Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa dewasa ini, sering kita menjumpai kegiatan yang gemar
dilakukan oleh para laki-laki maupun perempuan pada masa remaja, yaitu
masturbasi yang memiliki istilah lain onani. Perilaku masturbasi merupakan
perilaku yang banyak dilakukan oleh manusia. Masturbasi merupakan
tindakan seksual pertama yang dilakukan oleh sebagian besar laki-laki dan
perempuan. Sebagian besar laki-laki yang melakukan masturbasi cenderung
melakukannya lebih sering dibandingkan perempuan, dan mereka cenderung
selalu atau biasanya mengalami orgasme ketika bermasturbasi.
Kinsey dalam penelitiannya tentang prevalensi masturbasi menemukan
bahwa hampir semua pria (> 90%) dan 70% wanita pernah melakukan
masturbasi pada suatu waktu kehidupannya. Penelitian dari Atmowiloto
dengan responden siswa SMA kelas 1 dan kelas 2 sebanyak 72 orang pria dan
54 orang wanita menujukkan bahwa 59% pria dan 15% wanita telah
melakukan masturbasi, 12% pria dan 6% wanita sering melakukan
masturbasi.1
Hubeis mengungkapkan hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) yang dilakukan di tiga provinsi menunjukkan sebanyak 2
18,2 % remaja pada rentang usia 15-18 tahun dilaporkan telah melakukan
hubungan seksual. Sebanyak 81,8 % sisanya tidak melakukan hubungan
seksual, tetapi sering melakukan masturbasi (47 %) dan 20 % lainnya
melakukan petting pada saat pacaran.2

1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,
1983), hal. 813
2
Ibid

1
B. Rumusan Masalah

Dalam suatu karangan ilmiah haruslah di susun secara sistematis dan


runtut sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun
suatu rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada
makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Apa pengertian masturbasi dari berbagai perspektif ?
2. Apa hukum dan macam – macam istimna’ ?
3. Apa batasan – batasan pelaku istimna’ dalam hukum syari’ah ?

C. Tujuan Pembelajaran
Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah tentu
semuanya mempunyai tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut
berbeda atau pun sama. Sedang pembelajaran pada saat ini mempunyai
beberapa tujuan diantaranya adalah :
1. Bisa mengetahui apa pengertian masturbasi dari berbagai perspektif.
2. Bisa mengetahui apa hukum dan macam – macam istimna’ .
3. Bisa mengetahui apa batasan – batasan pelaku istimna’ dalam hukum
syari’ah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MASTURBASI DARI BERBAGAI PERSPEKTIF


1. Menurut Bahasa Atau Istilah
Onani atau Istimna’ menurut bahasa adalah mengeluarkan sperma
atau air mani dengan menggunakan tangannya atau yang lain, tidak dengan
sewajarnya. Sedangkan Masturbasi berasal dari bahasa latin yang artinya
mengotori diri dengan tangannya.3
Dalam bahasa arab, lafadz istimna’ berasal dari kata mana’a,
berbentuk masdar dan merupakan isim ghoiru munshorif yang berarti
mencari kenikmatan dengan cara melampiaskan hawa nafsu, sehingga jika
diartikan dalam kamus bahasa arab menjadi : sebuah bentuk aktifitas untuk
melampiaskan hawa nafsunya yang bertujuan mencapai puncak
kenikmatan seksual yaitu (orgasme) bagi kaum perempuan dan
mengeluarkan mani (sperma) bagi kaum laki- laki.4
Robert Cham Tham dalam bukunya Advice to Woman yang
dikutip oleh Taufiq F. Adisusilo dalam bukunya yang berjudul Masturbasi
A sampai Z mendefinisikan tentang masturbasi adalah :
Merangsang berbagai bagian tubuh, khususnya daerah – daerah
yang disebut erotic zone atau daerah peka seks yang tujuannya untuk
mengugah gairah seks sampai mencapai orgasme.5

2. Menurut Perspektif Fiqh


3
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,
1983), hal. 813
4
Asy-Syinqiti, Azwa’ al-Bayan fi lyzhah al-Qur’an bi al-Qur’an (Al-Qahirah: Maktabah Ibnu
Taymiyah, 1988), V: 768.
5
Taufiq F. Adisusilo, Masturbasi A sampai Z, (tanpa Kota : Yayasan Rama Shinta, tanpa
tahun), hal. 2.

3
Istimna’ atau onani yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau
lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah
serta penelitian yang benar.6
Pada umumnya, istimna’ atau onani itu dilakukan oleh kalangan
remaja, Tetapi ada juga orang dewasa yang masih melakukannya, lebih–
lebih bagi yang nafsu seksualnya sangat kuat dan belum kawin.
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum istimna’.
Pengikut madzhab Maliki, pengikut madzhab Syafi’i dan pengikut Zaid
mengharamkan secara mutlak, dengan menyandarkan firman Allah SWT
surat Mu’minun ayat 5 – 7, sebagai dalil atas haramnya istimna’ itu.
Pengikut Imam Hanafi berpendapat bahwa istimna’ adalah haram
dalam suatu keadaan dan wajib dalam suatu keadaan yang lain. Pengikut
Hambali mengatakan bahwa istimna’ hukumnya haram kecuali jika takut
akan merusak kesehatan sedang ia tidak punya istri dan tidak mampu
untuk melangsungkan pernikahan. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan
bahwa istimna’ adalah haram karena merusak unsur etika dan akhlaq yang
terpuji.7 “Sebagian ulama fiqh termasuk Ibnu Hazm dan ahli kedokteran
memeperbolehkan (bukan menghalalkan) istimna’ dan dihukumkan
sebagai perbuatan makruh dan paling berat subhat”.8

3. Menurut Perspektif Dunia Medis


Onani atau istimna’ adalah menyalurkan hasrat seksual dengan
cara merangsang alat kelamin menggunakan gerakan tangan dan atau alat
bantu lainnya untuk mencapai pemuasan naluri seks dengan tujuan akhir
orgasme. Sedangkan efek masturbasi oleh beberapa pakar medis tidak
mengakibatkan efek serius dalam bidang kesehatan. Akan tetapi, sering
mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan karena
fisik cepat lemas dan lelah, tangan sering gemetar ringan, dan gangguan
6
Q. S. Al-Mu’minun : (5-7)
7
M. Ali Chasan Umar, Kejahatan Seks dan Kehamilan di Luar Nikah dalam Pandangan
Islam, (Semarang: CV. Panca Agung, 1990), hal. 94-96.
8
Abul Hussein Muslim bin Hujjaj Al- Qusyairi An Naisaburi, Himpunan Hadist Shahih
Muslim (Al- Jami’ush Shahih), Hussein Khalid Bahresy, pent. (Surabaya: Al- Ikhlas, 1987), hal. 292.

4
peradangan yang berakibat meningkatnya kepekaan saluran urin berupa
ejakulasi prematur. Istimna’ atau onani disebut juga “zelfbevlekking” atau
aktivitas penodaan diri.9

B. HUKUM DAN MACAM – MACAM ISTIMNA’


1. Hukum Istimna’
Mengenai hukum masturbasi, onani atau yang dikenal syari’at
dengan istimna’, ulama sudah banyak yang memperbincangkannya. Salah
satunya Imām al-Syāfi’i. Beliau menyatakan haramnya onani atau
istimna’. Dasarnya adalah firman Allah swt. :

ْ ‫ِظ ْو َن ۙ ِااَّل َع ٰ ٓلى اَ ْز َوا ِج ِه ْم اَ ْو َما َملَ َك‬


‫ت اَ ْي َما ُن ُه ْم َف ِا َّن ُه ْم َغ ْي ُر َملُ ْو ِمي َْن‬ ُ ‫َوالَّ ِذي َْن ُه ْم لِفُر ُْو ِج ِه ْم ٰحف‬

Artinya : (5) Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,(6)


Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.10
1. Argumen beliau, “Karena perbuatan itu (istimna’) tidak termasuk dari
dua hal yang disebutkan dalam ayat di atas.” Dua hal yang
dimaksudkan beliau adalah berjima’ dengan isteri dan budak.
2. Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan pendapat
Imam Syafi’i tentang haramnya istimna’ yaitu :
ٰۤ ُ
َ‫كَ هُ ُم ْال َعا ُدوْ ن‬TU‫ول ِٕٕى‬ َ ِ‫ۚ فَ َم ِن ا ْبت َٰغى َو َر ۤا َء ٰذل‬
‫ك فَا‬
Artinya :”(7) Barangsiapa mencari yang di balik itu,11 Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Di antara sifat mulia dari orang-orang yang beriman disebutkan
dalam surat al-Mukminun ayat lima sampai tujuh. Mereka memelihara
kemaluannya. Tak mengumbarnya sembarangan atau disalurkan pada
jalur menyimpang. Bahkan mereka menyalurkan kebutuhan
biologisnya hanya kepada isteri pendamping mereka. Atau kalau tidak

9
Moh. Rasyid, Pendidikan Seks- Mengubah Seks Abnormal Menuju Seks Yang Lebih
Bermoral, (Semarang: Syi’ar Media Publishing, 2007), hal. 153
10
Q.S. Al- Mu’minun (23): 5-6
11
Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.

5
kepada budak-budak wanita yang mereka punya. Dua tempat inilah
pilihan aman yang diperbolehkan. Sedangkan istimna’? Tak tercantum
dalam ayat ini. Karena itu ia termasuk kategori firman Allah swt.
dalam surat al Mukminun ayat tujuh, yaitu mencari di balik hubungan
resmi. Orang yang seperti ini termasuk orang yang melampaui batas.
3. Oleh karena itu Imām Syāfi’i mengatakan, “Maka tidak dibolehkan
melakukan jima’ kecuali dengan para isteri dan budak-budak yang
dimiliki. Juga tidak dibolehkan melakukan istimna’(onani).”12
Berbeda dengan pendapat Imām al-Syāfi’i mengenai istimna’ ini, Ibnu
Hazm mengatakan bahwa istimna’ atau onani atau masturbasi itu
hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Itsma fihi]. Akan tetapi,
menurutnya istimna’ atau onani atau masturbasi dapat diharamkan karena
merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm mengambil
argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh
kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’
(kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada
tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan
mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud l ῑ Nuzul al-Man ῑ y] sewaktu
melakukan istimna’. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan.
Sebagaimana diriwayatkan juga oleh Atho’, yaitu madzhab Ibnu Hazm
yang memakruhkan perbuatan istimna’ atau onani atau masturbasi.
Ibnu hazm juga berpendapat, walaupun berdasarkan ayat-ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa perbuatan istimna’ atau onani tidak haram, kita
tetap membencinya, mengingat perbuatan itu tidak terpuji dan tidak
tergolong akhlakul karimah13. Dan karena Allah tidak menjelaskan bahwa
perbuatan istimna’ atau onani sebagai hal yang haram, maka perbuatan itu
merupakan atau termasuk yang dibolehkan. Firman-Nya:14
‫ت ۗ َوه َُو ِب ُك ِّل َشيْ ٍء عَ لِ ْي ٌم‬
ٍ ‫سَم ٰو‬ ٰ ‫ض جَ ِميْعً ا ُث َّم اسْ َت ٰ ٓوى ِالَى ال َّسم َۤا ِء َف‬
ٰ َ‫سَوّ ىهُنَّ سَ ْبع‬ ِ ْ‫ه َُو الَّذِيْ َخلَقَ لَ ُك ْم مَّا فِى ااْل َر‬

12
Majalah Remaja Islami "el-Fata", Jika Seks……, Edisi 11/ III/ 2003, hlm. 18.
13
Ibn Hazm, Al-Muhalla , XII: 407.
14
Q.S. al-Baqarah (2): 29.

6
Hampir sama dengan landasan hukum diatas, Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Abbas, Al Hasan dan sebagian ulama tabi’in juga berpendapat bahwa
air mani atau sperma adalah barang kelebihan oleh karena itu boleh
dikeluarkan sebagaimana memotong daging lebih. 15Pendapat ini diperkuat
oleh Ibnu Hazm, dengan memberikan batas kebolehannya itu dalam dua
perkara, yaitu :
a. Karena takut berbuat zina;
b. Karena tidak mampu kawin (menikah).

2. Macam- macam Istimna’


Dari berbagai uraian pendapat diatas, macam – macam aktivitas
istimna’/ onani dapat di bagi menjadi dua, yaitu :
1. Istimna’ secara aktif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media
tangan sendiri dan atau dengan menggunakan alat bantu namun tanpa
bantuan tangan orang lain.
2. Istimna’ secara pasif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media
tangan orang lain dan atau alat bantu bisa disebut dengan bantuan
orang lain.

Pendapat seperti ini dapat menjadi solusi penting ketika ada


kekhawatiran yang kuat akan terjatuh dalam perbuatan– perbuatan yang
terlarang. Namun cara yang terbaik adalah mengikuti petunjuk Rasul
dalam sebuah hadist beliau bersabda yang artinya : “hai para pemuda,
barang siapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab
dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi
barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, sebab puasa
itu baginya merupakan pelindung.”16

C. BATASAN – BATASAN PELAKU ISTIMNA’ DALAM HUKUM


SYARI’AH
15
Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426
16
Ahsin, W. Al- Hafidz, Fikih Kesehatan (jakarta: Amzah 2007), hlm. 242

7
Istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan atau anggota tubuh
lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal,
karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak
wanita yang dihalalkan oleh Allah SWT. Demikian pula hukumnya bagi
wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak).
Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga
tegak dalil yang membedakannya, Wallahu a’lam. Dalil yang mendasari
keumuman pendapat ini adalah sebagaimana Firman Allah SWT :
ْ ‫َوالَّ ِذ ْينَ هُ ْم لِفُرُوْ ِج ِه ْم ٰحفِظُوْ نَ ۙ اِاَّل ع َٰلٓى اَ ْز َوا ِج ِه ْم اَوْ َما َملَ َك‬
َ‫ت اَ ْي َمانُهُ ْم فَاِنَّهُ ْم َغ ْي ُر َملُوْ ِم ْي ۚن‬
ٰۤ ُ
َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدوْ ن‬
َ TU‫ول ِٕٕى‬ َ ِ‫ۚ فَ َم ِن ا ْبت َٰغى َو َر ۤا َء ٰذل‬
‫ك فَا‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri- istri mereka atau budak yang mereka miliki: maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Mu’minun: 5-7).
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk AlImam
Ahmad ra. memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang
dianggap sebagai kondisi darurat. Namun nampaknya pendapat ini harus
diberi persyaratan seperti kata Al-Albani ra. dalam Tamamul Minnah hal.420-
421: “ Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir
terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan
Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi SAW), yaitu sabda Nabi SAW kepada
kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka
untuk menikah dan beliau bersabda yang atinya sebagai berikut : “Maka
barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”17
Disamping itu, Ibnu Hazm juga menyandarkan keumumam ayat tentang
etika menggauli istri sebagaiamana Firman ALLAH SWT, yaitu :
َ‫ث لَّ ُك ْم ۖ فَأْتُوْ ا َحرْ ثَ ُك ْم اَ ٰنّى ِش ْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموْ ا اِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۗ َواتَّقُوا هّٰللا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ ُك ْم ُّم ٰلقُوْ هُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُم ْؤ ِمنِ ْين‬
ٌ ْ‫نِ َس ۤا ُؤ ُك ْم َحر‬
Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja

17
Al- Albani Ra. , Tamamul Minnah, hlm. 420-421

8
kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-
Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” Q.S Al-Baqarah ;
223
Dari beberapa uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa batasan –
batasan pelaku yang diperbolehkan dalam istimna’ menurut pendapat Ibnu
Hazm adalah bercampurnya suami istri atau tuan dengan budaknya yang
melakukan istimta’ yang mungkin didalamnya termasuk istimna’ ketika istri
sedang mengalami haid atau sebagai alternatif dalam hubungan jima’ suami
istri dan sesuai dengan firman ALLAH SWT serta dasar hukum yang sudah
terurai dalam pembahasan bab ini.

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Memperhatikan uraian dari bab satu sampai dengan bab empat
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Onani atau masturbasi itu ditinjau dari berbagai pendapat, ternyata yang
lebih kuat argumentasinya adalah pendapat yang mengharamkan perbuatan

9
onani. Kita simpulkan demikian karena dalil naqli (nushus) yang
dikemukakan sangatlah kuat, sedangkan dalil aqlinya khususnya yang
berkenaan dengan masalah kesehatan menurut ilmu kedokteran sangatlah
masuk akal. Sedangkan pendapat yang memakruhkan atau membolehkan
onani sangatlah bertentangan dengan kebenaran, meskipun yang
berpendapat demikian adalah ulama-ulama yang terkenal. Jadi, pendapat
yang lebih benar (arjah) dan sesuailah yang harus diikuti. Konsep tentang
onani/masturbasi menurut Kartini Kartono bahwa untuk menanggulangi
onani adalah pertama, dengan membiasakan anak bergaul dengan orang
yang baik, kedua, orang tua dapat menciptakan suasana rumah tangga
yang harmonis; ketiga, orang tua berupaya memberi contoh yang baik, dan
ketiga, membangun lingkungan yang kondusif. Dengan kata lain:
membiasakan anak bergaul dengan orang yang baik akan menghasilkan
anak yang baik. Orang tua sedapat mungkin menciptakan suasana rumah
tangga yang harmonis.
2. Menurut penulis jika ditinjau dari segi medis, onani atau masturbasi itu
hanya boleh dilakukan jika nafsu sudah memuncak dan merasa sudah tidak
mampu menahan sehingga ada pikiran ingin berzinah, maka dalam kondisi
demikian jauh lebih baik onani atau masturbasi. Hanya saja hal itu
dilakukan tidak boleh secara eksesif (berlebihan) namun dalam batas yang
wajar. Atas dasar itu maka perlu adanya bimbingan dan konseling Islam,
dan yang di maksud bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan
terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat. Sedangkan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan
terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai
makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Pentingnya bimbingan dan konseling Islam adalah karena
problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut masalah
materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani. H (2009). Efektivitas Pelatihan Efikasi Diri Terhadap Intensi


Masturbasi Pada Remaja. Psikologi. Universitas Diponegoro Semarang

Ardiani. D. W (2009). Perilaku Masturbasi Pada Remaja Laki-Laki Ditinjau Dari


Minat Terhadap Informasi Tentang Seksualitas. Psikologi. Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang

11
Atmadi. T. T (2007). Minat Masturbasi Pada Remaja Laki-laki Ditinjau Dari
Perilaku Cybersexs. Psikologi. Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang

Azwar, S. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 2007

Budiman dan Riyanto (2014). Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap
dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Fisher, D. I. Jalan Keluar Dari Jerat Masturbasi. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
1994

Ghozally, F., & Karim, J. (2009). Ensiklopedia Seks. Jakarta: Restu Agung

Hidayat, A.A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.

Kusmiran E. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba


Medika.

Kumalasari. I & Andhyantoro. I. (2012) Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Salemba


Medika

Marmi. 2013. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar Notoatmodjo.


S. (2010).

Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi Rineka Cipta: Jakarta.


Notoatmodjo, S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Renika

12

Anda mungkin juga menyukai