Anda di halaman 1dari 48

FENOMENOLOGI DALAM STUDI AGAMA

Pengertian Dasar
 
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainomenon dan
logos. Phainomenon berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri
sendiri”. Logos berarti ilmu, kata, sabda, pembicaraan.
“Literally, phenomenology is the study of “phenomena”: appearances of
things, or things as they appear in our experience, or the ways we
experience things, thus the meanings things have in our experience”
(http://plato.stanford.edu/entries/phenomenology/).
Kajian Fenomenologi berfokus pada mendeskripsikan gejala-gejala
tanpa prasangka. Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh
J.H. Lambert (1728-1777), yang menyebut fenomenologi sebagai
sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan antara sesuatu yang lepas
dari pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat pengalaman kita. Jadi
istilah fenomenologi menggarisbawahi masalah yang khas manusia,
yaitu masalah pengalaman.

Dalam ruang lingkup epistemologi, fenomenologi diperkenalkan oleh


Edmund Husserl. Meskipun sebelum Husserl, istilah tersebut telah
digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan kata
fenomenon untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran,
sedangkan noemena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di
luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal
fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena
yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau nampak tetap menjadi
objek kesadaran kita) yang kita kenal. Istilah tersebut telah dikenal sejak
abad ke-18. Lambert dalam bukunya: neue Organon (1764) yang
memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan fundameental
terhadap semua pengetahuan empirik. Immanuel Kant (1724-1804)
menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phainomenon
untuk pemahaman terhadap realitas itu pada kesadaran. Hegel (lahir
1770) memberi arti lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang
pikiran). Menurut Hegel, pikiran memiliki pengetahuan semata-mata
berdasarkan pengamatan dan pengeneralisasian berbagai fenomena
dalam penampakan dirinya, maka kita mempunyai satu bagian dari
pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind.
Moritz Lazarus dalam bukunya leben der Seele (1856-1857)
membedakan istilah fenomenologi dengan psikologi. Yang pertama
menggambarkan kehidupan mental dan yang terakhir disebut, mencari
penjelasan kausal pada kehidupan mental.
 
 Noumena yang nampak tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x”
yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari kesadaran kita.
Fenomena nampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan
realitas (noumena) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya
tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk pengalaman
batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu merupakan
realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri (in se). Ini berarti kesadaran
kita tertutup dan terisolasi dari realitas.
 
Edmund Husserl (1859-1938) seorang filosof Jerman, penggagas
fenomenologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para
pendahulunya. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas
bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri atau menurut ungkapan Martin
Heideger juga seorang fenomenolog: “sifat realitas itu membutuhkan
keberadaan manusia”. Noumena membutuhkan tempat tinggal
(unterkunft) ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.
 
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa
yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya
termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita
padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt
(kembalilah kepada realitas itu sendiri), tanpa interpretasi. Berbeda
dengan Kant, Husserl menyatakan, bahwa apa yang disebut fenomena
adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair
dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang essensial
atau eidos (esensi) dari fenomena itu.
 
Dalam mencari yang esensial bermula dari membiarkan fenomena itu
berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presuppositionlessness), dalam hubungan ini Husserl menjelaskan:
…that at first we shall put out of action the conviction we have been
accepting up to now, including all our science. Let the idea guiding our
meditation be at Cartesian idea of science that shall be established as
redically as genuine, ultimately all-embracing science.
(…yang pertama, kita harus menanggalkan semua keyakinan yang kita
miliki hingga saat ini, termasuk semua pengetahuan kita. Biarkan ide itu
menuntun semua meditasi kita,sebagaimana ide Cartesian mengenai
ilmu yang akan dikukuhkan secara radikal dan murni yang pada
akhirnya berkaitan dengan semua ilmu pengetahuan).
Meskipun Husserl menyebut ide Cartesian sebagai salah satu upaya
memahami realitas, tetapi terdapat perbedaan ide Cartesian dengan
Husserl. Descartes menyangsikan segalanya sebelum memutuskan
“ada”nya sesuatu, tetapi bagi Husserl, epochè bukan menyangsikan
“ada” atau “tidak ada” nya sesuatu, tetapi semacam netralisasi atau sikap
tidak memihak, tanpa prasangka akan keberadaan sesuatu.
 
Husserl dalam hal ini mengajukan metode epochè. Kata epochè  berasal
dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.” Epochè  bisa juga berarti
tanda kurung (breaketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari sesuatu fenomena yang tampil, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan, bahwa
epochè merupakan thesis of the natural standpoint. (tesis tentang
pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat.
(Antonio Barbosa da Silva, op.cit., p. 36; Allen S. Weiss, “Marleau-
Ponty’s Interpretation of Husserl’ Phenomenological Reduction”, dalam
Philosophy Today, vol. xxvii, no. 4/4, 1983, p. 343
  
Metode epochè merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi
fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua,
Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide (ideation).
Eidetic vision ini juga disebut “reduksi”, yakni menyaring fenomena
untuk sampai ke eideosnya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya
(wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya
sampai pada hakikatnya.
 
Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha
mengangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau
menurut penampakannya sendiri (veils itself), atau menurut penjelasan
Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen
by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.”
(Fenomenologi dapat berarti: …membiarkan sesuatu menunjukkan
dirinya sendiri terlihat oleh dirinya sendiri dan dalam batas-batas dirinya
sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya
sendiri).
(John Macquarrie, Existentialism, (New York: Penguin Books, 1977), p.
24; Federick Elliston, “Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to
Heiddeger”, dalam Philosophy Today, vol. xxi, no, ¾, 1977, p. 279)
 
 Menurut G. van der Leeuw, fenomenologi berusaha mencari atau
mengamati fenomena sebagaimana ia tampak apa adanya. Dalam hal ini
ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berwujud, (2)
sesuatu itu tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia
merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara
yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan
modifikasi.

Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga oleh kaum


fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu
yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu
pengetahuan modern, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, bahwa:
“The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite
unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and
dependence upon experiments are guiding principles.” (cara berpikir
ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan dengan tidak
berprasangka oleh konsepsi-konsepsi apapun sebelumnya. Pengamatan
yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen merupakan asas
penuntun).
 (Jacques Waardenburg, Classical Approaches to the Study of Religion
(Paris, Mouton: The Hague, 1973), p. 412. James B. Connant, Modern
Science and Modern Man, (Garden City: Doubleday Co., 1954), p. 19).
  
Fenomenologi merupakan studi tentang struktur kesadaran sebagaimana
dialami dalam persepektif/sudut pandang seseorang (orang pertama).
Struktur sentral pengalaman bersifat intensional, terarah kepada sesuatu
yang lain, seperti pengalaman akan dan tentang obyek-obyek. Sebuah
penglamana terarah kepada suatu obyek oleh karena nilai dari isi atau
makna dalam konsisi tertentu.
Fenomenologi telah dipraktekkan dalam beberapa abad, dan semakin
berkembang pada abad ke 20 oleh Husserl, Heidegger, Sartre, Merleau-
Ponty dan lainnya.
Phenomenology is commonly understood in either of two ways: as a
disciplinary field in philosophy, or as a movement in the history of
philosophy. (Fenomenologi umumnya dipahami dalam salah satu dari dua cara: sebagai
bidang disiplin dalam filsafat, atau sebagai sebuah gerakan dalam sejarah filsafat.)

Disiplin fenomenologi dapat diartikan sebagai studi tentang struktur


pengalaman atau kesadaran.
Fenomenologi mempelajari pengalaman sadar sebagaimana dialami
secara subyektif berdasarkan sudut pandang orang pertama (yang
mengalami).

The historical movement of phenomenology is the philosophical


tradition launched in the first half of the 20th century by Edmund
Husserl, Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, et
al.
Basically, phenomenology studies the structure of various types of
experience ranging from perception, thought, memory, imagination,
emotion, desire, and volition to bodily awareness, embodied action, and
social activity, including linguistic activity.
The structure of these forms of experience typically involves what
Husserl called “intentionality”, that is, the directedness of experience
toward things in the world, the property of consciousness that it is a
consciousness of or about something. According to classical Husserlian
phenomenology, our experience is directed toward — represents or
“intends” — things only through particular concepts, thoughts, ideas,
images, etc.
These make up the meaning or content of a given experience, and are
distinct from the things they present or mean.
The basic intentional structure of consciousness, we find in reflection or
analysis, involves further forms of experience. Thus, phenomenology
develops a complex account of temporal awareness (within the stream of
consciousness), spatial awareness (notably in perception), attention
(distinguishing focal and marginal or “horizonal” awareness), awareness
of one's own experience (self-consciousness, in one sense), self-
awareness (awareness-of-oneself), the self in different roles (as thinking,
acting, etc.), embodied action (including kinesthetic awareness of one's
movement), purpose or intention in action (more or less explicit),
awareness of other persons (in empathy, intersubjectivity, collectivity),
linguistic activity (involving meaning, communication, understanding
others), social interaction (including collective action), and everyday
activity in our surrounding life-world (in a particular culture).
(Gerakan sejarah fenomenologi adalah tradisi filsafat diluncurkan pada paruh pertama abad ke-20 oleh
Edmund Husserl, Martin Heidegger, Maurice Merleau Ponty, Jean-Paul Sartre, et al.
Pada dasarnya, fenomenologi mempelajari struktur berbagai jenis pengalaman mulai dari persepsi,
pikiran, memori, imajinasi, emosi, keinginan, dan kemauan untuk jasmani kesadaran, diwujudkan
tindakan, dan kegiatan sosial, termasuk kegiatan linguistik.
Struktur bentuk-bentuk pengalaman biasanya melibatkan apa yang Husserl disebut "kesengajaan",
yaitu, directedness pengalaman terhadap hal-hal di dunia, properti kesadaran bahwa itu adalah
kesadaran atau tentang sesuatu. Menurut fenomenologi Husserlian klasik, pengalaman kami diarahkan -
mewakili atau "bermaksud" - hal-hal yang hanya melalui konsep tertentu, pemikiran, ide, gambar, dll
Ini membuat arti atau isi dari pengalaman yang diberikan, dan berbeda dari hal-hal yang mereka hadir
atau berarti.
Struktur disengaja dasar kesadaran, kita menemukan dalam refleksi atau analisis, melibatkan bentuk
lebih lanjut dari pengalaman. Jadi, fenomenologi mengembangkan rekening kompleks kesadaran
temporal (dalam arus kesadaran), kesadaran spasial (terutama dalam persepsi), perhatian
(membedakan fokus dan marginal atau "horizonal" awareness), kesadaran pengalaman sendiri
(kesadaran diri seseorang, di satu rasa), kesadaran diri (awareness-of-diri), diri dalam peran yang
berbeda (seperti berpikir, bertindak, dll), diwujudkan tindakan (termasuk kesadaran kinestetik gerakan
seseorang), niat tujuan atau dalam tindakan (kurang lebih eksplisit), kesadaran orang lain (empati,
intersubjektivitas, kolektivitas), aktivitas linguistik (melibatkan makna, komunikasi, memahami orang
lain), interaksi sosial (termasuk tindakan kolektif), dan aktivitas sehari-hari di sekitar kehidupan dunia
kita (dalam budaya tertentu ).)

Fenomenologi dalam Studi Agama


Fenomenologi Husserl ini kemudian dijadikan sebagai landasan dalam
fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai
objek studi menurut apa adanya. Atau denga kata lain, ia menjelaskan
fenomena keagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh agama itu sendiri.
Dalam hal ini kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang
fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti
pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik
manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada
fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam
sejarah dan budaya manusia.
(Brian hebblethwaite, The Problem of Theolog, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1980), p. 23.; Ursula King, “Historical and
Phenomenological Approaches”, dalam Frank Whaling (ed.),
Contemporery Approaches to the Study of Religion, (Berlin, New York,
Amsterdam: Mouton Publisers, 1984), p. 88). 
 
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi
terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu: pertama pendekatan
teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam
mengkaji tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan
dan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia
agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya
sendiri) sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah. Kedua
pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai
fakta-fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini
agama diselidiki melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi).
Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan)
menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan 
ekonomis dan candu masyarakat (Marx), frustasi jiwa manusia
(Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan keterbelakangan
(Comte), dan lain-lain. Ketika mencari asal-usul agama, ahli sosiologi
agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling “primitif”.
Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu
diharapkan diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan
agama sepanjang sejarah.

Menurut Karl Marx, agama sebagai ideologi yang mempertahankan


sistem ketidakadilan sosial. (Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan
dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), p. 15; Steenbrink,
Karel A., Kitab Suci atau Kertas Toilet?, Nuruddin Ar-Raniri dan
Agama Kristen, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) p. 17-
18; lihat juga Steenbrink Karel A., Perkembangan Teologi Dalam Dunia
Kristen Modern, (Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1987), p. 55-
67.)

Dari sudut psikologi, Feuerbach menjelaskan bahwa agama sebagai


sublimasi keinginan manusia, ketika mengalami kegagalan dalam
usahanya. (Lihat Karel A. Steenbrink, Perkembangan, Ibid.)
Comte dari perspektif sosiolog menyimpulkan, agama merupakan fase
pertama dalam perkembangan manusia, yang kemudian diikuti fase
metafisis, sedangkan fase positivisme dan atheis merupakan
perkembangan final dalam kehidupan manusia. (Karel A. Steenbrink,
Mencari, op.cit. p. 16)
 
Ketiga pendekatan historis. Dalam kajiannya tentang fenomena
keagamaan, pendekatan ini dapat mereduksi makna (kebenaran) agama
sedemikian rupa, karena ia memang tidak menjangkau problem
transenden atau transhistoris dari keberagamaan. Contoh yang paling
menarik dari pendekatan historis ini, adalah Snouck Hurgronje, terutama
dalam pembahasannya mengenai haji, Hurgronje melihat bahwa dalam
praktek itu (haji) terdapat sesuatu yang memuat unsur Yahudi dan
sesuatu yang masih mempunyai unsur-unsur Arab asli. Begitu juga,
dalam artikelnya mengenai “iblis”, edisi kedua Encyclopaedia of Islam,
sampai pada kesimpulan, bahwa konsep “jin” berasal dari dunia Arab
asli, konsep “malaikat” dari Yahudi dan Kristen, sedangkan konsep
“setan” masih kabur: dari malaikat yang jatuh atau dari jin yang salah.
“Penjelasan” yang hanya membahas segi historis ini tentu tidak
memuasakan orang yang hendak mencari kebenaran secara mutlak dan
total.
(Karel A. Steenbrink, “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis”,
dalam Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2,1992, p. 28) 
 
Ursula King menjelaskan bahwa pendekatan historis memberikan
penekanan pada kronologi suatu agama, menjelaskan urutan
perkembangan suatu agama. Sedangkan fenomenologi agama sangat
bersifat non-historis atau dapat dikatakan anakronistis. Ursula King
menulis: “It describes the attempt to investigate the essence and meaning
of religious phenomena and to group phenomena in a typological
manner independent from space and time.” (Fenomenologi menjelaskan
upaya meneliti esensi dan makna fenomena keagamaan dan
mengelompokkan fenomena itu dalam suatu tipologi yang terlepas dari
ruang dan waktu).
(Ursula King, op.cit., p. 39)
 
Yang memasukkan istilah fenomenologi ke dalam Ilmu Agama adalah
Pierre David Chantepie de la Saussaye (1848-1920). Menurut Saussaye
fenomenologi adalah “pensisteman dan klasifikasi aspek-aspek yang
terpenting dari prilaku keagamaan dan dari ide-ide keagamaan”, bukan
tentang renungan mengenai ide-ide keagamaan, karena hal ini menjadi
tugas para filsuf agama. Di tangan Saussaye ini, Fenomenologi Agama
secara definitif menjadi bagian/ cabang dari Ilmu Agama.
 
Meski demikian, beberapa ahli memberikan batasan terhadap ilmu ini
sesuai dengan kecenderungan masing-masing, antara lain:
 
Joachim Wach mendefinisikan Fenomenologi Agama sebagai “studi
yang sistematis, jadi bukan historis, mengenai gejala-gejala agama,
seperti do’a, imamat, sekte, dan lain-lain”.
Menurut Raffaele Pettazzoni, Fenomenologi Agama adalah ilmu yang
terutama bertugas menemukan beberapa struktur di dalam kebanyakan
gejala keagamaan.
W.B. Kristensen mendefinisikan Fenomenologi Agama sebagai “ilmu
yang memakai pandangan yang membandingkan data-data keagamaan,
supaya mendapat dukungan baru untuk interpretasi mereka”
 
Geo Widengren mendefinisikan Fenomenologi Agama sebagai ilmu
yang mengklasifikan semua gejala yang berbeda dalam agama dan ilmu
yang melukiskan agama dalam manifestasi yang berbeda dalam
kehidupan.
Ake Hultkrantz meringkaskan definisi-definisi tersebut sebagai berikut:
Fenomenologi Agama adalah penelitian yang sistematis mengenai
bentuk-bentuk agama, yaitu bagian dari penelitian keagamaan yang
mengklasifikan dan mengkaji secara sistematis konsep-konsep
keagamaan, upacara-upacara keagamaan, tradisi-tradisi mite dari segi
pandangan yang morfologis dan tipologis.
 
Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi Agama
merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan
secara sistematis (baca: tematis, pen.), bukan historis sebagaimana
sejarah agama.
 
 Hubungannya dengan Ilmu Perbandingan Agama
 
Seperti diuraikan di atas, bahwa Fenomenologi Agama adalah disiplin
ilmu sebagai cabang dari Ilmu Agama (Science of Religion). Di antara
cabangnya yang lain adalah Ilmu Perbandingan Agama. Kedua disiplin
ini, pada kenyataannya berdiri sendiri, masing-masing memiliki ciri dan
karasteristik yang berbeda. Akan tetapi, secara teoretis ada sejumlah
ilmuwan yang berbeda pendapat; ada yang berpendapat, keduanya
identik; ada sebagian lagi yang menganggap berbeda.
  
Bagi sebagian sarjana Ilmu Agama yang berpandangan kedua disiplin ini
identik, mengatakan bahwa Fenomenologi Agama merupakan sebutan
lain bagi Ilmu Perbandingan Agama. Masalah-masalah agama yang
menjadi fokus perhatian kedua disiplin keilmuan tersebut adalah sama.
Demikian juga metode khas yang disesuaikan dengan masalah dan
tujuan pengkajian dan juga objek ontologisnya adalah sama. Penggunaan
sebutan dan nama untuk disiplin keilmuan tersebut, apakah dengan nama
Fenomenologi Agama atau Ilmu Perbandingan Agama, semata-mata
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya praktis.
Mereka yang menggunakan sebutan Fenomenologi Agama mungkin
sekali didasarkan pada pertimbangan bahwa objek kajiannya adalah
fenomena keagamaan, sedangkan mereka yang menggunakan nama Ilmu
Perbandingan Agama, karena melihat kajiannya bersifat komparatif.
Para ilmuwan Belanda umumnya lebih suka menggunakan sebutan
Fenomenologi Agama, sebaliknya ilmuwan-ilmuwan Amerika dan
Inggris lebih senang menggunakan nama ilmu Perbandingan Agama.
 
 Di antara ilmuwan yang menganut paham ini adalah Hans-Joachim
Schoeps. Dia mengatakan: “….the science of comparative religions or
religious phenomenology, takes cross sections through the various
religion…”. Th. P.van Baaren juga termasuk penganut pendapat ini,
hanya saja dia tidak menggunakan nama Fenomenologi Agama atau
Ilmu Perbandingan Agama. Ia lebih senang menggunakan istilah
“Systematic Science of Religion”. Berbeda halnya dengan WB.
Kristensen, ia lebih suka menggunakan nama Fenomenologi Agama,
karena melihat kenyataan bahwa Ilmu Perbandingan Agama dalam
praktik pengkajiannya, sering diarahkan pada usaha yang menurut
penilainya kurang ilmiah, yaitu untukk menunjukkan superioritas suatu
agama terhadap agama lain.
 
 Sejumlah ilmuwan yang lain berpendapat bahwa Fenomenologi Agama
berbeda dan tidak identik dengan Ilmu Perbandingan Agama. Keduanya
merupakan disiplin keilmuan yang berdiri sendiri, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip dan cara kerja yang berbeda antara satu dan lainnya. Di
antara penganut kelompok ini adalah C.J. Bleeker, yang pernah
menyatakan dalah salah satu artikelnya: “…some people do not
distinguish comparative of religions and phenomenology of religion
though obviously the letter science is based on a principle different from
that of comparative religion. I have always advocated a clear distinction
between them…” Masih banyak lagi sebenarnya ilmuwan-ilmuwan yang
termasuk kelompok ini, seperti P.D. Chantepie de la Saussaye, yang
sekaligus dikenal sebagai “Bapak” pendiri Fenomenologi Agama.
  
Seperti dikemukakan di atas, pada kenyataannya kedua disiplin ini
berdiri sendiri dan bahkan masing-masing tetap kokoh. Perbedaan antara
keduanya semakin jelas jika dilihat bahwa masalah yang menjadi fokus
kajian Ilmu Perbandingan agama adalah persamaan, perbedaan, tipologi,
klasifikasi, generalisasi dan struktur asasi dari agama-agama. Sedangkan
Fenomenologi Agama mengarahkan penelitiannya untuk memahami arti
dan makna keberagamaan (religious meaning) dari fenomena-fenomena
keagamaan yang dikajinya.

Fenomenologi Agama dan Problem Verifikasi ?


Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa fenomenologi berusaha mencari
esensi dari fenomena yang dikaji. Tentang esensi ini memang banyak
pendapat dari para filosof. Bahwa esensi merupakan statemen empirik
yang terjadi melalui abstraksi. Abstraksi di peroleh tergantung dari
deskripsi empirik dari kasus-kasus khusus. Dari pandangan ini, maka
fenomenologi merupakan ilmu empirik. Akan tetapi menurut Richard
Schmit, bahwa apa yang disebut dengan esensi bukan merupakan hasil
abstraksi yang diperoleh dari kasus-kasus yang khusus, karena esensi
mempunyai sifat umum dan tidak bervarian. Karena itu, fenomenologi
bisa disebut bersifat non-empirik karena statemen fenomenologi
diperoleh melalui abstraksi. Esensi bagi kaum fenomenolog adalah
diperoleh secara cermat melalui intuisi (intuition esence). Esensi bukan
merupakan objek empirik karena tidak dapat dilihat dengan indra biasa
(ordinary sense) melainkan semacam pengamatan luar biasa (extra
ordinary sense). (John Niemeyer Findly, “Phenomenology”, dalam
Encyclopedia Britanica, Vol. 17, 1995, p. 700.; Richard Schmit,
“Phenomenology”, dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of
Phylosophy, vol. V, 1977, p. 139)
 
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kajian fenomenologi bisa
diverifikasi? Suatu pertanyaan yang memang khas untuk sebuah kajian
ilmiah-Barat yang menekankan corak positifistik-empirik.
Untuk mengetahui tentang fenomenologi dalam konteks empirik, tetapi
terlebih dahulu dilihat dua instrumen dari fenomenologi Husserl,
sebagaimana disebut di atas, yaitu epochè dan ideation. Epochè adalah
sikap menunda putusan, sedangkan ideation berusaha menangkap esensi
dari fenomena melalui empati dan intuisi. Epochè mempertahankan
sikap tidak terpengaruh, yang dapat memberikan hasil yang objektif.
Sedangkan ideation menangkap esensi secara intuitif bersifat subjektif.
Robert B. MacLeod menjelaskan bahwa dangan metode epoche, semua
prasangka metafisis dan epistemologis dapat dihindarkan untuk
mengukuhkan diri sebagai ilmu empirik. Dengan demikian,
fenomenologi adalah ilmu empirik yang dengan penekanannya untuk
mengkaji fenomena tanpa adanya bias. (Ursula King, op.cit., p. 40.;
Robert B. MacLeod, “Phenomenology”, dalam David L. Sills (ed.),
International Encyclopedia of the Science of the Social Science, Vol. 12,
1972, p. 68).
 
Ursula King menempatkan metode epochè sebagai fenomenologi
derkriptif yang didasarkan pada fakta empirik dalam menguji data.
Sedangkan ideation dikelompokkan sebagai interpretatif yang mencari
makna terdalam dari fenomena keagamaan. Akan tetapi suatu hal yang
masih menjadi masalah dalam fenomenologi derkriptif ini adalah fakta-
fakta keagamaan yang bersifat subjektif yang dialami oleh pemikiran,
perasaan dan kehendak kemudian terekspresi dalam tindakan lahiriyah.
Atau menerut Dhavamony; “…religious phenomena are objectively as
certainable but subjectively rooted facts.” (…fenomena keagamaan
dapat diketahui secara objektif tetapi faktanya berakar secara subjektif).
Dari pernyataan ini, Dhavamony berkesimpulan, bahwa fenomenologi
agama bukan ilmu deskriptif dan bukan pula ilmu normatif. Untuk
menjadi sebagai ilmu empirik, fenomenologi agama perlu ditambahkan
unsur ilmu empirik, misalnya sosiologi agama, antropologi agama,
psikologi agama dan lain-lain. (Ursula King, op.cit., p. 88. ; Mariasusai
Dhavamony, Phenomenology of Religion, (Roma: Gregoria University
Press, 1973. p. 16). 
 
Di sini Dhavamony ingin memilah fenomena keagamaan dalam aspek
tertentu untuk menciptakan fenomenologi agama yang deskriptif-
empirik. Seperti halnya Dhavamony, Raffael Pettazoni dan Ake
Hultkrantz mengintregasikan pendekatan fenomenologi dengan
pendekatan historis, yang kemudian disebut dengan fenomenologi-
historis agama. Menurut Pettazoni, fenomenologi agama tidak dapat
berbuat tanpa etnologi, filologi dan disiplin ilmu sejarah. Sebaliknya
fenomenologi agama memberikan pada sejarah agama pengertian-
pengertian keagamaan yang tiak ditangkap oleh sejarah agama. Pettazoni
menegaskan, bahwa:
Religious phenomenology and history are not two sciences but are two
complementary aspects of the integral science of religion, and the
science of religion as such has a well-defined character given to it by its
unique and proper subject matter.
(Raffael Pettazoni, “The Supreme Being: Phenomenological Structure
and Historical Development” dalam Mircea Eliade dan Joceph M.
Kitagawa (eds.), History of Religions: Essays in methodology (Chicago:
Chicago University Press, 1974), p. 66).
 
 Ake Hultkrantz juga menjelaskan bahwa melalui fenomenologi agama,
sejarah agama dapat menjangkau seluruh agama. Sementara Micea
Eliade mengemukakan bahwa dengan fenomenologi agamalah dapat
dipahami sesuatu yang bersifat keagamaan. Mencoba menangkap esensi
keagamaan dengan memakai filologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan
sebagainya, merupakan hal yang keliru karena menghilangkan keunikan
pada elemen “yang suci”. Pendapat ini menunjukkan bahwa “yang suci”
dalam agama merupakan kategori sui generis yang tidak dapat direduksi
dalam pengertian lain, baik yang bersifat intelektual maupun rasional.
Pendapat Eliade tersebut identik dengan Rudalf Otto tentang “yang suci”
(sacred) yang tidak dapat dilukiskan secara rasional maupun dengan cara
analogi. Pendapat ini menghendaki pendekatan fenomenologi murni
dalam studi agama. Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut Eliade
terpengaruh dari Pettazzoni yang berusaha mengembangkan metode
fenomenologi dan historis sekaligus.
(Ake Hultkrantz, “Phenomenology of Religion: Aims and Methods”,
dalam Temenos, no. 6, 1970, hal 81.; Mircea Eliade, Patterns in
Comparative Religion (New York: Sheed & Ward, 1958), p. xi. ; Mircea
Eliade, The Sacred and the Profane, (New York: Brace & World Inc.,
1959) p. 10).
 
 Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa pendekatan fenomenologi
murni, penyajiannya akan bersifat normatif, suatu hal yang oleh Barat
sendiri dipandang sangat problematik karena kesulitan untuk verifikasi. 
Dan tidak demikian bila memanfaatkan fakta-fakta empirik, verifikasi
dan bahkan falsifikasi bisa dilakukan berdasarkan fakta empirik yang
lain. Kemudian, fenomenologi agama empirik juga menekankan
intersubjektivitas, yang dapat dikomunikasikan karena memiliki
keterbukaan. Meskipun bersifat subjektif, artinya dialami dan dirasakan
oleh subjek tetapi ekspresi keagamaan dapat diobjektivikasikan sehingga
dapat diketahui dan dinilai orang lain.
 
Karl R. Popper lebih mengutamakan falsifikasi dari pada verifikasi,
karena falsifikasi lebih mengembangkan ilmu pengetahuan. Tesis
Popper adalah dengan belajar dari kesalahan-kesalahan maka ilmu dapat
mengembangkan bukan dalam pembenaran teori ilmiah yang telah ada.
(Lihat Antony Quinton, “Popper, Karl Raimund”, dalam Paul Edwards
(ed.), The Encyclopedia of Phylosophy, vol. 6, 1977, p. 398-399).
Mengapa fenomenologi agama diperlukan? (pertemuan 2)
Mengapa Fenomenologi Agama perlu? Apa signifikansinya?
—  Bahwa seluruh kehidupan agama terbuka untuk penelitian ilmiah,
seperti juga seluruh kehidupan agama terbuka untuk penghayatan
melalui sikap khusu’ dan taqwa. Maka Fenomenologi Agama (sebagai
komponen science of religion) dimaksudkan untuk memberi kontribusi
bagi agama dan ilmu sekaligus.
—  Sebagai tradisi yang hidup (living tadition), agama mengalami
perkembangan. Sebagai konsekwensi dari perkembangan ini, maka
variasi dan pluralitas dalam tradisi agama adalah hal yang wajar.
Fenomenologi Agama bermaksud memahami pluralitas tsb.
—  Bahwa sejak semula banyak ilmu agama yang memang sudah
“menjalin hubungan” dengan ilmu-ilmu “humaniora” lainnya, maka
Fenomenologi Agama memberikan kerangka yang lebih jelas.
—  Fenomenologi Agama merupakan kajian descriptive oriented.
                                Fenomenologi Agama tidak berusaha untuk
mengevaluasi dan memberi penilaian terhadap fenomena keagamaan, di
mana hal ini merupakan domain filsafat agama.
Fenomena keagamaan yang dimaksud meliputi ritual, simbol-simbol
agama, doa, upacara, teologi (baik tertulis atau lisan), orang suci,
seni, kepercayaan, dan sejumlah pelaksanaan keagamaan lainnya,
baik yang dilakukan secara bersama-sama maupun individu, publik
atau privat.
Pendekatan fenomenologi merupakan usaha untuk menggambarkan
fenomena yang tengah dipelajari seakurat mungkin, tidak hanya
mencakup peristiwa-peristiwa yang terjadi, tetapi juga motif di belakang
peristiwa-peristiwa tersebut.
Pendekatan fenomenologi tidak diorientasikan kepada pemecahan
persoalan  (problem solving), tetapi kepada deskripsi empatik.
Pendekatan fenomenologi berusaha menggambarkan fenomena dari
perspektif pelaku (practioner), yang di dalam disiplin antrpologi
dikenal dengan insider.
—  Fenomenologi Agama memiliki corak comparative, meski dalam
pengertian yang terbatas.
. Penekanan Fenomenologi Agama ada pada data, tetapi semua data
digunakan untuk menemukan makna (signification). Makna ditemukan
dengan baik pada data dengan menggunakan metode komparatif.
—  Fenomenologi Agama dalam mengambarkan praktek-praktek
keagamaan, berusaha melintasi tradisi agama yang berbeda-beda,
sehingga menghindari kesimpulan berurutan; dari yang terbaik dan yang
terburuk, dalam bentuk keunggulan (superiority) atau kerendahan
(inferiority)
—  Fenomenologi Agama berusaha menghindari reduksionisme.
—  Bagi Fenomenologi Agama, merupakan kesalahan besar, jika
fenomena keagamaan dikurangi atau dianggap remeh sedemikian rupa
hanya pada terma-terma sosiologis, psikologis, antropologis, ekonomi,
atau lingkungan secara murni.
—  Mereduksi sebagaimana poin di atas, hanyalah mengabaikan
kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai sosial pada isu-
isu transendental, dan mengabaikan intentionality  yang unik dari para
partisipan religius.
—  Fenomenologi Agama menangguhkan pertanyaan tentang
kebenaran (prinsip epoche)
—  Demikian ini, karena fenomenologi agama berusaha menemukan
pemahaman empatik yang genuine terhadap pengalaman keagamaan
yang sedang dikaji, namun pada saat yang bersamaan terlibat partisipasi
dalam pengalaman yang tengah diusahakan untuk memperoleh informasi
dari tangan pertama (first-hand information).
—  Fenomenologi Agama memang tidak sepenuhnya ‘netral’
sebagimana yang “katanya” ditempuh oleh para ilmuwan.
—  Para Fenomenolog adalah seorang aktor yang memperoleh
pengetahuan ‘intim’ dari data (fenomena) yang berusaha mereka
gambarkan sebagai suatu karya.
—  Tujuan akhir Fenomenologi Agama adalah memahami
(understanding) struktur dan makna esensial dari pengalaman
keagamaan (prinsip eidetic vision).
1. Kerja Fenomenologi Agama dimulai dengan melakukan pengamatan
sosial, kemudian data-data sosiologis itu digabungkannya dengan ide-ide
keagamaan. Dengan begitu fenomenologi agama hendak mememukan
logika intern dari agama sebagai fenomena universal di dunia ini. Atau
dengan kata lain fenomenologi agama berusaha mencari hakikat atau
essensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi
agama dalam kehidupan manusia di muka bumi. Fenomena keagamaan
dilihat sebagai gejala historis-empiris yang bersifat partikular, namun
pada saat yang sama secara fenomenologis ia mempunyai pola umum
(general pattern) yang bisa dipahami secara intuitif dan rasional oleh
umat manusia di manapun mereka berada.
2. Untuk tujuan ini, Fenomenologi Agama menggunakan “perangkat”
rokhani manusia untuk melakukan transendensi, yang biasanya disebut
“kesadaran-diri”, intuisi dan semacamnya.
3. “perangkat” rokhani manusia ini adalah suatu hal yang sebenarnya
tidak dikenal dalam tradisi ilmiah pada umumnya.
4.Keunikan Fenomenologi Agama adalah menggunakan perangkat yang
selama ini diklaim sebagai objektivitas, tetapi juga intuisi sekaligus.
Untuk dapat menemukan logika intern atau hakikat (esensi) atau
general pattern dari berbagai ragam fenomena keagamaan,
sekaligus memahami keragaman manifestasi keberagamaan, lahir
beberapa teori dari sejumlah fenomenolog, misalnya:
—  High tradition dan low tradition atau great tradition dan little
tradition, oleh Robert Redfield dan juga Fazlur Rahman (dalam Robert
Redfield, The little Community, Peasiant Society and Culture, (Chicago:
University of Chicago Press, 1960); Fazlur Rahman, “Approaches to
Islam in Religious Studies: Revew Essay”, dalam Ricard C. Martin (ed.),
Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucsan: The University of
Arizona Press, 1981), hal. 195-6.
—  Konsep personal faith dan accumullated belief, oleh Wilfred
Cantwell Smith (dalam buku Smith, The Meaning and End of Religion,
(New York: Mentor Books, 1962)
—  Konsep Esensi dan manifestasi oleh G. Van der Leeuw (dalam
Religion in Essence and Manifestation, 1938)
—  The Sacred dan the Profane oleh Mircea Eliade (Juga Rudolf Otto),
(dalam Mircea Eliade, The Sacred and the profane, New York: Brace &
World Inc., 1959)
—  Konsep official religion dan popular religion oleh Karel A.
Steenbrink, ( dalam “Indonesia Pasca Reformasi: Angin Segar bagi
Agama Rakyat”, dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-48, Nopember-
Desember, 1999, hal. 40-43)
—  Dll.

PERTEMUAN 3 MAGI DAN AGAMA

Magi dan Agama

Magi adalah kepercayaan dan praktik dengan keyakinan bahwa secara


langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam  dan antarmereka
sendiri, entah unntuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha
mereka sendiri dalam memanipulasi  daya-daya yang lebih tinggi.

Magi primitif terbagi dua jenis


1.Magi tiruan  yang didasarkan pada kesamaan dalam bentuk atau dalam
proses,; keserupaan menghasilkan akeserupaan. Misalnhyakalau
seseorang memasukkan jarum pada suatu boneka, orang yang
diserupakaan dengan boneka itu  akana terkena pengaruhnnya. Disini 
ahli magi dapat membuat ‘hujan turun dengan men irukan bunyi guntur.
2.   Magi sentuhan  didasrkan pada hukum sentuhan fisik atau
penulkaran dan oengaruh magis mempunyai dasarnya pada kontak fisik.
Disini ahli magi dapat mencelakaan orang lain , kalau dia dapat
memperoleh sehelai rambut, seopotong kuku, secarik kain yang pernah
bersentuhan dengan orang tersebut.

Kesusasteraan etnologi membedakan secara umum antara magi putih


dan magi hitam menurut tujuannya masing-masing yakni apakah hal itu
dilakukan  untuk menolong atau mencederai orang.
 
Pada umumnya magi hitam dianggap tidak etis dalam hal sikap maupun
campur tangannya dalam hubungan antarpribadi. Orang primitif melihat
magi hitam sebagai  suatu kejahatan yang sungguh-sungguh melawan
masyarakat.
 
Orang jahat adalah orang yang mengarahkan pengetahuan dan bakatnya
dalam hal magi hitam untuk melawan anggota-anggota dalam
kelompoknya sendiri.
 
Dalam istilah Frazer baik magi tiruan maupun sentuhan  disebut magi
simpatik (symphatetic magic) dan ini memberikan kesan bahwa semua
magi bersifat simpatik.  Dan ini sangat berbeda dengan sosiolog Perancis
H. Hubert dan M. Mauss yang mengatakan bahwa tidaklah benar bahwa
semua magi berdasarkan pada prinsip gagasan  dan tindakan simpatik,
sebab tidak perlu diragukan ada kata-kata dan tindakan magis yang tidak
simpatik, misalnya mantra.

Menurut Frazer, magi sama sekali tidak berkaitan dengan agama yang
didefinisikan sebagai  suatu orientasi ke arah roh, dewa-dewa atau hal-
hal lain yang melampaui susunan alam atau kosmos fisik ini.
 
Ahli magi “tidak memohon kepada kuasa yang lebih tinggi ; ia tidak
menuntut  untuk kepentingan makhluk yang tidak tetap dan suka
melawan ;  ia tidak merendahkan diri dihadapan  dewata yang hebat.  
Dia hanya dapat menguasai daya itu sejauh sesuai dengan hukum-hukum
kemahirannya, atau dengan apa yang bisa disebut hukum-hukum alam
sebagaimana dibbyangkannya.”.

Frazer berpendapat bahwa ahli magi mempunyai kaitan lebih erat 


dengan ilmuan darpipada agamawan. Ahli magi  dan ilmuwan keduanya
menganggap rangkaian kejadian sebagi sesuatu yang pasti dan
mengikuti aturah dengan sempurna, terbatas oleh hukum-hukum yang
tidak berubah, yang operasinya dapat diramalkan dan diperhitungkan
dengan  tepat ; unsur-unsur sepontanitas , kebetulan dan musibah
dikecualikan  dari jalan alam

Perbedaan antara ilmu dan magi adalah bahwa ahli  magi menggunakan
suatu konsepsi  menyeluruh yang keliru tentang alam, tentang hukuk-
hukum khsusus yang mengatur kejadian itu, karena kemiripan  dan
persentuhan bukanlah dasar penyebab yang sesungguhnya dalam
alam.disamping itu, sikap heran dan kagum berkenaan dengan kekuatan
magis , dalam ahli magi tidak ditemukan dalam ilmuwan.(ini suatu fakta
yg gagal dicatat oleh Fraze

Berbeda dari ilmuan, ahli magi mencoba dan bahkan mengontrol dengan
sarana upacara khsusus, daya yang menampakkan diri dalam fenomena
alam dan kehidupan manusia.
Ahli magi menghubungkan dirinya dengan kekuatan “supernatural”
yang melampaui alam dan manusia.
Degan demikian magi adalah suatu jenis supernaturalisme , sedangkan
ilmu membatasi diripada hukum-hukum alam dalam lingkup ilmiahnya.
B. Malinowski  menerima pembedaan  Frazer antara agama dan magi.
Menurutnya Magi bersifat individual, sedangkan Agama lebih bersifat
sosial.
Agama diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos dan upacara-upacara
yang mempunyai makna sosial dan dimana seluruh suku ambil bagian,
sedangkan magi merupakan keadaan  dimana seseorang
mempergunakana penyihir untk memenuhi maksud-maksud pribadi
tertentu, seperti kematian musuh, tercapainya  kemakmuran atau
kemenangan atas suatu perang.

Magi bertujuan mencapai hubungan denga  daya-daya alam, pada


hakikatnya bersifat manipulatif, yakni mau mengontrol daya-daya alam
tersebut untuk kepentingan pribadi.
 
Agama sebaliknya berusaha menjalin suatu hubungan  komunal dengan
makhluk-makhluk rohani (dewa-dewa) yang lebih dari sekedar daya-
daya impersonal.
 
Agama  bisa mencari pertolongan  dari dewa-dewa, tetapi hanya dengan
memohon, bukan memerintah.
 
Meminjam kategori dari Martin Buber, bisa dikatakan bahwa magi
dalam bentuknya yang murni  menetapkan hubungan Aku-Dia yang
manupulatif dengan alam, sedangkan agama mengarahkan  diri pada
hubungan Aku-Engkau, dari perjumpaan personal di mana manusia mau
mengabdi  dan memuji dewa sejauh ia sendiri akan dilkayani olehnya.

Dapat juga kita bedakan magi dari agama dengan mengatakan bahwa
magi pada hakikatnya menggunakana dimensi instrumental dari
kehidupan, sedangkan agama menekankan dimensi expresif.
Menurut Malinowski  bahwa magi menggunakan tekniknya sebagai cara
untuk mencapai tujuan eksternal,  sedang agama  biasanya
memperkembangkan  suatu upacara sosial yang bertujuan pada dirinya
sendiri.
Secara sosiologis , magi maupun agama dapat dikatakan mempunyai dua
tujuan yakni instrumental dan ekspresif. Dengan instrumental kita 
maksudkan bahwa orang menggunakannya untk mencapai tujuan-tujuan
khusus. Dengan ekspresif kita maksudkan bahwa mereka
menggunakannya untuk menyatakan dan menyimbulkan hubungan-
hubungan sosial dan kosmologis tertentu

Hubungan Magi dan Agama


 
Meskipun perbedaann antara magi dan agama harus diterima, kita tak
dapat menentukan suatu pemisahan yang luas antara keduanya karena
memang ada kasus-kasus terjadinya peristiwa di mana magi merupakan
isi dan fenomena religius. Unsur magis ini tidaklah semata-mata
manipulatif, unsur religius di sini tidak semata-mata lepas dari
manipulasi sebagaimana sering diharapkan. Agma dapat juga bersifat
individualistis, sedang beberapa upacara magis  mempunyai sifat
komunal dan bentuk sosial dalam pelaksanaannya.

Carl Gustav Diehl telah meringkaskan faktor-faktor yang membedakan


magi dan agama dengan jelas, sebagaimana diajukan oleh berbagai
ilmuwan mengenai persoalan ini :
 
1.Sikap manusia : Agama memperlihatkan suatu fikiran  yang tunduk,
magi memperlihatkan sikap yang memaksakan dan mementingkan diri
(soder blom); suatu pertentangan antara ketaatan dan kontrol
Goldenweiser); seorang pribadi religius mem[erlakukan yang adikodrati
sebagai subjek sedangkan seorang ahli magi  memperlakukannya
sebagai objek (wetter); magi memaksakan yang ilahi, sedangkan agama
adalah ketaatan(Wach); dua reaksi psikologis yang  sama sekali berbeda
(Widengren);  dua wilayah yang berbeda dari satu kesatuan yang besat,
supernaturalisme (lowie); hakikat magi boleh dikata  merupakan
pemaksaan demi kepentingan kebutuhan-kebutuhan organis yang sagat
mendesak (Radin) ; magi yang sejati memungkinkan orang untuk
mempengaruhi berlangsungnya kejadian-kejadian lewat cara-cara psikis
(Jensen).
2. Hubungan dengan masyarakat : Agama adalah sosial kemasyarakatan,
sedangkan magi adalah persoalan individual (Duirkheim) ; peribadatan
yang terorganisasi lawan praktik-praktik individual (Hubert dan Mauss);
pejabat yang tidak resmi itulah penyihir (Lang) ; pada magi, individu
ada di garis  terdepan (Held).
 
3. Sarana : Magi adalah suatu teknik yang dirancang untuk mencapai
tujuannya dengan cara menggunkan obat-obatan ; kalau  obat-obatan ini 
digunakan semata-mata sebagai sarana, sebagai jenis muslihat khusus,
untuk memperoleh tujuan-tujuan tertentu,  maka kita berhadapan dengan
magi (Lowie).
 
4. Tujuan :  kedekatan atan kesatuan dengan ilahi adalah agama ; magi
memperhitungkan tujuan-tujuan  dalam  hidup (Beth) ; sarana demi
tujuan, itulah magi; tujuan itu sendiri menampilkan agama
(Malinowski)  ; sebagai praktik magi adalah pemanfaatan dari kuasa
untuk tujuan-tujuan umum atau privat ini (Webstre) ; magi terdiri dari
tindakan-tindakan expresif dari suatu hasrat akan kenyataan (Kramrisch)

5 .Faktor tambahan : Pertentangan antara zat personal yang mempunyai


hati dengan kekuatan-kekuatan yang dapat diperhitungkan (Frazer) ;
pengenalan akan adanya suatu tata tertib transenden dilawan dengan  tak
adanya referensi transendental  dari kuasa-kuasa di luar adiduniawi
(James) ; apapun yang ditujukan pada Kuasa tak bernama adalah magi
(Van Der Leeuw); saya tak dapat membandingkan perbedaan antara
magi dan agama sebagaimana perbedaan antara suatu tujuan yang anti
sosial dan sosial. Agama adalah kepercayaan pada sesuatu daya dalam
alam raya yang lebih besar daripada daya manusia sendiri (Rivefs) ;
magi adalah peribadatan ilmiah (Marett).

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan  bahwa magi berbeda dari agama.


Pada hakikatnya magi bersifat manipulatif,  meskipun manipulsinya
berlangsung dalam suasana  takut dan hormat, kagum dan heran,sama
seperti  ciri-ciri dalam sikap religius juga. Agama  haruslah berarti suatu
tindakan langsung dari sudut pandangan si pelaku, sedangkan magi  tak
pernah merupakan suatu metode langsung sebab tanpa adanya
sarana,magi tak dimujngkinkan. Tak bisa dikatakan adanya “suatu magi
yang alamiah” sebab semua magi bersifat mengelabui. Magi adalah
muslihat.

Magi dan klasifikasinya


 
Magi adalah upacara dan rumusan verbal yang memproyeksikan  hasrat
manusia ke dunia luar atas dasar teori pengontrolan manusia untuk suatu
tujuan.
Kita dapat menggariskan  suatu klasifikasi umum dari magi dalam
konteks tujuan-tujuan praktis ini, entah itu demi kemakmuran manusia,
perlindungan terhadap interes-interes yang ada atau penghancuran
kesejahteraan manusia lewat kejahatan atau hasrat untuk membalas
dendam : magi produktif, magi protektif, dan  magi destruktif.

1.Magi produktif
magi untuk berburu, menyuburkan tanah, pembuatan hujan,
penangkapan ikan, pelayaran, perdagangan dan untuk percintaan.
2. Magi protektif :
tabu-tabu untuk menjaga milik, magi untuk membantu mengumpulkan
hutang, menanggulangi  kemalagan, pemeliharaan orang sakit,
keselamtan perjalanan, dijadikan lawan terhadap magi destruktif
3. Magi destruktif :
untuk mendatangkan badai, merusak milik, mendatangkan penyakit,
mendatangkan kematian

Mengapa magi?
 
Edward Taylor mengajukan empat alasannya
1. Sebagian dari efek yang dimaksudkan oleh magi memang terjadi,
meskipun demi alasan-alasan lain atau mungkin karena ada 
kesungguhan konkret dalam pelaksanaan atau dalam obat-obatan  yang
digunakannya
2. Dalam kasus tertentu, tipu muslihat mungkin digunakan  oleh ahli
magi untuk  mengelabui orang-orang, meskipun pada umumnya ahli
magi  sungguh-sungguh percaya,sama seperti orang-orang lain
3. Kasus-kasus positif lebih berarti daripada yang negatif
4. Ada kepercayaan akan adanya magi balasan

Academic Tools
Phenomenology of
religion, 
method
ological approach to the study of religion that emphasizes the standpoint
of the believer. Drawing insights from the philosophical tradition of
phenomenology, especially as exemplified by Edmund Husserl (1859–
1938), it seeks to uncover religion’s essence through investigations that
are free from the distorting influences of scholarly or traditional values
and prejudices.
Methodology
Phenomenology of religion is distinct from historical, sociological,
anthropological, philosophical, and theological approaches to the study
of religion. Unlike them, it treats religion as a phenomenon that cannot
be explained in terms of any particular aspect of human society, culture,
or thought—e.g., as the product of history, as a creation of intellectual
elites, or as a set of truth claims about reality or the ends of human life—
though it interacts with all of these aspects. To this end, phenomenology
of religion draws insights from Husserl’s notion of epochē, the
“bracketing” or suspension of judgment. As Gerardus van der Leeuw
wrote in his classic text Phänomenologie der Religion (1933; Religion in
Essence and Manifestation: A Study in Phenomenology),
phenomenologists of religion seek to suspend their beliefs about
religions in order to describe them in their own terms from a standpoint
that is “empathetic” with their respective adherents. Phenomenology of
religion is also comparative, seeking out aspects of religious life that are,
its proponents suggest, universal or essential rather than applicable only
to particular traditions.
The sacred
Most approaches since the discipline’s founding have located the
essence of religion in the human experience of a purportedly universal
and transcendent—though indeterminate—aspect of reality. Recalling
the French sociologist Émile Durkheim’s classification of religious
phenomena into the “sacred” and the “profane,” most phenomenologists
of religion call this aspect the sacred, and those who do not will at least
refer to it in terms that evoke the sense of an encounter with a sublime,
suprahuman other.
In his book Das Heilige (1917; The Idea of the
Holy), the German theologian Rudolf Otto wrote that all religions arise
from the experience of the numinous, which he characterized as the
mysterium tremendum et fascinans, the transcendent mystery that
humans find both terrifying and compelling. This mystery, which Otto
called the holy rather than the sacred, is so profound—Otto wrote of a
“clear overplus of meaning”—that it compels not only respect but also
reverence, which is the wellspring of religious thought, behaviour, and
culture.
Mircea Eliade, a Romanian-born
scholar who fostered the study of the history of religions at the
University of Chicago, constructed another influential notion of the
sacred. In The Sacred and the Profane (1959), he identified it with the
transcendent reality that “breaks through” in some tangible form within
mundane existence. Such a manifestation of the sacred—a phenomenon
that Eliade called a “hierophany”—subsequently becomes an object of
devotion in a religious tradition. In The Sacred and the Profane and
subsequent works, he demonstrated how hierophanies have influenced
the ways in which religious traditions distinguish between sacred and
profane spaces and interpret and measure the flow of time.
Both Otto and Eliade viewed the sacred as something not only
existential and experiential but also static and transhistorical, unaffected
by historical change. The 20th-century British scholar of religion Ninian
Smart developed a phenomenological model that featured a more
dynamic vision of the sacred that could explain the diversity among
religions, much of which it attributed to historical and cultural
differences. Smart proposed that the sacred manifests itself in human life
in seven dimensions: (1) the doctrinal or philosophical, (2) the mythical,
(3) the ethical, (4) the experiential, (5) the ritual, (6) the social, and (7)
the material. In Smart’s conception, each religious tradition, to a greater
or lesser degree, has a system of core beliefs, a narrative that explains
and justifies them, a moral code that it expects its followers to live by,
an emotional investment that it wants them to make, a set of practices
that help them to do so, and both an institutional structure and a material
culture that create the arena within which they live their faith. However
it may be conceived by adherents of a particular religion, the sacred is
present in, mediated by, and expressed through these seven dimensions,
according to Smart.
Criticism
The most prevalent and substantial criticism of phenomenology of
religion concerns its attempt to seek out and present universal or
essential aspects of religious life. Critics charge that in following Otto’s
and Eliade’s lead and positing the sacred as religion’s essence,
phenomenologists unduly favour a Western, and especially Christian,
concept of religion. The holy or the sacred may fit certain aspects of
Christianity, Judaism, or even Islam but may be inappropriate to the
study of some forms of Buddhism or of some aspects of Chinese folk
religions. Smart’s dimensions, however, constitute a response to this
objection; they provide a seemingly multicultural and cross-traditional
approach that nevertheless conceives of religion as having a discernible
essence.
Matt Stefon

KERANGKA MATERI
1. KONSEP DASAR FENOMENOLOGI AGAMA
a. APA ITU AGAMA? (DAN ALIRAN KEPERCAYAAN)
b. MENGAPA ORANG BERAGAMA?
c. PERKEMBANGAN AWAL STUDI AGAMA
d. FENOMENOLOGI AGAMA
2. MAGI DAN AGAMA
a. MAGI DAN JENIS-JENISNYA: FENOMENA SOSIAL
KEMASYARAKATAN
b. HUBUNGAN ANTARA MAGI DAN AGAMA
3. YANG PROFAN DAN YANG SAKRAL
a. YANG SAKRAL DALAM BELBAGAI AGAMA
b. YANG PROFANE DALAM BERBAGAI AGAMA
4. MAKNA RELIGIUS DARI MITOS
A. MITOS: MAKNA, FUNGSI…..
B. JENIS-JENIS, SUSUNAN MITOS DAN SIMBOL
5. RITUS: AGAMA SEBAGAI TINDAKAN SIMBOLIS
6. RITUS INISIASI DALAM AGAMA-AGAMA
7. DOA, FENOMEN UNIVERSAL AGAMA
8. KURBAN DALAM AGAMA-AGAMA
9. KESELAMATAN: TUJUAN AGAMA-AGAMA
10. PLURALISME: MAKNA DAN TANTANGAN
11. DARI FENOMENOLOGI MENUJU KAJIAN RELIGI

1. Defining religion
2. Historical background: Philosophical phenomenology and the social
sciences
3. Stages in the phenomenological method
4. The phenomenological method: a case study
5. Myths and rituals
6. Religious practitioners and art
7. Scripture and morality
8. The special case of belief
9. The place of the phenomenology of religion in the current and future
academic study of religion - See more at:
http://www.bloomsbury.com/us/an-introduction-to-the-phenomenology-
of-religion-9781441191380/#sthash.uoH9p5HY.dpuf

Anda mungkin juga menyukai