Anda di halaman 1dari 27

Masail fiqhiyah al- haditsah

Tentang
Hukum membedah mayat ( otopsi )

Disusun Oleh :

VITRI DWI LESTARI (2018.01.184)

FAKULTAS : TARBIYAH
JURUSAN : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN PEMBIMBING : Zainal abidin, M. Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QURAN AL-ITTIFAQIAH ( IAIQI )


INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
202l
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

          Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong
atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab
dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai,
mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan
istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang
berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab
kematianya. Biasanya mayat yang mati karena kasus atau pembunuhan atau juga
kecelakaan yang sering terjadi. Hukumnya dalam islam masih di perdebatkan para
ulama. Sebenarnya apa sih tujuannya. Dan kalau memang untuk kepentingan
negara terus bagai mana dengan mayatnya. Padahal namanya orang mati itu
sakitnya luar biasa. Apalagi sampai di otopsi atau di bedah bedah.
         Pada makalah ini akan sedikit menjelaskan tentang bagaimana hukumnya
membedah (mengotopsi) seseorang yang telah meninggal dunia. Karena manusia
harus dihargai walaupun sudah meninggal sekalipun. Karena biasanya sesudah
terjadi suatu peristiwa baru dipikirkan pemecahannya dan menetapkan hukumnya
          Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk
menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari
tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua
penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam,
seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash
tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan pembedahan
mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa
lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara
tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya
tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila
mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai
hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan
sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode
membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek
yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup
dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka
langsung diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh

2
manusia, salah satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah
otopsi sebagai salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam
mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam
penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab
musabab kematian manusia tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di
pengadilan sebagai alat bukti.
Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk membuktikan ilmiah
dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan hal yang sangat penting
karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung
dan nyata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dapat ditarik


rumusan masalah berikut ini :
1. Apa Pengertian Bedah Mayat (Autopsi) Serta Pembagian Bedah Mayat
(Autopsi)?
2. Apakah Hukum dan otopsi Bagi Kepentingan Penegak Hukum?
3. Bagaimana Pandangan Ulama Serta Mengkritisi Fatwa MUI
Tentang Autopsi?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang diatas, diharapkan dapat mengetahui dan mengerti


tentang apa itu bedah mayat (autopsi).

3
BAB  II
PEMBAHASA

A. Pengertian Bedah Mayat

            Secara etimologi bedah maya (Autopsi) adalah pengobatan penyakit


dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau
operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al
jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat
oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa
inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang
yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
            Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau
pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada
bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan
menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran
maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
B. Pembagian Bedah Mayat

            Ditinjau dari aspek dan tujuannya bedah mayat dapat dibagi menjadi 3
kelompok yaitu :
1. Bedah Mayat Pendidikan Anatomi

Ialah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh
mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan
praktikum tentang ilmu viral tubuh manusia (anatomi).
    Praktek yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui seluk-
beluk organ tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal
dan terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya
seperti untuk mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal
saat ini, dengan membedah jasad manusia.
     Dari hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan
secara Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek
seperti ini hampir dilakukan di semua Fakultas Kedokteran.

4
      Autopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran, Islam sebagai agama
yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah
untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW
diantara kaidah tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka
yang dilakukan yang paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua
mufsadat maka dilakukan yang paling ringan mufsadatnya.”1
         Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru
yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Qur’an dan hadits (nash).
Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai
metode Qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian Fiqih, dicari solusinya
dengan metode tarkhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan
lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.       
2. Bedah Mayat Keilmuan (Klinis)

Ialah pembedahan yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah


sakit, setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara
umum atau secara mendalam.
Sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif
terlebih dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit
mayat yang tidak diketahui secara sempurna selama dia sakit.
Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang
menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah
dan di khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi
kemashlahatan. Otopsi klinis biasanya dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli
waris, dan kadang ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya.
3. Bedah Mayat Kehakiman (Forensik)

      Yaitu bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu
peristiwa yang terjadi,  seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.
      Bedah mayat semacam ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak
kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang.
Misalnya, karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah melalui visum
dokter kehakiman (visum et reperthum) biasanya akan diperoleh penyebab
sebenarnya, dan hasil visum ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam
menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.
1
Hasan, Muhamad Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah,Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.1997.hlm 12

5
     Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi
sebagai penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara
pasti pelakunya dan jika bukan karena kematian secara alamiah maka bedah
mayat ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan
dugaan pelakunya orang-orang tertentu.
       Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil
diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah
satu cara atau media untuk menemukan bukti.
Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
1) Untuk Mengeluarkan Janin

           Bila seorang ibu meninggal dunia, dalam keadaan hamil, dan bayi yang
dikandungnya masih dalam keadaan hidup. Dalam hal ini para ulama berselisih
dalam menentukan hukumnya, apakah harus dibedah perut ibu atau tidak?
a. Menurut Imam Malik dan Ahmad

            Mengatakan tidak boleh dibedah perut seorang ibu meskipun bayi yang
dalam kandungannya masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara diambil dari
jalan Farji oleh tenaga medis.
b. Sedangkan Menurut Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama

Malikyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi
keselamatan bayi dalam kandungannya.
c. Menurut Ulama Syafi’i

           Bahwa jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan didalam
perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah
dalam keadaan darurat, maka pembedahan ini boleh dilakukan kalau ada harapan
janin itu untuk hidup atau berumur 6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak
ada harapan untuk hidup, maka pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini
didasarkan sabda Nabi yang berbunyi :                                  
Artinya : “Sesuatu yang diperbolehkan karena, hanya boleh dilakukan sekedarnya
saja.”
d. Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh dibedah

            Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa
memecah tulang mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia yang

6
hidup. (H.R. Abu Daud dari Aisyah binti Abu Bakar). Seiring dengan kewajiban
terhadap mayat, yakni memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan
sebagai penghormatan bagi mayat.2
e. Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi’i

Bahwa jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah
janin yang masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi membela kehormatan
yang masih hidup.
Senada dengan pendapat ini menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum
Islam Mesir) mengatakan bahwa “bedah mayat itu merupakan darurat pada
keadaan tertentu, seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga
pembunuh sesungguhnya dapat diketahui.”
2) Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut mayat.

           Dalam kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan
umumnya Mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa “apabila seseorang pada masa
hidupnya sempat menelan uang logam (koin), maka ketika ia meninggal perutnya
dibedah untuk mengeluarkan uang logam tersebut.” Ukuran uang logam yang
dikeluarkan tersebut lebih kurang bernilai ¼ dinar, atau 3 dirham (satu dinar = 4,5
gram emas, jadi ¼ dinar =1,125 gram emas).
          Nuruddin Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa “jika sekedar
mengeluarkan uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat
untuk mengetahui sebab kematiannya dan kepentingan ilmu kesehatan lebih
diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh lebih besar dari pada sekedar
pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang tertelan itu.”
           Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadits riwayat Abu
Daud diatas merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang
bermanfaat. Akan tetapi, berdasarkan kebutuhan darurat, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku kriminal untuk alibi
dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan pembedahan mayat,
hal ini menurut Hasan M. Makhluf termasuk kepada kaidah fikih yang
mengatakan “segala sesuatu yang membawa kesempurnaan yang wajib, maka
hukumnya wajib pula.”
3) Menegakkan kepentingan umum

2
Al-Suyuthi, Imam. Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu fiqhal-
Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:Dar al-
Kutub Ilmiyah,2005 hlm. 114

7
            Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab
kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan
tersebut, cukup menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai
bahan penyelidikan, karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan
sesuai dengan kaidah fiqhiyyah : Tidak haram bila darurat dan tidak makruh
karena hajat.
4) Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan

           Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang
susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori
dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap
manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat
yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya
kelak.
       Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk
mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini
dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk
mensejahterakan umat manusia.
            Pembedahan mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena
mayat hendaknya segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi :
        Artinya : Percepatlah mengantar jenazah ke kuburnya. Bila dia seorang yang
shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan dia kebalikannya,
maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu. (HR.
Bukhari).
C. Hukum Bedah Mayat

      Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti tentang
bedah mayat akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan
isyarat mengenai landasan praktek bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang
akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang
ada didalam diri manusia itu sendiri. Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat
Ayat 53 yang berbunyi :

ٗ‫ك اَنَّه‬ ُّ ۗ ‫اق َوفِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ِه ْم َح ٰتّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم اَنَّهُ ْال َح‬
ِ ‫ق اَ َولَ ْم يَ ْك‬
َ ِّ‫ف بِ َرب‬ ِ َ‫َسنُ ِر ْي ِه ْم ٰا ٰيتِنَا فِى ااْل ٰ ف‬
‫ع َٰلى ُكلِّ َش ْي ٍء َش ِه ْي ٌد‬
Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran)
Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi

8
mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?”
        Pengertian dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam
tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.3
Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang berbunyi :

ِ ۗ ْ‫س َذ ۤا ِٕٕىِ{قَةُ ْال َمو‬


  َ‫ت َونَ ْبلُوْ ُك ْم بِال َّشرِّ َو ْالخَ ي ِْر فِ ْتنَةً ۗ َواِلَ ْينَا تُرْ َجعُوْ ن‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
Artinya : “Setiap yang bernyawa itu akan mengalami mati, Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan
dikembalikan hanya kepada Kami.”
        Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa
setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji
unsur kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan
Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia. Yakni dalam (Surat Al-Isra’
Ayat 70) yang berbunyi :

‫ت َوفَض َّْل ٰنهُ ْم ع َٰلى‬


ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِ ْْٓ{ٓي ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰنهُ ْم فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْق ٰنهُ ْم ِّمنَ الطَّيِّ ٰب‬
ࣖ ‫ض ْياًل‬ ِ ‫َكثِي ٍْر ِّم َّم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬
  Artinya :
       “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna.”
        Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di
dunia, diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab kemampuan yang
dimiliki manusia terbatas. Dan semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin
dimiliki oleh satu orang saja. Oleh karenanya diperlukan orang yang ahli dibidang
tertentu untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuiny,
Seperti : orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang penyakitnya agar
bisa diobati.
        Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman
kepada hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap
penyakit ada obatnya. (H.R. Abu Daud dari Abu Darda).

3
Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka
Panjimas.

9
         Hadits ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan,
seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan
obatnya pada saat itu.
        Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya
menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman
Allah SWT Surat An-Nisa Ayat 58 yang berbunyi :
ۙ ٓ ‫ا َّن هّٰللا يأْم ُر ُكم اَ ْن تُؤَ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل‬ ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ۗ اِ َّن َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِ َّن َ َكانَ َس ِم ْيع ًۢا ب‬
‫ص ْيرًا‬
Artinya : “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-baiknya
yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat.”
         Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak
pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam
proses perkara di pengadilan.
D. Otopsi Bagi Kepentingan penegak Hukum

Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan


maksud untuk mengetahui sebab-sebab kematianya di sebut juga obductie. Di
Indonesia masalah bedah mayat atau otopsi diatur dalam pasal 134 UU No 8
Tahun 1981 tentang hukum Acara pidana yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal sangat dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukanya pembedahan tersebut.
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak ketemukan penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 UU ini.4
Pasal 133 dari UU tersebut berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak

4
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah :Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum
Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia,2005 hlm 75

10
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran dan atau ahli lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan
dengan diberi cap jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada
mayat.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau
bedah mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang
dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau
kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.5

E. Pandangan Ulama Tentang Bedah Mayat (AUTOPSI)

Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :


1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram
Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya)
dengan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud,
dan Ibnu Majah)
2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip
yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya,
“Apakah kita harus berobat?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, hamba
Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit
melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu
penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).

        Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara


implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan
jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya.
      Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat
penelitian untuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan
5
Hubais, Umar,Fatwa, Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini, cet
7, Jakarta: PT. Al-Irsyad 2005 hlm. 54

11
autopsi forensik sejalan dengan prinsip Islam untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan dalam penetapan hukum.
       Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat.
Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa
praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain,
Muhammad Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua
keperluan; mengambil harta orang, misalnya pertama, yang tersimpan di perut
jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk
penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
      Pandangan keduanya merupakan hasil rakhrij atas kajian pada ulama klasik.
Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus; mengambil harta
dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum
atau almahumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak
manusia harus didahulukan di atas hak Allah.
   Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat
dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki.
Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil
janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan
mazhab Maliki dan Hambali melarang.
        Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadist Nabi kepada
penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari
kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang
yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih
hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan
sanad yang sahih.
        Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman
hadits itu secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang
membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.
        Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-
Islamiyah, berkomentar terhadap hadits tadi. Menurutnya, hadits itu berlaku bila
tidak ada kemashlahatan lebih krusial (mashlahah rajihah). Bila ada
kemashlahatan lebih krusial yang wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun
silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.
      Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul :
      Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah
manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib
memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan jenazah
dikuburkan.

12
     Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas
(muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan
keilmuan dan mendatangkan mashlahat lebih besar; memberikan perlindungan
jiwa. Bukan untuk praktek semata.6
     Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi.
Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan janazah untuk penelitian
harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian
telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat
Islam.
      Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan
mekanismenya.
      Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas’udi dari Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai
ada dalil yang menyatakan terlarang.
      Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait
dengan jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah
meninggal, karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk
menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.
        Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau
izin keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin
diberikan oleh pemerintah.
Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu
ada kekhawatiran jika mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat
menghadap Tuhan.
        “Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk
menghadap Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk
riset dan pendidikan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan
mendapat pahala,” ujarnya.
        Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter
Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki
peraturan dan fatwa mengenai bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis
Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan No 4/1955, yang
menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan dan tidak
dihalalkan).
6
Hasan, Muhamad Ali,. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.1997 hlm. 33

13
         Dalam Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk
kepentingan pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang
Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau
Jaringan Tubuh Manusia (ATK).
F. Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Autopsi

Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya


mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian
membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat
tertentu.7
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1
disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati,
keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal
otopsi adalah haram.
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut
disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh
pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut
dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada
kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat.
Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4
syarat tersebut, yaitu ;”
1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i
(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian
kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan
sebagaimana dimaksud pada point,
3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6
Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).
Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah
dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
7
Kamal, Mahmud. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka
Panjimas.1991 hlm. 87

14
Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak
ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’,
dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi).
Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :

‫العام يبقى على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص‬


Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. (hukum
yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang
mengecualikan (mengkhususkan).”
Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut
MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah.
Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan
sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi
(dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada
sumber hukum yang disebut Mashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami
singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil
yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-
Qiyas.8
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI
tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang
membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu
ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah.
Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al
mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih,
hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang
dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan
kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai
sabda Nabi SAW :
ً ‫كسر عظم الميت ككسره حيا‬
“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.”
(HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).
Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al
haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih
istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi
darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al
8
Hubais, Umar,Fatwa, Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini, cet
7, Jakarta: PT. Al-Irsyad 1993 hlm. 65

15
dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun
kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus Autopsi. Karena pengertian darurat
menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya
seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang,
maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam
yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).
Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli
waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari
seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan,
seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun
wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah
mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang
dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib
diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim
Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah.
Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris
hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah
pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari
ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :

‫من ال يملك التصرف ال يملك اإلذن فيه‬


Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak
berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan
izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut).
(Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-
Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081;Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan
fi Al-Fiqh al-Islami, 109).
Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam)
sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena
pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan
salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari
pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al
Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika
saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi
perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau
satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).

16
Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan
satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam
dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan
mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis
orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses
otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah
diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat.

17
BAB  III
PENUTUP

A. Kesimpulan

        Sesuai dengan pembahasan yang sudah dikemukakan pada makalah ini,


maka perihal status hukum bedah mayat ditinjau menurut hukum Islam melalui
pendekatan teori-teori pada kaidah fiqhiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bedah mayat adalah suatu tindakan dokter ahli untuk membedah mayat
karena dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu
seperti: kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang
masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang
berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran.
Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan
dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan
bedah itu menempati level hajat atau darurat.
2. Hadits yang melarang memecahkan tulang mayat atau dengan kata lain
merusak mayat dalam pemaknaan penulis adalah apabila bedah mayat atau
autopsi yang dilakukan seseorang tersebut dilakukan tanpa tujuan yang
benar, maka hukumnya haram. Termasuk pula bila pembedahan mayat itu
melampaui batas dari hajat yang dibutuhkan .
B. Analisis

      Kita tidak menemukan dalil yang sharih (tegas) baik di dalam Al-Quran Al-
Kariem atau hadits-hadits nabawi semua hal yang terkait secara langsung dengan
masalah otopsi mayat. Barangkali karena otopsi seperti di zaman sekarang ini
belum lagi dikenal di masa lalu. Yang kita temukan hanya dalil-dalil secara umum
dari sunnah nabawiyah tentang larangan merusak tulang mayat seorang muslim.
Selain itu kita menemukan Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang
hukum membedah perut mayat. Autopsi di perbolehkan Asal dilandasi maksud
atau kepentingan-kepentingan tertentu, sperti penegakan hukum, penyalamatan
janin yang masi hidupdidalm rahim mayat, mengeluarkan benda yang berharga
dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran. Tindakan
pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan dalam ajaran
Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan bedah itu menempati
level hajat atau darurat.

18
  Dan tidak boleh mengotopsi orang yang darahnya terlindungi (muslim atau
kafir zimmy) kecuali dalam keadaan (darurat) Wajib melakukan otopsi dalam
kadar yang minimal asal tidak merusak jasad mayat.  karena muliannya derajat
seorang muslim di sisi Allah baik ketika hidup maupun mati.
untuk keperluan pendidikan (belajar anatomi dan belajari autopsi) diusahakan
menggunakan mayat orang kafir, mayat seorang muslim boleh dibedah jika ingin
diketahui sebab kematiannya untuk otopsi sebagai bukti di pengadilan. Mayat
wanita tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter wanita juga, kecuali bila
memang sama sekali tidak ada dokter wanita.
C. Saran

        Diharapkan agar mahasiswa/i dapat memahami tentang Bedah Mayat.


Karena pengetahuan ini sangat berguna bagi fakultas tarbiyah dalam memenuhi
mata kuliah kapita selekta hukum islam yang mana mempelajari tentang Bedah
Mayat menurut pandangan  islam. Dalam pelaksanaan otopsi sebaiknya dokter
memperhatikan kode etik yang berlaku dan tetap menghotmati mayit selama
otopsi berlangsung maupun setetelah otopsi.
     Dokter tidak ragu dalam mengotopsi guna kepentingan umum, juga penegak
hukum dalam rangka pembuktian.
     Hendaknya apabila mayat yang di otopsi itu perempuan, maka dokter yang
memeriksa juga perempuan, kecuali apabila memang tidak ditemukan dokter
perempuan
    

19
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada.
Al-Suyuthi, Imam. 2005. Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu fiqh
al-Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:Dar al-
Kutub Ilmiyah
Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta :
Pustaka Panjimas.
Mahjuddin. 2005. Masailul Fiqhiyah :Berbagai Kasus yang dihadapi
“Hukum Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia
Hubais, Umar, 1993. Fatwa, Menjawab Masalah-masalah Keagamaan
Masa Kini, cet 7, Jakarta: PT. Al-Irsyad

20
24
25
47
48

Anda mungkin juga menyukai