Anda di halaman 1dari 2

“From Agama Hindu Bali to Agama Hindu and Back”

Oleh: Alexander Koko Siswijayanto

Gagasan Dasar:
“Antara identitas, agama, adat terjalin suatu rajutan harmoni yang menentukan jati diri
suatu bangsa. Pemisahan identitas, agama dan adat samalah dengan mencerabut seseorang dari
asal-muasal kehidupannya. Keterlanjuran sejarah yang telah memisahkan ketiga hal itu,
menyisakan harapan dan kerinduan untuk kembali ke identias, agama dan adat yang menyatu.”

Penjelasan
Hubungan antara agama dan adat lebih sering menjadi perdebatan daripada suatu
penerimaan di bumi nusantara ini. Pergulatan kaum intelektual Bali dalam melihat diri dan
identitasnya berada dalam ranah permenungan mereka tentang relasi antara agama dan adat.
Perdebatan yang muncul bukan hanya di level akademisi/intelektual tetapi muncul hingga level
organisatoris (perselisihan Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI dan Parisada Dharma Hindu
Bali/PDHB). Salah satu pertanyaan yang ingin digali adalah bagaimana Agama Bali mempunyai
keterkaitan dengan Agama Hindu dan sejauh mana Agama Hindu Bali benar-benar berhubungan
dengan Agama Hindu Universal. Hal ini memang problem lokalitas dan universalitas. Michel
Picard mencoba menelusuri jejak-jejak perdebatan ini dengan kerangka kronologis sejarah.
Pada Era Kolonial perdebatan mengenai Agama Hindu Bali tak bisa dipisahkan dari
Identitas Masyarakat Bali. Para Orientalis memandang bahwa Bali adalah tempat warisan Hindu
yang kini masih bertahan hidup sejak Islam menguasai Jawa. Bali adalah tempat perkembangan
sekaligus pusaka yang sedemikian berharga dari peradaban Hindu-Jawa. Hinduisme adalah
jantung masyarakat Bali. Masyarakat Bali menjaganya dalam bentuk budaya dan artistik. Hal ini
didukung oleh kebijakan kolonial yang menyamakan Bali dengan warisan Hindu dan
memperlawankan identitas Bali dengan Islam dan Kristianitas. Seiring dengan munculnya elite
intelektual masyarakat Bali, muncul pula dua golongan besar dalam masyarakat yang di satu sisi
saling berlawanan tetapi di sisi yang lain sama sama berusaha untuk menggali lebih dalam
identitas Bali. Kelompok itu adalah Surya Kanta dan Bali Adjana. Mereka berdebat mengenai
pertentangan kasta. Perdebatan antar mereka memunculkan suatu kesadaran akan identitas Bali
yang mereka sadari sebagai suatu kelompok keagamaan kecil yang dilawankan dengan ekspansi
Islam dan Kristen. Dekonstruksi terhadap istilah adat dan agamapun mulai dilakukan dengan
menelusuri makna dari kata yang digunakan itu. Agama bagi orang Bali mengacu pada tiga hal
sekaligus: agama (religion), hukum (law), dan adat-istiadat (custom). Orang Bali tidak terlalu
menekankan suatu keyakinan yang benar (ortodoksi) mereka lebih menekankan
perilaku/tindakan yang benar (ortopraksis). Pada masa ini mereka menyebut diri Agama Hindu
Bali. Dengan mendasarkan diri pada lontar, Agama Hindu Bali ini tidak berasal dari India tetapi
dari Majapahit.
Perdebatan mengenai identitas Bali dengan gugatan relasi antara Agama Bali dan adat, di
satu sisi, dan Agama Bali dan Agama Hindu, di sisi lain, adalah persiapan bagi identitas religius
mereka sebelum bergabung dengan Republik Indonesia di era setelah tahun 1945-an. Di sinilah,
titik balik dari reformasi Agama Bali tersebut. Kala Kementrian Agama terbentuk, mereka
menetapkan syarat suatu agama terpenuhi, antara lain: mengakui Tuhan yang Maha Esa,
mempunyai sistem hukum untuk mengatur pengikutnya, mempunyai Kitab Suci dan nabi, diakui
secara internasional, dan mempunyai kelembagaan agama sehingga tidak terdiri dari satu entitas
saja. Mau tak mau Masyarakat Bali harus menerima syarat-syarat itu jika tidak ingin di-kristen-
kan ataupun di-mualaf-kan oleh Kristianitas dan Islam. Reformasi terjadi dalam lima hal.
Pertama, nama resmi agama bali menjadi Agama Hindu Bali. Kedua, istilah Syang Hyang Widhi
resmi digunakan untuk menunjuk Tuhan. Ketiga, perdebatan penggunaan Mahabharata atau
Veda masih terjadi. Keempat, beberapa dari mereka memilih Bagawan Biasa, yang
mengkompilasi Veda dan Mahabarata, tetapi banyak dari mereka yang mengakui bahwa
Hinduisme tak mempunyai nabi. Kelima, pada tahun 1959 terbentuklah lembaga keagamaan yang
disebut dengan Parisada Dharma Hindu Bali. Salah satu upaya besar dari Parisada pada masa ini
adalah upaya tekstualisasi ritual-ritual yang ada, dari ritual ke tekstual. Perlahan, desakan untuk
meng-universal-kan Agama Hindu Bali muncul. Tahun 1960-an Agama Hindu Bali menjadi Agama
Hindu. Dan mulai saat itu Agama Bali ini menjadi “World Religions”. Dengan demikian Parisada
Dharma Hindu Bali diubah menjadi Parisada Hindu Dharma.
Pada masa orde baru, ketegangan dalam upaya penerimaan Agama Hindu sebagai istilah
identitas etnis mengalami permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan yang muncul
kemudian adalah hubungan antara agama dan etnisitas. Peristiwa tahun 1965-1966 membuat
banyak orang dari luar Hindu memeluk Agama Hindu, daripada dituduh ateis. Perkembangan ini
juga membuat Parisada Hindu Darma membuka cabang diberbagai daerah. Pada tahun 1985
dalam kongres ke-5, Parisada Hindu Dharma berubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI). Menjadi sedemikian nasional, para petingginyapun bukan hanya dari orang-orang Bali
tetapi orang Hindu dari berbagai belahan di Indonesia ini. Pada tahun 1991, diputuskan bahwa
pusat PHDI berpindah ke Ibu Kota Negara dan selanjutnya disebut PHDI Pusat. Sedangkan di Bali
sendiri ada cabang yang disebut PHDI Propinsi Bali. Tahun 1990-an, di Bali muncul gerakan
Kebangkitan Hindu. Kebangkitan ini mewujud dalam penerjemahan teks-teks dan Kitab-kitab
Hindu. Mereka kemudian menamakan diri Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Mereka
menerbitkan majalah yang bernama Aditya (kemudian pada tahun 1995 berubah menjadi
Raditya). Propaganda gerakan ini bertentangan dengan propaganda yang dilakukan oleh
Kementrian Agama melalui Parisada.
Krisis ekonomi 1997 yang memicu reformasi 1998 membawa perubahan yang luar biasa
besar di Bali. Investor luar Bali berlomba-lomba datang dan menanamkan modal ke Bali. Para
pekerja Jawa berdatangan mengadu nasib di Bali. Bali menjadi lebih heterogen dari pada
sebelumnya. Di Era reformasi ini, Bali dikejutkan dengan adanya Bom Bali tahun 2002 dan 2005.
Kejadian ini mendorong jawaban yang lebih mendalam berkaitan dengan identitas Bali.
Pertanyaan dasar yang ingin dijawab adalah Agama Hindu ini mempunyai acuan ke Bali atau ke
India. Dalam perdebatan kongres-kongres Parisada Pusat ataupun Parisada Bali sendiri hal itu
coba ditelusuri. Parisada Bali mengeluarkan Piagam Campuan. Parisada Pusat kemudian juga
mengadakan pertemuan tandingan di Besakih. Keputusannya kemudian dikenal dengan istilah
Parisada Besakih.
Pada 28 Januari 2008, Parisada Campuan mengadakan kongres di Bedulu. Mereka
mengeluarkan Piagam Samuan Tiga yang berisi deklarasi jati diri Agama Bali. mereka
memaklumkan diri menjadi Agama Hindu Bali, dan organisasi mereka kembali menjadi Parisada
Dharma Hindu Bali (PDHB). Tentu saja kesemuanya itu berbeda dengan yang digarikan oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia. Agama Hindu Bali adalah afirmasi dari Identitas masyarakat
Bali. Hal itu diekspresikan dengan gerakan Ajeg Bali. Beberapa hal yang ditekankan adalah:
Pertama, Dasar pelaksanaan agama yang mengacu pada Weda dan kearifan lokal yang disarikan
dalam lontar-lontar. Kedua, landasan keimanan kepada Tuhan adalah Siwa Tatwa dengan Paham
Monoteisme (Eka Twa Aneka Twa Swa Laksana Batara). Ketiga, menyembah Tuhan (Sang Hyang
Widhi) lebih khusus disebut Bhatara Siwa, Dewa Dewi, dan Hyang leluhur. Keempat, mempunyai
pemujaan yang disebut sanggah/pemerajan, tempatnya di Pura, menggunakan sarana
banten/persembahan. Dan kelima, Agama Hindu yang menjadikan Sosio-kultural Bali sebagai
media pelaksananya. Ringkasnya, PDHB memproklamirkan agama yang eksklusif. Gerakan ini
mencita-citakan ke-ajeg-an Agama Hindu Bali yang dipraktekkan sejak masa silam. Bali yang
dimaksud bukanlah mengacu pada tempat. Namun Agama Hindu Bali maksudnya adalah umat
Hindu yang dalam praktek beragamanya menggunakan banten/persembahan, maka ia termasuk
pemeluk Agama Hindu Bali, di mana pun mereka berada.

Anda mungkin juga menyukai