Anda di halaman 1dari 18

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas ini yang Alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “Aliran-aliran filsafat modern dalam kehidupan
sekarang”.

Tugas ini berisikan tentang pengetahuan aliran-aliran filsafat modern serta para tokoh-
tokoh dari filsafat modern dalam kehidupan sekarang .

Kita menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan masih banyak
terdapat kesalahan baik dalam kata-kata ataupun pengertian mengenai aliran aliran filsafat
modern dalam kehidupan sekarang ini.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan ikut
serta dalam penyusunan tugas ini dari awal sampai akhir. Apabila banyak kesalahan dalam
kata ataupun penulisan kami mohon maaf dan kepada allah kami mohon ampun. Semoga
Allah swt senantiasa meridhoi segala urusan kita. Aamiin.

Makassar,26 September 2020

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar

Daftar Isi

Pendahuluan latar belakang masalah

Pembahasan latar belakang filsafat

Karakteristik filsafat modern

Aliran-aliran filsafat modern

a. Rasionalisme
b. Empirisme
c. Kritisme
d. Idealisme
e. Positisme
f. Materialisme
g. Pragmatisme
h. Ekstensialisme
i. Marxisme

Ciri pokok Filsafat Modern

Penutup
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Filsafat modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana
filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang bercorak
tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”, sebagaimana arti kata
tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern yang mermakna sebagai “sesuatu
yang baru”. Makna modern (sesuatu yang baru), mencakup segenap sendi-sendi kehidupan
social dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar
bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri
dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.

Lahirnya filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi
yang melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat diartikan
sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar, kadang-kadang menguatkan)
tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga mengandung nilai-nilai kesinambungan yang
kontinyu, berdasarkan keadaanya. Kebebasan berfikir selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja,
hingga kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang
bermuara pada lahirnya revolusi berfikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Suasana
ini menjadi latar sejarah lahirnya filsafat modern yang kelak menjadi penentu bangkitnya
Eropa modern dengan segala aspeknya (renaisance).

Dengan demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan


berdasarkan waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar
metodologi dan kerakteristiknya.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Latar Sejarah Filsafat Modern,dan Lahirnya Reneisance

Sejarah filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode klasik,
sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan pusat-pusat
pemikiran Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode pertengahan dan periode
ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan periode post-modernisme.

Socrates masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato
yang menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi puncak
keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas sejati yang disebutnya
sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran berdasarkan ide atau sisi
rasionalitas manusia.

Baginya realitis fisik adalah refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya,
Aristoteles memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda
konkrit yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi.

Setelah masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.Kerakteristik filsafat


Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang yang
terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona Venture (1221-
1257M). Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu. Mereka
berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran filsafat.

Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu “kelaki-
lakian” teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu adalah St. Agustinus
(1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal dalam mencari kebenaran apapun.
Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya,
pada masa itu, persoalan epistemologi mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir
tunggal para agamawan yang sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman tersebut .

Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa


tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di
lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual
dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh rasionalisme,
empirisme, idelisme, dan positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat
besar terhadap problem pengetahuan nonmetafisika (bukan agama) dan lahirlah babakan baru
yakni babak modern yang ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14
M hingga abad 16.

Reneisance dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan
kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan arti kata, nascentia,
nascor, yang bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan. Istilah ini meliputi suatau zaman di mana
setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban.

Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam berfikir,


bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di
Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan humanisme, eksistensialisme dan
naturalisme dengan menerjemahkan kembali sumber-sumber Yunani dan Romawi yang
mengantar terbukanya pemikiran manusia terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang
agama istilah renaissance ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang
mengarah pada reformasi protestan.

2. Karakteristik Filsafat Moderen

Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang
bercorak empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-
tokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo,
Isac Newton dll.

Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat.
Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan
kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen
terhadap realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode
ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme
dengan fisika langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai
benda yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif
(profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut
paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal. Kebebasan dan
kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa otoritasnya
terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan menghukum mereka bahkan
membunuhnya.

Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat,
terutama epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi
ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan
perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis.

Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh
utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang
astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani
mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang
peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan
keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika
hukum evolusi yaitu seleksi alamiah.

Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang
beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam
menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan
supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang
terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.
Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat
mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.

Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep
surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai
manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar
kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga
mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama
tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari
traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya pada
ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial
dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan
gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan,
manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme
Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat
dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis
budaya.

Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam


dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-
aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping
itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia.
Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan
kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia. Ciri
pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan
rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang
memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme,
postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab
Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala
renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.

3. Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern

a. Rasionalisme

Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan
manusia. Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang
mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun
kesulitannya adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah
ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang
palsu ? Salah satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan
metode yang dikenal nama metode rasional.

Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang


filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia
munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada
idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka
aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk
tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti.

Dalam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan


dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan
metodis Universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu
cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan
melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.

Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu


manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran.
Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada,
apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;

Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda


tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman
dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-
kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan
jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.

Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan
keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak
bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun
yang nyata kecuali keraguan itu sendiri.

Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang
melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah
pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi.
Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu
pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri
manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu

Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin
keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka
konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi
pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif.
Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi.
Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak
dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung
mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat
dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-
bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia,
sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri
meskipun lepas dari pembuatnya.

Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern,


memandang bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu
mereduksi realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah
bahasannya. Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan
menciptakan alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi
hubungan dengan penciptanya. Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah
berlaku sebagai hubungan pertama.

Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam


materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui
analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang
bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai
pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan.

Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai


pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam
semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan
manusia seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum
mekanika mesin. Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang
akal budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.

Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti


Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap
mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara
alam dengan Tuhan.
b. Empirisme

Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis
Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang
lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat,
dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan.Akan tetapi perkembangan
pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang
kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding
(1690)”.John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah
ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.

Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman


indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja
lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang
yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.

Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman
atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide
sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide
kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi.
Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang
sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus
ditolak.

Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu
kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada
benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-
lain. ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat,
kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran
pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada
indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga
merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa,
suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak
menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin
kebenarannya.
Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif.
Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan
sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat
dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu
yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan
sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari
eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun
sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas
sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode
Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan.
Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer
yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan
adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.

Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai


sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu
menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah
berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap
suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja.
Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap
dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu
ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide
bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia
merupakan kumpulan persepsi saja.

c. Kritisme

Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya


pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah
pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak
sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian
empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh
empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap
emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui
kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi
syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik
pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian
pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.

Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari


sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia
hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami
hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.

Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu;


usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas.
Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental
adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima
tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia,
yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi
empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia
sebagai fenomena.

Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari
pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari
pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber
dari indera yang menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik
tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat
menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi.
Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena
indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu
Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat
opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima
data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.

Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga
membuat keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua
sumber utama dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman
yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama.
Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan
waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima
pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan.
Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.

Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat


universal dan pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang
memungkinkan suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui
benda-benda sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk
intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant
berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena
penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan
ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori,
manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga
fakta dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak
manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat
pasti.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena


dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan.
Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan
nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya,
tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui
moral berdasarkan perasaan.

d. Idealisme

Peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti apabila suatu syarat dipenuhi,

yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-

penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan

gerak lain. Artinya geraka yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis

(gerak yang bertentangan), kemudian muncul sintesis yang merupakan tesis baru,

yang nantinya menimbulkan antithesis dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan

dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.

e. Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang

telah diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya.

Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya,

sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta

tersebut diatur agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.

f. Materialisme

Filsafat materialisme berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah

materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Pandangan materialisme banyak

persamaannya dengan naturalisme. Bahkan ada filsuf yang menyamaka keduanya,

khususnya yang disebut dengan naturalisme materialistis. Hal ini didasarkan pada

beberapa alasan. Pertama karena pandangan materialism banyak kaitan dan

persamaannya dengan rumpun ilmu-ilmu alam. Kedua karena sama-sama menentang

filsafat moral dan agama.

Tidak ada kejadian yang tidak dapat diteliti secara alamiah. Apa yang disebut

alamiah atau riil pastilah mempunyai sifat atau wujud material atau fisik, sekalipun

mungkin tampaknya tidak demikian kepada kita. Dengan demikian, sintesis kedua

paham ini beranggapan bahwa apapun yang ada, pada akhirnya dapat dikembalikan

kepada materi.

g. Pragmatisme

         William James (1842-1910)

Menurut pandangan Beliau, tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang

bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman

mengatakan apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

         John Dewey (1859 M)


Sebagai penganut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat

adalah memberikan pengarahan dalam tindakan hidup manusia. Filsafat tidak boleh

larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada

faedahnya.

h. Ekstensialisme

         Soren Kierkegaard (1813-1855)

Pemikirannya bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi

berada dalam eksistensi yang individu, yang konkret. Karena eksistensi manusia

penuh dengan dosa, hanya iman kepada Kristus sajalah yang dapat mengatasi

perasaan bersalah karena dosa.

         Martin Heidegger (1905 M)

Menurutnya, keberadaannya hanya akan dapat dijawab melalui jalan antologi, artinya

jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan

itu. Metode ini disebut dengan metode fenemologis. Jadi dalam hal ini yang

terpenting adalah menemukan arti kebenaran itu.

         J.P Sartre (1905-1980)

Eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini sanga janggal sebab

biasanya sesuatu harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum kebenarannnya. Filsafat

ekstensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia.

Dengan kata lain filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema

sentral pembahasannya.

i. Marxisme

Tokoh dalam aliran ini adalah Karl Marx, ia adalah seorang filsuf yang mencontoh

beberapa metode dari Hegel dan Feuerbach. Dari Hegel ia mengambil metode

dialektika dan dari Feuerbach ia mengambil metode materialism. Marx beranggapan


bahwa dalam masyarakat komunis dengan sendirinya agama akan lenyap, karena

agama merupakan ekspresi kepapaan manusia. Menurutnya, agama adalah candu

rakyat.

4. Ciri pokok filsafat modern adalah:

2. Pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan
bersikap imparsial-netral.

3. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada


fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti
“keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti,
tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan
wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.

4. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler,


sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.

5. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat


dipersepsi.

6. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan


penjelasan adikodrati.

7. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis


seperti mesin.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
 Filsafat Modern, dimana Istilah modern berasal dari kata latin “moderna” yang
artinya “sekarang”, “baru” atau “saat kini”. Dari pengertian dasar tersebut kita dapat
mengasumsikan bahwa didalam kehidupan modern muncul kesadaran waktu akan
era yang baru.
 Pada zaman modern filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak
keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani,
sedikit pengecualian pada Kant. Paham – paham yang muncul pada garis  besarnya
adalah rasionalisme, idealisme, empirisme dll. Dan paham-paham yang merupakan
pecahan dari aliran itu.
 Filsafat yang lahir di zaman sekarang, sebenarnya tidak berbeda jauh dari filsafat
zaman modern. Karena pada dasarnya, filsafat yang muncul di masa sekarang
merupakan pengembangan dari ajaran filsafat yang telah ada di zaman filsafat
modern, dan kini mengalami sintesis yang menjadikan jumlahnya menjadi relative
lebih sedikit daripada aliran filsafat zaman modern.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 1994. Filsafat Umum. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta.

Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta. Bina Aksara

Rindjin, Ketut. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. Ganeca Exact

Bandung.

http://munzaro.blogspot.com/2010/06/mengenali-prinsip-prinsip-dasar.html

http://amma06.blogspot.com/2009/02/tokoh-tokoh-filsafat-modern.html

Anda mungkin juga menyukai