Anda di halaman 1dari 4

Nama : Noveranita Amelia

NIM : 22060221928

TAQWA DALAM KONSEP PSIKOLOGI SOSIAL

Taqwa kepada Allah, maknanya adalah menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti yang
datang dari Allah berupa kemurkaan dan azab-Nya. Taqwa juga mencakup sikap hati-hati
dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menjalankan apa-apa yang disuruh Allah,
karena takut akan tergelincir pada hal-hal yang mendatangkan murka dan azab. Taqwa juga
meliputi aktivitas pendekatan diri kepada Allah karena takut akan dijauhi dan tidak dicintai
oleh Allah. Wal hasil dalam taqwa itu ada kepatuhan atau taat dengan rasa takut, sekaligus cinta
kepada-Nya, semua itu menyatu dan berjalan seiring.

Sebenarnya Islam menuntut setiap individu muslim untuk menjadi orang-orang yang
bertaqwa. Jadi taqwa merupakan tuntutan Allah kepada semua manusia. Jika kaum muslimin
banyak yang bertaqwa, bisa dikatakkan Islam tegak di muka bumi secara sempurna. Dan Islam
tak akan pernah sempurna dan berdiri tegak, kecuali ketika ketaqwaan  kaum muslimin tersebut
telah hancur. Ketaqwaan setiap individu itu sesuai dengan tanggungjawab yang dipikulnya. Oleh
karena itu, hancurnya satu bagian taqwa yang menjadi beban seorang individu berarti
kehancuran Islam secara keseluruhan.

Taqwa merupakan naluri yang menjadi sumber perilaku. Sabda Rasulullah; “Taqwa itu
ada di sini, seraya menunjuk ke arah dada beliau” Naluri ini tidak akan terbentuk kecuali dengan
merealisasikan maksud-maksud yang telah ditentukan. Maksud rasulullah disini, taqwanya itu
tidak akan terbentuk jika kita tidak menjalankanya maksud taqwa dalam kehidupan sehari – hari.
Taqwa mempunyai pengaruh moral yang sangat erat seperti yang digambarkan oleh Rasulullah
saw; “Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada egumpal darah, apabila segumpal darah itu baik
maka baiklah seluruh tubuh dan apabila segumpal darah itu buruk maka buruklah seluruh tubuh.
Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati” (Bukhari-Muslim)

Jadi, caranya untuk memperbaiki ketaqwaan itu dengan memperbaiki hati. Sesuai dengan
Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah
dengan perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalanmu dan mengampuni
bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
ia telah mendapatkan kemenangan yang besar (Al-Ahzab:70-71)

Taqwa merupakan sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan social. Seorang muslim yang
bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala larangaNya
dalam kehidupan ini.

Didalam kehidupan sehari – hari tentunya sebagai orang yang bertaqwa selalu melakukan
segala sesuatunya berdasarkan perintah dan larangan Allah. Salah satu aplikasi taqwa dalam
kehidupan, ketika kita menolong sesama, saling berbagi, tidak menyimpan rasa dendam kepada
orang yang mungkin pernah mennyakiti, itu salah satu aplikasi taqwa dalam kehidupan sehari –
hari. Melakukan segala sesuatunya berdasarkan ajaran yang telah diperintahkan Allah bukan atas
dasar adanya motif tertentu, tapi semua semata – mata karena Allah SWT.

kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual : Karena lebih
menekankan  dan mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
zikir, dst.

Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata


berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka
tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan
bermasyarakat.

Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba  formal, yang hanya
mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.

Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli
dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong,
sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama;
mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain,

Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai
oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang
memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang
merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.

Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak
usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun
kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam
Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena
ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian
yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama
manusia.

Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya
shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku
sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta
kasih, penuh kesantunan, harmonis  dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita
tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya
menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi.
Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti
dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di
depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu
menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya
sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”  “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan
minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah
yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam.

Anda mungkin juga menyukai