Anda di halaman 1dari 13

HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

“Masail Fiqhiyah Al Hadist”

Oleh:

Maya Alviana (2018.01.056)

Dosen Pengampu:

Zainal Abidin, M. Ag.

Program Studi Pendidikan Agama Islam

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH

INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya jualah maka penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi


persyaratan tugas mata kuliah Fiqih Muamalah Kontemporer.

Menyadari akan keterbatasan penulis dalam berbagai hal, maka kiranya


masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan baik di dalam penyusunan,
penulisan, maupun penyajiannya, penulis menghaturkan maaf dan mohon bantuan
kepada dosen pengampu H. Darsi Ahmadan, MH untuk memberi kritik dan saran
yang tentunya bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan makalah ini banyak menemukan


berbagai aral rintangan, memohon maaf bilamana ditemukan berbagai kekurangan
baik dari segi pembahasan maupun dalam penulisannya. Akhir kata dengan seraya
memanjatkan doa kepada Allah SWT penulis memohon agar segala kebaikan
yang diberikan dari berbagai pihak dibalas oleh-Nya dan berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Indralaya, Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................i

Daftar Isi........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2

A. Definisi anak Di luar Nikah................................................................2


B. Status Hukum Anak Diluar Nikah Menurut Hhukum Islam..............2
C. Status Hukum Anak Diluar Nikah Menurut Hukum Negara Indonesia
.............................................................................................................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................9
A. Kesimpulan.........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pergaulan bebas di antara muda-mudi, seperti yang terjadi sekarang


ini seringkali membawa kepada hal-hal yang tidak di kehendaki, yakni
terjadinya kehamilan sebelum sempat di lakukan pernikahan. Sehingga,
lahirlah seorang anak tanpa adanya pernikahan dari seseorang. Ini
menimbulkan perhatian khusus dalam menentukan statusnya, baik dalam
penentuan nasab, waris, dan lain lain.
Di dalam permasalahan tersebut sata selaku pembuat makalah akan
mengulas dari dua sudut pandang yakni, dari sudut pandang hukum islam dan
hukum Negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan anak diluar nikah?


2. Bagaimanakah kedudukan atau status anak diluar nikah menurut hukum
Islam?
3. Bagaimanakah kedudukan atau status anak diluar nikah menurut hukum
Negara Indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Anak Luar Nikah

Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil dari hubungan diluar
nikah. Dalam islam yang dipandang sebagai anak luar nikah adalah anak zina.
Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa
juga disebut dengan anak tidak sah karena dilahirkan diluar perkawinan yang
sah.1
Adapun perkawinan yang sah dan diakui di Indonesia ialah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974). Dan pencatatan
perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari KUA untuk orang
yang beragama islam.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42, anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan didalam
KHI Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah dan merupakan hasil perbuatan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

B. Status Hukum Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam


Bila dilihat di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, zina
adalah perbuatan menyetubuhi (menyenggami) seorang perempuan yang
bukan isteri sendiri (baik perempuan yang belum atau sudah menikah). Untuk
lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan beberapa pendapat berikut di
bawah ini:

1
Prof. Dr. H. Huzaimah Tahido Yango, MA, 2005, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam
Kontemporer, Bandung, Penerbit Angkasa.

2
1. Menurut Ulama Syafi’iyah sebagaimana dikutif oleh Ramli,
menjelaskan yang dalam bahasa Indonesianya:
2. Zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj perempuan
yang diharamkan, yang diingini menurut tabi’at yang
sehat dan sunyi dari subhat.1
3. Ulama Malikiyah di dalam bukunya Khattab, menjelaskan:
Zina adalah wathi’ seorang mukallaf dengan sengaja
pada faraj manusia yang tidak diragukan lagi bahwa ia
bukan memilikinya, kedua belah pihak sama‐sama setuju
dan sengaja melakukannya.2
4. Imam al‐Qurtubi dalam bukunya Al‐ Khattab berpendapat
bahwa zina adalah: memasukkan zakar ke dalam faraj
perempuan yang diingini menurut tabi’at dan diharamkan
menurut syara.3
Dari ketiga pendapat tersebut di atas dapatlah dipahami
diman masing‐masing ulama memberikan defenisi zina yang
berbeda‐beda, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti dan
maksud yang sama yakni zina adalah memasukkan zakar ke
dalam faraj (fagina) perempuan yang bukan muhrim atau isterinya
yang sah. Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dengan segala
dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi
kepada kedua orang tuanya. sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW:

‫كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او‬
)‫ (الحديث‬.‫يمجسانه‬

1
Yus Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996),
hlm. 1638.

2
Ramli, Zina Dalam Pandang Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1968), hlm. 422.

3
Al Khattab, Perzinahan Dalam Pandangan Ulama Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 1990),
hlm. 290.

3
Artinya: “Semua anak dilahirkan atas kesucian / kebersihan (dari segala
dosa / noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya.
Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi,
atau Nasrani atau Majusi”. (Hadis riwayat Abu Ya’la. Al-Thabrani, dan Al-
Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’).
Dan berdasarkan firman Allah dalam surat An-Najm ayat 38:
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain.”
Oleh karena itu, anak tersebut harus diperlakukan secara manusiawi,
diberi pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan yang berguna untuk bekal
hidupnya dimasyarakat nanti.

1. Status Nasab

Anak yang dilahirkan secara tidak sah, maka ia tidak dapat


dihubungkan dengan bapaknya, kecuali hanya kepada ibunya saja. Anak
hasil zina hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya, yang bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya, baik materiil maupun spiritual.

Anak diluar nikah adalah haram menasabkannya kepada seseorang


yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut. Di jelaskan oleh Allah
dalam firman Nya

Artinya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar) itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan
di mulutmu saja. Dan Allah menyatakan yang sebenarnya. Dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar) panggilan mereka (anak-anak angkat itu)
dengan memakai bapak-bapak mereka, tidak yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (maka
panggilah mereka sebagai saudara-saudara mu seagama maula-
maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf

4
padanya, (tetapi yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
Allah pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab 4-5)

Perempuan (istri) yang mengandung bukan melalui pernikahan


yang sah atau suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan anak-anak
yang lahir daripada kandungannya itu pada suaminya. Dia telah melakukan
dosa yang sangat besar serta melakukan pembohongan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, Imam Muslim dan


Abu Dawud dari Saad bin Abiwaqas Rasulullah Saw. Bersabda : hadis
riwayat Saad bin Abiwaqas ra. Ia berkata : kedua telingaku mendengar
Rasulullah Saw bersabda : barang siapa yang mengakui seseorang dalam
Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka
diharamkan baginya surga.

Para ulama’ telah melakukan ijma’ bahwa tempo minimum seorang


wanita itu hamil dan melahirkan anak ialah 6 bulan penentuan 6 bulan itu
berdasarkan ayat al-Quran yang menerangkan tentang masa hamil (tempo
mengandung) dan penyusuan. Firman Allah swt “Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30
bulan”. (surat Al-Ahqaf : 15)

Ketentuan bahwa istri melahirkan anaknya minimal setelah berlalu


6 bulan dari akad, adalah batas masa hamil yang paling sedikit menurut
hukum islam. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang wanita
tiada nash yang jelas didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat fuqaha
tentang masalh ini berbeda-beda mulai dari 9 bulan menurut madzhab
Dzahiri, 1 tahun menurut Muhammad bin abdul Hakam Al-Maliki, 2 tahun
menurut madzhab Hanafi, 4 tahun menurut madzhab Syafi’i dan 5 tahun
menurut madzhab Maliki. Menurut hemat penulis, pendapat madzhab

5
Dzahiri adalah yang paling mendekati kebiasaan / pengalaman wanita
hamil berdasarkan realitas dan empirik.

2. Status Kewarisan

Hukum islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak


zina dengan ayah (laki-laki yang membuahinya), karena anak zina tidak
mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan
kekerabatan itu timbul atas dasar akad nikah yang sah sebagaimana yang
telah ditentukan oleh syari’at Islam. Tetapi seorang anak mempunyai
hubungan anak deng ibun dan kerabat ibunya dan ia berhak mendapat
warisan dari pihak ibu dan kerabat ibunya. Tidak ada pengakuan dan
pengesahan terhadap anak zina, karena hukum Islam hanya mengenal anak
sah menurut syara’.
Menurut Ahlu Al-Sunnah, anak zina mempunyai hubungan
keawarisan dengan ibu dan kerabat ibunya saja. Dengan demikian, ia
hanya dapat menjadi ahli waris bagi ibu dan kerabatnya seibu, tidak dari
neneknya, karena anak zina bagi si nenek adalah anak dari anak
perempuannya dan menurut golongan ini anak dari perempuan itu bukan
ahli waris, kecuali dalam istilah ahli waris Zul Arham.
Selanjutnya golongan Syi’ah berpendapat bahwa: anak zina tidak
mempunyai hubungan kewarisan dengan laki-laki yang membuahinya atu
dengan kerabat laki-laki itu, sebagaimana yang berlaku di kalangan ulama
Ahlu Al-Sunnah. Tetapi berbeda dengan mereka, golongan Syi’ah
berpendapat bahwa anak zina itu tidak mempunyai hubungan kewarisan
dengan ibunya. Alasannya bahwa hak kewarisan itu merupakan suatu
nikmat, sedangkan zina adalah perbuatan maksiat. Nikmat tidak dapat
didasarkan pada maksiat perbuatan zina.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa tidak ada hubungan
kewarisan antara anak zina dengan ayahnya. Sebagai jalan keluar dalam
hal ini, hubungan anak zina dengan ayah yang membuahinya dapat
dihubungkan melalui jalan hibah atau wasiat, bila sang ayah tersebut

6
bertanggung jawab atas perbuatannya yang dengan menyebabkan
kelahiran anak itu, karena dalam hukum Islam dikenal dengan adanya
hibah dan wasiat. Ketentua ini hanya berlaku untuk anak yang lahir diluar
nikah yang sah.

C. Status Hukum Anak Luar Nikah Menurut Hukum Negara Indonesia

Didalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV tentang pemeliharaan


anak pasal 100 berbunyi: Anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dan
didalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB IX tentang kedudukan anak
pasal 43 berbunyi:14
1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam
peraturan pemerintah.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yaitu:
a. Anak luar kawin dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak
memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
b. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris
maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan
ahli waris lainnya.
c. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat
kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia
akan mendapatkan warisannya.
d. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian
melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal
keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak
luar kawin ini adalah anak dari pewaris.

14
Rosnidar Sembiring, 2016, Hukum Keluarga (Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan ),
Rajwali Pers, Jakarta, Hal. 118.

7
e. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan
dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Status hukum anak luar nikah menurut Hukum Islam, KHI dan UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974 hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja
dan tidak memilki hubungan apapun dengan ayah yang menyebabkan
keberadaannya. Sehingga anak tersebut dalam hal nasab dan kewarisan tidak
ada hubungan dengan ayahnya. Akan tetapi didalam putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 menghendaki adanya hubungan antara anak dengan ayah
tersebut dengan alat bantu ilmu pengetahuan sehingga anak tersebut dapat
dihubungkan nasabnya kepada ayah yang menghamili ibunya dan
mendapatkan harta waris.

9
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Huzaimah Tahido Yango, MA, 2005, Masail Fiqhiyah Kajian
Hukum Islam Kontemporer, Bandung, Penerbit Angkasa.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, 2006 Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum
Islam, Jakarta, CV Haji Masagung.
Yus Badudu, 1966, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Ramli, 1968, Zina Dalam Pandang Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Al Khattab, 1990, Perzinahan Dalam Pandangan Ulama Islam, Semarang: Aneka


Ilmu.

10

Anda mungkin juga menyukai