Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

THORIQOH ASWAJA

A. SEJARAH PERKEMBANGAN THORIQOH DI INDONESIA


1. Pengantar; Seputar Thoriqoh, Definisi dan Ruang Lingkup
Thoriqoh secara bahasa berarti perjalanan seseorang, cara, ataupun alirannya. Secara
istilah, thariqah sebagaimana didefinisikan oleh Syaikh Zainuddin ibn Ahmad al-Malibari dalam
kitab Kifayatul Atqiya adalah melakukan atau mengamalkan sesuatu dengan cara lebih berhati-
hati dalam mengamalkan seluruh amalan, tidak melakukan hal-hal yang mendapatkan kemurahan
(rukhshoh). Thoriqoh juga berarti berpegang teguhnya pengamal thoriqoh kepada hal-hal yang
berat seperti riyadhoh yaitu mengalahkan hawa nafsu, dengan sedikit makan, minum dan menjauhi
hal-hal yang boleh dilakukan (Hanif, 2011).
Senada dengan al-Malibari, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili dalam
kitabnya Tanwirul Qulub, menerangkan definisi thoriqoh sebagai pengamalan syariah islam
dengan cara bersungguh-sungguh, menjauhi anggapan ringan dari sesuatu yang tidak ada
keringanan apapun dan kalau kita mau mengatakan : menjauhi larangan secara terang-terangan
ataupun sembunyi, melaksanakan perintah Allah menurut kadar kemampuannya yang dilakukan
atas petunjuk dan bimbingan dari orang arif (mengetahui kebesaran Allah) dan orang yang sudah
mencapai derajat puncak (orang-orang pilihan Allah) (Hanif, 2011).
Demikian tadi pengertian makro atau pengertian secara umum mengenai thoriqoh. Melihat praktik
di lapangan bahwa para penganut thoriqoh di Indonesia yang banyak amalannya berkaitan dengan
dzikir, maka pendapat yang mungkin paling mendekati realita masyarakat kita adalah pendapat
dari Syaikh Ali ibn Muhammad al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rifat, sebagai berikut
(Muslih,2011):
Thoriqoh adalah perilaku khusus yang bersinggungan dengan para pelaku thoriqoh yang
bertujuan mendekatkan diri (taqarrub) dan wusul kepada Allah dengan cara memutus kepangkatan
duniawi menuju tingkatan ukhrowi.
Thoriqoh merupakan salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah
ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan perilaku kehidupan Beliau sehari-hari adalah
praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi
ke generasi sampai sekarang ini.
Thoriqoh adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan membersihkan
relung-relung hati dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebutuhan. Relung-relung hati itu
tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT. dengan cara tertentu. Oleh karena
itu wajib bagi setiap mu’min (muslim) setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam (50 sifat wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah SWT. dan para Rasul-Nya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang
disyariatkan Allah SWT, berupa sholat (yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang
membatalkannya), zakat, puasa, dan haji untuk meningkatkan diri dan memasuki thoriqoh dzikir
dengan cara khusus/tertentu.
Dalam kekeluargaan thoriqoh biasanya terdiri dari syaikh thoriqoh, syaikh mursyid
(khalifah), mursyid sebagai guru thoriqoh, murid dan pengikut thoriqoh, serta ribath
(zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode dzikir (Abu Bakar , 1996). Upacara
keagamaan bisa berupa bai’at, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan
thoriqoh, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syaikh thoriqoh kepada murid-
muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah thoriqoh
adalah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah thoriqoh, yang akan menjadi
tolak ukur sebuah thoriqoh itu mu’tabaroh (dianggap sah) atau tidak. Silsilah thoriqoh adalah
“nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada
nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil dari guru-guru itu harus benar-
benar berasal dari nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti thoriqoh itu terputus dan palsu, bukan
warisan dari nabi (Sri Mulyati, 2005).
Silsilah thoriqoh berisi rangkaian nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu
bertalian dengan yang lain. Biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang
diserahkan kepada murid thoriqoh sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah
menerima petunjuk (irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah menerima janji (bai’ah) untuk
tidak melakukan ma’siyat sekaligus menerima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran
thoriqoh kepada orang lain.

2. Periodisasi Sejarah Perkembangan Thoriqoh di Indonesia


Pembicaraan tentang sejarah thoriqoh di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan tentang
sejarah Islam di Indonesia. Islam yang masuk pertama kali di Nusantara adalah Islam yang
bercorak sufi. Islam dengan coraknya yang demikian itu dengan mudah dapat diterima serta
diserap ke dalam kebudayaan masyarakat setempat (Mufid, 2006). Ketika orang pribumi
Nusantara mulai menganut Islam, corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawuf. Pemikiran para
sufi besar seperti ibn al-Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap
pengamalan-pengamalan muslim generasi pertama. Justru karena tasawuf ini penduduk Nusantara
mudah memeluk Islam. Secara relatif corak pemikiran Islam yang pernah dipengaruhi oleh tasawuf
selanjutnya berkembang menjadi thoriqoh (Sri Mulyati, 2005).
Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam, para kiai dan
ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah
(Mansur,1998). Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan
fakta tentang masa lampau Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang
digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab
Fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan
dijadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan pengadilan agama
(Thohir,2004). Islam di Asia Tenggara (Indonesia khususnya) mengalami tiga tahap :
Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia disekitar
pelabuhan (Terbatas).
Kedua : datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan
Spanyol di Fhilipina, sampai abad XIX M
Ketiga : Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia
(Mubarok,1995).
Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan
terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak
dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang
dimilikinya, maka lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Misalnya : Lahirnya thoriqoh
Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua thoriqoh yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-
Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia,
kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam
berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan simbol kesatuan. Berbagai agama
lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati
rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan
thoriqohnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya
(Mansur,1998).
Memang agak sulit melacak perkembangan thoriqoh di Indonesia. Para ahli sejarah
kebanyakan berspekulasi dengan cara menganalogikan masuknya thoriqoh ke di Indonesia dengan
masuknya Islam sendiri ke bumi Indonesia. Hal ini mengingat jumlah thoriqoh yang begitu
banyak, juga dalam tubuh masing-masing thoriqoh sendiri mempunyai silsilah yang mana silsilah
tersebut juga merupakan bagian dari sejarah thoriqoh itu sendiri. Proses masuknya masing-masing
thoriqoh ke bumi Indonesia terkait dengan proses transfer ilmu dan sanad dalam silsilah thoriqoh
itu.
Perkembangan thoriqoh di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII, yaitu
dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (1610) dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani (1630)
akan tetapi keduanya tidak meninggalkan organisasi thoriqoh yang berlangsung terus menerus.
Baru kemudian setelah Abdur Rauf ibn Ali Singkel memperkenalkan thoriqoh Syattariyah di Aceh
pada 179 M, organisasi thoriqoh ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui
silsilah hubungan guru murid sampai ke beberapa daerah di Indonesia (Mufid,2006).
Di Sulawesi, thoriqoh juga berkembang atas prakarsa Syaikh Yusuf Tajul Khalwati (1621-
1689 M). Ulama Makassar ini dikenal sebagai seorang sufi yang menerima banyak ijazah thoriqoh
seperti Qadiriyah dari Nuruddin ar-Raniri, Naqsyabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah,
Ba’alawiyyah dari Sayyid Ali, Syattariyyah dari Burhanuddin al-Mula ibn Ibrahim dan
Khalwatiyyah dari Abdul Barakat Ayyub ibn Ahmad.
Pada abad XVII ini, perkembangan thoriqoh tampaknya terpengaruh dengan
paham wahdatul wujud. Ini bisa dilihat, walaupun thoriqoh yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan
muridnya Syamsuddin as-Sumatrani oleh Bruinessen secara tegas dikatakan thoriqoh Qadiriyyah,
namun berbeda dengan thoriqoh yang Qadiriyyah yang sekarang berkembang. Kedua tokoh ini
dikenal sebagai penganut paham wahdatul wujud, sedangkan thoriqoh Qadiriyyah sekarang tidak
lagi mengenal ajaran tersebut.
Pada abad XVIII, perkembangan thoriqoh masih juga menunujkkan adanya pengaruh
paham wujudiyyah, tetapi kecenderungan pada pentingnya fiqh sudah mulai nampak. Hal itu
terlihat antara lain pada karya-karya ulama sufi abad tersebut, diantaranya syeikh Abdus Samad
al-Falimbani, syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, dan KH Ahmad Mutamakkin.
Pemurnian ajaran tasawuf dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan
menekankan syariat baru terjadi pada abad XIX melalui tokoh-tokoh sufi yang juga berasal dari
Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di pusat Islam yakni Saudi Arabia
(Mufid,2006).
Ada tiga ulama thoriqoh terpenting dalam kaitannya dengan pemurnian ajaran tasawuf
pada abad XIX yaitu syeikh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, syeikh Muhammad Saleh az-
Zawawi dan syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi. Thoriqoh yang dikembangkan oleh ketiga ulama
sufi ini adalah thoriqoh Naqsabandiyah Khalidiyyah, Naqsabandiyyah Muzhariyyah dan thoriqoh
Qadiriyyah Naqsabandiyyah. Ketiga aliran thoriqoh ini yang belakangan memiliki penganut paling
besar dibanding thoriqoh lain (Mufid,2006).
Pada pertengahan abad XIX, seorang ulama dari Kalimantan mengajarkan thoriqoh
Qadiriyyah yang digabungkan dengan thoriqoh Naqsabandiyyah sebagai kesatuan yang kemudian
dikenal dengan nama thoriqoh Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah. Ahmad Khatib Sambas adalah
pembaharu dan pencetus thoriqoh tersebut. Setelah syeikh Ahmad Khatib Sambas meninggal
(1878 M) kepemimpinan dilanjutkan oleh para muridnya, yaitu syeikh Abdul Karim Banten,
syeikh Thalhah Cirebon dan Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura. Dari tiga pengganti
(khalifah) syeikh Ahmad Khatib tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura
menurunkannya kepada para muridnya di Jawa Timur, seperti KH Romli. Di Jawa Tengah, KH
Muslih mengambil silsilah thoriqohnya kepada syeikh Abdul Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah
Anom mengambil silsilah dari jalur Kyai Thalhah Cirebon (Mufid,2006).
Sampai pada saat ini, thoriqoh masih terus eksis dan berkembang. Eksistensi thoriqoh
disebabkan para mursyid yang senantiasa mengajarkan dan menyebarkan thoriqohnya. Pada
perkembangannya, thoriqoh kemudian menjadi suatu badan organisasi yang besar dan solid yang
melingkupi ruang nasional.

B. Organisasi Thoriqoh
Munculnya organisasi thoriqoh di Indonesia pertama kali terjadi di Sumatera Barat dengan
nama “Persatuan/Partai Pembela Thoriqoh Islam (PPTI)”. Pendirinya adalah DR. H. Jamaluddin.
Tujuan organisasi ini sebagaimana namanya adalah untuk membela ajaran thoriqoh dari kritik dan
kecaman yang dilontarkan para pembaharu seperti syeikh Ahmad Khatib ibn Abdul Latif al-
Minagkabawi dan para muridnya yang dikenal dengan sebutan kaum muda di Sumatera Barat dan
juga oleh Sayid Utsman ibn Abdullah ibn Aqil dari Jakarta (Mufid,2006).
Organisasi thoriqoh yang lebih luas didirikan di Tegalrejo, Magelang pada 10 Oktober
1957 dengan nama Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh oleh para ulama sufi Jawa.
Organisasi ini mengusahakan berlakunya syariat Islam lahir maupun batin dengan berhaluan ahlus
sunnah wal jamaah, yang berdasarkan salah satu dari madzhab empat dan mempergiat amal saleh
lahir batin menuurut ajaran ulama as-salihin, termasuk dzikir kalimah thayibah dengan baiat
salihah.
Organisasi Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang berdiri pada tahun 1975, selain
untuk menyatukan diri menghadapi golongan umat Islam yang menentangnya, juga sekaligus
sebagai instansi berwenang yang menilai sah atau tidaknya suatu thoriqoh (Abdul Fattah,2011).
Organisasi ini kemudian pecah menjadi dua, yang pertama menggunakan nama aslinya
yang dipimpin oleh KH Mustain Romli dan yang kedua dengan menambah an-Nahdliyyah setelah
kata Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang dipimpin oleh KH Idham Khalid dan KH
Arwani. Perpecahan ini disebabkan konflik yang mana sebagian tokohnya ada yang masuk parpol,
yakni KH Mustain Romli dkk pada tahun 1976.
Akibat perpecahan ini, maka dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang, diusulkan untuk
didirikannya Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMN) dan
dikukuhkan dengan SK PB Syuriyah NU nomor 137/Syur.PB/V/1980. Perkembangan selanjutnya,
organisasi thoriqoh yang menginduk pada NU-lah yang sekarang populer di kalangan para kyai,
mursyid, dan para pengamal thoriqoh.

C. Thoriqoh-thoriqoh Mu’tabaroh di Indonesia


Seperti yang telah kita singgung di atas, bahwa di Indonesia banyak sekali aliran-aliran
thoriqoh yang mu’tabaroh. Jika kita membicarakan semua thoriqoh tersebut, tentunya akan muncul
pembahasan yang terlalu panjang. Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam makalah ini hanya
akan kami bicarakan beberapa thoriqoh yang populer di kalangan pengamal thoriqoh di Indonesia.
adapun thoriqoh-thoriqoh yang akan kita bahas adalah sebagai berikut ;
1. Qadiriyah
Merupakan thoriqoh pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Qadiriyah
merupakan nama thoriqoh yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Abdul Qadir Al-jailani yang
terkenal dengan sebutan Syaikh Abdul Qadir Jilani al-Ghawsts atau quthb al-Auliya’. Thoriqoh
ini menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas islam. Karena tidak saja
sebagai pelopor lahirnya organisasi thoriqoh, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang
thoriqoh di dunia islam.
Menurut Abdul Qadir al-Jailani, manusia yang sempurna adalah keseimbangan yang
sempurna antara materi dan spiritual, yang satu dengan yang lainnya diberi porsi yang adil dan
saling menjaga. Mengenai perbuatan manusia, dia berpandangan bahwa perbuatan manusia
ditentukan oleh Tuhan (determinisme). Tetapi dia tidak mau terjerumus pada determinisme yang
ekstrim. Karena itu dia mengatakan bahwa manusia memiliki perbuatan sendiri, yang dalam
teologi klasik dikenal dengan kasb (perbuatan). Lebih baik dikatakan bahwa perbuatan yang terkait
dengan Tuhan adalah tentang penciptaan sedangkan yang terkait dengan manusia adalah tentang
perbuatan (kasb).
Di Indonesia, pencabangan thoriqoh Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad
Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan thoriqoh Naqsyabandiyah menjadi thoriqoh Qodiriyah
Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim
Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia. Salah satu indikasi tentang pengaruh
qadiriyah di Indonesia adalah pembacaan kitab manakib Abdul Qadir al-Jailani pada kesempatan
tertentu dalam kehidupan beragama (Sri Mulyati,2005).
2. Thoriqoh Syadziliyah
Thoriqoh syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu
Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu
Hasan al-Syadzili (w.1258). silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang
bergaris keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan nabi
Muhammad SAW.
Pemikiran-pemikiran thoriqoh Syadziliyah antara lain:
a. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layakdalam
kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah swt dan
mengenal rahmat Illahi.
b. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat islam.
c. Zuhud bukan berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari selain Tuhan.
d. Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi millionair yang kaya raya, asalkan
hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
e. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, akan kekeringan
spiritual yang sedang menimpanya.
f. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai
dengan ketentuan Allah.
g. Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), as-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifah
adalah salah satu tujuan ahli thoriqoh atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan.
Pertama, Mawahib atau ‘Ain al-Jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan
memberikannya dengan tanpa usaha dan dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan
diberikan anugerah tersebut. Kedua, Makasib atau Badzi al-Majhud yaitu Ma’rifah akan
dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadloh, mulazamah al-dzikr, mulazamah
al-wudlu, puasa, shalat sunnah, dan amal shaleh lainnya (Sri Mulyati,2005).
3. Thoriqoh Naqsabandiyah
Pendiri Thoriqoh Naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni
Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 h/1318M-
791H/1389M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat
lahir Imam Bukhari.
Ciri menonjol thoriqoh Naqsabandiyah adalah pertama, diikutinya syariat secara tetap,
keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih
menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang seriaus dalam mempengaruhi kehidupan dan
pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan thoriqoh
lainnya, thoriqoh naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi
pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya ia melancarkan konfrontasi dengan
berbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pendangan mereka.
Thoriqoh naqsabandiyah yang menyebar di Indonesia berasal dari pusatnya di Makkah,
yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia.
Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan thoriqoh ini ke seluruh pelosok nusantara (Sri
Mulyati,2005).
4. Thoriqoh Khalwatiyyah
Di Indonesia, thoriqoh ini banyak di anut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi
Selatan, atau di tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan
Timur, Ambon dan Irian Barat.
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama’ dan pejuang Makassar abad ke-17,
Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati yang sampai sekarang masih sangat dihormati. Sekarang
terdapat dua cabang terpisah dari thoriqoh ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama
thoriqoh Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Ajaran-jaran dasar thoriqoh Khalwatiyah antara lain:
a. Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina dihadapan Allah SWT.
b. Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
c. Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
d. Inabah: berhasrat kembali kepada Allah.
e. Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah.
f. I’tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di Bumi.
g. Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
h. Riyadah: melatih diri dengan beramal dengan sebanyak-banyaknya.
i. Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya.
j. Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah
terutama pendengaran.

5. Thoriqoh Syattariyah
Persebaran thoriqoh syattariyah berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-
Syinkili di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran thoriqoh syattariyah tersebar ke berbagai
wilayah di dunia melayu-Indonesia. Diantara murid-murid as-sinkili yang paling terkemuka adalah
Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari
pamijahan, tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama-sama dengan thoriqoh lain, thoriqoh syattariyah yang dikembangkan oleh as-
sinkili dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu thoriqoh yang mengembangkan ajaran
tasawuf di dunia melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara karakteristik
yang menonjol dari ajaran neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran
syari’ah dengan ajaran tasawuf. Dalam konteks tradisi intelekstual islam di dunia melayu-
Indonesia, ajaran tasawuf dengan corak neosufisme ini, telah menjadi wacana dominan sejak awal
abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya keislaman yang muncul,
khusunya dibidang tasawuf.

6. Thoriqoh Sammaniyah
Thoriqoh sammaniyah adalah thoriqoh pertama yang mendapat pengikut massal di
nusantara. Hal yang menarik dari thoriqoh ini, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak
wahdatul wujud yang dianut oleh thoriqoh sammaniyah dan Syathohat yang terucapkan olehnya
tidak bertentangan dengan syari’at.
Thoriqoh Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i
al-Samman. Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Dari semua wilayah nusantara, praktik
thoriqoh Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi Selatan.
Pengikut thoriqoh Sammaniyah ini sesungguhnya berasal dari bugis dan Makassar. Dimanapun
mereka berada, di Kalimantan Timur, di Riau, Malaysia, Ambon dan Papua. Maka kita akan dapati
mereka mempraktekkan ajaran sammaniyah ini. Tetapi tidak bbisa diragukan lagi bahwa pusat
gerakan sammaniyah ini terdapat di daerah Sulawesi Selatan.

7. Thoriqoh Tijaniyah
Thoriqoh ini didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani yang lahir di ‘Ain
Madi, Al-Jazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syeikh ahmad Tijani
di yakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki
banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan
dirinya.
Thoriqoh Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang haruis di tegakkan oleh setiap pengamal
thoriqoh tersebut. Aturan-aturan dalam thoriqoh Tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tatakrama
terhadap guru, sesama islam, dan terhadap dirinya sendiri.
Thoriqoh Tijaniyah masuk ke Indonesia tidak di ketahui secara pasti, tapi ada dua
fenomena yang menunjukkan gerakan awal thoriqoh Tijaniyah, yaitu kehadiran Syaikh Ali bin
Abdullah ath-Thoyyib dan adanya pengajaran thoriqoh Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon.
Dewasa ini, thoriqoh Tijaniyah tersebar diseluruh Indonesia, namun yang paling banyak
berada didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa timur. Basis jamaah thoriqoh Tijaniyah ada di
tiap-tiap daerah. Cirebon dan Garut sebagai basis wilayah jawa Barat, Brebes dab Pekalongan
sebagai basis wilayah Jawa Tengah, sementara Surabaya, Probolinggo dan Madura sebagai basis
wilayah Jawa Timur.

8. Thoriqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyah


Terkat ini adalah sebuah thoriqoh gabungan dari Thoriqoh Qadiriyah dan Naqsabandiyah
(TQN). Thoriqoh ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khotib Sambas yang dikenal sebagai penulis
kitab Fathul ‘arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak, kalimantan
Barat.
Syaikh Naquib al-‘Attas mengatakan bahwa TQN tampil sebagai sebuah thoriqoh
gabungan karena Syeikh Sambas adalah seorang Syeikh dari kedua thoriqoh dan mengajarkannya
dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis dzikir sekaligus yaitu dzikir yang dibaca dengan
keras (jahr) dalam thoriqoh qadiriyah dan dzikr yang dilakukan dalam hati (khafi) dalam thoriqoh
naqsabandiyah.
Pengembangan ajaran thoriqoh ini yang kelihatannya baru dikenal di Asia Tenggara
memang bermula dari kitab Fathul ‘Arifin. Walaupun murid Syeikh Sambas yang utama yaitu
Syeikh Abdul Karim Banten tampaknya tidak mengembangkan ajaran TQN secara luas namun
generasi sesudahnya terutama di pusat-pusat TQN di Jawa, Qadiriyah Naqsabandiyah relatif maju
dan betkembang dengan pesat.
D. Silsilah Beberapa Thoriqoh Mu’tabaroh di Indonesia
Allah SWT
^
Jibril AS
^
Rasulullah SAW
^
QADIRIYAH NA’SABANDIYAH

Ali ibn Abi Thalib >Husein ibn Ali> Zainal Abidin ibn Husain> Muhammad al-Baqir >Ja’far
Shodiq >Musa al-Kazim. Abi Hasan Ali Rida> Ma’ruf al-Karkhi> Sari as-Saqathi> Abi Qasim
Junaid> Abu Bakar as-Sibli> Abdul Wahid at-Tamimi> Abi Faraj at-Turtusi> Abi Hasan Hakari>
Abi Said al-Mahzumi> Abdul Qodir Jaelani >Abdul Aziz> Muhammad al-Hattak> Syamsuddin>
Syarifuddin> Nuruddin > Waliyuddin > Hisamuddin> Yahya> Abi Bakar > Abdurrahman>
Usman> Abdul Fatah> Muhammad Muradi > Syamsuddin > Ahmad Khatib Sambas > Abdul
Karim Abdurrahman / Ibrahim > Muslih ibn Abdurrahman > Durri Nawawi

SYATTARIYYAH
Ali ibn Abi Thalib > Husain ibn Ali > Zainal Abidin ibn Husain> Muhammad al-Baqir>Ja’far
Shodiq> Ibnu Yazid > Hidayatullah Sarmasi> Qadi Syatar> Abdullah Syatari> Muhammad Arif
>Muhamammad as-Sani> Muhammad Qali> Ibnu Ahsan Ahzanan> Abal Muzafarilah Kay >
Syazid as-Sai> Muhammad al-Madruf> Haji Husur> Muhammad Gaus> Wujuddin al-Alawi>
Sibgatullah> Muhammad Sanawi >Qusyasi> Mala Ibrahim> Muhammad Tahir> Ibrahim Tahir>
Muhammad Said Taharuddin> Muhammad Said> Haji Asy’ari> Muhammad Anwaruddin
>Muhammad Saleh ibn Muslim> Muslim ibn Ahmad> Haji Abdullah> Abdul Wahab> Ahmad
Wira’i> Muhammad Qoyim

KHALIDIYYAH
Abu Bakar as-Siddiq> Salman al-Farisi> Qosim ibn Muhammad> Ja’far Shodiq >Abu Yazid
Bustami> Abi Hasan Ali >Abi Ali al-Fadl >Yusuf Hamadani> Abdul Khaliq al-Gadjuwani> Arif
ar-Riwikari> Mahmud Anjirfagnawi> Ali ar-Rumaitini> Muhammad Baba Samasi> Amir Kulai>
Bahauddin an-Naqsabandi> Muhammad Alauddin Attar> Ya’qub al-Jarhi> Abdullah al-Ahrar>
Muhammad Zaid> Darwis Muhammad >Muhammad Khawajiki> Muhammad Baqi Billah>
Ahmad al-Faruk> Muhammad Ma’sum Syaifuddin
> Nur Muhammad al-Badwani> Habibillah> Abdullah Dahlawi> Kholid Baghdadi >Sulaiman
Kurani >Ismail al-Barus >Sulaiman Zuhdi> Muhammad Hadi Girikusumo> Mansur> Arwani

Syaziliyyah
Ali ibn Abi Thalib >Hasan ibn Ali> Abi Muhammad Jabir >Muhammad al-Ghazwani>
Muhammad Fatah as-Su’ud> Said> Said >Abi Qasim Ahmad Marwani> Zainuddin ibn Ishak>
Syamsuddin> Tajuddin> Nuruddin> Fahruddin> Taqiyuddin al-Fakiri >Abdurrahman al-Madani>
Abdussalam Masyisy >Abil Hasan As-Syadzali >Abil Abbas al-Marasi> Abil Fatah al-Maidum>
Taqiyuddin Wasati> Al-Hafid Qalqasyandi >Nur Qarfi> Ali al-Ajuri> Muhammad Azarqani>
Muhammad Qasim Saqandari> Yusuf az-Zairi>Muhammad al-Muhaiti> Ahmad Manatullah al-
Azhari >Ali ibn Thair Madani> Salim al-Mufti al-Hanafi> Ahmad Nahrawi> Muhammad Abdul
Malik ibn Ilyas --->MAULANA MUHAMMAD LUTFI BIN ALI BIN YAHYA (Mufid,2006).

Anda mungkin juga menyukai