Anda di halaman 1dari 12

Sumber Ilmu, Klasifikasi Ilmu, Hierarkhi Ilmu

( EPISTIMOLOGI ISLAM )
Dosen Pengampu : Al-Ustadz DR. Nurhadi Ihsan, MIRKH

Oleh :
QUEEN BALGES ROUDLOTUL FALAKH
(3720164281397 )

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
2018
A. Sumber Ilmu
Terkait dengan sumber pengetahuan, Islam memandang bahwa sumber
(al-maşādir, al-‘adalah) utama ilmu pengetahuan adalah Allah. Selanjutnya Allah
memberikan kekuatan-kekuatan kepada manusia. Secara terinci Islam mengakui,
bahwa sumber atau saluran ilmu lebih banyak dari yang diakui oleh ilmuwan
Barat. Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, pemerhatian dan
pengamatan indera hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut, banyak lagi
sumber lain dan barangkali yang paling penting dan paling menonjol adalah
percobaan-percobaan ilmiah yang halus dan teratur, renungan pikiran dan
pemikiran akal, bacaan dan telaah terhadap pengalaman. Pengalaman orang-orang
terdahulu, perasaan, rasa hati, limpahan dan akal serta bimbingan Illahi. Namun
sumber-sumber tersebut meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan
kepada lima sumber utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu illahi.
Naquib menyatakan bahwa sumber ilmu adalah datangnya dari Allah
sebagai karunia-Nya yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut hanya dapat
diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya,
yakni dengan keihsannanya dan hikmah sejati ibadah kepada Tuhan dengan
ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada kehendak dan
karunia Allah juga. Pernyataan Naquib sesuai dengan surat al-,alaq ayat 1-5, yang
meyakini asal (origin) ilmu adalah Allah sendiri, pencipta alam semesta yang
diperuntukkan bagi hambaNya, Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran
ilmu dalam tataran sistemik yang disebut manusia dalam nama-nama yang
disepakati bersama demi kemudahan menggalinya.
Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur'an
merupakan sumber ajaran Islam, yang di samping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan (pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur dan
pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Qur'an surah al-‘Alaq ayat 1-5
mengatakan bahwa al-Qur’an menetapkan nilai yang sangat tinggi bagi pencarian
hikmah dan ilmu pengetahuan. Nabi, baginya adalah illitera, sangat mencintai
ilmu dan mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya
sampai ke negeri Cina. Kata iqra’ dalam surah tersebut (Q.S: al-‘Alaq),
merupakan kata kunci yang digunakan al-Qur’an dalam usaha penguasaan ilmu
pengetahuan. Iqra’ (qara’a) berarti menyampaikan, menelaah, membaca,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang semuanya
dapat dikembalikan pada arti pokok kata-kata tersebut yakni penghimpun.
Al-Qur’an dan sunah adalah sumber fundamental metodologi Islam.
Pengetahuan al-Qur’an dan hadis adalah pangkal (inti, dasar, permulaan)
metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan pengetahuan.
Pangkal itu juga memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan setiap
disiplin ilmu pengetahuan. Wahyu (al-Qur’an), dengan demikian memiliki
kedudukan yang paling tinggi. Hal ini karena dalam upaya mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu Illahi sebagai
sumber kebenaran mutlak. Wahyu mencakup pemberitaan yang tidak terjangkau
oleh akal dan indera, sedangkan indera beraktifitas sebatas yang dapat dilihat,
diraba, dicium dan dirasa, dan akal hanya bekerja pada sesuatu yang dapat dinalar
dan dipikirkan. Posisi yang demikian, membawa konsekuensi bahwa dalam
pandangan Islam sumber pengetahuan seperti indera dan akal harus tunduk pada
wahyu. Cara untuk mengenal alam jagad yang menjadi tumpuan perhatian
pengetahuan yang dikenal dengan sains, adalah melalui aktualisasi semua
kemungkinan dalam akal itu. Namun aktualisasi itu hanya mungkin jika akal
tunduk pada kitab suci.
Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunah. Sunah menurut para
ulama dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan dari sumbernya, dari
wahyu sederajat dengan al-Qur’an. Ia berada pada posisi setelah al-Qur’an dilihat
dari kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qhat’iy baik secara global maupun
rinci. Sedangkan sunah berkualitas qhat’iy secara global saja tidak secara rinci. Di
samping itu al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan cabang,
karena posisinya menjelaskan dan menguraikan.
Islam juga mengakui beberapa sumber ilmu pengetahuan yang lain, di
antaranya adalah;
1. Indera
Indera memang bisa diakui sebagai sumber ilmu pengetahuan yang amat
penting, walaupun hasilnya paling rendah kualitasnya. Unsur-unsur indera
yang mendapat perhatian al-Qur’an sehubungan dengan kapasitasnya
sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan.
2. Akal yang sehat
Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang merangsang gairah akal untuk
berfikir, merenung, mengamati, meneliti, memahami dan mengerti tentang
alam semesta dengan berbagai fenomenanya. Akal adalah daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia yang dengannya segala sesuatu dapat
diserap. Ia merupakan anugerah Allah yang tidak dimiliki oleh makhluk
lain di luar manusia. Akal dalam pandangan al-Qur’an bukanlah otak,
melainkan suatu daya berfikir dan memahami yang terdapat dalam jiwa
manusia, daya yang digambarkan al-Qur’an memperoleh pengetahuan dan
memperhatikan alam sekitarnya.
3. Intuisi
Secara implisit dapat diakui bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber
pengetahuan. Dengan wahyu seseorang mendapatkan pengetahuan lewat
keyakinan (kepercayaan), bahwa yang diwahyukan itu adalah benar,
demikian juga dengan intuisi, di mana seseorang percaya bahwa intuisi
adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan befikir intuitif
tidak memiliki logika atau pola berfikir tertentu. Pemanfaatan intuisi
sebagai sumber penemuan bagi pengetahuan telah biasa dilakukan oleh
para pemikir Islam dalam merumuskan ilmu pengetahuan mereka.

Sedangkan sumber ilmu menurut pandangan barat adalah sesuatu


yang seolah-olah benar, namun pada dasarnya hanya menghasilkan
kebingungan dan skeptitisme )‫(ارتيابية‬. Mengangkat keraguan-keraguan dan
meraba-raba ke derajat ilmiyah dalam hal metodologi dan memandang
keraguan sebagai unsur epistimologi yang istimewa dan mengejar
kebenaran. Keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistimologi.
Melalui metode inilah kaun rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka
mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan dan bahkan sesuatu
lainnya yang mengantarkan mereka berada kebenaran
B. Klasifikasi Ilmu
Menurut Al-Hadi ilmu pengetahuan terbagi kepada dua kategori,
yaitu ilmu yaqini dan ilmu dzanni. Ilmu yaqini adalah ilmu yang berasal
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, ilmu ini adalah dengan sendirinya dikenali
sebagai ilmu agama (ilmu naqli). Kategori ilmu kedua yaitu ilmu dzanni
merujuk pada ilmu modern (ilmu ‘aqli) yang berdasarkan rasional dan
hipotesis manusia yang disimpulkan daripada akal dan unsur keragan.
Oleh karena itu akal tidak boleh dilihat lebih penting dari al-Qur’an dan
As-Sunnah dalam usaha mencari ilmu.
Klasifikasi ilmu tersebut berbeda daripada pengelasannya oleh
Muhammad ‘Abduh, pelopor idea pembaharuan di Mesir pada zaman itu,
yang membahagikan ilmu kepada tiga kategori, yaitu al-‘ulum al-
Islamiyyah (sains Islam), al-‘ulum alnaqliyyah (sains naratif) dan al-‘ulum
al-wad‘iyyah (sains tradisional). Sains Islam adalah menjadi fardu ‘ain,
manakala dua kategori ilmu yang lain adalah fardu kifayah.
Alfarabi membuat klasifikasi Ilmu secara filosofis kedalam
beberapa wilayah, seperti ilmu matematis, ilmu alam, ilmu metafisika,
ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan teologi dialektis. Beliau
member perincian ilmu-ilmu religious (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan
Fiqh langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika,
ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.
Sedangkan Al-Ghozali secara filosofis membagi ilmu kedalam
ilmu syar’iyah dan ilmu Aqliyah. Oleh Al-Ghazali yang terakhir ini juga
disebut ilmu ghair syari’ah, begitu juga Quthb al-Din membedakan jenis
ilmu menjadi ulum hikmy dan ulum ghair hikmy. Ilmu nonfilosofis
menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu religious, karena dia
menganggap ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki
syari’ah (hukun wahyu). Pemasukkan istilah ghair oleh imam Ghozali dan
Quthb al-Din untuk ilmu intelektual berarti, bagi keduanya, ilmu syari’ah
lebih utama dan lebih berperan sebagai basis (landasan) untuk menamai
setiap ilmu lainnya
Dr Muhammad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi
menjadi dua, pertama; Ilmu yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang
bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi imu menjadi dua jenis, yaitu,
Pertama, Ilmu Qodim, dan kedua, ilmu hadis (baru), ilmu Qodim adalah
ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadis yang dimiliki
manusia sebagai hamba-Nya.
Namun disini penulis menganggap perlu mengemukakan
klasifikasi Al-Ghazali, karena Al-Ghazali sebagai peletak dasar filosofis
pertama kali teori iluminasionis dalam arti pengeahuan yang datang dari
Tuhan melalui pancerahan dan penyinaran. Dan dia berpendapat bahwa
pengetahuan instuisi/makrifat yang datang dari Allah langsung kepada
seseorang adalah pengetahuan yang paling benar.
Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam
ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah yaitu sebagai berikut:
1. Ilmu Syar’iyyah
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
1) Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
2) Ilmu tentang kenabian.
3) Ilmu tentang akhirat atau eskatogis
4) Ilmu tentang sumber pengetahuan religious. Yaitu Al-Quran dan Al-
Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini
terbagi menjadi dua kategori:
i. Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
ii. Ilmu-ilmu pelengkap
b. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
1) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
2) Ilmu tentang transaksi
3) Ilmu tentang kewajiban kontraktual
4) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
2. Ilmu Aqliyyah
a. Matematika: aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, music
b. Logika
c. Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorology, mineralogy, kimia
d. Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika:
Ontologi
1. Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi.
2. Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana.
3. Pengetahuan tentang dunia halus.
4. Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi.
5. Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini mengemukakan kekuatan-kekuatan bumi
untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
Klasifikasi ilmu tersebut berdasarkan pada perincian ilmu Al-
Ghazali dalam ar-Risalah al-Laduniyah dan The book of Knowledge,
yaitu berupa sintesis dari kedua buku tersebut dalam topik klasifikasi-
klasifikasi AL-Ghazali. Selanjutnya pasca Al-Ghazali mengalami
pengaruh cukup signifikan. Bahwa pemikiran ilmu disunia Islam
cenderung kurang rasionalistik dal lebih selaras dengan pandangan Al-
Qur’an dan Hadits.

C. Hierarki Ilmu

1. Syari’at

Syari’at adalah pengetahuan atau konsep ilmu yang merupakan cara formal untuk
melaksanakan peribadatan kepada Allah, sebagai bukti pengabdian manusia yang
diwujudkan berupa ibadah melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul. Yang
dirujuk oleh Al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia.

‫وما خلقت الجن واإلنس إال ليعبدون‬


“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Mengerjakan syari’at itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniyah dari


segala hukum-hukum Allah swt, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain
sebagainya.Tegasnya bahwa syari’at itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber
dari al-Qur’an dan As-Sunnah
2. Tarekat

Seperti syari’at, tarekat (Thoriqoh) berarti jalan, hanya saja kalau yang
pertama jalan raya (road), maka yang selanjutnya adalah jalan kecil (path).
Dengan demikian tarekat yang ditempuh para sufi dapat digambarkan sebagai
jalan yg berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak
jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para
sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari
hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Maka tak mungkin ada anak
jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal.Pengalaman mistik tak mungkin
didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan
seksama.
Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang
sufi. Selain tarekat juga digunakan kata “suluk” yang artinya perjalanan spiritual.
Tetapi tarekat merujuk sebuah kelompok persaudaraan atau ordo spiritual yang
biasanya didirikan oleh seorang sufi besar seperti Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,
Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, Jalaluddin Ar-Rumi, dll.
Para ulama’ berpendapat tarekat adalah suatu jalan yang ditrempuh dengan
sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal Ibadah. Seorang tidak begitu saja
melakukan rukhsoh, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan ibadah.
Diantaranya sikap hati-hati itu adalah bersifat wara’. Dengan demikian
mengamalkan ilmu tarekat sama dengan menghindari segala macam yang mubah.
Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga
macam definisi, yg berturut-turut disebutkan:

‫ا لطر يقة هي ا لعمل با الشر يعة و ا الخذ بعزا ئعها و ا لبعد عن ا لتسا هل فيما‬
‫ال ينبغي ا لتسا هل فيه‬
Artinya:

“Tariqat ialah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadh ( dgn tekun ) dan
menjauhkan ( diri ) dri ( sikap ) mempermudah ( ibadh ), yg sebenarnya memang
tdk boleh dipermudah”
Sebagai perjalanan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi disepanjang
zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang
berbeda-beda, sekalipun tujuannya sama yaitu menuju sedekat-dekatnya dengan
Tuhan. Meskipun demikian, para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan
perjalanan spiritual ini dengan stasiun-stasiun (maqomat) dan keadaan-keadaan
(ahwal)
Apa yang digambarkan tadi merupakan tarekat dalam pengertian sebuah
perjalanan spiritual, yang disebut juga Suluk. Tetapi ada Tarekat dalam pengertian
yang lain yakni sebagai kelompok persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian ini
yang sebenarnya lebih dikenal dikalangan luas, seperti tarekat Syadziliyah,
Qodiriah, Naqsabandiyah, dan sebagainya.tarekat dalam pengertian ini yaitu
tentang metode spiritual dan peranan sang guru (Mursyid). Seorang mursyid akan
mengajak para muridnya untuk melakukan perjalanan spiritual bersama melalui
zikir menuju Tuhan, dengan cara seperti yang dialami dan dikuasai oleh sang
Mursyid. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan penuh dengan
ketaatan kepada petunjuk sang Mursyid.

3. Hakikat

Hakikat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan


mata hatinya. Pada tingkat ini manusia menemukan hakikat yang tajalli dari
kebesaran Allah, ia yang mencari dapat menemukan ma’rifatullah.
Menurut Imam Ghozali, tajalliadalah rahasia Allah berupa cahaya yang
mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang
tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang,
sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari
penglihatan lahiriyah manusia.
Para sufi menyebut diri mreka ahl al haqiqah. Penyebutan ini mencerminkan
obsesi mereka terhadap kebenaran yg hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau
mereka menyebut Tuhan dengan “al-haqq,” seperti yang tercermin dalam
ungkapan al Hallaj, “ana al Haqq”. Obsesi penafsiran mereka terhadap formula “la
ilaha illa Allah” yg mreka artikan “ tidak ada realitas yg sejati kecuali Allah
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul
ada, keberadan yang absolut, sedangkan yang lain keberadannya tdklah hakiki,
atau nisbi, dlm arti tergantung pad kemurahan Tuhan. Dialah yang Awal dan yang
Akhir, yang Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala yang ada dan tujuan
akhir, tempat mreka kembali.Ibarat matahari, Dialah yg memberi cahaya kepad
kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yg tersembunyi di dlm
kegelapan tersebut.Dia jualah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia
menyembul dri persembunyiannnya yang panjang.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai “al-Awwal” dan “al-Akhir”, “al
Zahir”, dan “al Batin”. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau prinsip
atau asal dari segala yang ada. Dialah causa prima, sebab pertama dari segala yang
ada atau maujudad di dunia ini.Dia yg akhir diartikan sebagai tujuan akhir atau
tempat kembali dri segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia.Dialah pulau
harapan kamana bahtera kehidupan manusia berlayar. Inilah tujuan akhir sang sufi
mengorientasikan seluruh eksitensinya.
4. Makrifat

Makrifat adalah sejenis pengetahuan yang mana para sufi menangkap hakikat
atau realitas yang menjadi obsesi mereka. makrifat berbeda denga jenis
pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara lang sung, tidak
melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya.
Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, demikian pula hati juga
menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya.
Kalau indra adalah benda-benda indrawi, sedangkan objek instuisi adalah entitas-
entitas spiritual. Rleh karena itu makrifat disebut sebagai ilmu eksperiental
(dzauqi)
Makrifat dapat dibedakan dari ilmu-ilmu rasional, dimana pemilihan antara
subjek dan objek begitu dominan dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Akal
menangkap objek-objek non fisik melalui objek-objek yang telah dikatahui, jadi
bersifat inferensial, sedangkan instuisi menangkap objek-objeknya langsung dari
sumbernya. Oleh karenanya makrifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, juga
tidak bisa melalui jalan nalar, akan tetapi melalui jalan pengalaman. Jadi harus
dialami, bukan di pelajari.
Apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di
sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
pada tingkat ini sang sufi telah mencapai tujuan pokoknya yakni: mengenal Allah
yang sebenar-benarnya
Taftazany menerangkan dalam kitab “syahrul Maqasid”: “apabila seorang
telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya ilallah dan fillah, pasti
akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehinga zatnya selalu dalam
pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat tuhan. Ketika
itu orang tersebut fana’ dan lenyap dalam suatu keadaan “masiwalloh”.Ia tidak
melihat dalam wujud ala mini kecuali Allah

D. Relevansi Ilmu Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat

Agar seorang sufi benar-benar dapat mencapai tujuan utama tasawuf, maka
harus menempuh langkah-langkah dalam bertasawuf. Langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam tasawuf adalah syari’at, thoriqoh.Haqiqat, dan ma’rifat.
Syariat tidak bias ditinggalkan oleh kaum mutasawwifin. Karena syari’at adalah
unsure pokok bagi unsur-unsur berikutnya. Antara syari’at, thoriqot, haqiqot, dan
ma’rifat harus selalu berhubungan erat dan saling melengkapi. Dan tarekat tanpa
syari’at jelas batal. Sebagaimana dikemukakan sendiri oleh kaum mutasawwifin
dalam pandangan mereka.
Syariat ibarat kapal, yakni sebagai instrument mencapai tujuan.Tarekat ibarat
lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Hakikat ibarat
mutiara yag sangat berharga dan banyak manfaatnya. Untuk mencari mutiara
hakikat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang
dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali
dengan kapal.
Ilmu tasawuf menerangkan bahwa syari’at itu hanyalah peraturan belaka,
taekatlah yang merupakan perbuatan untuk melakukan syariat itu. Apabila syariat
dan tarekat itu sudah dikuasai, maka lahirlah hakikat yang tidak lain daripada
perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan ialah “makrifat” yaitu mengenal
tuhan dan mencintainya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Nabi
Muhammad saw bersabda, “syari’at itu perkataanku, tarekat itu perbuatanku dan
hakekat itu ialah kelakuanku

Anda mungkin juga menyukai