Anda di halaman 1dari 6

Belajar dan Berdaya Bersama Bangsri

KKN IAIN Kediri 2018 menggunakan pendekatan ABCD dalam pelaksanaannya, Berbeda dengan
pendekatan PAR, yakni sebuah metode yang mengidentifikasi masalah kemudian
memecahkannya (Problem Solving), KKN yang menggunakan metode ABCD tidak
mengidentifikasi masalah, namun dengan mengetahui kekuatan dan aset yang dimiliki, serta
memiliki agenda perubahan yang dirumuskan bersama, persoalan keberlanjutan sebuah
program perbaikan kualitas kehidupan diharapkan dapat diwujudkan. Melalui pendekatan
ABCD, warga masyarakat difasilitasi untuk merumuskan agenda perubahan yang mereka anggap
penting. Oleh karena itu, KKN ini merupakan kegiatan stimulasi dan fasilitasi. Mahasiswa yang
melaksanakan akan belajar betapa kehidupan ini akan berubah menjadi baik tatkala ada
kemauan untuk berubah serta dapat mencermati hal terbaik dalam dirinya.

Seperti kebanyakan mahasiswa yang akan mengikuti KKN, rasa takut sudah menghantui kami
terlebih dahulu. Baik itu ketakutan mendapatkan tempat yang tidak enak, atau teman-teman
yang tidak kompak. Apalagi ditambahi bumbu-bumbu dari teman-teman yang sudah KKN yang
mengatakan kalau KKN itu susah dan mengeluarkan biaya yang sangat besar.

Puji Syukur Alhamdulillah KKN Kelompok 54 ditempatkan di Dusun Bangsri, Desa Ngadiboyo,
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Tempat yang cukup strategis dibandingkan dengan
tempat-tempat KKN lainnya. Walaupun jalan menuju lokasi KKN kurang baik, dikarenakan
sedang ada proyek pembangunan Tol Kertosono-Salatiga, tetapi mudah dijangkau karena Dusun
Bangsri tidak jauh dari jalan menuju Kota Nganjuk, sekitar 15 km dari Alun-Alun Nganjuk. Kami
tinggal di kediaman Bapak Bayu yang sudah sekitar 5 tahun tidak berpenghuni, rumah yang
cukup luas untuk dijadikan posko KKN. Jauh dari kesan angker yang kami bayangkan, kami
singgah di sana dengan cukup aman dan nyaman.

Mengenai teman seperjuangan KKN, akan ada banyak hal yang akan terbuka dengan sendirinya,
baik maupun buruk pasti akan muncul, tetapi hal yang terpenting adalah bagaimana kita belajar
merefleksikan diri sebagai manusia sosial. Apapun karakter mereka, saya tidak bisa menuntut
untuk menjadi sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Namun mereka telah mampu menciptakan
aura kekeluargaan yang sangat berkesan bagi saya, 45 hari hanya ada sedikit perselisihan kecil
tak berarti dibandingkan dengan kekompakan dan keseruan yang tercipta.

Tiga karakter yang berusaha kami tanamkan agar segala yang telah menjadi tujuan bersama
dapat tercapai adalah:

1. Komitmen

Percaya akan pelaksanaan dan penyuksesan KKN, Percaya pada potensi ketua kelompok hingga
masing-masing anggota. Serta percaya bahwa masyarakat akan berkomitmen untuk melangkah
bersama mewujudkan mimpi mereka. Sebuah kepercayaan, yang akan melahirkan komitmen
bersama.

Komitmen inilah yang menjadikan peserta untuk ber-KKN dengan hati dan penuh semangat
persaudaraan, ber-KKN dengan ucapan dalam diskusi, tukar ide dan bergaul bersama
masyarakat (ekstrovert), serta ber-KKN dengan tindakan nyata (ikut gotong royong untuk
kegiatan bersama, tidak pasif dan individualis, serta berani berinisiatif).

2. Kontributif-Positif

Berusaha memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan KKN. Bukan malah
“membebani” atau “membuat gaduh” atau bahkan "mencemari lingkungan". Karena jika hal
tersebut terjadi, peran positif yang sudah dibangun akan sepintas ada lalu hilang. Namun kesan
buruk pada almamater IAIN KEDIRI akan selalu ada, dan memorable.

3. Berani Mengingatkan

Dalam KKN pasti akan menemui yang namanya "penurunan semangat/penggembosan" di


tengah proses. Hal tersebut bisa terjadi disebabkan faktor internal dalam kelompok itu sendiri
juga bisa dari faktor eksternal. Itulah yang menjadi hambatan, sekaligus tantangan.

Namun, apabila komitmen telah terbentuk, kontribusi positif telah menjadi kesadaran kolektif,
maka penurunan semangat dalam tubuh internal harus segera diatasi dengan berani
mengingatkan anggota kelompok yang acuh akan tujuan bersama, pasif, dan menarik diri untuk
tidak terlibat dalam berbagai kegiatan KKN.

Setelah proses demi proses yang dijalani, mulai tahap inkulturasi, penggalian aset, perencanaan
kegiatan, pelaksanaan kegiatan, hingga tahap refleksi atau monitoring sejauh mana dampak
perubahan yang terjadi. Banyak sekali hikmah yang dapat saya jadikan pengalaman berharga
dan tak terlupakan:

1. Bimbingan Belajar

Dalam kegiatan bimbingan belajar di posko KKN 54, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik anak yang beraneka ragam. Ada anak yang dapat menempuh kegiatan belajarnya
secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula anak
yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar anak ditunjukkan
oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar yang maksimal,
hambatan tersebut didapat dari segi psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada
akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kami juga merasa sangat kesulitan dalam menghadapi anak yang demikian. Itu artinya bahwa
kami sadar kalau kami memang belum mampu menjadi pengajar yang baik dan harus belajar
lebih banyak lagi.

Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak suka mempelajari terlebih dahulu materi yang ada di
buku mereka, mereka cenderung ingin mendapat jawaban instan untuk memecahkan
persoalan, budaya mencontek pun masih menjamur terlebih bagi para pelajar putra, sehingga,
menjadi PR bagi kami selaku pengajar untuk membudayakan minat membaca dalam diri
mereka.

2. Taman Pendidikan Al-Qur'an

Ada sedikit penyesalan dalam diri saya, karena kurang maksimal dalam mengajar di TPQ Al-
Amin milik Ibu Utami. Waktu yang singkat memaksa kami hanya memberikan pengajaran
bersifat personal saat satu per satu santri maju untuk tadarus Iqra' dan Al-Qur'an, membiasakan
seluruh santri untuk "1 week, 1 du'a" , pengenalan Bahasa Arab dasar bagi mereka, dan hanya
sedikit bab fiqih yang bisa kami ajarkan.

Saya pribadi melihat mereka telah mencapai tingkat Al-Qur'an namun untuk makhrojul huruf
serta panjang pendek bacaan masih perlu banyak pembenahan. Saya yang belum mempunyai
pengalaman mengajar berusaha mencari cara bagaimana mengubah kebiasaan mengaji mereka
yang kata ustadz saya dahulu "digeret" istilah jawa untuk menyebut santri yang belum mengerti
panjang pendeknya bacaan. Di sana yang bisa saya lakukan hanya membenarkan bacaan
mereka dan memberi penjelasan secara personal. Hal tersebut menjadi penting bagi saya untuk
belajar memahami metode-metode pembelajaran Al-Qur'an dikarenakan saya nantinya akan
menjadi ibu yang merupakan madrasah pertama bagi anaknya kelak.

3. Berpartisipasi dalam Kegiatan Warga

Sebelum KKN, saya merupakan orang yang cukup introvert di lingkungan rumah saya, Surabaya.
Terbawa keadaan lingkungan yang mayoritas pekerja dengan kesibukan yang padat, jarang bagi
saya bisa bersosialisasi dengan tetangga sekitar. Namun pengalaman KKN memberikan pelajaran
berharga bagi saya bahwa bersosialisasi itu penting untuk mendapat pengalaman dan cerita dari
mereka yang telah mengalami asam garam kehidupan.

Ketika saya dan beberapa teman saya ingin ikut membantu tahap akhir dari proses panen
bawang merah, saat itu mereka menyebutnya "Mitil Brambang", kami sangat disambut baik dan
diajarkan prosesnya. Di sela sela kegiatan tersebut saya bertanya kenapa bawang merah yang
telah dipanen hanya dijual mentahan, tidak ada satupun warga yang menjualnya dengan
mengolah terlebih dahulu agar menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Mereka mengatakan
bahwa modal yang dipakai untuk mengolah bawang merah menjadi suatu produk akan lebih
banyak, dan tenaga yang dikeluarkan juga lebih besar. Namun, harga jualnya tidak sebanding
dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Sehingga, warga lebih memilih menjual langsung ke
tengkulak tanpa proses pengolahan.

Selain ikut dalam kegiatan di atas, saya dan teman-teman turut serta dalam kegiatan Nyadran
(Bersih Dusun) yang merupakan tradisi agraris yang sampai saat ini tetap terjaga. Nyadran
merupakan tradisi mengunjungi dan memberi sesaji ke punden dan pesarean di Dusun Bangsri
yang dianggap keramat. Di banyak desa, tradisi nyadran atau sedekah bumi masih dijalankan.
Masyarakat masih meyakini bahwa 'nylameti' bumi pertiwi bukanlah musyrik, karena bumi
ciptaan Tuhan ini telah memberi banyak bagi kehidupan umat manusia. Kalau tidak dislameti,
berarti mereka mengingkari ketulusan bumi dalam memberikan sesuatu kepada umat manusia.

Ritual-ritual untuk nylameti bumi pertiwi itu selalu dilengkapi dengan hiburan pada malam hari,
yaitu Tayub. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan Tayub di Bangsri ini adalah
tradisi minum bir. Biasanya, agen penjual bir akan mengirim satu pick-up bir ke lokasi
pertunjukan. Para penayub dari masing-masing meja—satu meja biasanya diisi 4 sampai 5
penayub—seperti jor-joran (saling bersaing) untuk menenggak bir sebelum menari bersama
para tandhak. Tradisi inilah yang banyak dikritik oleh tokoh agama. Meskipun demikian, kritik
tersebut tidak pernah dihiraukan oleh para penayub. Karena, menurut mereka, kurang afdol
kalau dalam tayuban tidak menenggak bir. Selain itu, dalam pengaruh alkohol, penayub bisa
mengusir rasa malu ketika ditonton oleh orang banyak. Memang, kalau ditilik dari fungsi
nyadran yang berkaitan dengan ritual kesuburan, tradisi tayub menjadi ekspresi estetik-profan
yang bisa melepaskan makna-makna kesakralan dari ritual ini. Namun, sekali lagi, tradisi
minuman beralkohol sudah berlangsung secara turun-temurun, sehingga sulit untuk
dihilangkan. Meskipun kegiatan Tayub jauh dari kesan religiusitas, tetapi kami berusaha
menghargai apa yg telah menjadi tradisi di Dusun ini dengan tetap ikut berpartisipasi
mendokumentasikan kegiatan tersebut atas permintaan Bapak Bani selaku Kepala Dusun
Bangsri.

Berangkat dari hal tersebut, dimana pendidikan agama dan modernitas menjadi sangat penting
ditanamkan pada generasi milenial yang ada. Kelompok kami memberikan prioritas utama pada
program kerja di bidang pendidikan dengan aset pendidikan berupa adanya TPQ dan Pelajar
tingkat TK/SD yang sangat antusias mengikuti bimbingan belajar di posko KKN 54 dengan
mendirikan "TERAS BACA" guna mendongkrak minat membaca warga Bangsri agar memiliki
pikiran terbuka dengan menjadi insan yang berwawasan luas dan modern serta masih
memegang teguh ajaran agama Islam di tengah kebudayaan 'kejawen' yang melekat.
Berikut adalah lampiran dokumentasi kegiatan KKN kelompok 54 di Dusun Bangsri, Nganjuk:

Anda mungkin juga menyukai