menjadi terkenal dan dicetak ulang oleh Free Press dengan judul yang sama tahun 1948. Pada tahun 1954, tulisan tersebut dicetak ulang lagi oleh penerbit Doubleday Anchor Books, di mana ditemui konsep-konsep pikiran yang sama dalam Culture, di Encyclopaedia of the Social Sciences. Versi lengkap mengenai pembahasannya tentang religion terdapat dalam cetakan yang diterbitkan oleh Anchor Books dengan judul Magic, Science and Religion (selanjutnya ditulis magi, sains, dan agama). C. Konsep Dasar Malinowski Tentang Magi, Sains, dan Agama Dalam memahami agama, Malinowski mendekatinya dengan menggunakan teori-teori evolusi dan teori-teori pendekatan klasik lainnya. Jadi teorinya adalah tulisan yang
2

Biografi Malinowski dapat dilihat pada R. Firth Ethnographic analysis and language with reference to Malinowskis view. In Man and Culture: An Evaluation of the Work of Brosnilow Malinowski. London: Routledge adn Kegan Paul 1957, hal. 1-14.

komprehensif mengenai metodologi yang sudah dirilis sebelumnya. Tylor, Frazer, Lang, Marett, Shcmidt dan Levy Bruhlsemuanya mendapat tempat dalam proses pemikirannya. Lewat Levy Bruhl, ia mendalami pandangan-pandangan Emile Durkheim dan Robertson Smith, terutama teori Robertson Smith dalam penganalisaan terhadap agama primitif yang dilakukan secara eksistensial dengan memberikan penekanan pada hubungan sosial (komunal) daripada individual, dan teori Durkheim yang meninggalkan korelasi antara agama dan sosial. Dengan demikian Malinowski mengarah pada suatu pendekatan modern3. Berangkat dari bacaannya tentang Smith dan Durkheim, Malinowski dalam teori asalusul dan perkembangan kemudian memilih suatu pendekatan campuran. Dalam studinya tentang magi, sains, dan agama ia menganggapnya sebagai kesatuan rangkaian perkembangan, dan menyebutnya sebagai interelasi unsur-unsur matriks sosial, di mana masing-masing unsurnya memiliki fungsi tersendiri yang unik dan khas. Fungsi-fungsi ini tidak dibatasi ruang dan waktu, keadaan mental, emosional atau perkembangan konseptual. Dengan demikian penunjukan tiga ujung hubungan magi, sains, dan agama itu meliputi suatu hubungan antarkomponen. Hal ini menandakan adanya kerangka konseptual yang sudah direvisi dari konsep-konsep sebelumnya, dan komponen-komponen orisinal merupakan unsur-unsur primer yang terdapat dalam magi, sains, dan agama. Hubungan ketiganya itu sangat kompleks dan tidak dilampaui oleh model evolusionis. Jadi, studi Malinowski lebih mengerucut pada koordinasi organis masing-masing unsur4 . Dalam memahami teori Malinowski, bahwa tiap masyarakat, terlebih lagi dalam masyarakat primitif, sangat baik merubah pengetahuan empiris menjadi aktivitas praktis,. Bahwa magi itu secara umum merujuk pada suatu keadaan di mana masyarakat dihadapkan pada ketidakmampuan melewati dinding batas, dan mengalami kekosongan dalam pengetahuan, serta tidak berfungsinya kekuatan kontrol praktisnya, lantas menghubungkan dengan apa yang dicarinya. Agama tidak lahir dari proses spekulasi atau perenungan mendalam dan tidak muncul karena ilusi, tetapi lebih karena kejadian-kejadian menyedihkan dalam kehidupan manusia, dan bagian dari upayanya keluar dari konflik antara apa yang direncanakan dan apa yang terjadi dalam kenyataan, seperti beberapa pemikiran tentang agama primitif yang ada pada waktu itu, seperti pandangan Frazer yang melihat magi sebagai ilmu pengetahuan semu (pseudo science), Levy Bruhl menganggapnya sebagai pra3

Roy Ellen dkk., Malinowski Between two worlds: The Polish Roots of an Antropological Tradition, Cambridge University Press, New York, 1998, page 98-99. 4 Ibid., hal. 99-114.

logis yang berkenaan dengan hal-hal mistik dari pola pikir primitif. Dalam kerangka Malinowski, semua pemikiran yang ada sebelumnya diolah dan diramu menjadi satu pandangan yang baru, suatu pandangan yang berpegang pada macam-macam kasus. Dia dapat merubah pikiran-pikiran sebelumnya yang tertutup menuju studi terbuka dari penafsiran antropologi pada penelitiannya di Trobriand. Dalam penelitiannya di Trobriand, Malinowski melakukan klasifikasi hubungan antara magi, sains dan agama. Mula-mula Malinowski melakukan pelacakan terhadap mitos. Mitos adalah cerita tentang asal-mula terjadinya dunia seperti sekarang ini, cerita tentang alam, dan peristiwa-periatiwa yang tidak biasa (yang terjadi di belakang/di balik dunia). Cerita-cerita itu sungguh-sungguh ada dalam kepercayaan mereka, dan bersifat keramat. Ia juga menjelaskan bahwa mitos memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan sosial. Mitos berfungsi untuk menguatkan tradisi, memberkati, dan memberi rasa bangga sebagai anggota sub-klan. Orangorang Trobriand tahu, menunjukkan dan menceritakan sejarah lubang dari mana leluhur mereka, yang wanita bersama-sama dengan saudaranya yang laki-laki keluar dari dunia bawah. Di dunia bawah itu, pada zaman sebelum ada kehidupan di bumi, orang-orang dunia bawah hidup seperti kehidupan yang sekarang. Leluhur kakak beradik itu membawa serta benda-benda keramat, pengetahuan, keterampilan dan hasil pekerjaan mereka, serta magi yang membedakan kelompok itu dengan kelompok yang lainnya. Apakah mitos itu usaha pemberian keterangan secara primitif? Atau ungkapan bawah sadar dari kisah tersamar dari suatu sejarah? Tidak, kata Malinowski. Semua itu harus dipahami dalam konteks yang kaya dari kehidupan Trobriand dan dalam arti kebudayaan5 . Mitos itu memberi dasar atas hak mereka atas daerah yang mereka diami dan merupakan wadah magi, yang membuat mereka unik dalam keterampilan-keterampilan dan keupacaraan. Mitos itu tidak mengapung di awang-awang untuk diteliti oleh ahli psikoanalisis, dan hanya dapat dipahami kaitannya dengan bagaimana, kapan dan oleh siapa mitos itu digunakan. Pelacakan magi dalam kerangka Malinowski didasarkan pada kondisi geografisnya. Dalam masyarakat maritim yang mengandalkan hasil laut, magi tidak dihubungkan dengan kumpulan kerang-kerang atau alat-alat penangkapan ikan, seperti racun, jala dan peralatan lainnya, tetapi dihubungkan dengan momen-momen tertentu yang memungkinkan terjadinya banyak bahaya, beresiko tinggi, dan penuh ketidakpastian. Pada proses penangkapan
5

Keesing, Roger M. 1990. "New Lessons from Old Shells: Changing Perspectives on the Kula." In Culture and History in the Pacific, ed. Jukka Siikala. Transactions, no. 27. Helsinki: Finnish Anthropological Society.

ikan/berburu, selama masih bisa diatasi dengan keahlian dan pengetahuan, magi tidak dipergunakan. Orang-orang Trobriand menggunakan magi hanya pada waktu dan keadaan yang sepenuhnya tidak bias dikontrol pengetahuan mereka, seperti berlayar ke daerah-daerah yang jauh. Ketika orang-orang Trobriand berpetualang, persiapan untuk berperang, bercocok tanam, membalik tanah, dan dalam setiap pergantian musim, magi merupakan sesuatu yang penting dalam keberlangsungan komunitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat pembedaan antara magi dan kerja praktis. Masing-masing memiliki ruang sendiri-sendiri. Orang-orang Trobriand tahu bahwa hasil (secara mekanis) dari pekerjaan ditentukan oleh pengetahuan dan keahlian. Tanah bisa diolah dan dikontrol manusia, tetapi sesuatu dibaliknya, hanya bisa diupayakan dengan magi. Oleh karena itu, keberadaan magi dalam masyarakat primitif menunjukkan bahwa pengetahuan dan keahlian manusia terbatas, bahkan suatu saat tertentu tidak mampu memberi pengaruh apa-apa. Dalam kasus Megalomania6, seperti katakan Freud, menunjukkan bahwa magic memiliki keterkaitan dengan ledakan emosional, dengan angan-angan, dengan kehendak dan tidak terealisasinya keinginan-keinginan. Pada kasus kematian, orang Trobriand menganggapnya sebagai krisis terakhir dalam kehidupan individu. Tidak hanya itu, kematian juga merupakan krisis untuk kelompok secara keseluruhanapalagi bila kelompoknya kecilkarena seorang anggotanya telah tiada. Kematian seorang anggotanya itu, menyebabkan keseimbangan kelompok menjadi terganggu. Oleh karena itu, anggota masyarakat yang hidup harus mengembalikan keseimbangan itu. Pada waktu yang sama mereka harus menyesuaikan dengan diri dengan seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan mereka. Jadi upacara penguburan dapat dipandang sebagai upacara intensifikasi yang memberi kesempatan kepada yang masih hidup untuk menyatakan kegelisahan dan kesedihan mereka pada kematian yang terjadi. Upacara tersebut juga harus dipandang sebagai upaya membangun hubungan dengan orang yang sudah meninggal dunia, dan sarana kolektif pengungkapan perasaan pribadi dengan cara yang direstui oleh masyarakat, sekaligus menangkal perpecahan masyarakat.

Megalomania: dalam ilmu kejiwaan, gejala-gejala atau ciri megalomania sering didapati atau ada pada para pemimpin, bisa dalam rupa pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya. Cirinya bisa terwujud pada dorongan seseorang akan perasaan butuh terhadap keasyikan tertentu yang sifatnya irrasional perasaan tersebut biasanya berhubungan dengan kemuliaan, kebesaran, ketenaran, berlebih aras diri sendiri, dalam bahasa sekarang disebut dengan narsis kelewatan.

Dalam pendapatnya mengenai agama, Malinowski berpendapat bahwa agama memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, secara individual maupun sosial. Secara individual, agama mampu mendamaikan konflik batin manusia, dan secara sosial, setidaknya agama mampu memberi sanksi etis kepada sejumlah besar tata kelakuan dan kekuatan kontrol sosial demi keberlangsungan kehidupan manusia. Kalau orang melakukan perbuatan baik, maka ia direstui oleh kekuatan supernatural, begitu pula sebaliknya, jika ia berbuat jahat maka ia akan dapat balasan dari kekuatan supernatural yang diyakininya7. Malinowski dalam membuat pembedaan mengenai magi dan agama mirip dengan pandangan-pandangan Frazer. Ia melihat magi sebagai upaya untuk memanipulasi hukumhukum alam tertentu. Sebaliknya, agama dipahami sebagai cara mengambil hati kekuatankekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan kehidupan manusia. Dengan demikian Frazer melihat magi sebagai pengetahuan semu (pseudo- science), yang memiliki perbedaan dengan ilmu pengetahuan modern hanya pada konsepsinya yang salah mengenai sifat dasar hukum tertentu yang mengatur urutan terjadinya peristiwa. Frazer juga membedakan dua prinsip magi yang fundamental. Prinsip pertama, simpatetic magic, yaitu magi yang berdasarkan pada prinsip persamaan menimbulkan persamaan (like produces like), dan kedua, contagious magic, magi yang berdasarkan pada prinsip bahwa barang yang pernah bersentuhan dapat saling mempengaruhi setelah berpisah. D. Catatan Kritis Terhadap Pemikiran Malinowski Dari paparan pemikiran Malinowski di atas, penulis yakin baru sedikit sekali dan belum secara komprehensif mengeksplorasi pemikiran Malinowski tentang teori agama dengan pendekatan antropologi. Malinowski telah menghasilkan teori agama dengan pendekatan sosial yang sangat mengagumkan dan mampu membuka jalan bagi lahirnya beragam teoriteori sosiologi agama lainnya. Akan tetapi pada teori antropologi Malinowski tersebut tentu juga memiliki keterbatasan yang perlu dicermati. Beberapa pengamatan telah

memperlihatkan kelemahan dan juga melakukan kritik terhadap pemikiran Malinowski tersebut, sebagai berikut : Malinowski pada teorinya (agama dan sains) membuat suatu pemisahan yang signifikan antara yang sakral dan yang profan dan mendasarkan definisi agama kepada pemisahan ini. Maka, dikotomi atau pemisahan yang dilakukan Malinowski ini, dikritik oleh antropolog
7

Haviland, dkk., Cultural Anthropology: the Human Callenge , PMG Press, United Stated, 2011,.

yang lain yaitu secara empiris sulit dipertahankan. Evans-Pritchard, mencatat di berbagai masyarakat timbul sakit, diyakini disebabkan oleh pelanggaran moral, sehingga gejala-gejala fisik, kondisi moral orang yang menderita dan intervensi spritual membentuk suatu pengalaman kesatuan, sehingga aspek profan dan sakral itu sulit dipisahkan. E. Masalah Religio-Magisme Magisme dapat didefinisikan dengan suatu hal yang timbul karena berpangkal kepada pengertian yang keliru tentang mu'jizat dan keramat, jadi memiliki "akar yang absah." Magisme serupa itu, yaitu magisme dalam pengertiannya sebagai kemampuan untuk bertindak dan menimbulkan efek supernatural, ada yang dibenarkan oleh agama, ada yang tidak, dan ada pula yang netral, yang nilainya tergantung kepada kegunaannya 8 . Tetapi magisme sebagai "mindset" jelas tidak dapat dibenarkan. Ia tidak saja mempunyai efek peninabobokan yang membuat orang hidup pasif, tapi juga menyimpangkan orang dari perhatian yang lebih sungguh-sungguh kepada Sunnatullah yang menguasai hidupnya dan yang harus dipahami serta dipedomani dalam menjalani hidup itu. Lebih buruk lagi, magisme dapat menyimpangkan seseorang dari ajaran inti agama, yaitu Tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni, hal mana akan berakibat perampasan kebebasan asasinya dan membendung jalan ke arah kebenaran. Oleh karena itu, semua gerakan pemurnian atau pembaharuan agama mencantumkam sebagai agenda usaha memberantas religio-magisme. Mu'jizat dan keramat tetap diakui adanya oleh ajaran yang sah, namun untuk validitas mu'jizat dan keramat itu dituntut adanya pangkal tolak sikap berpegang kepada agama yang benar dan secara benar. Maka tugas setiap orang yang mampu dari kalangan masyarakat ialah mengusahakan peningkatan masyarakat, dengan

meningkatkan kecerdasan umum dan daya serap sebanyak mungkin orang terhadap nilainilai yang lebih benar dan lebih baik. Nabi saw bersabda: Maukah aku beritakan kepada kamu sekalian yang paling pemurah dari semua yang pemurah?" Mereka (para Sahabat) menyahut, "Ya wahai Rasulullah." Dan beliau bersabda: "Allah adalah Yang Paling Pemurah dari semua yang pemurah, dan aku adalah yang paling pemurah dari seluruh anak-cucu Adam, dan yang paling pemurah sesudahku ialah orang yang mengetahui suatu ilmu kemudian disebarkannya; ia akan dibangkitkan di Hari Kiamat

Nur Kholis Majid, Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah Religio-Magisme, Paramadina Press, Jakarta, 2002.

sebagai umat yang utuh, begitu juga orang yang mendermakan dirinya di jalan Allah sampai terbunuh." Sampai disini, konsep pemikiran Malinowski tentang agama hanya dipahami sebatas lahiriah saja, tidak melihat apa yang melatarbelakangi pemikiran tersebut muncul dan pada kondisi apa ia mengungkapkannya. Kesalahan dalam mengambil pengertian seperti inilah kemudian akan menimbulkan bias yang lebih besar lagi, yaitu dengan seorang masyarakat yang mengatakan setiap ada masalah, datang dan minta-lah bantuan ke dukun A, atau tokoh masyarakat B, pasti urusan akan beres. Implikasinya adalah menjadi tidak penting lagi untuk beribadah kepada Allah. Siapa yang bisa menjadi juru selamat, orang itulah yang selalu menjadi kiblatnya. Salat, zakat, puasa, dan lainnya menjadi sesuatu yang sekunder, kalah pamor dengan ilmu sihir, yang berbau pada tindakan-tindakan yang abnormal. Peristiwa itu menyembulkan fakta sosial unik perdukunan di era Indonesia kini: dukundukun itu masih "ada" di tengah masyarakat yang sudah mulai meninggalkan takhayul tradisional. Namun, yang lebih penting dicatat adalah bahwa tak sedikit para dukun itu yang dikenal rajin salat. Sebuah pemandangan kontradiktif, bagaimana mungkin seseorang yang rajin beribadah, memiliki ilmu sihir yang dilarang oleh ajaran Islam. Dari pernyataan di atas menyisihkan tanda tanya besar, apakah tiap-tiap bahan baku kemampuan supernatural itu sama? Sihir dan karomah adalah khazanah peradaban manusia yang merentang sejak awal sejarah. Buktinya, dalam Alquran, perang antara dua jenis kesaktian itu pernah terjadi di zaman kerajaan Mesir kuno-antara mukjizat Nabi Musa melawan sihir Firaun. Tampaknya tak ada rentangan sejarah manusia, dari zaman prasejarah, modern, hingga pascamodern, yang pernah kosong dari fenomena mistis. Bangsa-bangsa Timur, antara lain Cina, India, dan Indonesia, jelas menjadi "penjaga" mistisisme9. Masyarakat Barat modern, yang pernah begitu "jijik" dalam memandang aspek mistis, setelah filsafat positivisme yang dikembangkan filsuf August Comte10 mengilhami peradaban modern-industrial, pun sebagian masyarakatnya masih percaya takhayul. Contohnya, vampirisme (manusia kelelawar penghisap darah), voodoisme (suku yang melakukan tradisi

Karen Amstrong., Sejarah Tuhan, Mizan, Jakarta, 2006. Aguste Comte [1798-1857] adalah seorang filosof Perancis yang menjelaskan evolusi peradaban manusia dalam tiga tahapan, yaitu: teologi, metafisik dan positivisme. Teori Positivisme, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh hanya melalui pengamatan mendalam terhadap realitas fakta. Pemikiran Comte ini telah menumbuhkan komitmen pada Durkheim untuk selalu menganalisis seluruh fenomena sosial secara ilmiah.
10

kesurupan), dan excorcisme (sekte pemuja setan), yang mengilhami para sineas modern Hollywood untuk membuat film tentang tema-tema itu. Uniknya, masyarakat tradisional Timur, yang menjadi sumber referensi Barat menyangkut mistisisme, tak mampu menjelaskan fenomena mistis secara ilmiah11. Bahkan, kebanyakan mereka cenderung terperosok ke kubangan takhayul. Justru para ilmuwan Barat, terutama yang berkecimpung dalam studi filsafat Timur, memiliki penjelasan ilmiah yang meyakinkan. Filsafat positivisme-dengan segala "saudara kandung"-nya, antara lain rasionalisme, empirisisme, dan materialisme-memang pernah menampik alam metafisis. Namun, itu dulu. Tampaknya, belakangan, rasa jijik terhadap gejala metafisis itu sudah dilemparkan ke museum. Penelitian menyangkut mistisisme muncul seiring gelombang baru (new age) di Barat, yang ditandai dengan sejumlah yogi asal India dan sufi dari Pakistan, semacam Hazrat Inayat Khan, yang bermigrasi ke Amerika Serikat. Namun, di luar itu, sebagai penerus Malinowski, antropolog dan filsuf Prancis Claude Levi-Strauss pernah mengejutkan kalangan ilmuwan di sana dengan risetnya menyangkut tradisi ritual suku Shaman, yang diterbitkan di majalah Prancis, Les Temps Modernes, pada 1949 12. Levi-Strauss berupaya menjelaskan efektivitas praktek-praktek ritual-magis untuk menghasilkan efek-efek penyembuhan. Efektivitas magis, kata Levi-Strauss, pada dasarnya tergantung pada "kepercayaan", baik di pihak dukun, pasien, maupun masyarakat, terhadap cara-cara magis itu. Pendek kata, ada asumsi yang kuat di kalangan ilmuwan bahwa kemampuan supernatural (sihir, karomah, atau apa pun namanya) adalah efek fisik dari gelombang yang dipancarkan otak. Bila benar begitu, sihir dan karomah sejatinya lebih dekat ke sains daripada substansi agama. Sebab, agama pada dasarnya menekankan moralitas, seperti kata Nabi Muhammad saw, "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Karena agama tak berkaitan dengan kesaktian, Nabi Muhammad pernah menampik kesaktian-walaupun Tuhan sendiri yang menawarinya-untuk menghancurkan mu.

11

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, dkk., Mizan & Serambi Ilmu Semesta, Bandung & Jakarta, 2000. 12 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta, AK Group, 2003, hlm. 139-140.

F. Kesimpulan Dari pemikiran-pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ide-ide pokok Malinowski terhadap agama, yakni : [1] bahwa setiap orang, tidak peduli seberapa primitifkah dia, menggunakan magi dan ilmu pengetahuan. [2] magi atau agama adalah sakral, dan ilmu pengetahuan adalah profan [3] bahwa magi dan ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang nyata untuk membantu naluri manusia, kebutuhan dan kegiatan. [4] Magi dan agama juga serupa bahwa mereka sering melayani fungsi yang sama dalam masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa sihir lebih tentang kekuatan pribadi individu dan agama adalah tentang iman dalam kuasa Allah. Magi adalah juga sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk kelompok tertentu, sementara agama adalah lebih luas tersedia untuk masyarakat. Pandangan Malinowski tersebut terpusat pada klaimnya bahwa magi adalah persediaan manusia primitif dengan sejumlah siap pakai ritual, tindakan dan keyakinan, dengan teknik mental dan praktis tertentu yang berfungsi sebagai media penolong di saat manusia sedang berada dalam situasi kritis. Artinya, bahwa dalam setiap kebudayaan, agama (jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan) adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Ia melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaanperasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat. Untuk menjawab apakah setiap sihir dan karomah merupakan suatu yang murni dari agama ataukah sebuah produk dari hasil interpretasi agama, penting kiranya menelaah mengenai konsep religio-magisme. Religo-magisme merupakan suatu hal yang timbul karena berpangkal kepada pengertian yang keliru tentang mu'jizat dan keramat. Dalam fakta sosial umat beragama banyak ditemukanbaik yang berupa paham maupun amalanterkandung unsur-unsur magisme dengan bungkus keagamaan, atau bahkan magisme yang telanjang. Akhirnya dapat dikatakan bahwa antara magi dan/agama keduanya didasarkan pada ilmu pengetahuan. Magi dan/agama adalah pengetahuan tentang diri dan emosi, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan alam. Mu'jizat dan keramat merupakan sesuatu yang murni dari agama, namun untuk validitas mu'jizat dan keramat itu dituntut adanya pangkal tolak sikap berpegang kepada agama yang benar dan secara benar. Maka tugas setiap orang yang mampu dari kalangan masyarakat ialah mengusahakan peningkatan masyarakat, dengan

10

meningkatkan kecerdasan umum dan daya serap sebanyak mungkin orang terhadap nilainilai yang lebih benar dan lebih baik.

Daftar Pustaka Armstrong, Karen., Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen danYahudi, Terj. Satrio Wahono, dkk., Mizan dan Serambi Ilmu Semesta, Bandung & Jakarta, 2000. Armstrong, Karen., Sejarah Tuhan, Mizan, Jakarta, 2006. Ellen, Roy dkk., Malinowski Between two worlds: The Polish Roots of an Antropological Tradition, Cambridge University Press, New York, 1998, page 98-99. Firth, J. R. Ethnographic analysis and language with reference to Malinowskis view. In Man and Culture: An Evaluation of the Work of Brosnilow Malinowski. London: Routledge and Kegan Paul 1957. Haviland dkk., Cultural Anthropology:the Human Callenge, PMG Press, United Stated, 2011. Majid, Nur Kholis., Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah Religio-Magisme, Paramadina Press, Jakarta, 2002. Morris, Brian., Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta, AK Group, 2003. Sanaky, AH. Hujair. Sakral dan Profan: Studi Pemikiran Emile Durkheim Tentang Sosiologi Agama, Jogjakarta, 2006.

11

Anda mungkin juga menyukai