Anda di halaman 1dari 17

“ HUKUM ANAK ZINA”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah masail fiqhiyah al haditsah


Dosen Pengampu: Zainal Abidin, M.Pd

DISUSUN OLEH:

Nama : Ikhlashia
Nim : 2018.01.144

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM AL QUR’AN AL ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya , kami
bisa menyelesaikan tugas  makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Masail
Fiqiyah.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari orang-orang di sekitar
kami, khususnya dari Ustadz Zainal Abidin, M.Pd sehingga kendala-kendala yang
kami hadapi dapat teratasi.
Makalah yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pembimbing kami mengharapkan kritik dan sarannya  demi 
perbaikan  pembuatan makalah di masa yang akan datang.

Indralaya, 30 September 2021


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang....................................................................................1

b. Rumusan Masalah...............................................................................2

c. Tujuan Penelitian................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Anak Zina.......................................................................3

b. Status Anak Zina Menurut Hukum Islam........................................4

c. Status Anak Zina Menurut Hukum Negara Indonesia.....................6

d. Akibat Yang diterima Anak Zina.....................................................8

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan.........................................................................................10
b. Saran...................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan
orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya karena anak
lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak akan
mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut Sobur (1988),
mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan
minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam
Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang
membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang, dan tempat bagi perkembangannya.
Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi
kesempatanbagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Dalam kenyataan kehidupan ini ternyata banyak permasalahan anak yang
menyangkut statusnya. Seperti ada anak kandung, anak pungut, anak adopsi, anak
hasil zina, dan anak hasil inseminasi. Dalam hal ini tentu hukum Islam tidak akan
membiarkan permasalahan ini, karena status anak nantinya akan berhubungan
dengan wali nikah, hak waris dan mahram. Oleh karena dalam kesempatan ini,
makalah kami akan membahas permasalahan anak dalam Islam.
Pada zaman sekarang ini banyak sekali orang yang menyalah gunakan
pergaulan dengan lawan jenisnya. Banyak pemuda-pemudi di Indonesia yang
mengikuti pergaulan para pemuda di negara-negara barat. Seperti di Amerika,
banyak para wanita yang belum menikah, tetapi mereka sudah tidak perawan lagi.
Bahkan orang tua dari para pemuda menyediakan pengaman untuk anak mereka,
agar dapat melakukan hubungan seks diluar nikah untuk mencari pasangan hidup
yang cocok. Sehingga para pemuda di negara kita banyak mengikuti hal tersebut.
Patut kita sadari bahwa kita hidup di negara Indonesia yang mayoritasnya
beragama Islam, sehingga melakukan hubungan seks diluar nikah itu bukanlah hal
yang baik, bahkan itu disebut zina. Karena, banyak pemuda-pemudi di Indonesia
yang berhubungan seks  sehingga mengakibatkan hamil diluar nikah.

1
2

Pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang Zina dan Status Anak
Zina, mudah-mudahan dengan adanya makalah ini bisa mengurangi pemuda-
pemudi untuk melakukan hubungan seks diluar nikah. Karena, pada makalah ini
akan dijelaskan tentang mudharat dan buruknya melakukan hubungan seks diluar
nikah. Serta hukum berbuat zina dan status anak dari hasil zina tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian anak zina?
b. Bagaimana status anak zina menurut hukum islam?
c. Bagaimana status anak zina menurut hukum negara Indonesia?
d. Apa akibat yang diterima anak zina?

C. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk mengetahui apa pengertian anak zina?
b. Untuk mengetahui bagaimana status anak zina menurut hukum islam
c. Untuk mengetahui bagaimana status anak zina menurut hukum negara
Indonesia
d. Untuk mengetahui bagaimana akibat yang diterima anak zina
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ANAK ZINA
Anak merupakan insan pribadi yang memiliki dimensi khusus dalam
kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang
tua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam
mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyongsong fase kedewasaannya
kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan
datang, sehingga tidak berlebihan jika negara memberikan suatu perlindungan
bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa
depannya.1
Secara umum anak adalah seseorang yang lahir dari rahim seorang ibu,
sebagai akibat dari hasil hubungan persetubuhan pria dan wanita.2
Kata zina secara terminology adalah bentuk masdar dari kata kerjazanaa-
yazni yang berarti berbuat jahat, sedangkan secara terminology zina berarti
hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuanmelaui vagina
bukan dalam akad pernikahan atau yang menyerupai akad ini.3
Zina secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam
pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan
seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan bahwa zina, yaitu melakukan
hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina
wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.4
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil dari hubungan diluar
nikah. Dalam islam yang dipandang sebagai anak luar nikah adalah anak
zina.  Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan,

1
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, (Jakarta; Prestasi
Pustaka, 2012), hlm 4
2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
hlm 112.
3
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta,Amzah.2012). Hlm.42
4
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006, hlm. 106
2

biasa juga disebut dengan anak tidak sah karena dilahirkan diluar perkawinan
yang sah.
Adapun anak zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia adalah perkawinan yang
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 2 ayat
(1)  dan (2) UU No. 1/1974).5
Jadi dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak zina adalah
seseorang laki laki atau perempuan yang dilahirkan dari Rahim seorang ibu tanpa
melalui perkawinan yang sah atau sering disebut dengan perbuatan zina.

B. STATUS ANAK ZINA DALAM HUKUM ISLAM


Anak zina menurut pandangan islam, adalah suci dari segala dosa, karena
kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada kedua
orang tuanya (yang tidak sah menurut hukum).
Dalam hadis disebutkan: “tidak setiap anak dilahirkan kecuali suci bersih
(menurut fitrah”…(HR. Bukhori).
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

ۙ‫از َرةٌ ِّو ْز َر اُ ْخ ٰرى‬


ِ ‫اَاَّل ت َِز ُر َو‬
“(yaitu) bahwasanya seorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (an-
Najm: 38).
Oleh sebab itu, anak hasil zinapun harus diperlakukan secara manusiawi,
diberi pendidikan, pengajaran, dan ketermapilan yang berguna untuk bekal
hidupnya di masa depan.
Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materil maupun
sepiritual adalah ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya itu. Sebab, anak
zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan
waris-mewaris, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

5
Zuhdi Masjfuk, masail fiqhiyah: kapita selekta hukum Islam, Jakarta: toko Gunung
agung, 1997, cet X, h. 38
3

“Daari Ibn Umar, bahwa seorang laki-laki telah meli’an isterinya dizaman
Nabi SAW. Dan dia tidak mengakui anak isterinya (sebagai anaknya), maka Nabi
menceraikan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut pada si isteri” (HR.
Bukhori dan Abu Daud).
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:

1. Menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari
perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabka kepada bapaknya.

2. Jika anak itu dilahirkan sebulum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya,
karena diduga ibunya telah melakukan hubungan seks dengan orang lain.
Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.

3. Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap menazabkan kepada suami
ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.
Karena ayah biologisnya tidak bisa bertindak sebagai wali yang akan
menikahkannya, maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Dalam hal
waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa
anak zina itu tidak mewarisi, dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau
kerabat ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskan diri atau kepada pihak ibu
dan kerabat ibunya. Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim,
menurutnya anak zina tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan
ayahnya, dan tidak bisa menuntut nafkah, namun antara keduanya masih terdapat
hubungan kemahraman.
Sementara itu pandangan paling keras disampaikan oleh ulama Syi’ah
Ismailiyyah, mereka berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan tidak pula
mewariskan baik dari “ayah” dan kerabatnya. Wali nikah bagi perempuan anak
zina adalah wali hakim. Sebuah pendapat ulama yang keras dan tentu saja berbeda
dengan prisnsip Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak Indonesia.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai
hati membuangnya untuk menutup malu/atau aib keluarga, maka siapapun yang
menemukan anak zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan
jiwanya. Keluarga yang menemukan bayi tersebut wajib mengasuhnya dan
4

mendidik baik-baik, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa
atas harta pribadi keluarga tersebut, dan bisa juga atas bantuan Baitu Mal. Dan
bisa juga anak tersebut diserahkan kepada panti asuhan anak yatim.hanya perlu
dicatat, apabila orang yang menemukan anak tersebut ternyata tidak baik cara
mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dapat dipercaya dalam penggunaan
bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka wajib dicabut
hak perwaliannya atas anak itu, dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan
mencukupi kebutuhan hidupnya.6
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinahan bukan penyebab
timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh
dihubungkan dengan nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih
laki-laki yang menzinahi ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan
karunia dan nikmat, sedangkan perzinaan itu merupakan tindak
pidana (jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapat balasan nikmat,
melainkan balasan berupa hukuman, baik rajam, maupun dera seratus kali dan
pembuangan, selain itu alasan kuatnya adalah sabda Nabi dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan Abu Daud Nabi saw. bersabda: “Bahwa anak hasil zina
hanya dinasabkan pada pada ibunya saja”.
Menurut Imam Syafi’i anak yang lahir dari hubungan zina tidak dinasabkan
kepada bapaknya, tetapi kepada ibunya, berkata Imam Syafi’i: Sesungguhnya
Allah swt menegaskan dalam Kitab-Nya, bahwasanya anak yang lahir dari hasil
zina tidak dinasabakan pada bapaknya, tetapi dinasabkan pada ibunya, tetap
akan mendapatkan kenikmatan dari Tuhannya sesuai dengan ketaatanya, bukan
ikut menanggung dosa perbuatan orang tuanya”.
Status anak zina itu bukan anak haram dan anak zina harus diperlakukan
dengan cara yang manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan
yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Sedangkan yang
bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya baik secara materil dan
spiritual adalah terutama ibunya, sebab anak zina hanya mempunyai hubungan
nasab atau perdata dengan ibunya.

6
ibid.,  38-39.
5

Menurut Abdul Manan, dalam hukum Islam seoarang anak yang lahir dari
hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah
memlilki status yang sama dengan seorang anak yang lahir dari hubungan
pernikahan yang sah. Sebab anak tersebut lahir sesuai fitrahnya yang mempunyai
kedudukan yang sama dengan anak-anak yang lainnya sebagai hamba Allah swt.
dan hanya dapat mempertanggungjawabkan amal baik, maupun amal buruk
pribadinya sendiri di sisi Nya, bukan orang yang termasuk
mempertanggungjawabkan perbuatan dosa ibu dan dan dosa bapaknya. Padahal
seharusnya yang hina dan berdosa di hadapan Allah swt., bukan anak tersebut
melainkan kedua ibu dan bapaknya yang telah melakukan perbuatan zina.
Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap
sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya
enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang 'iddah selama empat
bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.7

C. STATUS ANAK ZINA DALAM HUKUM NEGARA INDONESIA


Adapun terkait status anak yang lahir di luar nikah menurut Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2012 tanggal 17 Februari 2012 adalah: bahwa menurut pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
RI. No. 3019) yang menyatakan:“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Ketua MK Mahfud MD., menyatakan: bahwa yang dimaksud majelis
dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak
hasil nikah sirri yang sah menurut agama walaupun tidak tercatat. Anak yang lahir

7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 2010), h. 72
6

dari perkawinan yang tidak tercatat dan sah menurut agama tidak bertentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah.8
Apa yang dikatakan oleh Ketua MK Mahfud MD itu sudah benar, karena
putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2012 tanggal 17 Februari 2012 sesuai Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1. Oleh karena putusan MK tersebut
mengabulkan permohonan Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono
sangat naïf bila diterapkan untuk kasus perzinahan. Hal ini sesuai dengan Kaidah
Ushul Fikih9 yang mengatakan: bahwa perintah pada sesuatu maka perintah juga
atas sarananya dan bagi sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju. Kasus
ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam kasus lain
sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu. Jika kasus Machica diterapkan
pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah.
Berdasarkan fatwa yang dibuat pada 10 Maret 2012 ini, setidaknya ada
enam poin ketentuan hokum yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI yang di
pimpin oleh Prof. Hasanuddin AF, antara lain:
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris,dan
nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinahan yang dilakukan oleh
orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Pezina dikenakan hukuman had (jenis hukuman yang bentuk dan kadarnya
sudah diatur dalam Al-Qur‟an), untuk kepentingan menjaga keturunan
yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta‟zir (jenis dan hukuman
yang diberikan oleh pihak yang berwenang) terhadap lelaki pezina yang
mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk:
a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut,
b. Memberikan harta setelah ia meninggal melauli (wasiat wajibah),
8
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 91.
9
Abdul Khamid Hakim, Kitab Al-Bayan, (t.tempat: t.penerbit, 1983), h, 21.
7

6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak,


bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan
lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Dalam Fatwa ini, MUI memang menyatakan bahwa anak hasil zina tak
berhak menjadi ahli waris ayah biologis, tetapi ayah biologis itu tetap harus
bertanggung jawab terhadap anaknya. Yakni, dengan memberikan hukuman
kepada ayah biologisnya untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup
anaknya itu. Si ayah juga bisa dihukum dengan memberikan sejumlah harta
melalui wasiat wajibah ketika ia meninggal.

D. DAMPAK AKIBAT ZINA


Secara nyata akibat yang diterima oleh anak adalah:
1.  Hilangnya martabat muhrim dalam keluarga. Bila anak itu wanita maka
antara bapak dengan anak itu dibolehkan menikah,
2. Hilangnya kewarisan anak dengan bapaknya. Hal ini dikarenakan anak zina
tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan bapaknya.10
Dalam hukum Islam anak tersebut tetap dianggap sebagai anak yang tidak
sah dan berakibat;
1. Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya,
2. Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi
dengan ibunya saja
3. Tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat
hubunngan diluar nikah.
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa zina itu
termasuk tindak pidana, dengan alasan-alasan;
1. Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan dengan sendirinya menyia-
nyiakan harta warisan ketika orang tuanya(tidak sah) meninggal dunia
2. Zina dapat menularkan penyakit yang berbahaya bagi orang yang
melakukannya sperti penyakit kelamin dan sebagainya.

Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo MA, Masail Fiqhiyyah, Kajian Hukum Islam
10

Kontemporer, Angkasa Bandung, Bandung 2005.Hal.180


8

3. Zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan.


4. Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan
eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan keluarga.
Mengenai status anak zina ada tiga pendapat, yakni;
1. Menurut Imam malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari
perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya,
2. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya
karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain.
Sedangkan batas waktu hamil paling kurang enam bulan,
3. Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya
(bapaknya) tanpa mempertimbangan waktu masa kehamilan si ibu.11
Sebagai akibat dari ketentuan hukum tersebut di atas, merambat pula pada
masalah kejiwaan si anak tadi. Cepat atau lambat, pasti akan diketahuinya dan’aib
itu merupakan corengan orang yang sukar menghapusnya. Jiwanya akan merasa
tertekan sepanjang hidupnya, karena cemoohan masyarakat sekitar. Walaupun
dalam pandangan agama Islam itu tidak menanggung dosa, akibat perbuatan orang
tuanya.

11
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan
seorang perempuan tanpa nikah yang sah menurut hukum islam.
 Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah.  Menurut hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa,
karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada
orang tuanya ( yang tidak sah menurut hukum).
Status anak zina dalam hukum islam, dari berbagai hadits dan pendapat
ulama sudah dijelaskan bahwa anak hasil zina itu bernasab kepada ibunya para
ulama bealasan karena nasab merupakan anugerah nikmat terbesar yang diberikan
oleh allah sorang laki laki yang berzinah tidak layak mendapat nikmat tersebut.
Anak zina tidak berhak waris mewarisi dari keluarga ayahnya tetapi disarankan
untuk membuat wasiat atau hibah kepada anak zina tersebut agar tetap mendapat
haknya.
Dalam hukum Islam anak tersebut tetap dianggap sebagai anak yang tidak
sah dan berakibat;
1. Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya,
2. Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi
dengan ibunya saja
3. Tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat
hubunngan diluar nikah.

B. SARAN
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknyalah kita menjauhi zina dan
apapun yang mendekatkan kita kepada zina, agar kita tak ditimpa hal-hal
mengerikan yang tak kita inginkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak nanti.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Sinar Grafika : Jakarta.

Dahlan, Abdul Azis. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve.

Hasan, M. Ali . 2000. Masail Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah


Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Irfan, Nurul. 2012. Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam. Jakarta : Amzah.

Masjfuk, Zuhdi. 1997. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam Cet x.
Jakarta: Toko Gunung Agung.

Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur.

Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqih Madzhab Negara: Kritik atas Politik
Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Witanto, D.Y.2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin.
Jakarta: Prestasi Pustaka.

Yanggo, Huzaimah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyyah, Kajian Hukum Islam


Kontemporer. Bandung : Angkasa Bandung.

11

Anda mungkin juga menyukai