Oleh :
Syakir Jamaluddin, M.A.
LPPI UMY
Etika Bercinta ala NABI
Sebuah Pendekatan Kritik Hadis
ISBN : 979-3708-16-6
Penerbit :
LPPI UMY
Jl. Ringroad Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta
Telp. (0274) 387 656, Ext 154, CP: (0274) 7432 234
PENGANTAR PENULIS
Wassalam,
Ttd.
PENGANTAR PAKAR/PSIKOLOG
Ttd.
َ =a ا =â = aw
ِ =i ى =î = ay
Pengecualian:
Translit tidak diberlakukan pada istilah Arab
yang sudah menjadi bahasa/istilah yang lazim dipakai
dalam bahasa Indonesia, seperti: ‘Abdullah, bukan
‘Abd Allâh, atau bismillâh, bukan bi ism Allâh, atau
teks doa, misal: at-tahiyyâtu li-llâh atau lillâh bukan
al-tahiyyâtu li Allâh.
Singkatan:
HSR. : Hadis Sahih Riwayat.
HHR. : Hadis Hasan Riwayat.
HDR. : Hadis Daif Riwayat.
xiii
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS..............................................v
PENGANTAR PAKAR.............................................. viii
PEDOMAN TRANSLITERASI................................. ix
DAFTAR ISI............................................................... xiii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................... 1
Metode Penelitian....................................................... 12
BAB II
PANDANGAN ISLAM TENTANG SEKS........... 23
Islam di antara Dua Paham Ekstrim tentang Seks.... 23
Seks dan Perkawinan dalam Islam........................... 37
Kedudukan, Tujuan dan Manfaat Hubungan
Seks dalam Islam........................................................ 48
Bercinta karena Allah................................................. 53
Bab III
KUALITAS HADIS TENTANG ETIKA
HUBUNGAN SEKS SUAMI-ISTRI......................... 59
A. Hadis-hadis tentang Etika Sebelum Senggama ..61
1. Hadis tentang Etika Pertemuan Pertama......... 61
2. Hadis tentang Larangan Menunda dan
Menolak Ajakan Senggama................................ 75
3. Hadis tentang Menjaga Kebersihan, Penam-
pilan dan Keharuman Anggota Badan............. 88
4. Hadis tentang Doa Sebelum Senggama............ 92
5. Hadis tentang Larangan Bertelanjang saat
“Mendatangi” Istri............................................... 95
xiv
BAB IV
PENUTUP................................................................. 189
BAB I
PENDAHULUAN
ىل َف ْرج َز ْو َجتِِه َو َال َف ْرج َج ِاريَتِِه إَِذاَ َِال يَنْ ُظ َر َّن أَ َح ٌد ِمنْ ُك ْم إ
ِ ِ
َجا َم َع َها َفإِ َّن َذِل َك ُي ْو ِر َث اْل َع َمى
“Janganlah salah seorang di antara kalian melihat
kepada kemaluan istrinya dan kemaluan budaknya bila
menggaulinya, karena sesungguhnya hal tersebut dapat
menyebabkan kebutaan”.4
Yang amat disayangkan bahwa meskipun para
penulis sebenarnya menyadari matan hadis ini ber-
4
Al-Bayhâqi, Sunan al-Kubrâ, (Makkah: Maktabah Dâr
al-Bâz, 1414/1994), juz 7, hlm 94, no. 13318. Analisis terhadap
kualitas sanadnya akan dibahas pada Bab III nanti.
6
5
Dr. Ali Akbar terkesan inkonsisten dalam hal ini
karena penjelasan tersebut disampaikannya setelah mengutip
pernyataan Syech Nefzawi dalam karyanya The Parfumed Garden
yang menyatakan bahwa Hasan bin Ishaq Sultan Damaskus
mempunyai kebiasaan melihat bagian dalam farj wanita, dan dia
sudah diperingatkan supaya jangan berbuat demikian. Tapi dia
malah mengatakan, “Apakah ada kesenangan yang melebihi ini?”
Akhirnya dia pun menjadi buta. Lihat Ali Akbar, Merawat Cinta
Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara, 1992), hlm 80-81; Tulisan senada
disampaikan oleh Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan
Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), hlm. 45- 47; M.
Syamsul Hasan dan A. Ma’ruf Asrori, Etika Jima’, (Surabaya: al-
Miftah, 1998), hlm 132-133; Kesan inkonsistensi juga terlihat
pada penjelasan M. Nipan Abdul Halim dalam Membahagiakan
Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003), hlm 217-219 yakni setelah mengutip pernyataan Syekh
Muhammad Nawawi al-Jâwi (Marqât Su’ûd al-Tashdîq, hlm 66)
yang menyatakan “melihatnya lebih utama...”, selanjutnya beliau
jelaskan “namun demikian... tidak melihat farji istri tatkala
melakukan hubungan seks maka hal itu lebih terpuji dan lebih
mulia”. Padahal menurut pendapat yang mu’tabar (yang dapat
dipegangi) di kalangan Ahli Hadis bahwa tidak boleh mengutip
riwayat dla’îf dengan redaksi yang menunjukkan kesan mantap
bahwa riwayat daif ini merupakan hadis Nabi. Lihat Muhammad
‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1409), hlm
353-354.
Pendahuluan 7
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm
Injil
Âbâdi, Muhammad Syams al-Haqq al-’Adzîm, 1415.
‘Awn al-Ma’bûd, Bayrût: Dâr al-Kutub al-
’Ilmiyyah, cet ke-2.
Abu ‘Awwânah, Ya’qûb bin Ishâq al-Asfarâ’ini.
Musnad. Bayrût: Dâr al-Ma’rifah, tth.
Abu Dâwud, Sulaymân bin al-As’as al-Sijistâni. Sunan
Abi Dâwud. CD. Mawsû’at al-Hadîts
Abu Hafsh, ‘Umar bin Ahmad, 1408/1988. Nâsikh
al-Hadîts wa Mansûkhuh. al-Zarqâ’: Maktabat
al-Manâr.
Abu Hâtim al-Râzi, Abu Muhammad ‘Abd al-Rahmân
bin Abi Hâtim, 1959. Al-Jarh wa al-Ta’dîl. Al-
Hind: Mathba’ah Majlis Dâ’irât al-Ma’ârif al-
’Utsmâniyyah.
Abu Ishâq, Ibrâhîm bin Muhammad bin Khalîl,
1988/1408. Kitâb al-Ightibâth bi Ma’rifat Man
Rumiya bi al-Ikhtilâth. Tahqîq: Fawâz Ahmad,
Bayrût: Dâr al-Kutub al-’Arabi.
Abu Ishâq, Ibrâhim bin Ya’qûb al-Jawazjâni, 1405.
Ahwâl al-Rijâl. Bayrût: Mu’assasat al-Risâlah,
Abu Nu’aym, Ahmad bin ‘Abdillah al-Ashbahâni,
1405. Hilyat al-Awliyâ’. (Bayrût: Dâr al-Kitâb
al-’Arabi.
Abu Syuqqah, ‘Abd al-Halîm. Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Ashr
al-Risâlah (Juz 5). Dubay: Dâr al-Qalam, tth.
Abu Ya’la, Ahmad bin ‘Ali bin al-Mutsanna al-
Mawshili, 1984/1404. Musnad Abi Ya’la.
194