KONTEMPORER
Abstraksi
Hakikat penciptaan manusia adalah sebagai bukti kekuasaan dari Allah SWT.
Maka dari itu setiap manusia kelak pasti akan meninggal dan kembali pada Sang
Pencipta, dan bagi seorang muslim atau muslimah ketika meninggal dunia maka ia
harus dikebumikan atau dimakamkan sesuai proses pemakaman jenazah menurut
Islam. Sedangkan pada zaman ini, terkadang jasad tubuh orang yang sudah
meninggal dibutuhkan untuk keperluan autopsi atau pembedahan mayat, baik untuk
tujuan pendidikan (autopsi anatomis), bedah mayat kehakiman (autopsi forensik),
atau untuk keilmuan(autopsi klinis). Oleh karena itu tulisan ini membahas dan
mengkaji bagaimana Islam memandang hal tersebut dan bagaimana para ulama
menghukumi praktek pedah mayat (autopsi)?, pada tulisan ini pula dijelaskan
tahapan demi tahapan metode yang digunakan dalam istinbath hukum bedah mayat
yang dilakukan oleh para ulama, serta kami hadirkan fatwa majelis ulama
Indonesia, organisasi-organisasi Islam internasional, dan para ulama terdahulu.
Sehingga umat dapat tercerahkan dan mendapatkan pemahaman betapa para ulama
itu berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam berijtihad menyelesaikan
permasalahan yang timbul.
Pendahuluan
Dalam aspek hukum pidana, berdasarkan Pasal 133 dan 134 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan
bahwa penyidik dapat meminta kepada dokter forensik untuk melakukan autopsi
terhadap korban demi kepentingan penegakkan hukum. Namun, dalam
kenyataannya, keluarga korban selalu ada yang menolak dilakukannya autopsi
dengan berbagai alasan. Penolakkan autopsi tersebut ada juga yang di dasarkan
kepada kewenangan pasien atau keluarga pasien untuk menerima dan menolak
tindakkan kedokteran (informed consent) sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 290
Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Oleh karena itu tulisan ini
akan menyajikan pembahasan bagaimana pandangan Islam kontemporer terhadap
praktek bedah mayat (autopsi).
Pembahasan
Autopsi tidak bisa dilakukan oleh semua orang, walaupun hanya mengambil
benda atau bagian dalam organ tubuh sesorang yang telah mati (Sarwat, 2011:
272). Sagai berpandangan bahwa autopsi adalah suatu penyelidikan atau
pemeriksaan orang yang tidak bernyawa, termasuk organ tubuh dan susunannya
organ bagian dalam melalui pembedahan untuk mengetahui penyebab korban
meninggal dunia atau mengungkap misteri kematian korban supaya dapat dibawa
kehadapan pengadilan untuk proses pembuktian sehingga menemukan kebenaran
materiil (Sagai, 2017: 5-11).
Walaupun dalam hukum Islam merusak tubuh mayat adalah suatu perbuatan
yang diharamkan, namun ulama-ulama kontemporer membolehkan tidnakan
tersebut dengan alasan untuk kepentingan kemaslahatan ummat tetapi dengan
beberapa pembatasan. Misalnya, maslahat pribadi bagi setiap mayat adalah
jasadnya tidak dirusak, namun untuk kepentingan maslahat secara umum maka
diperlukan dilakukan autopsi untuk menemukan solusi terhadap suatu perkara
hukum. Selain itu, autopsi bisa menyebabkan mufsadah (kerusakan). Sedangkan
ketidaktahuan akan sebab kematian seseorang maka dapat berakibat menyebarnya
suatu penyakit, tidak ditemukannya keadiilan atau tidak dapat menyembuhkan
seseorang dari penyakitnya merupakan suatu mafsadah yang jauh lebih besar (A.
A. Rahman, 1976: 29-30).
2. Sejarah Autopsi
Autopsi pertama kali dilakukan pada abad ke-3 Sebelum Masehi (SM) oleh
seorang pakar autopsi dari Yunani yang bernama Erasistratus dan Herophilus.
Namun, pada tahun 150 SM, Raja Roma membuat instrumen tentang batasan
dalam melakukan autopsi dengan berbagai kepentingan. Pada abad ke 13, Raja
Frederik II (Jerman) memperkenalkan autopsi untuk kepentingan perkembangan
pendidikan ilmu kedokteran. Namun, autopsi guna keperluan penegak hukum
(medicolegal autopsy) diperkenalkan Bartholomeo Devarignana pada tahun 1320
di Bologna, Italia. Barulah, pada abad ke 13 dan 14, autopsi dijadikan sebagai
suatu disiplin ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswa Fakultas
Kedokteran diseluruh dunia (Amir, 2004: 1-2).
Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa
ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa
korban (Kao, 1998: 680- 685). Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter
dengan mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan
pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi. Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan
dijadikan alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang
pengadilan. Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official
Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam
dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak
hukum di pengadilan disebut Medicolegal Science (Mont & White, 2007: 10-17).
Berdasarkan sejarah Islam, ada beberapa dokter wanita yang pada masa itu
seperti Ukhtu al-Hufaid bin Zuhur dan anak-anaknya berkeja sebagai dokter
istana Khalifah Raja al-Mansur di Andalusia (Maryam, 2011: 79-90). Pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, ada seorang dokter wanita yang mempunyai
kepakaran dibidang penyakit mata dan ilmu bedah yang bernama Zainab. Selain
itu, banyak ulama-ulama Islam diantaranya al-Kindi, alFarabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Hayyan yang mempunyai jasa besar dalam pengembangan ilmu kedokteran
modern dan melakukan penemuan terhadap ilmu bedah dan anatomi tubuh
manusia (Rahman, 1999: 23-28).
Pada abad 13, ada seorang dokter muslim yang sangat terkenal bernama
bernama Ibnu Nafis (1288) atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Sina kedua
(The second Avecenna). Selama hidupnya, Ibnu Nafis menulis buku berjumlah
80 buah kitab. Kitab Al-Syamil fi al-Tibb (Ensiklopedi Kedokteran) salah satu
kariya yang fenomenal terdiri dari 8 bab dan 27.000 folio secara menyeluruh
(Moosavi, 2009: 3-8; Turmudi, 2014: 1-12). Ibnu Nafis juga melakukan berbagai
penelitian tentang fisiologi dan anatomi tubuh dengan menggunakan metode
pembedahan terhadap tubuh manusia baik yang masih bernyawa maupun jasad
yang sudah tidak bernyawa untuk berbagai keperluan keilmuan dan sosial
(Shidiq, 2016: 148-150).
Berdasarkan tinjauan sejarah menunjukan bahwa ilmu autopsi sudah
berkembang sejak dahulu baik dalam sejarah modern maupun peradaban Islam.
Walaupun dalam sejarah perkembangan ilmu kedokteran Islam tidak secara
spesifik menyebutkan tentang ilmu autopsi tetapi dokter-dokter Islam
mempunyai andil yang besar dalam perkembangan ilmu autopsi melalui
pengambangan ilmu bedah (surgery) seperti yang dilakukan oleh al-Kindi, al-
Farabi, Ibnu Sina, Abu al-Qasim al-Zahrawi al-Qurthubi atau Abucasis al-Zahr,
Ibnu Nafis dan Ibnu Hayyan yang mempunyai konstribusi besar dalam
pengembangan ilmu kedokteran secara menyeluruh.
3. Jenis-jenis Autopsi
1) Autopsi anatomi
2) Autopsi Klinis
3) Autopsi Forensik
Autopsi forensik atau disebut juga dengan bedah mayat kehakiman.
Autopsi kehakiman hanya dapat dilakukan apabila ada perintah dari pihak
penyidik yang sedang menangani suatu perkara pidana yang berhubungan
dengan kematian seseorang. Umumnya, autopsi forensik dikerjakan terhadap
koban yang mati secara tidak wajar seperti korban pembunuhan, bunuh diri,
kecelakaan, keracunan atau seseorang yang meninggal dunia secara tiba-tiba.
Autopsi tersebut paling sering dilaksanakan untuk kepentingan penegakkan
hukum atau pembuktian di pengadilan.
Ada berbagai kendala yang dihadapai dalam menjalankan autopsi
forensik, misalnya ahli waris tidak setuju, dianggap bertentangan dengan
ajaran agama dan masih banyak alasan lainnya. Walaupun pelayanan autopsi
tidak mudah dan penuh tantangan, namun menyadari pemeriksaan ini penting
untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan pelanggaran hukum
pidana yang memerlukan bantuan dokter dan terdapat ketentuan hukum yang
mengatur kewajiban dokter untuk melaksanakannya, maka setiap dokter akan
melakukan pemeriksaan ini bila telah terpenuhi syarat diperlukan. Karena
alasan ini pula setiap dokter dibekali ilmu dan keterampilan dalam
pemeriksaan autopsi, bahkan untuk pemeriksaan mayat yang digali dari
kuburan. Untuk mengetahui hambatan, gangguan bahkan ancaman dalam
pelaksanaan autopsi forensik, Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran
tentang Pelaksanaan Autopsi Forensik pada tahun 2001.
Tindakan-tindakan autopsi dengan tujuan apapun seperti disebutkan di
atas harus dilakukan sesuai dengan etika dan hukum-hukum yang berlaku
untuk itu. Melalui pemeriksaan dan hasil autopsi forensik, diharapkan
penegak hukum mendapatkan bukti atau jawaban terhadap perkara yang
sedang ditanganinya. Tujuan pembuktian melalui autopsi forensik untuk
menemukan “kebenaran materiil” sehingga dapat mewujudkan kebenaran
dan keadailan bagi para pihak yang berperkara. Dalam menjalankan tugasnya,
dokter forensik harus bekerja secara professional karena hasil
pemeriksaannya akan menentukan seseorang bersalah ataupun tidak di dalam
proses peradilan nantinya.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” [Q.S. Al-Israa’ (17): 70].
ً أعظمهما
ضررا بارتكاب أخفهما ُ إذا تعارض مفسدتان ُروعي
Kedua, mencari nash Al-Quran dan Sunnah terkait dalil larangan yang
berkaitan dengan pokok permasalahan.
Setelah menempatkan pokok permasalahan (bedah mayat) diranah
muamalah, para ulama mencari dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah yang
berhubungan dengan pokok permasalahan, apakah ada dalil yang menguatkan
atau malah terdapat dali yang melarang hal tersebut.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” [Q.S. Al-Israa’ (17): 70].
Dan dalil ini pula dikuatkan oleh hadits Nabi Saw yang berkaitan
dengan lararang merusak jasad manusia yang sudah meninggal, Nabi
Muhammad SAW yang bersabda:
Maka hukum asal bedah mayat (autopsi) yang tadinya boleh berubah
menjadi haram dengan adanya penjelasan QS.Al-Isra ayat 70 yang
menerangkan tentang kemuliaan jasad manusia dan karena adanya larangan
dari Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah, dan
Abu Daud.
Referensi
Muhammad Hatta, Zulfan, Srimulyani, Autopsi ditinjau dari perspekif
hukum positif Indonesia dan hukum Islam, Ijtihad: Jurnal Wacana
Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 19, No. 1 (2019), pp. 27-51.
Abdurahman Syayuthi, PENGGUNAAN JENAZAH UNTUK
KEPENTINGAN PENELITIAN ILMIAH PERSPEKTIF FAZLUR
RAHMAN, Jurnal: ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January -
June 2020
Hukum Bedah Mayat (Autopsi), http://www.sulutiptek.com/hukum-beda-
mayat-php.php
Shiddiq Al Jawi, Hukum Otopsi Dalam Pandangan Syariah Islam,
https://anaksholeh.net/hukum-otopsi
Muslim.or.id : Kaidah Fiqih: Hukum Asal Ibadah Adalah Terlarang,
Sumber: https://muslim.or.id/28752-kaidah-fiqih-hukum-asal-ibadah-
adalah-haram.html
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Autopsi
Jenazah